- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Don't Worry, ada 5 Ulama Besar & Cendikia Muslim "bentengi" Jokowi dari Islamphobia


TS
yinluck
Don't Worry, ada 5 Ulama Besar & Cendikia Muslim "bentengi" Jokowi dari Islamphobia
Don't Worry, ada 5 Ulama Besar dan Cendikiwan Muslim "bentengi" Jokowi
Keberatan Orang Beriman (Islam) kalau hendak memilih Jokowi-JK, meski mereka Muslim
---------------------------
Memang perlu dialog intensif agar kepercayaan ummat Islam Indonesia segera bisa pulih kepada PDIP dan orang-orang timsesnya yang dikenal Liberal (seperti Musdah Mulia) atau Syiah (Jalaluddin Rachmad), Sosialis (Budiman Sudjatmiko, Ribka, Oneng, Eva Sundari), Islamphobia (Hendropriyono, Luhut), sekiranya atas izin Allah, Jokowi akhirnya menang Pilpres.

Keberatan Orang Beriman (Islam) kalau hendak memilih Jokowi-JK, meski mereka Muslim
Quote:
Inilah Firman Allah swt tentang Larangan Keras Mengambil Orang-orang yang Dimurkai Allah sebagai Teman didalam Al-Qur'an :
Di Belakang Capres Jokowi Ada Misionaris Kristen Evengelist, Organisasi Kristen Militan
Jika sukses membawa Jokowi ke Istana Negara, James Riyadi dan kelompok konglomerat Cina di Indonesia, bukan hanya sukses menguasai ekonomi dan poliltik, tetapi dengan payung politik dan lobbi di Istana, maka James Riyadi akan semakin leluasa untuk mengembangkan kristen - evengelist di Indonesia.
James Riyadi dan Jokowi sama-sama annggota Rotary Club. Mungkinkah Islam hanya tinggal nama di Indonesia ? Dengan begitu luar biasa gerakan kristenisasi James Riyadi yang didukung kekuatan dana dan sarana, serta gereja internasional, termasuk sejumlah lobbi di Washington.
Di bagian lain, menurut Permadi, yang mengaku sebagai “Penyambung Lidah Bung Karno”, mengomentari tentang Jokowi, yang belakangan ini namanya melambung berdasarkan survei-survei, menegaskan bahwa Jokowi itu didukung oleh konglomerat Cina. Permadi menyebutkan nama-nama konglomerat Cina, diantaranya seperti James Riyadi, Sofyan Wanandi, Ciputra, Tomy Winata, dan puluhan konglomerat Cina lainnya.
Menurut Permadi, orang seperti Jokowi itu, tidak akan bisa menjadi pembela rakyat dan Indonesia, justru akan menjadi pengkhianat. Jokowi juga bukan kader ideologis PDIP, tambah Permadi. Jika Jokowi berkuasa, tentu yang paling diuntungkan kelompok Cina dan kepentingan Barat di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang sifatnya “inside” seperti diungkapkan oleh Permadi, menjelaskan Jokowi hanyalah akan menjadi “boneka” kepentingan-kepentingan para “stake holder” (pemangku kuasa), yaitu antara Cina dan Barat.
Ada peristiwa yang menjadi isyarat penting, dan sejatinya mewakili kepentingan Barat, yaitu pertemuan antara Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague. Dengan “cover” membahas soal korupsi. Ini tidak lazim.
Pertemuan Jokowi dengan William Hague itu, pertama antara pejabat sekapasitas Gubernur dengan Menteri Luar Negeri Inggris, yang merupakan peristiwa pertama kali pula dalam sejarah Indonesia. Pertemuan itu, hanyalah menegaskan dukungan Barat kepada Jokowi, dan diwakili oleh Menlu Inggris, William Hague.
Kepentingan Cina dan Barat di Indonesia, sudah sangat berlebihan, dan semua itu hanyalah menghancurkan bangsa. Tidak ada yang lain.
Di era reformasi rakyat miskin semakin miskin. Karena mereka tidak memiliki akses politik dan ekonomi. Partai-partai politik yang ada hanyalah menjadi broker politik, dan tidak pernah menjadi penjaga kepentingan rakyat secara luas.
Kesenjangan itu terjadi akibat perbedaan ‘income’ perkapita antara kalangan “the haves” terutama orang-orang Cina dan konglomerat Cina yang sudah menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia.
Kalangan Cina dan konglomerat Cina, income mereka sudah mencapai $ 30.000 dollar perkapita, sedangkan rakyat dan kaum pribumi, paling hanya $ 500-1.000 dollar. Sungguh ironi.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani, jujur, bersih, dan berkomitmen kepada rakyat dengan sungguh-sugguh. Pemilu tidak akan pernah melahirkan model pemimpin seperti itu, karena saat ini partai-partai politik tidak dapat memproduk model pemimpin seperti itu. Wallahu’alam.
Sumber bacaan :
http://www.detikmedan.com/2013/11/in...na-jokowi.html
http://www.voa-islam.com/read/indone...-di-indonesia/
http://www.voa-islam.com/read/indone...n-rumah-sakit/
Baca Juga :
http://www.kompasislam.com/2014/04/1...lomerat-china/
http://www.kompasislam.com/2014/04/1...merat-china-2/
source
Wawancara dengan Ustadz Bachtiar Nashir :
Jokowi Ancaman Bagi Umat Islam
Posted on 11/04/2014 by heniputra
Jum’at, 10 Jumadil Akhir 1435 H / 11 April 2014 10:11 wib
JAKARTA (voa-islam.com) – Hampir sepanjang sejarah politik di Indonesia, umat Islam belum pernah memerintah, dan selalu berada di bawah kekuasaan penguasa sekuler alias ‘la diniyah’.
Hanya sekali di tahun l955, Partai-Partai Islam pernah mencapai suara hampir 50 persen, di Konstituante (parlemen), dan berjuang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Gagal.
Karena, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, dan mengeluarkan dekrit kembali ke UUD ’45. Dengan dipelopori oleh Partai Masyumi telah berlangsung momen sejarah penting, khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
Sekarang kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Tapi, tidak boleh kita kehilangan optimisme, sekalipun terus menghadapi himpitan yang sangat berat.
Sekarang kekuatan politik sekuler, yang dimotori PDIP, yang mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden, benar-benar menjadi ancaman masa depan umat Islam. PDIP menang dan mayoritas di Parlemen. Sementara itu, Jokowi telah menjadi ‘kendaraan’ bagi kepentingan Cina, Kristen, dan Barat.
Di bawah ini diturunkan wawancara voa-islam.com dengan Sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir. Semoga bermanfaat.
Tanya : Bagaimana komentar Ustadz Bahtiar Nashir terhadap hasil pemilu 2014 ini?
Jawab : Alhamdulillah Partai Islam suaranya cukup baik. Cuma Partai Islam sudah lama tidak berkumpul bersama-sama. Ormas Islam, minus Muhammadiyah dan NU, kembali melakukan pertemuan secara inten. Melalui Pak Din Syamsuddin, selaku Ketua MUI, mengumpulkan Ormas-Ormas Islam. Dari ICMI hadir Priyo Bud Santoso, Yusuf Kalla dari Dewan Masjid, dan sejumlah tokoh lainnya. Kalau para pemimpin Islam bersatu dan memiliki kesamaan visi, maka ini akan menjadi awal yang baik.
MIUMI akan tetap memegang peran keulamaan, bukan peran sebagai politisi atau melakukan politik praktis. Kita akan segarkan lagi, tentang bahaya dan ancaman Jokowi kepada seluruh umat Islam. Memang, ada hikmahnya, sekarang umat Islam merapat, karena adanya ‘faktor’ Jokowi.
Prediksi sebelumnya, 2 dari 5 Partai Islam atau berbasis massa Islam akan mati, yaitu PBB dan PKS, dan yang terbukti PBB. Jumlah suara Partai Islam masih lumayan, yaitu mencapai 31,5 persen. PKS mengalami sedikit penurunan kurang-lebih 0,5-1 persen. Ini menunjukkan bahwa elektebilitas Partai Islam masih menunjukkan adanya kepercayaan umat. Tapi, fenomena terhadap partai sekuler, masih sangat besar. Terurtama PDIP. Di mana PDIP ini sekarang menjadi ‘gudangnya’ Salibis dan Syi’ah. Justru rakyat tidak faham dan masih memilihnya.
Tanya : Ditengah isu negatif terhadap Partai Islam dan Ormasi Islam, apakah tidak berdampak negatif?
Jawab : Justru ‘Jokowi Efect’ memberikan dampak positif. Karena ada sentimen keagamaan yang bangkit dan dirasakan oleh tokoh atau petinggi Islam. Mereka menyadari kondisi ini. Pada hakekatnya naluri ke-Islaman mereka menjadi tersentak. Ada tokoh Islam dari partai sekuler, mereka bertanya siapa dibelakang Jokowi? Ternyata dibelakang Jokowi, adalah para konglomerat Cina, missionaris Kristen, dan berita-berita itu sudah ada di jejaring sosial secara masif. Mereka yang tadinya sekuler pro-Jokowi, sesudah muncul sentimen agama, mereka kemudian berubah.
Tanya : Ustadz Menilai Jokowi Seperti Apa? Kelompok Mana Dibelakangnya?
Jawab : Saya awalnya kurang percaya. Tapi setelah saya mendapat informasi A1 yang sangat shahih, tentang adanya peran ‘Taipan’ Cina di belakang Jokowi, termasuk adanya missionaris, dan kelompok liberal. Kemudian, saya menjadi yakin.
Orang-orang yang tidak terlalu paham, dan terbuai oleh media. Sejatinya, pendukung Jokowi termasuk kelompok ‘think-thank’ diantaranya CSIS, kelompok Utan Kayu, kelompok militer Nasrani garis keras, Luhut Panjaitan, ini menunjukkan orang-orang yang bermain dibelakang Jokowi, memang sangat serius. Jokowi memang sebagai ancaman bagi umat Islam. Termasuk kelompok Rotary Club dan Free Masonry. Di mana Jokowi menjadi anggota atau bagian dari kelompok Yahudi itu.
Tanya : Jadi Sangat Serius, Jokowi Menjadi Ancaman?
Jawab : Jokowi itu sejatinya menjadi ‘kendaraan’ orang-orang yang memiliki hawa nafsu terhadap kekuasaan dan ambsisi presiden. Mereka sudah tidak sabar. Memaksakan Jokowi ‘For President’. Mereka berada di belakang Jokowi, dan menguasai 97 persen media. Mereka berharap bisa mengubah ‘mainstreams’ (arus utama) rakyat Indonesia. Tetapi, itu tidak mudah, karena akan menghadapi berbagai kekuatan. Prabowo menghajar Jokowi dengan bahasa politik. MIUMI menghajar Jokowi dengan bahasa agama.
Saya siap menghadapi menghajar mereka, apabila ada yang melawan pernyataan saya tentang Jokowi. Karena mungkin dituduh ‘rasis’. Mereka (Partai-Partai Islam) sebenarnya dengan adanya ‘Faktor Jokowi’ ini menjadi pilihan alternatif umat.
Mereka, Jokowi Cs dan PDIP hanyalah menjual ‘pepesan kosong’. Faktanya banyak calon gubernur PDIP kalah. Hanya di Jawa Tengah, calon PDIP, Ganjar Pranowo menang. Di Jawa Barat, calon PDIP kalah. Di Jawa Timur calon PDIP kalah. Di Bali Calon PDIP kalah. Di Sumatera calon PDIP kalah. Semua yang didukung Jokowi kalah dalam pemilihan gubernur, kecuali di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah menang, karena itu kampungnya Jokowi dan Ganjar.
Jokowi itu terlalu bernafsu dan isti’jal (tergesa-gesa). Di Solo ditinggalkannya. Kemudian pergi ke Jakarta mencalonkan gubernur, dan sesudah dipilih rakyat, menjadi gubernur, ditinggalkan, dan bersedia dicalonkan menjadi presiden oleh PDIIP.
Tanya : Bagaimana Kalkulasi Pasca Pemilu?
Jawab : Ada pernyataan Megawati dan Puan Maharani. Mereka mungkin akan ada perubahan strategi pencapresan. Sementara itu, pernyataan ARB, “Saya terlalu tua untuk menjadi wakil”, ungkapnya. Nampaknya, PDIP akan berkoalisi dengan partai yang seideologi yang ideal dari ketokohan. Sedangkan PKB suara terbesar diantara partai tengah, karena faktor Oma Irama, ini berati PKB mempunyai calon sendiri. Pernyataan Muhaimin Iskandar memang memberikan isyarat koalisi harus mempunyai syarat kesamaan tokoh, ideologi dan historis.
Tanya : Harapan Koalisi PDIP dengan PKB atau NASDEM? PAN mungkin lebih dekat ke Prabowo. Karena Hatta sulit menjadi menjadi nomor 1.
Jawab : Mega sebenarnya tidak bahagia dengan pencapresan Jokowi. Sekarang Mega berbahagia, karena bila PDIP mengalami peningkatan suara secara signifikan, lebih 25 persen, karena faktor Jokowi, ototimatis PDIP akan terakuisisi. Banyak kader yang kontra Jokowi, sekarang mereka menjadi bahagia.
Pencapresan Jokowi karena adanya tekanan ‘EKSTERNAL’ yang sangat luar biasa kepada Megawati. Usai pertemuan di Singapura.
Ada ‘Tujuh’ tokoh yang bertemu di Singapura mematangkan keputusan pencapresan Jokowi, diantaranya James Riyadi. Mereka menawarkan berbagai bantuan bagi kemenangan PDIP dan Jokowi. Selain itu, ada kelemahan-kelemahan Mega yang menyebabkan Mega menjadi sandera politik, dan Mega menyerah akibat tekanan ‘EKSTERNAL‘ itu.
Tanya : Apakah Mungkin Partai-Partai Islam Membentuk Blok Islam?
Jawab : Partai-Partai Islam harus dipaksa bersatu. Mengkondisikan umat, suka atau tidak suka harus bersatu. Kalau perlu ‘kimpoi paksa’.
Tanya : Partai-Partai Warisan Orba Sudah Terbukti Gagal, Mungkinkah Partai-Partai Islam Menjadi Alternatif?
Jawab : Memang tidak mudah. Tapi kalau umat Islam bersatu dan ingin menjadi nomor 1, efeknya bisa seperti di Mesir. Bisa menjadi musuh bersama. Sebaiknya, untuk saat ini, dengan perolehan suara 31,5 persen, di mana Partai-Partai Islam belum bersatu, belum kokoh, dan jangan sampai dijadikan musuh bersama. Jadi sekarang umat Islam harus mencari keberkahan dengan bersatu, bekerja keras untuk rakyat, menjelang tahun 2019.
Source1: http://www.voa-islam.com/news/indone...gi-umat-islam/
Source1:http://heniputra.biz/beritaislam/wawancara-dengan-ustadz-bachtiar-nashir-jokowi-ancaman-bagi-umat-islam.html
Mengapa Kalangan Islam Alergi Jokowi?
Selasa, 18 Maret 2014 | 12:05 WIB
INILAHCOM, Jakarta – Jokowi memulai pencalonannya sebagai calon presiden dengan mengucap bismillah. Tetapi mengapa ada ‘kalangan Islam’ yang tetap menyerangnya?
‘Kalangan Islam ‘ saya pakai dalam tanda kutip, mengingat begitu beragamnya pemeluk Islam yang menjadi mayoritas warga negara Indonesia itu. Sebab tak bisa juga kita mungkiri bahwa tak hanya Jokowi sendiri seorang muslim, pendukung terbanyaknya pun adalah kalangan rakyat--dari kaum kaya, orang muda, hingga jelata, yang memeluk agama yang sama: Islam.
"Saya telah mendapat mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarno Putri untuk jadi calon presiden,” kata Jokowi, Jumat (14/3) pekan lalu.”Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya siap laksanakan."
Kalangan itu bergerak sejak hari pertama pencapresan. Suara-suara mereka di berbagai media sosial--terutama Facebook dan Twitter, seolah menelanjangi segala kekurangan Jokowi. Mulai dari penilaian tentang gagalnya mengusir banjir dan macet dari Jakarta, korupsi pengadaan bus TransJakarta yang melibatkan orang dekatnya, hingga tudingan ingkar janji untuk menuntaskan kerja membina Jakarta sebelum loncat ke panggung perebutan tahta Istana Negara.
Begitu agresifnya, hingga publik dan khalayak pembaca melihat mereka seakan lupa, bukankah Jokowi pun seorang muslim, saudara mereka? Seolah mereka lupa, bahwa Alquran telah merekam Allah yang berfirman dalam Al Maidah ayat 8,”Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil."
Bukankah melalui HR Tarmizi kita mendengar Nabi Sang Maulana telah bersabda,”Cintailah orang yang engkau cintai itu sekadarnya. Boleh jadi suatu waktu nanti menjadi orang yang engkau benci. Bencilah orang yang engkau benci sekadarnya, boleh jadi pada suatu saat nanti menjadi orang yang engkau sukai ”?
Dan bukankah sebenarnya kepada nonmuslim pun seharusnya toleransi atau tasamuh tetap harus dijunjung tinggi-tinggi?
Tapi politik representasi membuat perilaku kalangan itu sedikit banyak saya mengerti. Mereka merasa pemilahan Clifford Geertz tentang priyayi, santri dan abangan, masih relevan. Sementara mungkin bila tak terhalang kubur, Geertz akan merilis ulang ‘The Religion of Java’ itu dengan banyak revisi. Karena menilai Jokowi bukanlah santri, kalangan ini merasa Jokowi tak mewakili suara mereka. Meski memeluk Islam, bagi mereka ‘cap’ Jokowi bukanlah muslim atau santri. Mereka bahkan menudingnya merah alias abangan.
Tentang persepsi itu, tentu saja hanya komunikasi intens yang bisa mengubahnya. Sebaliknya, kita pun tak mungkin mempidanakan persepsi. Silakan pegang, selama tahan, selama tidak paham bahwa mempersepsi orang mungkin sebenarnya lebih banyak merugikan. Islam mengajarkan umatnya untuk memelihara baik sangka (husnuz dzan) dibanding apriori dan ulat hati (suud dzan).
Tetapi kalangan ini pun punya kebenaran yang tak bisa disangkal. Politik sejatinya memang urusan representasi. Tak ada kekuasaan politik dimiliki, manakala di pemerintahan satu kelompok tak punya representasi diri. Kebenarannya sebagaimana diktum pajak, ‘No Taxation Without Representation’. Jangan lupa, diktum yang bermula dari insiden teh di Boston itulah yang menjadi alasan utama munculnya negara baru Amerika Serikat.
Karena itu, bila Jokowi cs memang tak hendak menutup mata tentang keberadaan dan komunitas Islam politik itu —artinya komunitas Islam yang melek politik dan umumnya dari kalangan menengah, ia sebaiknya menggandeng calon yang punya ‘cap’ muslim. Jadi, setelah merestui Jokowi, Megawati memang jangan lagi bermimpi menyandingkannya dengan Puan Maharani.
Siapa tokoh yang memiliki ‘cap’ itu? Tinggal panggil Eyang Google. Paling tidak dua nama telah mengemuka. Survei Political Communication Institute beberapa waktu lalu melansir hasil survei yang berfokus padapartai Islam. Hasilnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendapat suara tertinggi sebagai capres/cawapres dari kalangan Islam. Di posisi kedua ada Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa.
Sementara pada survei sebelumnya yang digelar Lembaga Survei Indo Barometer, justru Hatta rajasa yang menempati tempat pertama. Pada hasil survei itu pun terpampang nama Jusuf Kalla.
Mungkin bisa dipampang banyak nama yang punya ‘cap’ mewakili kalangan Islam itu. Tetapi buat apa kalau kita hanya memerlukan seorang saja dari dua teratas itu?
[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2083867/mengapa-kalangan-islam-alergi-jokowi#.U7iSF9EvaSo[/url]
Quote:
Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui.
(Al-Mujadillah 14)
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.
(Al-Mujadillah 22)
(Al-Mujadillah 14)
"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya.
(Al-Mujadillah 22)
Di Belakang Capres Jokowi Ada Misionaris Kristen Evengelist, Organisasi Kristen Militan
Jika sukses membawa Jokowi ke Istana Negara, James Riyadi dan kelompok konglomerat Cina di Indonesia, bukan hanya sukses menguasai ekonomi dan poliltik, tetapi dengan payung politik dan lobbi di Istana, maka James Riyadi akan semakin leluasa untuk mengembangkan kristen - evengelist di Indonesia.
James Riyadi dan Jokowi sama-sama annggota Rotary Club. Mungkinkah Islam hanya tinggal nama di Indonesia ? Dengan begitu luar biasa gerakan kristenisasi James Riyadi yang didukung kekuatan dana dan sarana, serta gereja internasional, termasuk sejumlah lobbi di Washington.
Di bagian lain, menurut Permadi, yang mengaku sebagai “Penyambung Lidah Bung Karno”, mengomentari tentang Jokowi, yang belakangan ini namanya melambung berdasarkan survei-survei, menegaskan bahwa Jokowi itu didukung oleh konglomerat Cina. Permadi menyebutkan nama-nama konglomerat Cina, diantaranya seperti James Riyadi, Sofyan Wanandi, Ciputra, Tomy Winata, dan puluhan konglomerat Cina lainnya.
Menurut Permadi, orang seperti Jokowi itu, tidak akan bisa menjadi pembela rakyat dan Indonesia, justru akan menjadi pengkhianat. Jokowi juga bukan kader ideologis PDIP, tambah Permadi. Jika Jokowi berkuasa, tentu yang paling diuntungkan kelompok Cina dan kepentingan Barat di Indonesia.
Berdasarkan informasi yang sifatnya “inside” seperti diungkapkan oleh Permadi, menjelaskan Jokowi hanyalah akan menjadi “boneka” kepentingan-kepentingan para “stake holder” (pemangku kuasa), yaitu antara Cina dan Barat.
Ada peristiwa yang menjadi isyarat penting, dan sejatinya mewakili kepentingan Barat, yaitu pertemuan antara Jokowi dengan Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague. Dengan “cover” membahas soal korupsi. Ini tidak lazim.
Pertemuan Jokowi dengan William Hague itu, pertama antara pejabat sekapasitas Gubernur dengan Menteri Luar Negeri Inggris, yang merupakan peristiwa pertama kali pula dalam sejarah Indonesia. Pertemuan itu, hanyalah menegaskan dukungan Barat kepada Jokowi, dan diwakili oleh Menlu Inggris, William Hague.
Kepentingan Cina dan Barat di Indonesia, sudah sangat berlebihan, dan semua itu hanyalah menghancurkan bangsa. Tidak ada yang lain.
Di era reformasi rakyat miskin semakin miskin. Karena mereka tidak memiliki akses politik dan ekonomi. Partai-partai politik yang ada hanyalah menjadi broker politik, dan tidak pernah menjadi penjaga kepentingan rakyat secara luas.
Kesenjangan itu terjadi akibat perbedaan ‘income’ perkapita antara kalangan “the haves” terutama orang-orang Cina dan konglomerat Cina yang sudah menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia.
Kalangan Cina dan konglomerat Cina, income mereka sudah mencapai $ 30.000 dollar perkapita, sedangkan rakyat dan kaum pribumi, paling hanya $ 500-1.000 dollar. Sungguh ironi.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang berani, jujur, bersih, dan berkomitmen kepada rakyat dengan sungguh-sugguh. Pemilu tidak akan pernah melahirkan model pemimpin seperti itu, karena saat ini partai-partai politik tidak dapat memproduk model pemimpin seperti itu. Wallahu’alam.
Sumber bacaan :
http://www.detikmedan.com/2013/11/in...na-jokowi.html
http://www.voa-islam.com/read/indone...-di-indonesia/
http://www.voa-islam.com/read/indone...n-rumah-sakit/
Baca Juga :
http://www.kompasislam.com/2014/04/1...lomerat-china/
http://www.kompasislam.com/2014/04/1...merat-china-2/
source
Wawancara dengan Ustadz Bachtiar Nashir :
Jokowi Ancaman Bagi Umat Islam
Posted on 11/04/2014 by heniputra
Jum’at, 10 Jumadil Akhir 1435 H / 11 April 2014 10:11 wib
JAKARTA (voa-islam.com) – Hampir sepanjang sejarah politik di Indonesia, umat Islam belum pernah memerintah, dan selalu berada di bawah kekuasaan penguasa sekuler alias ‘la diniyah’.
Hanya sekali di tahun l955, Partai-Partai Islam pernah mencapai suara hampir 50 persen, di Konstituante (parlemen), dan berjuang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara. Gagal.
Karena, Konstituante dibubarkan oleh Soekarno, dan mengeluarkan dekrit kembali ke UUD ’45. Dengan dipelopori oleh Partai Masyumi telah berlangsung momen sejarah penting, khususnya bagi umat Islam di Indonesia.
Sekarang kondisinya lebih memprihatinkan lagi. Tapi, tidak boleh kita kehilangan optimisme, sekalipun terus menghadapi himpitan yang sangat berat.
Sekarang kekuatan politik sekuler, yang dimotori PDIP, yang mencalonkan Jokowi sebagai calon presiden, benar-benar menjadi ancaman masa depan umat Islam. PDIP menang dan mayoritas di Parlemen. Sementara itu, Jokowi telah menjadi ‘kendaraan’ bagi kepentingan Cina, Kristen, dan Barat.
Di bawah ini diturunkan wawancara voa-islam.com dengan Sekjen MIUMI, Bachtiar Nasir. Semoga bermanfaat.
Tanya : Bagaimana komentar Ustadz Bahtiar Nashir terhadap hasil pemilu 2014 ini?
Jawab : Alhamdulillah Partai Islam suaranya cukup baik. Cuma Partai Islam sudah lama tidak berkumpul bersama-sama. Ormas Islam, minus Muhammadiyah dan NU, kembali melakukan pertemuan secara inten. Melalui Pak Din Syamsuddin, selaku Ketua MUI, mengumpulkan Ormas-Ormas Islam. Dari ICMI hadir Priyo Bud Santoso, Yusuf Kalla dari Dewan Masjid, dan sejumlah tokoh lainnya. Kalau para pemimpin Islam bersatu dan memiliki kesamaan visi, maka ini akan menjadi awal yang baik.
MIUMI akan tetap memegang peran keulamaan, bukan peran sebagai politisi atau melakukan politik praktis. Kita akan segarkan lagi, tentang bahaya dan ancaman Jokowi kepada seluruh umat Islam. Memang, ada hikmahnya, sekarang umat Islam merapat, karena adanya ‘faktor’ Jokowi.
Prediksi sebelumnya, 2 dari 5 Partai Islam atau berbasis massa Islam akan mati, yaitu PBB dan PKS, dan yang terbukti PBB. Jumlah suara Partai Islam masih lumayan, yaitu mencapai 31,5 persen. PKS mengalami sedikit penurunan kurang-lebih 0,5-1 persen. Ini menunjukkan bahwa elektebilitas Partai Islam masih menunjukkan adanya kepercayaan umat. Tapi, fenomena terhadap partai sekuler, masih sangat besar. Terurtama PDIP. Di mana PDIP ini sekarang menjadi ‘gudangnya’ Salibis dan Syi’ah. Justru rakyat tidak faham dan masih memilihnya.
Tanya : Ditengah isu negatif terhadap Partai Islam dan Ormasi Islam, apakah tidak berdampak negatif?
Jawab : Justru ‘Jokowi Efect’ memberikan dampak positif. Karena ada sentimen keagamaan yang bangkit dan dirasakan oleh tokoh atau petinggi Islam. Mereka menyadari kondisi ini. Pada hakekatnya naluri ke-Islaman mereka menjadi tersentak. Ada tokoh Islam dari partai sekuler, mereka bertanya siapa dibelakang Jokowi? Ternyata dibelakang Jokowi, adalah para konglomerat Cina, missionaris Kristen, dan berita-berita itu sudah ada di jejaring sosial secara masif. Mereka yang tadinya sekuler pro-Jokowi, sesudah muncul sentimen agama, mereka kemudian berubah.
Tanya : Ustadz Menilai Jokowi Seperti Apa? Kelompok Mana Dibelakangnya?
Jawab : Saya awalnya kurang percaya. Tapi setelah saya mendapat informasi A1 yang sangat shahih, tentang adanya peran ‘Taipan’ Cina di belakang Jokowi, termasuk adanya missionaris, dan kelompok liberal. Kemudian, saya menjadi yakin.
Orang-orang yang tidak terlalu paham, dan terbuai oleh media. Sejatinya, pendukung Jokowi termasuk kelompok ‘think-thank’ diantaranya CSIS, kelompok Utan Kayu, kelompok militer Nasrani garis keras, Luhut Panjaitan, ini menunjukkan orang-orang yang bermain dibelakang Jokowi, memang sangat serius. Jokowi memang sebagai ancaman bagi umat Islam. Termasuk kelompok Rotary Club dan Free Masonry. Di mana Jokowi menjadi anggota atau bagian dari kelompok Yahudi itu.
Tanya : Jadi Sangat Serius, Jokowi Menjadi Ancaman?
Jawab : Jokowi itu sejatinya menjadi ‘kendaraan’ orang-orang yang memiliki hawa nafsu terhadap kekuasaan dan ambsisi presiden. Mereka sudah tidak sabar. Memaksakan Jokowi ‘For President’. Mereka berada di belakang Jokowi, dan menguasai 97 persen media. Mereka berharap bisa mengubah ‘mainstreams’ (arus utama) rakyat Indonesia. Tetapi, itu tidak mudah, karena akan menghadapi berbagai kekuatan. Prabowo menghajar Jokowi dengan bahasa politik. MIUMI menghajar Jokowi dengan bahasa agama.
Saya siap menghadapi menghajar mereka, apabila ada yang melawan pernyataan saya tentang Jokowi. Karena mungkin dituduh ‘rasis’. Mereka (Partai-Partai Islam) sebenarnya dengan adanya ‘Faktor Jokowi’ ini menjadi pilihan alternatif umat.
Mereka, Jokowi Cs dan PDIP hanyalah menjual ‘pepesan kosong’. Faktanya banyak calon gubernur PDIP kalah. Hanya di Jawa Tengah, calon PDIP, Ganjar Pranowo menang. Di Jawa Barat, calon PDIP kalah. Di Jawa Timur calon PDIP kalah. Di Bali Calon PDIP kalah. Di Sumatera calon PDIP kalah. Semua yang didukung Jokowi kalah dalam pemilihan gubernur, kecuali di Jawa Tengah. Di Jawa Tengah menang, karena itu kampungnya Jokowi dan Ganjar.
Jokowi itu terlalu bernafsu dan isti’jal (tergesa-gesa). Di Solo ditinggalkannya. Kemudian pergi ke Jakarta mencalonkan gubernur, dan sesudah dipilih rakyat, menjadi gubernur, ditinggalkan, dan bersedia dicalonkan menjadi presiden oleh PDIIP.
Tanya : Bagaimana Kalkulasi Pasca Pemilu?
Jawab : Ada pernyataan Megawati dan Puan Maharani. Mereka mungkin akan ada perubahan strategi pencapresan. Sementara itu, pernyataan ARB, “Saya terlalu tua untuk menjadi wakil”, ungkapnya. Nampaknya, PDIP akan berkoalisi dengan partai yang seideologi yang ideal dari ketokohan. Sedangkan PKB suara terbesar diantara partai tengah, karena faktor Oma Irama, ini berati PKB mempunyai calon sendiri. Pernyataan Muhaimin Iskandar memang memberikan isyarat koalisi harus mempunyai syarat kesamaan tokoh, ideologi dan historis.
Tanya : Harapan Koalisi PDIP dengan PKB atau NASDEM? PAN mungkin lebih dekat ke Prabowo. Karena Hatta sulit menjadi menjadi nomor 1.
Jawab : Mega sebenarnya tidak bahagia dengan pencapresan Jokowi. Sekarang Mega berbahagia, karena bila PDIP mengalami peningkatan suara secara signifikan, lebih 25 persen, karena faktor Jokowi, ototimatis PDIP akan terakuisisi. Banyak kader yang kontra Jokowi, sekarang mereka menjadi bahagia.
Pencapresan Jokowi karena adanya tekanan ‘EKSTERNAL’ yang sangat luar biasa kepada Megawati. Usai pertemuan di Singapura.
Ada ‘Tujuh’ tokoh yang bertemu di Singapura mematangkan keputusan pencapresan Jokowi, diantaranya James Riyadi. Mereka menawarkan berbagai bantuan bagi kemenangan PDIP dan Jokowi. Selain itu, ada kelemahan-kelemahan Mega yang menyebabkan Mega menjadi sandera politik, dan Mega menyerah akibat tekanan ‘EKSTERNAL‘ itu.
Tanya : Apakah Mungkin Partai-Partai Islam Membentuk Blok Islam?
Jawab : Partai-Partai Islam harus dipaksa bersatu. Mengkondisikan umat, suka atau tidak suka harus bersatu. Kalau perlu ‘kimpoi paksa’.
Tanya : Partai-Partai Warisan Orba Sudah Terbukti Gagal, Mungkinkah Partai-Partai Islam Menjadi Alternatif?
Jawab : Memang tidak mudah. Tapi kalau umat Islam bersatu dan ingin menjadi nomor 1, efeknya bisa seperti di Mesir. Bisa menjadi musuh bersama. Sebaiknya, untuk saat ini, dengan perolehan suara 31,5 persen, di mana Partai-Partai Islam belum bersatu, belum kokoh, dan jangan sampai dijadikan musuh bersama. Jadi sekarang umat Islam harus mencari keberkahan dengan bersatu, bekerja keras untuk rakyat, menjelang tahun 2019.
Source1: http://www.voa-islam.com/news/indone...gi-umat-islam/
Source1:http://heniputra.biz/beritaislam/wawancara-dengan-ustadz-bachtiar-nashir-jokowi-ancaman-bagi-umat-islam.html
Mengapa Kalangan Islam Alergi Jokowi?
Selasa, 18 Maret 2014 | 12:05 WIB
INILAHCOM, Jakarta – Jokowi memulai pencalonannya sebagai calon presiden dengan mengucap bismillah. Tetapi mengapa ada ‘kalangan Islam’ yang tetap menyerangnya?
‘Kalangan Islam ‘ saya pakai dalam tanda kutip, mengingat begitu beragamnya pemeluk Islam yang menjadi mayoritas warga negara Indonesia itu. Sebab tak bisa juga kita mungkiri bahwa tak hanya Jokowi sendiri seorang muslim, pendukung terbanyaknya pun adalah kalangan rakyat--dari kaum kaya, orang muda, hingga jelata, yang memeluk agama yang sama: Islam.
"Saya telah mendapat mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarno Putri untuk jadi calon presiden,” kata Jokowi, Jumat (14/3) pekan lalu.”Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, saya siap laksanakan."
Kalangan itu bergerak sejak hari pertama pencapresan. Suara-suara mereka di berbagai media sosial--terutama Facebook dan Twitter, seolah menelanjangi segala kekurangan Jokowi. Mulai dari penilaian tentang gagalnya mengusir banjir dan macet dari Jakarta, korupsi pengadaan bus TransJakarta yang melibatkan orang dekatnya, hingga tudingan ingkar janji untuk menuntaskan kerja membina Jakarta sebelum loncat ke panggung perebutan tahta Istana Negara.
Begitu agresifnya, hingga publik dan khalayak pembaca melihat mereka seakan lupa, bukankah Jokowi pun seorang muslim, saudara mereka? Seolah mereka lupa, bahwa Alquran telah merekam Allah yang berfirman dalam Al Maidah ayat 8,”Dan jangan sampai karena kebencianmu terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil."
Bukankah melalui HR Tarmizi kita mendengar Nabi Sang Maulana telah bersabda,”Cintailah orang yang engkau cintai itu sekadarnya. Boleh jadi suatu waktu nanti menjadi orang yang engkau benci. Bencilah orang yang engkau benci sekadarnya, boleh jadi pada suatu saat nanti menjadi orang yang engkau sukai ”?
Dan bukankah sebenarnya kepada nonmuslim pun seharusnya toleransi atau tasamuh tetap harus dijunjung tinggi-tinggi?
Tapi politik representasi membuat perilaku kalangan itu sedikit banyak saya mengerti. Mereka merasa pemilahan Clifford Geertz tentang priyayi, santri dan abangan, masih relevan. Sementara mungkin bila tak terhalang kubur, Geertz akan merilis ulang ‘The Religion of Java’ itu dengan banyak revisi. Karena menilai Jokowi bukanlah santri, kalangan ini merasa Jokowi tak mewakili suara mereka. Meski memeluk Islam, bagi mereka ‘cap’ Jokowi bukanlah muslim atau santri. Mereka bahkan menudingnya merah alias abangan.
Tentang persepsi itu, tentu saja hanya komunikasi intens yang bisa mengubahnya. Sebaliknya, kita pun tak mungkin mempidanakan persepsi. Silakan pegang, selama tahan, selama tidak paham bahwa mempersepsi orang mungkin sebenarnya lebih banyak merugikan. Islam mengajarkan umatnya untuk memelihara baik sangka (husnuz dzan) dibanding apriori dan ulat hati (suud dzan).
Tetapi kalangan ini pun punya kebenaran yang tak bisa disangkal. Politik sejatinya memang urusan representasi. Tak ada kekuasaan politik dimiliki, manakala di pemerintahan satu kelompok tak punya representasi diri. Kebenarannya sebagaimana diktum pajak, ‘No Taxation Without Representation’. Jangan lupa, diktum yang bermula dari insiden teh di Boston itulah yang menjadi alasan utama munculnya negara baru Amerika Serikat.
Karena itu, bila Jokowi cs memang tak hendak menutup mata tentang keberadaan dan komunitas Islam politik itu —artinya komunitas Islam yang melek politik dan umumnya dari kalangan menengah, ia sebaiknya menggandeng calon yang punya ‘cap’ muslim. Jadi, setelah merestui Jokowi, Megawati memang jangan lagi bermimpi menyandingkannya dengan Puan Maharani.
Siapa tokoh yang memiliki ‘cap’ itu? Tinggal panggil Eyang Google. Paling tidak dua nama telah mengemuka. Survei Political Communication Institute beberapa waktu lalu melansir hasil survei yang berfokus padapartai Islam. Hasilnya, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendapat suara tertinggi sebagai capres/cawapres dari kalangan Islam. Di posisi kedua ada Ketua Umum Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa.
Sementara pada survei sebelumnya yang digelar Lembaga Survei Indo Barometer, justru Hatta rajasa yang menempati tempat pertama. Pada hasil survei itu pun terpampang nama Jusuf Kalla.
Mungkin bisa dipampang banyak nama yang punya ‘cap’ mewakili kalangan Islam itu. Tetapi buat apa kalau kita hanya memerlukan seorang saja dari dua teratas itu?
[url]http://nasional.inilah..com/read/detail/2083867/mengapa-kalangan-islam-alergi-jokowi#.U7iSF9EvaSo[/url]
---------------------------
Memang perlu dialog intensif agar kepercayaan ummat Islam Indonesia segera bisa pulih kepada PDIP dan orang-orang timsesnya yang dikenal Liberal (seperti Musdah Mulia) atau Syiah (Jalaluddin Rachmad), Sosialis (Budiman Sudjatmiko, Ribka, Oneng, Eva Sundari), Islamphobia (Hendropriyono, Luhut), sekiranya atas izin Allah, Jokowi akhirnya menang Pilpres.

0
8K
Kutip
51
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan