Kaskus

News

yinluckAvatar border
TS
yinluck
Untung Didampingi JK, Negeri Maju dan Investor Asing Ragukan Kemampuan Jokowi (TIME)
TIME: Negeri Maju dan Investor Asing Ragukan Kemampuan Jokowi?

Untung Didampingi JK, Negeri Maju dan Investor Asing Ragukan Kemampuan Jokowi (TIME)
source: TIME, March 26, 2014

WORLD EMERGING MARKETS
New Leaders Aren’t Going to Solve India’s and Indonesia’s Problems
Michael Schuman @MichaelSchuman March 26, 2014

Hope that economic reform in the two sprawling democracies will be jump-started when new administrations are in power might be misplaced

Rarely has the mere announcement of a candidacy been met by such investor relief. On the day, earlier this month, when Joko Widodo was nominated for President of Indonesia by a major political party, the stock market surged and the currency strengthened. The country had been battered in recent months by nervous investors, but the mere hope that Jokowi, as he is commonly called in Indonesia, will triumph in July’s presidential election gave hope to the business community that much needed reform would progress in the world’s fourth most populous nation.

The situation is similar in India. After years of lackluster reform, the business community is abuzz that the opposition Bharatiya Janata Party (BJP) will likely win general elections starting in April and install the controversial Narendra Modi as Prime Minister. The hope in the world’s second most populous nation is that Modi, a proven economic reformer, will tackle the problems that have caused the economy to stumble.

But is the hope justified? Both Asian giants are badly in need of a jolt of new reforms, and perhaps fresh leadership will spur the effort forward. Yet even if Jokowi and Modi manage to win their elections, there is no guarantee of progress. Both could get entangled in political conflicts that could thwart any attempts at rapid change.

That could be a problem. India and Indonesia are two of the “fragile five” — the emerging economies deemed most vulnerable to the U.S. Federal Reserve’s tapering of its unorthodox stimulus program — and beginning in the summer of 2013, both countries’ currencies have experienced periods of dramatic decline as investors fled.

India is probably in worse shape than before. A do-nothing, Congress-led administration allowed political disagreements to stymie the promarket reform that sparked India’s rapid growth. As a result, the GDP growth rate has shrunk to half what it was just a few years ago. Most desperately, the country needs to cut red tape to prevent the overbearing bureaucracy from smothering investment projects.

The story is similar in Indonesia. After a burst of reform early in his presidency, Susilo Bambang Yudhoyono’s effort got strangled in politics within his coalition. Much like India, Indonesia needs to clear up confusing regulation and improve infrastructure to boost investment and growth.

Can Modi and Jokowi deliver? Jokowi, as the governor of the capital, Jakarta, is known as a man of the people, taking regular jaunts onto the streets to talk with voters and instituting improvements to welfare programs. But running a city — even one as large and unwieldy as Jakarta — and governing the nation are two very different things. As President, Jokowi would have to push reforms through parliament, the members of which will be elected in April. Whatever happens, Indonesia’s parliament will likely be a messy place filled with contending political movements. Also, on national policies, Jokowi has said little, so we just don’t know much about what his policy platform will be.

“We believe that his overall policy bias is likely to be market-friendly, supporting investor confidence,” was the best economists at Barclays could say about him in a recent report.

Modi has a more developed track record. As chief minister of the state of Gujarat, he is credited with engineering an economic “miracle” there with probusiness reforms like streamlining bureaucracy and improving infrastructure. (For more, see my colleague Krista Mahr’s analysis of Modi’s record.) Yet achieving similar results at a national level will be much harder. It is likely that even if the BJP garners the most parliamentary seats in the election, the party may still have to govern in a coalition, raising the possibility that squabbles between its members will block reform as they have done in the current Congress-led government. Nor is it clear that the BJP is any more proreform than Congress, especially when it comes to politically sensitive issues. According to a recent report by Capital Economics, no BJP-governed state — including Modi’s — approved a controversial Congress reform opening up the retail market to multibrand stores. “The BJP’s recent record suggests that it is less committed to progrowth reform than many assume,” the research firm noted.

So in the end, whatever the intentions of Jokowi and Modi, they could get trapped in the same political problems that consumed their predecessors. What it will take to press reform in these two big democracies is some serious political will. We’ll have to wait and see if these two men have it.
source: http://time.com/38205/indonesia-indi...olve-problems/


Majalah TIME Pertanyakan Kapasitas Jokowi Memimpin Negara
Kamis, 27 Maret 2014 12:16 WIB

Mengelola sebuah kota (walaupun sebesar Jakarta), berbeda jauh dengan mengelola negara.

JAKARTA,Jaringnews.com - Majalah Time menurunkan ulasan yang menarik menyoroti dua pemimpin populer di dua negara yang dalam waktu dekat melaksanakan Pemilu. Dua pemimpin itu adalah Joko Widodo dari Indonesia dan Narendra Modi dari India.

Baik Jokowi maupun Modi sama-sama berasal dari partai oposisi di negara masing-masing dan sama-sama memimpin dalam hal elektabilitas di berbagai survei dan diharapkan dapat membawa reformasi.

Namun berbeda dengan optimisme yang berembus di kalangan investor asing yang ditunjukkan oleh meningkatnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan menguatnya nilai tukar rupiah, Time yang menurunkan tulisan berjudul New Leaders Aren’t Going to Solve India’s and Indonesia’s Problems, jelas-jelas memperlihatkan pandangan skeptisnya, seandainya pun para pemimpin baru ini terpilih.

"Kedua negara Asia itu (Indonesia dan India) sama-sama membutuhkan reformasi yang sangat besar dan kehadiran pemimpin baru bisa memberi dorongan yang lebih cepat. Namun seandainyapun Jokowi dan Modi memenangi pemilu di negara masing-masing, tidak ada jaminan terciptanya kemajuan. Keduanya akan terjerat dalam konflik politik yang bisa menggagalkan upaya mencapai percepatan perubahan," tulis Michael Schuman, penulis artikel untuk majalah Time itu.

Schuman menambahkan setelah reformasi besar-besaran dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di awal masa tugasnya, upaya itu kemudian terperangkap dalam konflik partai koalisi. Dan, kini, menurut Time, Indonesia memerlukan kepastian hukum dalam pembangunan infrastruktur dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.

Time mengatakan Jokowi memang dekat dengan rakyat dan rajin melakukan blusukan. Namun, mengelola sebuah kota (walaupun sebesar Jakarta), berbeda jauh dengan mengelola negara.

Majalah Time menyiratkan kekhawatiran akan kemampuan Jokowi dalam mengelola hubungan dengan parlemen kelak apabila ia terpilih. Selain itu, Jokowi juga sejauh ini dianggap tidak banyak berbicara tentang kebijakan-kebijakan yang bersifat nasional yang akan diambilnya apabila ia terpilih.

"Jokowi hanya sedikit membicarakan hal itu, sehingga kita tidak tahu banyak tentang platform kebijakannya."

Kesimpulannya, apa pun rencana Jokowi, menurut Time, tidak menjamin dia tidak terjerat ke dalam persoalan politik yang sama dengan pendahulunya.
http://jaringnews.com/politik-perist...emimpin-negara


Duet Jokowi-Jusuf Kalla : JK Jadi The Real President, Jokowi Hanya Simbol
Kamis, 31 Juli, 2014

Pengamat politik Lukman Hakim menuturkan, akhir-akhir ini diberitakan bahwa Capres Jokowi akan disandingkan dengan Jusuf Kalla sebagai cawapres , ada indikasi pertemuan petinggi Nasdem dan petinggi PDIP dalam upaya meloby untuk memuluskan jalannya skenario itu. Harusnya Jusuf kalla mengikuti langkah Megawati Soekarnoputri untuk memberi kesempatan kepada yang lebih muda dan Mampu utk memimpin negeri ini sehingga ada regenerasi.

Menurut Direktur Lembaga Studi Kebangsaan 1998 itu, JK sudah berumur 72 tahun itu artinya lebih tua dari megawati, secara alamiah kemampuan fisiknya sudah sangat terbatas. JK sudah pernah jadi wakil Presiden yang kalau kita ikuti jejak rekamnya juga minim prestasi selama 5 tahun mendampingi SBY sebagai presiden, JK tidak bisa berbuat apa-apa, malah syarat dengan KKN.

”Kalau JK jadi wapresnya Jokowi maka ada udang dibalik Rempeyek yaitu ada indikasi untuk kepentingan kelompoknya, ingat bahwa JK ketika jadi wapresnya SBY dengan mudah merebut Ketua Umum Golkar sehingga mempunyai posisi tawar yang luar biasa di kekuasaan dan SBY pun tersandera, begitupun kalau JK jadi wapresnya Jokowi maka JK dengan mudah akan merebut Golkar,” ujarnya.

Kembali dan PDIP, katanya, akan gigit jari karena permainan kekuasaan JK dan Golkar lebih lihai. Sehingga kalau JK jadi wapresnya Jokowi maka kemungkinan yang real president adalah JK , jokowi hanya sebagai Simbol bahkan Boneka Saja. Maka kalau ini terjadi harapan rakyat untuk Indonesia yang lebih baik bakal pupus, dan hancur.
http://www.luwuraya.net/2014/04/duet...-hanya-simbol/

Jokowi 70% Waktunya untuk Blusukan, Pemerintahan Dijalankan JK Penuh?
Ini yang Dilakukan Jokowi Setelah Resmi Menjabat Presiden
Selasa, 29 Juli 2014 , 16:56:00

JAKARTA - Presiden terpilih Joko Widodo tidak akan mengubah gaya kepemimpinannya setelah berkantor di Istana Negara nanti. Ia mengaku akan lebih banyak menghabiskan waktunya di luar kantor.

Namun di awal-awal masa pemerintahannya, pria yang akrab disapa Jokowi ini hanya akan melakukan kunjungan dalam negeri. Pasalnya, ia ingin fokus membenahi masalah-masalah yang ada di wilayah Indonesia. "Saya ke luar negeri akan banyak berkurang, kita akan konsentrasi dulu ke dalam negeri. Persoalan di dalam negeri banyak sekali kok. Ngurusnya dalam negeri dulu," kata Jokowi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (29/8).

Sama seperti memerintah Provinsi DKI Jakarta, nantinya Jokowi akan menggunakan 70 persen waktu kerja untuk blusukan. Sedangkan, 30 persen waktunya akan dihabiskan untuk rapat kabinet dan pertemuan dengan wakil dari negara sahabat.

Pola kerja yang sama juga akan diikuti oleh wakil presiden terpilih Jusuf Kalla. Menurut Jokowi, Kalla perlu membantunya blusukan agar dapat mencakup seluruh wilayah dengan cepat. "Sabang sampai Merauke itu kan gede banget. Kalau untuk urusan kantor sudah ada Sekretaris Negara," pungkasnya.
http://www.jpnn.com/read/2014/07/29/...abat-Presiden-

-------------------------------

Untung masih ada JK, the real president!


emoticon-Ngakak
Diubah oleh yinluck 31-07-2014 18:52
0
6.9K
87
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan