- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Langkah Politik Prabowo Membahayakan Indonesia


TS
priadia
Langkah Politik Prabowo Membahayakan Indonesia
Seharusnya Pilpres 2014 tak perlu membuat rakyat risau setelah berpartisipasi memilih dua capres yang ada. Tapi Prabowo dan kubunya telah melakukan hal sebaliknya.
Okelah dia menempuh jalur hukum yang telah diatur UU. Tapi, jika menyimak langkah politiknya, tak lagi mencari kebenaran, tapi segala cara ditempuh hanya agar dia menang. Terlihat dari pernyataan-pernyataannya, kepung KPU, kepung MK, dll. Hingga teranyar menuding Indonesia sebagai negeri komunis yang lebih buruk dari Korea Utara.
Dua tulisan di bawah adalah opini. Tapi setidaknya bisa menjadi renungan kita bersama. Bahwa, kita rakyat menghargai pilihannya menempuh jalur hukum, tapi kita tak bisa menerima pengangkangannya atas lembaga negara dan negara kita sendiri.
Jiwa Pecundang (Tulisan bersumber Di SiNI)
Pemenang selalu memberi jawaban, dan pecundang selalu menjadi bagian masalah. Kalimat itu, sama sekali belum saya ketahui pasti, siapa pemiliknya. Paling tidak, saat mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang sejarah manusia, hal itu sangat gampang menemukan korelasinya. Teranyar, Pilpres 2014, sedikitnya, memperlihatkan kebenaran kata-kata itu.
Adalah dua figur calon presiden dihadirkan di Pilpres 2014 ini. Dua foto figur-figur itu tercantum di kertas suara. Sebelah kiri, terdapat foto Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Sedangkan di sisi kanan, terdapat Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Di kiri berpeci, dan di kanan tampil apa adanya. Saat hari pemilihan presiden, 62,5 juta lebih penduduk memilih yang kiri, dan 70,9 lebih memilih yang kanan.
Pihak kiri seketika sulit untuk sekadar tersenyum, ketika yang kanan sudah mendapatkan ucapan selamat dari berbagai penjuru dunia. Mereka teriak-teriak, bahwa merekalah paling layak untuk menang. Syahdan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) lantas menjadi kambing hitam. Sementara komisi tersebut adalah lembaga yang ditunjuk oleh negara.
Mereka di kubu kiri tak peduli, entah berapa malam mereka di KPU itu tak nyenyak tidur karena harus mengemban tanggung jawab yang besar. Orang-orang di lembaga itu, menerima tanggung jawab tersebut, jelas bukan karena alasan butuh pekerjaan, selain ingin memberikan pengabdian. Sayangnya, kelelahan KPU, alih-alih diapresiasi, dicurigai melakukan kecurangan.
Andai sedikit berempati, betapa tak mudahnya berada di barisan penerima tanggung jawab itu. Ia lantas diposisikan sebagai musuh pihak yang kalah.
Menariknya, alih-alih berkaca, pihak yang kalah memilih mencari-cari kesalahan, tapi tak terlihat melakukan evaluasi diri. Keyakinan yang diperlihatkan, hanya mereka di KPU dan pihak lawan merekalah pemilik kesalahan. Pihak yang kalah memonopoli kebenaran, bahwa tak ada kebenaran selain milik mereka. Mereka suci, karena banyak orang-orang berpeci, dan berwajah suci. Selebihnya hanyalah orang-orang curang dan culas. Ada yang lupa, memastikan diri sudah betul-betul bersih atau tidak, sebelum melayangkan anak panah beribu tuduhan.
Seharusnya, sumur-sumur yang memang jernih bisa mereduksi kekeruhan. Tapi, sulit diterima akal, beberapa dari mereka dikatakan banyak orang adalah orang-orang yang berpikiran jernih, tapi justru menjadi bagian yang menciptakan kekeruhan.
Ya, hasil dari Pilpres 2014 adalah kekeruhan. Tidak saja wajah pihak yang kalah terlihat keruh, tapi juga pikiran mereka terlihat keruh. Baru dua hari mengatakan menerima, keesokan harinya menolak. Kemarin memercayakan pemerintah saat ini sebagai penyelenggara Pilpres adalah orang-orang hebat, hari ini sudah menuding bahwa di sana hanya ada orang-orang berniat buruk ingin mengambil hak mereka.
Kecurigaan begitu besar. Kesimpulan mereka, terdapat kecurangan yang dilakukan secara masif dan terstruktur. Dua kata–masif dan terstruktur–menjadi kata-kata yang sangat populer pasca-Pilpres. Dihafalkan selayaknya mantra, dari petinggi hingga pendukung terbawah.
Dua kata itu lantas meng-Indonesia. Nada kecurigaan itu merembet ke mana-mana, layaknya muncul di salah satu tiang sebuah rumah, menjalar ke seluruh penghuninya dan bahkan pondasinya. Dua kata yang cukup mampu membangkitkan amarah untuk melawan, bahwa mereka yang menang adalah wakil keangkaraan dan yang mengakui kemenangan adalah bagian dari lawan. Kawan dari lawan adalah lawan.
Pilpres pun kemudian dikesankan tak ubahnya perang. Bukan hal mengherankan, apalagi sejak salah satu tokoh yang konon tokoh reformasi jauh-jauh hari menyebut Pilpres 2014 adalah “Perang Badar”. Mereka sebagai “pihak nabi” dan lawan adalah “pihak kafir”. Upaya propaganda yang cukup berhasil, dan 46,8 juta suara sudah cukup menjadi bukti keberhasilan propaganda itu.
Sayangnya, propaganda tersebut tak berhenti setelah Pilpres usai dan lembaga yang ditunjuk oleh negara telah mengumumkan hasilnya.
Terdapat kesan, berteriaklah hingga kita menang, walaupun yang memilih lawan jauh lebih banyak. Jika rakyat lebih banyak tak percaya kita, maka kita sudah cukup dengan modal percaya diri. Saat rakyat sebagian besar tak menginginkan kita berkuasa, tapi kita masih memelihara keinginan untuk meraih kekuasaan itu.
Lalu, petinggi-petinggi mulai mengatur siasat. Tempuh jalur hukum, berbagai saluran yang memungkinkan dilakukan, lakukan, dan benar-benar dilakukan. Di kalangan petinggi, bermain dan memasang kuda-kuda, melanjutkan pertarungan. Di bawah, juga tak boleh diam, lupakan soal mudik, lupakan soal Ramadan, dan lupakan bahwa anak dan istri butuh pakaian baru menjelang lebaran. “Bekerjalah untuk calon pemimpin”, dan itu sangat ditaati mereka yang di bawah.
Pansus Pilpres adalah satu propaganda lain yang disiapkan. Di sini paling berpeluang memasukkan pihak-pihak yang bisa mementahkan lawan yang telah disahkan sebagai pemenang. Di sini, potensi terbesar untuk menjadi penguasa, terlepas dipilih tak dipilih oleh rakyat. Persetan dengan pilihan, jika kita bisa memilih diri sendiri. Begitulah, logika selanjutnya digunakan. Lalu, jurus-jurus inipun disiapkan begitu rupa. Ibarat pencak silat, bagaimana melumpuhkan lawan lewat kaki, badan, dan kepala, disiapkan dengan matang.
Dengan cara itu, saat tak ada celah menjatuhkan lewat bagian kaki atau sisi bawah, masih ada bagian lain yang bisa diincar. Jika serangan di bagian badan pun tak berhasil, maka mengincar mata dan kepala, lantas menjadi pilihan selanjutnya. Jika itupun masih gagal untuk menundukkan lawan, biarkan lawan memukul hingga jatuh. Lalu, saat lawan balik badan, serang ia dari belakang.
Maklum, pendekar sehebat apapun, hanya memiliki mata di depan, untuk melihat bahaya yang mengancam. Maka, itu menikam dari belakang adalah jurus tak menyita banyak tenaga. Kemenangan diraih, soal cara ditempuh, benar atau salah tak menjadi masalah. Sebab, yang diinginkan tak lagi kebenaran, tapi kemenangan.
Kira-kira begitulah yang terlihat oleh mata saya sebagai salah satu rakyat di negeri ini. Jika praktik jurus segala cara itu dilakukan, menafikan baik-tidaknya, maka kemenangan itu mungkin saja masih bisa diraih, tapi bukan kebenaran. Jika kemenangan seperti itu selayaknya rumah, saat mendirikannya keliru meletakkan tiang-tiang, hanya membuat rumah itu menjadi kuburan pemilik rumah. Tak ada tiang buruk yang bisa menopang terlalu lama.
***
Akhirnya, sebagai rakyat yang mencoba membaca situasi terkini, justru berharap kecurigaan saya tersebut tak lebih dari prasangka saya saja. Bukan realita. Sembari mencoba percaya, masih ada orang-orang baik di tengah keriuhan sulitnya menerima kekalahan. Sehingga, saat harus menempuh jalan-jalan menyingkap kebenaran, benar-benar dengan jalan yang benar. Semoga. (FOLLOW: ZOELFICK)
Berikut tulisan opini kedua
Tulisan opini dari SINI
Sebagai rakyat, ada kegusaran yang sulit digambarkan usai Pilpres 2014. Saya merupakan salah satu dari rakyat yang merasakan itu. Argumen saya adalah pada Pilpres tahun inilah muncul keresahan rakyat setelah memilih. Tidak saja karena merebaknya ancaman demi ancaman: demonstrasi, pengepungan, dll, tapi juga karena Pilpres kali ini menghadirkan kandidat yang justru merendahkan negara yang ingin ia pimpin.
Saya memilih menghormati pilihan Prabowo. Pilihan menghormati yang tepat, saya pikir. Ya, setelah ia sudah tidak menghormati dirinya sendiri. Setelah ia tak menghormati nama baik dirinya sendiri. Juga, seusai dirinya memperlihatkan diri menolak menghormati negara sendiri.
Berangkat dari pengingkaran sang calon presiden itu atas hasil Quick Count. Lembaga-lembaga yang menghitung hasil Pilpres secara inisiatif itu, yang telah berpegang pada mekanisme ilmiah, dituding mengada-ada. Sekalipun terdapat banyak catatan, bahwa lembaga yang jauh-jauh hari sebelum pengumuman KPU melakukan penghitungan suara lewat serangkaian metodologi, adalah lembaga kredibel, namun diingkari pihak capres tersebut.
Di sini, dunia ilmiah diremehkan. Di sini juga, ilmu statistik disepelekan. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga yang menjilat dan mengada-ada, mengklaim kemenangan dirinya, justru tak diusik. Seharusnya pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memberangus penjilat dari sejak ia belum mendapatkan kepercayaan itu. Nyatanya tidak. Yang disalahkan dan terkena berbagai macam tudingan, justru pihak yang menampilkan berbagai fakta secara apa adanya–terlepas bahwa mereka juga menunjukkan keberpihakan, tapi masih lebih realistis.
Jika pemimpin sudah meremehkan ilmu pengetahuan, meremehkan ilmuwan, apakah bisa diharapkan ia akan membantu mencerdaskan rakyatnya jika kemudian ia berhasil menjadi pemimpin? Saya pesimis!
Bagaimana bisa berharap pemimpin tersebut bisa mencerdaskan rakyatnya jika yang tahu tapi diminta berpura-pura tidak tahu, jika yang membuka mata dipaksa untuk menutup mata dan seolah tak melihat apa-apa. Ilmu pengetahuan dan pendidikan, tak pernah memiliki tujuan seperti ini.
Saya juga melihat hal lain, bahwa institusi seperti Komisi Pemilihan Umum yang teranyar lahir dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini, turut direndahkan. KPU menjadi korban, UU pun diinjak. Jika kesimpulan ini berlebihan, silakan untuk membuka berbagai pemberitaan, terkait dengan pernyataan sikap dan pandangan sang capres dan kalangannya terhadap lembaga ini.
Lucunya, juga terdapat sosok sekelas Rachmawati Soekarnoputri, seorang anak presiden pertama Republik Indonesia, yang bahkan memanaskan suasana. Ia mencari alasan dangkal, menuding presiden terpilih, Joko Widodo melakukan makar. Hanya karena alasan bahwa rival dari capres pujaannya, memang terpilih dan telah diakui oleh KPU.
Maka itu, saya menjadi salah satu rakyat yang belakangan menjadi kian diliputi tanda tanya, jangan-jangan “masif, terstruktur, dan sistematis” sebagai tiga kata yang kerap digaungkan adalah grand strategi pihaknya sendiri, agar dengan segala cara kursi RI-1 menjadi milik pihaknya. Apakah saya mengada-ada jika sampai menduga seperti ini? Iya, jika pihak sang capres itu sendiri bisa memastikan tidak mengada-ada di depan rakyat dan di depan Undang Undang.
Parahnya lagi, “pemberontakan” yang diperlihatkan oleh pihak calon presiden yang memberi brand diri sendiri sebagai “macan Asia” tersebut juga terkesan mengangkangi Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana ceritanya? Presiden yang menjabat dua periode ini, dengan partainya sudah memberi dukungan kepada pihak capres bernomor urut satu, namun tidak mengintervensi pihak-pihak seperti KPU dan Bawaslu. Sementara pihak capres yang kalah, justru secara implisit mengesankan, bahwa pihak penguasa petahana membiarkan keculasan.
Kesimpulan dari itu semua, pihak capres yang telah bertarung habis-habisan bahkan saat “wasit” meniup peluitnya, telah menzalimi dan tidak menghormati banyak pihak: rakyat yang mayoritas memilih calon presiden rivalnya, UU, KPU, Bawaslu, dan Presiden petahana. Terparah, gerak catur yang ia mainkan pasca pengumuman KPU, lebih menegaskan bahwa sang capres bahkan tidak lagi menghormati dirinya sendiri.
Sementara Indonesia, saat ini memang membutuhkan pemimpin yang menghormati Undang Undang agar negara benar-benar berjalan tanpa kesewenang-wenangan. Negeri ini butuh pemimpin yang menghormati rakyat, sehingga tidak dizalimi. Tanah pertiwi ini menginginkan pemimpin yang masih memilih harga diri, agar kelak mampu menjamin harga diri negaranya. (TWITTER: ZOELFICK)
LIHAT JUGA: ANAK LIMA TAHUN DILIBATKAN DALAM DEMO DUKUNG PRABOWO
Okelah dia menempuh jalur hukum yang telah diatur UU. Tapi, jika menyimak langkah politiknya, tak lagi mencari kebenaran, tapi segala cara ditempuh hanya agar dia menang. Terlihat dari pernyataan-pernyataannya, kepung KPU, kepung MK, dll. Hingga teranyar menuding Indonesia sebagai negeri komunis yang lebih buruk dari Korea Utara.
Dua tulisan di bawah adalah opini. Tapi setidaknya bisa menjadi renungan kita bersama. Bahwa, kita rakyat menghargai pilihannya menempuh jalur hukum, tapi kita tak bisa menerima pengangkangannya atas lembaga negara dan negara kita sendiri.
Spoiler for TULISAN PERTAMA:
Jiwa Pecundang (Tulisan bersumber Di SiNI)
Pemenang selalu memberi jawaban, dan pecundang selalu menjadi bagian masalah. Kalimat itu, sama sekali belum saya ketahui pasti, siapa pemiliknya. Paling tidak, saat mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang sejarah manusia, hal itu sangat gampang menemukan korelasinya. Teranyar, Pilpres 2014, sedikitnya, memperlihatkan kebenaran kata-kata itu.
Adalah dua figur calon presiden dihadirkan di Pilpres 2014 ini. Dua foto figur-figur itu tercantum di kertas suara. Sebelah kiri, terdapat foto Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Sedangkan di sisi kanan, terdapat Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Di kiri berpeci, dan di kanan tampil apa adanya. Saat hari pemilihan presiden, 62,5 juta lebih penduduk memilih yang kiri, dan 70,9 lebih memilih yang kanan.
Pihak kiri seketika sulit untuk sekadar tersenyum, ketika yang kanan sudah mendapatkan ucapan selamat dari berbagai penjuru dunia. Mereka teriak-teriak, bahwa merekalah paling layak untuk menang. Syahdan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) lantas menjadi kambing hitam. Sementara komisi tersebut adalah lembaga yang ditunjuk oleh negara.
Mereka di kubu kiri tak peduli, entah berapa malam mereka di KPU itu tak nyenyak tidur karena harus mengemban tanggung jawab yang besar. Orang-orang di lembaga itu, menerima tanggung jawab tersebut, jelas bukan karena alasan butuh pekerjaan, selain ingin memberikan pengabdian. Sayangnya, kelelahan KPU, alih-alih diapresiasi, dicurigai melakukan kecurangan.
Andai sedikit berempati, betapa tak mudahnya berada di barisan penerima tanggung jawab itu. Ia lantas diposisikan sebagai musuh pihak yang kalah.
Menariknya, alih-alih berkaca, pihak yang kalah memilih mencari-cari kesalahan, tapi tak terlihat melakukan evaluasi diri. Keyakinan yang diperlihatkan, hanya mereka di KPU dan pihak lawan merekalah pemilik kesalahan. Pihak yang kalah memonopoli kebenaran, bahwa tak ada kebenaran selain milik mereka. Mereka suci, karena banyak orang-orang berpeci, dan berwajah suci. Selebihnya hanyalah orang-orang curang dan culas. Ada yang lupa, memastikan diri sudah betul-betul bersih atau tidak, sebelum melayangkan anak panah beribu tuduhan.
Seharusnya, sumur-sumur yang memang jernih bisa mereduksi kekeruhan. Tapi, sulit diterima akal, beberapa dari mereka dikatakan banyak orang adalah orang-orang yang berpikiran jernih, tapi justru menjadi bagian yang menciptakan kekeruhan.
Ya, hasil dari Pilpres 2014 adalah kekeruhan. Tidak saja wajah pihak yang kalah terlihat keruh, tapi juga pikiran mereka terlihat keruh. Baru dua hari mengatakan menerima, keesokan harinya menolak. Kemarin memercayakan pemerintah saat ini sebagai penyelenggara Pilpres adalah orang-orang hebat, hari ini sudah menuding bahwa di sana hanya ada orang-orang berniat buruk ingin mengambil hak mereka.
Kecurigaan begitu besar. Kesimpulan mereka, terdapat kecurangan yang dilakukan secara masif dan terstruktur. Dua kata–masif dan terstruktur–menjadi kata-kata yang sangat populer pasca-Pilpres. Dihafalkan selayaknya mantra, dari petinggi hingga pendukung terbawah.
Dua kata itu lantas meng-Indonesia. Nada kecurigaan itu merembet ke mana-mana, layaknya muncul di salah satu tiang sebuah rumah, menjalar ke seluruh penghuninya dan bahkan pondasinya. Dua kata yang cukup mampu membangkitkan amarah untuk melawan, bahwa mereka yang menang adalah wakil keangkaraan dan yang mengakui kemenangan adalah bagian dari lawan. Kawan dari lawan adalah lawan.
Pilpres pun kemudian dikesankan tak ubahnya perang. Bukan hal mengherankan, apalagi sejak salah satu tokoh yang konon tokoh reformasi jauh-jauh hari menyebut Pilpres 2014 adalah “Perang Badar”. Mereka sebagai “pihak nabi” dan lawan adalah “pihak kafir”. Upaya propaganda yang cukup berhasil, dan 46,8 juta suara sudah cukup menjadi bukti keberhasilan propaganda itu.
Sayangnya, propaganda tersebut tak berhenti setelah Pilpres usai dan lembaga yang ditunjuk oleh negara telah mengumumkan hasilnya.
Terdapat kesan, berteriaklah hingga kita menang, walaupun yang memilih lawan jauh lebih banyak. Jika rakyat lebih banyak tak percaya kita, maka kita sudah cukup dengan modal percaya diri. Saat rakyat sebagian besar tak menginginkan kita berkuasa, tapi kita masih memelihara keinginan untuk meraih kekuasaan itu.
Lalu, petinggi-petinggi mulai mengatur siasat. Tempuh jalur hukum, berbagai saluran yang memungkinkan dilakukan, lakukan, dan benar-benar dilakukan. Di kalangan petinggi, bermain dan memasang kuda-kuda, melanjutkan pertarungan. Di bawah, juga tak boleh diam, lupakan soal mudik, lupakan soal Ramadan, dan lupakan bahwa anak dan istri butuh pakaian baru menjelang lebaran. “Bekerjalah untuk calon pemimpin”, dan itu sangat ditaati mereka yang di bawah.
Pansus Pilpres adalah satu propaganda lain yang disiapkan. Di sini paling berpeluang memasukkan pihak-pihak yang bisa mementahkan lawan yang telah disahkan sebagai pemenang. Di sini, potensi terbesar untuk menjadi penguasa, terlepas dipilih tak dipilih oleh rakyat. Persetan dengan pilihan, jika kita bisa memilih diri sendiri. Begitulah, logika selanjutnya digunakan. Lalu, jurus-jurus inipun disiapkan begitu rupa. Ibarat pencak silat, bagaimana melumpuhkan lawan lewat kaki, badan, dan kepala, disiapkan dengan matang.
Dengan cara itu, saat tak ada celah menjatuhkan lewat bagian kaki atau sisi bawah, masih ada bagian lain yang bisa diincar. Jika serangan di bagian badan pun tak berhasil, maka mengincar mata dan kepala, lantas menjadi pilihan selanjutnya. Jika itupun masih gagal untuk menundukkan lawan, biarkan lawan memukul hingga jatuh. Lalu, saat lawan balik badan, serang ia dari belakang.
Maklum, pendekar sehebat apapun, hanya memiliki mata di depan, untuk melihat bahaya yang mengancam. Maka, itu menikam dari belakang adalah jurus tak menyita banyak tenaga. Kemenangan diraih, soal cara ditempuh, benar atau salah tak menjadi masalah. Sebab, yang diinginkan tak lagi kebenaran, tapi kemenangan.
Kira-kira begitulah yang terlihat oleh mata saya sebagai salah satu rakyat di negeri ini. Jika praktik jurus segala cara itu dilakukan, menafikan baik-tidaknya, maka kemenangan itu mungkin saja masih bisa diraih, tapi bukan kebenaran. Jika kemenangan seperti itu selayaknya rumah, saat mendirikannya keliru meletakkan tiang-tiang, hanya membuat rumah itu menjadi kuburan pemilik rumah. Tak ada tiang buruk yang bisa menopang terlalu lama.
***
Akhirnya, sebagai rakyat yang mencoba membaca situasi terkini, justru berharap kecurigaan saya tersebut tak lebih dari prasangka saya saja. Bukan realita. Sembari mencoba percaya, masih ada orang-orang baik di tengah keriuhan sulitnya menerima kekalahan. Sehingga, saat harus menempuh jalan-jalan menyingkap kebenaran, benar-benar dengan jalan yang benar. Semoga. (FOLLOW: ZOELFICK)
Berikut tulisan opini kedua
Spoiler for APAKAH KITA HARUS HORMATI PRABOWO?:
Tulisan opini dari SINI
Sebagai rakyat, ada kegusaran yang sulit digambarkan usai Pilpres 2014. Saya merupakan salah satu dari rakyat yang merasakan itu. Argumen saya adalah pada Pilpres tahun inilah muncul keresahan rakyat setelah memilih. Tidak saja karena merebaknya ancaman demi ancaman: demonstrasi, pengepungan, dll, tapi juga karena Pilpres kali ini menghadirkan kandidat yang justru merendahkan negara yang ingin ia pimpin.
Saya memilih menghormati pilihan Prabowo. Pilihan menghormati yang tepat, saya pikir. Ya, setelah ia sudah tidak menghormati dirinya sendiri. Setelah ia tak menghormati nama baik dirinya sendiri. Juga, seusai dirinya memperlihatkan diri menolak menghormati negara sendiri.
Berangkat dari pengingkaran sang calon presiden itu atas hasil Quick Count. Lembaga-lembaga yang menghitung hasil Pilpres secara inisiatif itu, yang telah berpegang pada mekanisme ilmiah, dituding mengada-ada. Sekalipun terdapat banyak catatan, bahwa lembaga yang jauh-jauh hari sebelum pengumuman KPU melakukan penghitungan suara lewat serangkaian metodologi, adalah lembaga kredibel, namun diingkari pihak capres tersebut.
Di sini, dunia ilmiah diremehkan. Di sini juga, ilmu statistik disepelekan. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga yang menjilat dan mengada-ada, mengklaim kemenangan dirinya, justru tak diusik. Seharusnya pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memberangus penjilat dari sejak ia belum mendapatkan kepercayaan itu. Nyatanya tidak. Yang disalahkan dan terkena berbagai macam tudingan, justru pihak yang menampilkan berbagai fakta secara apa adanya–terlepas bahwa mereka juga menunjukkan keberpihakan, tapi masih lebih realistis.
Jika pemimpin sudah meremehkan ilmu pengetahuan, meremehkan ilmuwan, apakah bisa diharapkan ia akan membantu mencerdaskan rakyatnya jika kemudian ia berhasil menjadi pemimpin? Saya pesimis!
Bagaimana bisa berharap pemimpin tersebut bisa mencerdaskan rakyatnya jika yang tahu tapi diminta berpura-pura tidak tahu, jika yang membuka mata dipaksa untuk menutup mata dan seolah tak melihat apa-apa. Ilmu pengetahuan dan pendidikan, tak pernah memiliki tujuan seperti ini.
Saya juga melihat hal lain, bahwa institusi seperti Komisi Pemilihan Umum yang teranyar lahir dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 2007 ini, turut direndahkan. KPU menjadi korban, UU pun diinjak. Jika kesimpulan ini berlebihan, silakan untuk membuka berbagai pemberitaan, terkait dengan pernyataan sikap dan pandangan sang capres dan kalangannya terhadap lembaga ini.
Lucunya, juga terdapat sosok sekelas Rachmawati Soekarnoputri, seorang anak presiden pertama Republik Indonesia, yang bahkan memanaskan suasana. Ia mencari alasan dangkal, menuding presiden terpilih, Joko Widodo melakukan makar. Hanya karena alasan bahwa rival dari capres pujaannya, memang terpilih dan telah diakui oleh KPU.
Maka itu, saya menjadi salah satu rakyat yang belakangan menjadi kian diliputi tanda tanya, jangan-jangan “masif, terstruktur, dan sistematis” sebagai tiga kata yang kerap digaungkan adalah grand strategi pihaknya sendiri, agar dengan segala cara kursi RI-1 menjadi milik pihaknya. Apakah saya mengada-ada jika sampai menduga seperti ini? Iya, jika pihak sang capres itu sendiri bisa memastikan tidak mengada-ada di depan rakyat dan di depan Undang Undang.
Parahnya lagi, “pemberontakan” yang diperlihatkan oleh pihak calon presiden yang memberi brand diri sendiri sebagai “macan Asia” tersebut juga terkesan mengangkangi Susilo Bambang Yudhoyono. Bagaimana ceritanya? Presiden yang menjabat dua periode ini, dengan partainya sudah memberi dukungan kepada pihak capres bernomor urut satu, namun tidak mengintervensi pihak-pihak seperti KPU dan Bawaslu. Sementara pihak capres yang kalah, justru secara implisit mengesankan, bahwa pihak penguasa petahana membiarkan keculasan.
Kesimpulan dari itu semua, pihak capres yang telah bertarung habis-habisan bahkan saat “wasit” meniup peluitnya, telah menzalimi dan tidak menghormati banyak pihak: rakyat yang mayoritas memilih calon presiden rivalnya, UU, KPU, Bawaslu, dan Presiden petahana. Terparah, gerak catur yang ia mainkan pasca pengumuman KPU, lebih menegaskan bahwa sang capres bahkan tidak lagi menghormati dirinya sendiri.
Sementara Indonesia, saat ini memang membutuhkan pemimpin yang menghormati Undang Undang agar negara benar-benar berjalan tanpa kesewenang-wenangan. Negeri ini butuh pemimpin yang menghormati rakyat, sehingga tidak dizalimi. Tanah pertiwi ini menginginkan pemimpin yang masih memilih harga diri, agar kelak mampu menjamin harga diri negaranya. (TWITTER: ZOELFICK)
LIHAT JUGA: ANAK LIMA TAHUN DILIBATKAN DALAM DEMO DUKUNG PRABOWO
Diubah oleh priadia 09-08-2014 01:09
0
7.6K
Kutip
61
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan