- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Negeri ini bernama NUSANTARA (Cerita Pendek)


TS
whitehibiscus
Negeri ini bernama NUSANTARA (Cerita Pendek)
Ini Thread pertama ane
Mohon maap klo ada kesalahan tulisan ato apa.
Plus klo ada petunjuk buat Newbie kasi tau ane dong gan
Ini dia Cekidottt
Krriiinnggggg……!!!!!
Aku mengumpat kasar, jam weker busuk ini hampir merusak gendang telingaku. Butuh usaha keras untuk menemukannya di tengah kegelapan seperti ini. Aku meraba-raba kemana gerangan benda itu. Dengan satu hentakan keras, aku mematikan bunyinya.
Tertampang garis-garis biru neon yang butuh waktu untuk tahu kalau sekarang sudah jam enam pagi, sepuluh Juni. Aku bersorak gembira dalam hati.
Liburan semester!! Entah berapa lama sudah aku menunggu momen ini. Tiga bulan? Lebih lama, empat bulan. Setelah berbulan-bulan yang membosankan, akhirnya aku bisa meninggalkan rutinitas memuakkan di SMA yang notabene guru-gurunya hanya mengajar materi, minim praktek.
Aku melompat dari ranjang, melepas semua yang menempel pada tubuhku dan meraih handuk.
Sebelum mandi, aku menyempatkan diri melihat keluar jendela. Langit masih condong, Matahari belum tampak, pemandangan diantara gedung-gedung masih bersih, kapsul-kapsul terbang dan kereta AnoRail belum beroperasi. Senyum mengejek di pagi hari kepada kota bernama Batavia ini yang dulu ‘katanya’ adalah kota terindah di Nusantara.
Hari ini aku akan pergi dari sini! Batinku. Tidak dalam jangka waktu panjang, sih. Tapi tetap saja, aku bisa keluar dari udara beraroma sampah, besi berkarat, hujan asam sialan yang membuatku harus mengenakan pelindung ekstra yang beratnya minta ampun. Aku merindukan Bunga dan rumput sungguhan, sawah kecil, pohon apel, sungai alami tempat ikan-ikan kecil berenang, terutama kakek buyutku. Kakek dari ayahku yang selalu punya cerita-cerita hebat semasa hidupnya dulu.
Hampir setiap liburan aku mengunjunginya, mengunjungi gubuk tuanya yang berbahan kayu. Kayu adalah barang langka di seluruh Nusantara Pusat, apalagi pohon utuh. Malahan pernah suatu kali aku melihat ada yang membawa pohon akasia kecil yang tidak sampai dua meter tingginya ke tempat lelang, dan coba tebak apa yang terjadi. Bahkan ada yang rela melepas Rolls Royce-nya untuk ditukarkan dengan pohon itu.
Kesempatan langka ini jangan sampai terbuang percuma.
Selesai mandi dan berkemas, aku segera memesan tiket AnoRail jarak jauh lewat iWrist-ku, produk Apple keluaran baru berbentuk wristband yang dapat memunculkan hologram-hologram tiga dimensi. Kakek buyut selalu memarahiku jika benda ini kugunakan, selain karena mata beliau yang sudah tidak bisa dibilang sempurna lagi, beliau juga benci elektronik. Kakek mengatakan kalau barang-barang seperti ini hanya akan membuatku semakin malas.
Bukti nyatanya adalah sekarang ini. Manusia.
Tiket AnoRail 10 menit
Batavia Pekanbaru
Stasiun Jayakarta. Gerbong Theta.
Stasiun Jayakarta letaknya berdekatan dengan Monumen Nasional. Salah satu dari sedikit tempat indah di Batavia. Bangunan tinggi dengan puncak berupa emas murni yang dipahat membentuk api, sehingga jika dari jauh akan terlihat seperti obor raksasa. Dulu orang-orang dapat mendaki keatas lewat elevator, tapi semenjak krisis inflasi beberapa dasawarsa silam, Monas menjadi tempat terlarang. Tentu saja penyebabnya manusia, karena gelap mata, mereka nekat mengikis lapisan emas tersebut dan menjualnya.
Kakek pernah bercerita kalau dulu kota ini indah, dan sekarang segalanya telah berubah.
Keretaku berangkat jam sepuluh, perjalanan memakan waktu kurang lebih sepuluh menit lewat AnoRail—Kereta listrik yang melayang diatas tanah, ini serius! Mereka mengembangkan semacam alat yang menggunakan magnet sebagai tenaga penggerak, aku tidak ingin tahu teknisnya, yang jelas transportasi seperti ini menghemat waktu dan biaya.
Kota Pekanbaru letaknya di pulau Sumatra—Nusantara Timur yang dulu konon dijuluki sebagai sayap kiri.
Aku turun di Stasiun Hang tuah yang beraroma kayu manis buatan. Biar begitu, udara disini lebih baik daripada Batavia, hujan asam juga lebih jarang terjadi. Bisa dibilang Nusantara Timur adalah tempat tersisa bagi para pecinta alam kelas menengah.
Pilihan berikutnya adalah Kapsul terbang. Kendaraan berbentuk telur setengah kaca yang sama fungsinya dengan apa yang dulu mereka sebut dengan taksi. Bermuatan maksimal dua orang dan bergerak otomatis. Aku hanya perlu membayar jumlah yang ditentukan lewat interkom dan benda ini akan mengantarku sampai tujuan.
Rumah kakek ada di ujung kota, pikirku. Semoga saja hari ini tidak ada kejadian.
Baru saja terlintas di pikiranku, kapsul-kapsul polisi bersirine dan lampu biru-merah melaju cepat melewatiku, semoga saja bukan ke rumah kakek.
Aku tiba di Perkarangan rumah tua itu, Jaman sekarang memiliki perkarangan adalah hak istimewa. Kebanyakan orang tinggal di apartemen, bunker bawah tanah, atau bagi kaum jetset dan sosialita mereka tinggal di pulau langit—kumpulan bangunan yang dibangun diatas langit, karena tanah semakin sedikit.
Aroma buah apel dan rambutan buru-buru memenuhi hidungku. Aku mendengus lega, taman ini tidak berubah sama sekali sejak tahun lalu. Di kejauhan, aku melihat orang tua beruban sedang menyiram bunga-bunga kecil.
“Kakek!!” Panggilku riang.
Dia berbalik badan, dengan usia yang tidak bisa dibilang muda lagi, dia masih kuat mengurus perkarangan seluas ini seorang diri. Tidak ada sehelaipun rambut beliau yang tidak beruban. Kacamatanya buram dan miring, Wajahnya termakan usia, tapi aku tahu, dulu wajah itu penuh dengan semangat dan harapan. Dia mengenakan kaus putih biasa dan celana pendek—bisa dibilang nekat jika saja terkena radiasi radioaktif atau hujan asam, tapi begitulah beliau.
“Andreas..” Kakek melepas selang airnya, gembira melihatku. “Ayo masuk dulu! Di luar banyak bahaya..”
Bahaya? Pikirku. Aku melihat kiri kanan, bahkan atas, tapi tidak ada apapun selain kumpulan gedung kumuh yang sunyi. Apakah kakek merasakan sesuatu? Kakek memang jeli dalam memprediksi bencana seperti misalnya: ledakan gunung Bromo, kakek mengungsi dua jam lebih cepat sebelum sirine berbunyi, atau Tsunami di Pantai Parangtritis di Nusantara Pusat bagian selatan, Kakek menyadari bahwa air surut lebih cepat dari biasanya waktu itu. Semua pengalaman semasa hidupnya itulah yang menjadi alasan kenapa beliau masih berdiri disini sekarang.
“Bakal terjadi apa-apa, kek?” Tanyaku cemas.
“Oh.,” Kakek memasang tampang ramahnya. “Bukan sesuatu yang perlu ditakuti, cicitku.., hanya saja.., kakek tidak ingin berada diluar sekarang.”
Masa? Jujur saja aku lebih suka berada diluar karena tamannya, tapi karena ini permintaan kakek, mana mungkin aku menolak ajakannya.
Didalam gubuk—Yah, gubuk yang tidak ada bedanya dengan resort pribadi yang mewah, hampir seluruh dinding ruang tamu dicat cokelat, warna kayu kesukaanku. Sofa kelabu, kursi goyang tua, meja kayu jati sejati, Akuarium di sudut ruangan memang tidak ada ikan, sebagai gantinya kakek mengisi kotak itu dengan koral, kerang, pasir putih, tumbuhan laut yang tidak pernah aku tahu namanya dan pernak-pernik istimewa lainnya.
“Aku merindukan Danau Toba..” gumam kakek dibelakangku.
Potret besar di tengah dinding seakan berbicara dalam benakku. Potret yang diambil sewaktu kakek masih muda—kira-kira seumuran denganku sekarang, berlatar belakang danau biru warna langit seluas sembilan ratus kilometer persegi. Lalu ditengah-tengahnya ada pulau bernama Samosir. Seperti mimpi bukan? Kita perlu menjelajah sampai ketengah-tengah danau lalu menemukan pulau, yang penuh dengan pohon-pohon raksasa serta fauna eksotis.
Dulu.
“Memang danau itu sekarang bagaimana, kek?” tanyaku.
Kakek terdiam sebentar. “Dulu danau itu sangat indah, airnya sebiru langit, pasirnya putih, ganggang-ganggang hijau merah mengapung bagai lukisan di permukaannya, dan… hanya dalam sekejap danau itu berubah.”
Kakek memperlihatkanku selebaran, selebaran elektronik seperti brosur yang mempromosikan barang atau jasa. Ada beberapa gambar-gambar bergerak disana, juga tulisan, yang keduanya selalu berubah-ubah, tapi tempatnya cuma satu: Tertulis disitu Resort dan Taman Bermain Kawah Toba.
Rasanya sulit mempercayai cerita kakek kalau dulu kawah seluas hampir seribu kilometer persegi itu adalah danau indah, yang bahkan sempat menjadi warisan dunia. Sekarang apa yang tertera di brosur elektronik itu adalah Hotel berbintang dan taman bermain.
“Bagaimana ini bisa terjadi? Kakek belum pernah bercerita soal ini..”
“Resort itu.., dibuka kemarin. Setelah enam bulan masa pembangunan..” kata kakek nelangsa. “Sebelas tahun yang lalu, Perang Asia kedua menjalar sampai Sumatra, Negara Tengah melepas nuklir ke danau ini, dan hasilnya..”
“Semua yang disana waktu itu mati?”
“Semuanya.., manusia, hewan, tumbuhan, bahkan danau itu sendiri mati. Tidak bisa ditinggali bertahun-tahun, sampai tahun lalu.”
Aku ingat, itu sebuah proyek besar yang diinvestasikan ratusan pengusaha Uni-Asia. Mereka mengeruk air yang mengandung radioaktif—Semuanya ada radioaktif, melepas gelombang penghalang radiasi berbahaya, dan.. membangun apa yang mereka dulu sebut sebagai rumah masa depan. Inilah hasilnya.
Kakek perlahan duduk di kursi goyangnya, menghembuskan napas berat seolah dia menyesal hidup di generasi sekarang. Dari kisah-kisah yang pernah dia ceritakan dulu, kakek adalah seorang penjelajah. Dia telah mengunjungi seluruh tempat yang ada di Nusantara sebelum bumi pertiwi ini rusak. Dari Sabang sampai Merauke, istilah yang dulu dipakai untuk menggambarkan seluruh Nusantara.
“Pernahkah aku menceritakan mengenai Nusa Tenggara?” Tanya kakek.
Aku langsung tertarik. “Pulau Bali? Kakek sudah janji mau cerita itu tahun lalu..”
Kakek tertawa. “Tidak hanya pulau Bali sebenarnya, Nusa Tenggara adalah Kepulauan terkenal. Ratusan pulau dan ribuan pantai, air sejernih Kristal dan karang sekeras marmer. Surga bagi para pecinta lautan..”
Dulu.
“Kami dulu sering bersantai di Pantai.” Kakek menyerahkan padaku sebuah album primitif—berbahan kertas dan isinya foto-foto asli yang dapat disentuh dalam berbagai ukuran, ini adalah peninggalan berharga! Semenjak ada larangan menggunakan kertas sebagai media pendidikan, komunikasi, dan kebersihan, kami mulai menggunakan hologram atau media elektronik sebagai penggantinya.
Foto-foto itu mengingatkanku pada tampilan-tampilan layar komputer, dimana bakau, pantai, air laut yang menggulung-gulung, berpadu dengan cahaya matahari senja yang kemerahan sehingga langit berwarna ungu dan laut memantulkan warnanya. Itu bukan rekayasa komputer ataupun lukisan. Itu peristiwa asli sungguhan! Benarkah ada yang seperti ini di masa lampau?
“Ini semua, terlihat…”
“Tidak nyata?” tebak kakek. “malahan sekarang inilah yang tidak nyata. Percayalah cicitku, dulu masih ada ribuan tempat yang jauh lebih luar biasa daripada album ini.”
Kakek terbatuk lemah, lalu bangkit dari kursi goyangnya dan bergerak menuju dapur. Aku meneruskan imajinasiku. Halaman demi halaman kubuka. Puncak gunung Mahameru yang menembus awan, Salju di Jaya Wijaya, Ngarai Sianok yang seluas dua puluh kali lapangan sepakbola, Taman bawah laut Bunaken yang seperti mimpi. Album itu berat, penuh dengan foto, kenangan, impian, harapan. Sedikit dari barang yang diselamatkan dari Perang Dunia terakhir, pasti benda inilah yang paling dijaga kakek.
Aku bertanya-tanya, kemanakah buku ini jika kakek meninggal?
Hari ini lima puluh tahun yang lalu, pasti rumah ini penuh dengan kehangatan dan cinta. Potret besar di tengah yang menjelaskannya, Kakek buyut, Nenek, dan Ayah yang masih dalam gendongan, serta sejumlah kerabat yang tidak pernah kuketahui lainnya, mereka berfoto levitasi dan tertawa histeris dengan belakang berupa danau dan langit biru, bahkan horizon tidak mampu membatasi antara air dan angkasa.
Benarkah dulu bumi kami seperti ini?
Ingatanku belum bisa lepas dari pelajaran sejarah modern yang diajarkan minggu lalu di sekolah. Tragedi Perang Dunia ketiga. Perang yang paling mengerikan sepanjang peradaban manusia. Dengan jumlah korban yang mendekati setengah populasi bumi. Diluar pertempuran perang, kebanyakan manusia tewas akibat radiasi nuklir atau radioaktif. Air, Tanah, dan udara terkontaminasi. Makanan dan minuman bersih dikawal secara berlebihan. Hak asasi manusia seakan mengalami degenerasi seiring waktu berlalu
Awalnya pihak yang berseteru hanya dua, lalu ada pihak lain yang ikut campur menjadi tiga blok. Berperang memperjuangkan kekuasaan mereka. Kiamat kecil yang berlangsung selama sebelas tahun itupun akhirnya berhenti. Semua pihak mengalami kerugian hebat. Beberapa Negara bangkrut, lalu beberapa lagi, lagi, sampai semua Negara tidak sanggup berdiri sendiri. Mereka membangun tiga Uni: Barat, Timur dan Selatan. Nusantara sempat menjadi rebutan Uni timur dan Uni selatan, dan akhirnya mendeklarasikan diri sebagai anggota tetap Uni Selatan.
Hanya karena hal sekecil inilah terjadi perang lagi, Perang Asia. Terjadi sampai dua kali dalam kurun dua belas tahun. Kedua-duanya hanya karena satu hal: Siapa yang berhak mendapat Tanah Air ini?
Ironisnya justru bumi pertiwi ini yang menjadi medan perang. Tanah dan hutan dirusak, Laut diracuni, asap beracun disebar secara berkala, begitu terus sampai mereka sadar Nusantara tidak pantas lagi untuk diperebutkan.
“Andreas..”
Kakek telah kembali dari dapur, tangan keriputnya membawa kotak besi terkunci. Dari mimik wajahnya, aku tahu ada yang tidak beres.
“Kamu masih terlalu muda untuk mengenal Dunia, terutama ‘dunia’ yang sekarang..” Kata kakek lirih. “Banyak sekali bencana pada masa lampau yang bertujuan untuk menyadarkan manusia dari dosa-dosa mereka..”
“Seperti cerita tentang Bahtera Noah?”
“Iya, itu juga termasuk.” Kakek membuka kotak itu dengan menekan tombol-tombol digital.” Sayangnya, manusia tidak pernah benar-benar sadar, mereka bertobat lalu berbuat dosa lagi..”
Jantungku hampir meloncat keluar saat benda didalam kotak itu terlihat, yang berada didalam kotak itu adalah Biji Demeter! Tiga benih Demeter sungguhan! Harga sebiji saja sudah dapat menjamin hidup ribuan orang bertahun-tahun di pulau langit!
Kakek mengambil semuanya dan mengulurkannya padaku.
“Simpan sampai waktunya tiba..”
“Kakek serius menitipkan barang luar biasa ini padaku?” Kataku gemetaran menerima biji seukuran mug kecil.
Seluruh kekuatan besar yang mengatur Uni-Uni di bumi ini mengincar apa yang disebut Biji Demeter. Sebuah benih yang direkayasa genetis yang dipadatkan dari kumpulan banyak sekali tumbuhan. Pemerintah mengontrol jumlah tumbuhan dengan Biji Demeter, Satu benih dapat membuat seribu kilometer persegi hutan hujan tropis dengan berbagai spesies.
“Menitipkan mungkin kurang tepat, Benih ini dicurigai telah punah berthaun-tahun yang lalu. Ini adalah sisanya, karena itu..”
Sirine polisi terdengar dari kejauhan, lama-lama frekuensinya membesar.
Kakek bergerak seperti telah melatihnya sejak dulu, dia menggeser lemari buku dua meter dibelakangku. Alih-alih tembok, ada sepetak kecil celah diantara batu-bata yang sepertinya muat untuk dilewati manusia dewasa.
“Manusia sadar akan dosa yang diperbuatnya, tapi itu hanya sementara. Berwaktu-waktu kemudian mereka akan mengulangi hal yang sama.”
“Apa.. apa yang kakek barusan..?”
“Lorong rahasia..” jawab kakek cepat. “dulu Erina yang punya ide ini seandainya terjadi apa-apa, jika terus menelusuri dinding bata, kau akan tiba di luar, kira-kira seratus meter dari sini, kuharap kau tidak memiliki klaustrophobia.”
“Mmm, siapa Erina kek?”
“Hanya seorang teman lama..” Kakek buru-buru mendorongku masuk kedalam sekalipun aku berontak. “Meski hanya satu biji kecil, benih itu mengandung harapan seluruh mahkluk berjiwa. Peranku telah usai, dengan berat hati tekad ini kuwariskan padamu..”
Aku ingin protes lagi ketika kakek menghantamkan lemari buku ke tempat semula, membuat segalanya menjadi gelap. Aku menyalakan iWrist-ku, cahaya neon kebiruan menyala cukup untuk menuntunku keluar dari lorong ini. Tapi aku tergoda untuk menguping apa yang terjadi diluar sana.
Kenapa kakek menyuruhku masuk kesini? Memang apa hubungannya dengan sirine polisi tadi? Kenapa polisi ingin menangkap kakekku yang tidak berdaya itu?
Aku mendengar pintu terbuka keras, derap langkah cepat beberapa orang, lalu berhenti perlahan-lahan.
“Sungguh suatu kehormatan, Sir Erian Antonio.” Ucap seorang pria, dingin dan angkuh.
“Dengan segala kerendahan hati, bolehkah kutanya apa yang membawamu kemari, Kolonel Isaac Hobbs..” Kata kakek.
“Aku telah mendengar.. rumor.. tentang biji-biji terlarang yang tersisa.”
Sedikit keheningan mencekam
“Aku meragukan sumbermu, kolonel.. mereka kadang memberi informasi palsu demi Uang Maya.”
“Oh, sayangnya anda kurang tepat mengatai sumberku adalah penduduk-penduduk haus morfin disini, Sir White Hibiscus..”
“Aku tidak lagi memakai nama itu sejak Perang Asia pertama, Kolonel..”
“Maafkan Saya, Sir Erian.., Sumber yang saya maksud bukanlah penduduk sini, tapi dapat dipercaya, karena itulah saya beserta sepasukan SNF bisa disini sekarang..”
“Southern Nature Forces…” Aku mendengar kakek menggeram. “Sejak kapan dibentuknya?”
“Oh, kira-kira dua bulan yang lalu Presiden telah meresmikannya, Sir Erian. Anda kurang mengikuti berita..”
“Organisasi swasta yang sama dengan ENF dan WNF, kalian berniat membuat spesies langka menjadi punah..” Umpat kakek. “Tidak sadarkah kalian nyaris membunuh bumi ini sendiri!?”
“Harga mereka sangat tinggi di pasaran, mohon pengertiannya..” kata pria itu tanpa rasa bersalah.
Hal berikutnya yang kudengar adalah bunyi tembakan, hantaman, benda pecah belah jatuh, dan suara erangan kakek yang memilukan.
“Cari biji itu!” perintah pria yang bernama Kolonel Isaac itu.
Mereka mulai menggeledah, Derap kaki semakin berisik, benda-benda berjatuhan, sampai aku sadar mereka mendekati ke lemari buku didepanku.
Tanpa membuang waktu lagi, aku berlari pontang-panting mengikuti jalan setapak yang diterangi neon biru. Biji-biji Demeter illegal kini berada dalam genggamanku.
Ane Newbie gan, masi belom paham-paham banget soal kaskus
jadi klo jelek wajar gan.
Mohon maap klo ada kesalahan tulisan ato apa.
Plus klo ada petunjuk buat Newbie kasi tau ane dong gan
Ini dia Cekidottt
Krriiinnggggg……!!!!!
Aku mengumpat kasar, jam weker busuk ini hampir merusak gendang telingaku. Butuh usaha keras untuk menemukannya di tengah kegelapan seperti ini. Aku meraba-raba kemana gerangan benda itu. Dengan satu hentakan keras, aku mematikan bunyinya.
Tertampang garis-garis biru neon yang butuh waktu untuk tahu kalau sekarang sudah jam enam pagi, sepuluh Juni. Aku bersorak gembira dalam hati.
Liburan semester!! Entah berapa lama sudah aku menunggu momen ini. Tiga bulan? Lebih lama, empat bulan. Setelah berbulan-bulan yang membosankan, akhirnya aku bisa meninggalkan rutinitas memuakkan di SMA yang notabene guru-gurunya hanya mengajar materi, minim praktek.
Aku melompat dari ranjang, melepas semua yang menempel pada tubuhku dan meraih handuk.
Sebelum mandi, aku menyempatkan diri melihat keluar jendela. Langit masih condong, Matahari belum tampak, pemandangan diantara gedung-gedung masih bersih, kapsul-kapsul terbang dan kereta AnoRail belum beroperasi. Senyum mengejek di pagi hari kepada kota bernama Batavia ini yang dulu ‘katanya’ adalah kota terindah di Nusantara.
Hari ini aku akan pergi dari sini! Batinku. Tidak dalam jangka waktu panjang, sih. Tapi tetap saja, aku bisa keluar dari udara beraroma sampah, besi berkarat, hujan asam sialan yang membuatku harus mengenakan pelindung ekstra yang beratnya minta ampun. Aku merindukan Bunga dan rumput sungguhan, sawah kecil, pohon apel, sungai alami tempat ikan-ikan kecil berenang, terutama kakek buyutku. Kakek dari ayahku yang selalu punya cerita-cerita hebat semasa hidupnya dulu.
Hampir setiap liburan aku mengunjunginya, mengunjungi gubuk tuanya yang berbahan kayu. Kayu adalah barang langka di seluruh Nusantara Pusat, apalagi pohon utuh. Malahan pernah suatu kali aku melihat ada yang membawa pohon akasia kecil yang tidak sampai dua meter tingginya ke tempat lelang, dan coba tebak apa yang terjadi. Bahkan ada yang rela melepas Rolls Royce-nya untuk ditukarkan dengan pohon itu.
Kesempatan langka ini jangan sampai terbuang percuma.
Selesai mandi dan berkemas, aku segera memesan tiket AnoRail jarak jauh lewat iWrist-ku, produk Apple keluaran baru berbentuk wristband yang dapat memunculkan hologram-hologram tiga dimensi. Kakek buyut selalu memarahiku jika benda ini kugunakan, selain karena mata beliau yang sudah tidak bisa dibilang sempurna lagi, beliau juga benci elektronik. Kakek mengatakan kalau barang-barang seperti ini hanya akan membuatku semakin malas.
Bukti nyatanya adalah sekarang ini. Manusia.
Tiket AnoRail 10 menit
Batavia Pekanbaru
Stasiun Jayakarta. Gerbong Theta.
Stasiun Jayakarta letaknya berdekatan dengan Monumen Nasional. Salah satu dari sedikit tempat indah di Batavia. Bangunan tinggi dengan puncak berupa emas murni yang dipahat membentuk api, sehingga jika dari jauh akan terlihat seperti obor raksasa. Dulu orang-orang dapat mendaki keatas lewat elevator, tapi semenjak krisis inflasi beberapa dasawarsa silam, Monas menjadi tempat terlarang. Tentu saja penyebabnya manusia, karena gelap mata, mereka nekat mengikis lapisan emas tersebut dan menjualnya.
Kakek pernah bercerita kalau dulu kota ini indah, dan sekarang segalanya telah berubah.
Keretaku berangkat jam sepuluh, perjalanan memakan waktu kurang lebih sepuluh menit lewat AnoRail—Kereta listrik yang melayang diatas tanah, ini serius! Mereka mengembangkan semacam alat yang menggunakan magnet sebagai tenaga penggerak, aku tidak ingin tahu teknisnya, yang jelas transportasi seperti ini menghemat waktu dan biaya.
Kota Pekanbaru letaknya di pulau Sumatra—Nusantara Timur yang dulu konon dijuluki sebagai sayap kiri.
Aku turun di Stasiun Hang tuah yang beraroma kayu manis buatan. Biar begitu, udara disini lebih baik daripada Batavia, hujan asam juga lebih jarang terjadi. Bisa dibilang Nusantara Timur adalah tempat tersisa bagi para pecinta alam kelas menengah.
Pilihan berikutnya adalah Kapsul terbang. Kendaraan berbentuk telur setengah kaca yang sama fungsinya dengan apa yang dulu mereka sebut dengan taksi. Bermuatan maksimal dua orang dan bergerak otomatis. Aku hanya perlu membayar jumlah yang ditentukan lewat interkom dan benda ini akan mengantarku sampai tujuan.
Rumah kakek ada di ujung kota, pikirku. Semoga saja hari ini tidak ada kejadian.
Baru saja terlintas di pikiranku, kapsul-kapsul polisi bersirine dan lampu biru-merah melaju cepat melewatiku, semoga saja bukan ke rumah kakek.
Aku tiba di Perkarangan rumah tua itu, Jaman sekarang memiliki perkarangan adalah hak istimewa. Kebanyakan orang tinggal di apartemen, bunker bawah tanah, atau bagi kaum jetset dan sosialita mereka tinggal di pulau langit—kumpulan bangunan yang dibangun diatas langit, karena tanah semakin sedikit.
Aroma buah apel dan rambutan buru-buru memenuhi hidungku. Aku mendengus lega, taman ini tidak berubah sama sekali sejak tahun lalu. Di kejauhan, aku melihat orang tua beruban sedang menyiram bunga-bunga kecil.
“Kakek!!” Panggilku riang.
Dia berbalik badan, dengan usia yang tidak bisa dibilang muda lagi, dia masih kuat mengurus perkarangan seluas ini seorang diri. Tidak ada sehelaipun rambut beliau yang tidak beruban. Kacamatanya buram dan miring, Wajahnya termakan usia, tapi aku tahu, dulu wajah itu penuh dengan semangat dan harapan. Dia mengenakan kaus putih biasa dan celana pendek—bisa dibilang nekat jika saja terkena radiasi radioaktif atau hujan asam, tapi begitulah beliau.
“Andreas..” Kakek melepas selang airnya, gembira melihatku. “Ayo masuk dulu! Di luar banyak bahaya..”
Bahaya? Pikirku. Aku melihat kiri kanan, bahkan atas, tapi tidak ada apapun selain kumpulan gedung kumuh yang sunyi. Apakah kakek merasakan sesuatu? Kakek memang jeli dalam memprediksi bencana seperti misalnya: ledakan gunung Bromo, kakek mengungsi dua jam lebih cepat sebelum sirine berbunyi, atau Tsunami di Pantai Parangtritis di Nusantara Pusat bagian selatan, Kakek menyadari bahwa air surut lebih cepat dari biasanya waktu itu. Semua pengalaman semasa hidupnya itulah yang menjadi alasan kenapa beliau masih berdiri disini sekarang.
“Bakal terjadi apa-apa, kek?” Tanyaku cemas.
“Oh.,” Kakek memasang tampang ramahnya. “Bukan sesuatu yang perlu ditakuti, cicitku.., hanya saja.., kakek tidak ingin berada diluar sekarang.”
Masa? Jujur saja aku lebih suka berada diluar karena tamannya, tapi karena ini permintaan kakek, mana mungkin aku menolak ajakannya.
Didalam gubuk—Yah, gubuk yang tidak ada bedanya dengan resort pribadi yang mewah, hampir seluruh dinding ruang tamu dicat cokelat, warna kayu kesukaanku. Sofa kelabu, kursi goyang tua, meja kayu jati sejati, Akuarium di sudut ruangan memang tidak ada ikan, sebagai gantinya kakek mengisi kotak itu dengan koral, kerang, pasir putih, tumbuhan laut yang tidak pernah aku tahu namanya dan pernak-pernik istimewa lainnya.
“Aku merindukan Danau Toba..” gumam kakek dibelakangku.
Potret besar di tengah dinding seakan berbicara dalam benakku. Potret yang diambil sewaktu kakek masih muda—kira-kira seumuran denganku sekarang, berlatar belakang danau biru warna langit seluas sembilan ratus kilometer persegi. Lalu ditengah-tengahnya ada pulau bernama Samosir. Seperti mimpi bukan? Kita perlu menjelajah sampai ketengah-tengah danau lalu menemukan pulau, yang penuh dengan pohon-pohon raksasa serta fauna eksotis.
Dulu.
“Memang danau itu sekarang bagaimana, kek?” tanyaku.
Kakek terdiam sebentar. “Dulu danau itu sangat indah, airnya sebiru langit, pasirnya putih, ganggang-ganggang hijau merah mengapung bagai lukisan di permukaannya, dan… hanya dalam sekejap danau itu berubah.”
Kakek memperlihatkanku selebaran, selebaran elektronik seperti brosur yang mempromosikan barang atau jasa. Ada beberapa gambar-gambar bergerak disana, juga tulisan, yang keduanya selalu berubah-ubah, tapi tempatnya cuma satu: Tertulis disitu Resort dan Taman Bermain Kawah Toba.
Rasanya sulit mempercayai cerita kakek kalau dulu kawah seluas hampir seribu kilometer persegi itu adalah danau indah, yang bahkan sempat menjadi warisan dunia. Sekarang apa yang tertera di brosur elektronik itu adalah Hotel berbintang dan taman bermain.
“Bagaimana ini bisa terjadi? Kakek belum pernah bercerita soal ini..”
“Resort itu.., dibuka kemarin. Setelah enam bulan masa pembangunan..” kata kakek nelangsa. “Sebelas tahun yang lalu, Perang Asia kedua menjalar sampai Sumatra, Negara Tengah melepas nuklir ke danau ini, dan hasilnya..”
“Semua yang disana waktu itu mati?”
“Semuanya.., manusia, hewan, tumbuhan, bahkan danau itu sendiri mati. Tidak bisa ditinggali bertahun-tahun, sampai tahun lalu.”
Aku ingat, itu sebuah proyek besar yang diinvestasikan ratusan pengusaha Uni-Asia. Mereka mengeruk air yang mengandung radioaktif—Semuanya ada radioaktif, melepas gelombang penghalang radiasi berbahaya, dan.. membangun apa yang mereka dulu sebut sebagai rumah masa depan. Inilah hasilnya.
Kakek perlahan duduk di kursi goyangnya, menghembuskan napas berat seolah dia menyesal hidup di generasi sekarang. Dari kisah-kisah yang pernah dia ceritakan dulu, kakek adalah seorang penjelajah. Dia telah mengunjungi seluruh tempat yang ada di Nusantara sebelum bumi pertiwi ini rusak. Dari Sabang sampai Merauke, istilah yang dulu dipakai untuk menggambarkan seluruh Nusantara.
“Pernahkah aku menceritakan mengenai Nusa Tenggara?” Tanya kakek.
Aku langsung tertarik. “Pulau Bali? Kakek sudah janji mau cerita itu tahun lalu..”
Kakek tertawa. “Tidak hanya pulau Bali sebenarnya, Nusa Tenggara adalah Kepulauan terkenal. Ratusan pulau dan ribuan pantai, air sejernih Kristal dan karang sekeras marmer. Surga bagi para pecinta lautan..”
Dulu.
“Kami dulu sering bersantai di Pantai.” Kakek menyerahkan padaku sebuah album primitif—berbahan kertas dan isinya foto-foto asli yang dapat disentuh dalam berbagai ukuran, ini adalah peninggalan berharga! Semenjak ada larangan menggunakan kertas sebagai media pendidikan, komunikasi, dan kebersihan, kami mulai menggunakan hologram atau media elektronik sebagai penggantinya.
Foto-foto itu mengingatkanku pada tampilan-tampilan layar komputer, dimana bakau, pantai, air laut yang menggulung-gulung, berpadu dengan cahaya matahari senja yang kemerahan sehingga langit berwarna ungu dan laut memantulkan warnanya. Itu bukan rekayasa komputer ataupun lukisan. Itu peristiwa asli sungguhan! Benarkah ada yang seperti ini di masa lampau?
“Ini semua, terlihat…”
“Tidak nyata?” tebak kakek. “malahan sekarang inilah yang tidak nyata. Percayalah cicitku, dulu masih ada ribuan tempat yang jauh lebih luar biasa daripada album ini.”
Kakek terbatuk lemah, lalu bangkit dari kursi goyangnya dan bergerak menuju dapur. Aku meneruskan imajinasiku. Halaman demi halaman kubuka. Puncak gunung Mahameru yang menembus awan, Salju di Jaya Wijaya, Ngarai Sianok yang seluas dua puluh kali lapangan sepakbola, Taman bawah laut Bunaken yang seperti mimpi. Album itu berat, penuh dengan foto, kenangan, impian, harapan. Sedikit dari barang yang diselamatkan dari Perang Dunia terakhir, pasti benda inilah yang paling dijaga kakek.
Aku bertanya-tanya, kemanakah buku ini jika kakek meninggal?
Hari ini lima puluh tahun yang lalu, pasti rumah ini penuh dengan kehangatan dan cinta. Potret besar di tengah yang menjelaskannya, Kakek buyut, Nenek, dan Ayah yang masih dalam gendongan, serta sejumlah kerabat yang tidak pernah kuketahui lainnya, mereka berfoto levitasi dan tertawa histeris dengan belakang berupa danau dan langit biru, bahkan horizon tidak mampu membatasi antara air dan angkasa.
Benarkah dulu bumi kami seperti ini?
Ingatanku belum bisa lepas dari pelajaran sejarah modern yang diajarkan minggu lalu di sekolah. Tragedi Perang Dunia ketiga. Perang yang paling mengerikan sepanjang peradaban manusia. Dengan jumlah korban yang mendekati setengah populasi bumi. Diluar pertempuran perang, kebanyakan manusia tewas akibat radiasi nuklir atau radioaktif. Air, Tanah, dan udara terkontaminasi. Makanan dan minuman bersih dikawal secara berlebihan. Hak asasi manusia seakan mengalami degenerasi seiring waktu berlalu
Awalnya pihak yang berseteru hanya dua, lalu ada pihak lain yang ikut campur menjadi tiga blok. Berperang memperjuangkan kekuasaan mereka. Kiamat kecil yang berlangsung selama sebelas tahun itupun akhirnya berhenti. Semua pihak mengalami kerugian hebat. Beberapa Negara bangkrut, lalu beberapa lagi, lagi, sampai semua Negara tidak sanggup berdiri sendiri. Mereka membangun tiga Uni: Barat, Timur dan Selatan. Nusantara sempat menjadi rebutan Uni timur dan Uni selatan, dan akhirnya mendeklarasikan diri sebagai anggota tetap Uni Selatan.
Hanya karena hal sekecil inilah terjadi perang lagi, Perang Asia. Terjadi sampai dua kali dalam kurun dua belas tahun. Kedua-duanya hanya karena satu hal: Siapa yang berhak mendapat Tanah Air ini?
Ironisnya justru bumi pertiwi ini yang menjadi medan perang. Tanah dan hutan dirusak, Laut diracuni, asap beracun disebar secara berkala, begitu terus sampai mereka sadar Nusantara tidak pantas lagi untuk diperebutkan.
“Andreas..”
Kakek telah kembali dari dapur, tangan keriputnya membawa kotak besi terkunci. Dari mimik wajahnya, aku tahu ada yang tidak beres.
“Kamu masih terlalu muda untuk mengenal Dunia, terutama ‘dunia’ yang sekarang..” Kata kakek lirih. “Banyak sekali bencana pada masa lampau yang bertujuan untuk menyadarkan manusia dari dosa-dosa mereka..”
“Seperti cerita tentang Bahtera Noah?”
“Iya, itu juga termasuk.” Kakek membuka kotak itu dengan menekan tombol-tombol digital.” Sayangnya, manusia tidak pernah benar-benar sadar, mereka bertobat lalu berbuat dosa lagi..”
Jantungku hampir meloncat keluar saat benda didalam kotak itu terlihat, yang berada didalam kotak itu adalah Biji Demeter! Tiga benih Demeter sungguhan! Harga sebiji saja sudah dapat menjamin hidup ribuan orang bertahun-tahun di pulau langit!
Kakek mengambil semuanya dan mengulurkannya padaku.
“Simpan sampai waktunya tiba..”
“Kakek serius menitipkan barang luar biasa ini padaku?” Kataku gemetaran menerima biji seukuran mug kecil.
Seluruh kekuatan besar yang mengatur Uni-Uni di bumi ini mengincar apa yang disebut Biji Demeter. Sebuah benih yang direkayasa genetis yang dipadatkan dari kumpulan banyak sekali tumbuhan. Pemerintah mengontrol jumlah tumbuhan dengan Biji Demeter, Satu benih dapat membuat seribu kilometer persegi hutan hujan tropis dengan berbagai spesies.
“Menitipkan mungkin kurang tepat, Benih ini dicurigai telah punah berthaun-tahun yang lalu. Ini adalah sisanya, karena itu..”
Sirine polisi terdengar dari kejauhan, lama-lama frekuensinya membesar.
Kakek bergerak seperti telah melatihnya sejak dulu, dia menggeser lemari buku dua meter dibelakangku. Alih-alih tembok, ada sepetak kecil celah diantara batu-bata yang sepertinya muat untuk dilewati manusia dewasa.
“Manusia sadar akan dosa yang diperbuatnya, tapi itu hanya sementara. Berwaktu-waktu kemudian mereka akan mengulangi hal yang sama.”
“Apa.. apa yang kakek barusan..?”
“Lorong rahasia..” jawab kakek cepat. “dulu Erina yang punya ide ini seandainya terjadi apa-apa, jika terus menelusuri dinding bata, kau akan tiba di luar, kira-kira seratus meter dari sini, kuharap kau tidak memiliki klaustrophobia.”
“Mmm, siapa Erina kek?”
“Hanya seorang teman lama..” Kakek buru-buru mendorongku masuk kedalam sekalipun aku berontak. “Meski hanya satu biji kecil, benih itu mengandung harapan seluruh mahkluk berjiwa. Peranku telah usai, dengan berat hati tekad ini kuwariskan padamu..”
Aku ingin protes lagi ketika kakek menghantamkan lemari buku ke tempat semula, membuat segalanya menjadi gelap. Aku menyalakan iWrist-ku, cahaya neon kebiruan menyala cukup untuk menuntunku keluar dari lorong ini. Tapi aku tergoda untuk menguping apa yang terjadi diluar sana.
Kenapa kakek menyuruhku masuk kesini? Memang apa hubungannya dengan sirine polisi tadi? Kenapa polisi ingin menangkap kakekku yang tidak berdaya itu?
Aku mendengar pintu terbuka keras, derap langkah cepat beberapa orang, lalu berhenti perlahan-lahan.
“Sungguh suatu kehormatan, Sir Erian Antonio.” Ucap seorang pria, dingin dan angkuh.
“Dengan segala kerendahan hati, bolehkah kutanya apa yang membawamu kemari, Kolonel Isaac Hobbs..” Kata kakek.
“Aku telah mendengar.. rumor.. tentang biji-biji terlarang yang tersisa.”
Sedikit keheningan mencekam
“Aku meragukan sumbermu, kolonel.. mereka kadang memberi informasi palsu demi Uang Maya.”
“Oh, sayangnya anda kurang tepat mengatai sumberku adalah penduduk-penduduk haus morfin disini, Sir White Hibiscus..”
“Aku tidak lagi memakai nama itu sejak Perang Asia pertama, Kolonel..”
“Maafkan Saya, Sir Erian.., Sumber yang saya maksud bukanlah penduduk sini, tapi dapat dipercaya, karena itulah saya beserta sepasukan SNF bisa disini sekarang..”
“Southern Nature Forces…” Aku mendengar kakek menggeram. “Sejak kapan dibentuknya?”
“Oh, kira-kira dua bulan yang lalu Presiden telah meresmikannya, Sir Erian. Anda kurang mengikuti berita..”
“Organisasi swasta yang sama dengan ENF dan WNF, kalian berniat membuat spesies langka menjadi punah..” Umpat kakek. “Tidak sadarkah kalian nyaris membunuh bumi ini sendiri!?”
“Harga mereka sangat tinggi di pasaran, mohon pengertiannya..” kata pria itu tanpa rasa bersalah.
Hal berikutnya yang kudengar adalah bunyi tembakan, hantaman, benda pecah belah jatuh, dan suara erangan kakek yang memilukan.
“Cari biji itu!” perintah pria yang bernama Kolonel Isaac itu.
Mereka mulai menggeledah, Derap kaki semakin berisik, benda-benda berjatuhan, sampai aku sadar mereka mendekati ke lemari buku didepanku.
Tanpa membuang waktu lagi, aku berlari pontang-panting mengikuti jalan setapak yang diterangi neon biru. Biji-biji Demeter illegal kini berada dalam genggamanku.
Ane Newbie gan, masi belom paham-paham banget soal kaskus
jadi klo jelek wajar gan.
0
2.6K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan