- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
[HOT] Pilpres 2014 ternyata INKONSTITUSIONAL


TS
sukanawar2
[HOT] Pilpres 2014 ternyata INKONSTITUSIONAL
Spoiler for DPR:
Putusan MK Soal Pemilu Serentak Timbulkan Kisruh Politik
07-Feb-2014
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pemilu serentak tahun 2019 dianggap menimbulkan kekisruhan politik. Di samping itu, pemerintah dianggap perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk menghapuskan ambang batas bagi partai politik untuk mengajukan calon presiden sehingga keabsahan hasil pemilihan presiden mendatang tidak digugat.
Demikian mengemuka dari disksui bertema "Putusan MK dan Keabsahan Pemilu 2014" di Gedung DPR, Kamis, (6/2). Selain Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP) Ahmad Yani, hadir pula pengamat Hukum Tata Negara Margarito Kamis dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon sebagai pembicara.
Ahmad Yani mengatakan, dalam banyak hal MK sudah melampaui kewenangan yang diberikan. “Sudah terjadi kekacauan setelah keluar keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan umum serentak itu,” ujarnya.
Politisi PPP ini mengakui, sudah terjadi kekeliruan sejak awal UU mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden ini. “Partai-partai politik termasuk PPP dan partainya Pak Yusril, PBB, membiarkan pelanggaran konstitusional,”ujarnya.
Ahmad Yani mengingatkan, calon presiden dan calon wakil presiden pintu masuknya hanya satu, tidak ada pintu lain, yaitu melalui partai politik. Parpol yang sudah terdaftar di Komisi Pemilihan Umum(KPU) layak mengajukan capres dan cawapres. “Tidak boleh dibatasi,”tegasnya.
Dikatakan, presidential treshold atau ambang batas syarat calon presiden itu merupakan pelanggaran yang serius. Dia meragukan apakah nanti tahun 2019 akan bisa dilaksanakan pemilu serentak 2019 seperti keputusan MK tersebut. Ia juga mempertanyakan lamanya MK memutuskan uji materi UU Pemilu Presiden oleh Effendi Gazali. Karena itu yani mendesak, MK harus cepat memutuskan gugatan materi dari Yusril Izha Mahendra, tidak perlu berlama-lama seperti memutuskan gugatan sebelumnya. “Kekisruhan pelaksanaan konstitusi kita sekarang ini juga andilnya MK,”katanya.
Menurut dia, MK sudah mulai keluar dari mandat yang diberikan, dengan memonopoli kebenaran yang bersifat final dan mengikat. Sementara itu tak ada yang mengontrol lembaga tersebut. Selain itu MK itu berwenang menguji pasal-pasal UU yang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. "MK bukannya membuat norma hukum baru. Apalagi tidak suka dengan DPR, sehingga putusannya tidak obyektif,” tegasnya.
Dikatakan, karena konstitusi mengatur pemilu lima tahun sekali, maka mau serentak atau tidak bukan masalah. Tapi yang jadi masalah adalah putusan MK terbalik. Karena itu, putusan MK soal pemilu serentak sia-sia, dan malah akan menimbulkan kekisruhan baru.
Sementara itu, Margarito Kamis menilai MK terkait penyelenggaraan pemilu serentak yang baru bisa dilaksanakan pada 2019 berpotensi menimbulkan gugatan. Dengan pemilu serentak, presidential threshold juga menjadi tidak berlaku. Namun, putusan itu dikeluarkan Januari lalu dan baru bisa dilaksanakan pada 2019 sehingga landasan konstitusional pelaksanaan pemilu 2014 lemah. “Sebenarnya penyelesaiannya tidaklah sulit presiden mengeluarkan saja Perppu yang isinya menghapuskan preidential threshold karena persoalannya bukan di pemilu serentak atau tidak tapi di presidential threshold,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Fadli Zon mengatakan solusi untuk mencari jalan keluar dari putusan MK yang memperumit proses pemilu 2014 saat ini akan tergantung pada partai besar, oligarki politik yang ada di DPR RI. Di mana keruwetan dan kesemrawutan tata negara ini sebagai konsekuensi memutilasi naskah aseli konstitusi. "Kerumitan konstitusi ditambah putusan MK sekarang ini sebagai konsekuensi memutilasi konstitusi yang merubah naskah aseli UUD 1945, sehingga keputusannya justru membingungkan masyarakat. Karena itu, perlu terobosan politik untuk merevisi kewenangan MK,” kata Fadli Zon.
Oleh sebab itu Fadli Zon berharap tidak membiarkan kesewenang-wenangan MK tersebut karena akan terjadi penyalahgunaan wewenang atau a buse of power, dan apalagi sekarang ini MK sudah melenceng dari mandat yang diberikan. “Untuk itu, Gerindra mengusulkan agar hakim MK itu bukan dari partai, melainkan negarawan yang teruji integritas dan putusan-putusan hukumnya,” katanya.
Sebelumnya, mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra mengajukan uji materi atas UU 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden. Dalam gugatannya dia meminta MK menafsirkan secara langsung maksud Pasal 6A Ayat (2) dan Pasal 22E UUD 1945. Gugatan itu dimenangkan Yusril di MK, namun pelaksanaannya pada 2019. Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” (nt/sc)
Sumber
Spoiler for JPNN:
Yusril: Putusan MK Blunder
Gerindra Ajukan PK
JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemilu serentak baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 terus menuai reaksi. Selain dari petinggi parpol yang memberikan reaksi beragam, kemarin pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra ikut angkat suara. Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) bahkan menyebut putusan itu blunder.
Putusan MK itu berdampak pada Pemilu 2014 yang inkonstitusional. Menurutnya, para hakim MK yang mengumumkan putusan pemilu serentak pada 2019 adalah langkah blunder. Alasan Yusril, di satu sisi MK menyatakan beberapa pasal di dalam UU Pilpres No 42 tahun 2008 bertentangan dengan UUD 45, namun di sisi lain memutuskan pemilu serentak baru pada 2019. Itu artinya Pemilu 2014 tetap berjalan seperti biasa dimana Pileg dan Pilpres dilaksanakan terpisah meskipun MK sendiri sudah menyatakan pasal-pasal dalam UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945.
”Padahal para hakim MK itu sangat sadar kalau putusan MK itu berlaku seketika setelah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum. Artinya kalaul putusan itu berlaku seketika, namun baru belaku di Pemilu 2019 dan tahun selanjutnya, maka Pemilu 2014 dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pemilu yang inkonstitusional,” urai Yusril di Jakarta seperti yang dilansir INDOPOS (JPNN Group), Sabtu (25/1).
Dia menegaskan, MK harus tahu kalau melaksnakan pemilu dengan pasal-pasal di dalam undang-undang yang inkonstitusional, maka hasilnya pun inkonstitusional. Sehingga konsekuensinya seluruh anggota DPR, DPD, DPRD tingkat I dan II maupun presiden dan wapres yang terpilih melalui Pemilu 2014 adalah inkonstitusional.
”Tapi anehnya MK seakan menutupi inkonstitusionalitas putusannya itu dengan merujuk putusan-putusan senada yang pernah diambil MK sebelumnya. Bahkan MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan pileg dan Pilpres 2014 adalah sah meskipun dilaksanakan dengan pasal-pasal UU Pilpres yang sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan telah dinyatakan tidak punya kekuatan hukum yang mengikat,” papar Yusril.
Dia pun mempertanyakan apakah benar semua hakim MK itu adalah negarawan yang memahami konstitusi seperti yang disebutkan di dalam UUD 1945? Dia juga menilai sangat aneh atas putusan MK yang sebenarnya sudah diputuskan April tahun lalu, namun baru diumumkan sembilan bulan kemudian dimana tiga hakim MK yang membuat putusan itu sudah diganti yang lain.
”Seharusnya kan para hakim MK yang sekarang ini bermusyawarah lagi karena siapa tahu tiga hakim yang baru itu memiliki pendapat yang berbeda. Jadi kan aneh saja putusan itu kenapa baru dibacakan sekarang ?” tuturnya.
Yusril menduga kalau MK seperti dipaksa-paksa pihak tertentu untuk segera membacakan putusan permohonan gugatan uji materil yang disampaikan Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak (KMUPS) pimpinan Effendi Gazali dkk. ”Karena dengan pengumuman putusan itu maka membuat permohonan uji materil saya seperti kehilangan relevansinya lagi untuk disidangkan. Inilah hal-hal misterius dalam putusan MK tersebut,” pungkasnya.
Sementara itu Partai Gerindra yang merupakan salah satu parpol peserta Pemilu 2014 langsung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan yang baru berumur sehari tersebut. Partai besutan Prabowo Subianto itu menilai, MK keliru dalam memutuskan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Sipil Untuk Pemilu Serentak.
"MK menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Tapi, pelaksanaan Pemilu serentak baru diberlakukan pada 2019 mendatang," ungkap Kuasa hukum Partai Gerindra, Habiburokhman, Jumat (24/1).
"Itu sangat kontradiktif. Itu merupakan kekhilafan fatal dari majelis hakim. Oleh karena itu, putusan tersebut harus dibatalkan karena ini kan dalam waktu dekat Pileg dan Pilpres. Kalau tidak serentak, maka dibiarkan Pemilu tidak konstitusional. Artinya tidak legitimate," ujarnya.
Habib menegaskan, tidak ada alasan teknis dan substansial yang memaksa MK menunda berlakunya putusan tersebut. Sebab, jika petimbangan majelis hakim adalah karena tahapan Pemilu sudah berjalan, maka Pemilu Legislatif bisa dimundurkan dua hingga tiga bulan.
"Lebih mudah mengundurkan Pileg dan Pilpres secara serentak pada tiga bulan ke depan. Karena itu hanya soal teknis saja, apa susahnya. Ketimbang hasil Pileg dan Pilpres tahun ini (2014) tak memiliki legalitasnya," tandasnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi School of Government Fadjroel Rachman mempertanyakan penundaan pembacaan putusan MK hingga sembilan bulan yang menjadikan jarak pembacaan putusan pemilu serentak dan pelaksanaan Pemilu 2014 menjadi begitu mepet, hanya selisih tiga bulan.
”Kenapa begitu lama diumumkannya putusan itu? ” tukasnya. Menurutnya, masalahan teknis dan prosedur tak bisa menjadi alasan penundaan hak konstitusional rakyat Indonesia hingga 2019.
Hal senada disampaikan kuasa hukum KMUPS, Wakil Kamal. Dia mengatakan Pemilu 2014 yang dilakukan terpisah antara pileg dan pilpres jelas-jelas inkonstitusional, maka penundaan pemilu serentak menjadi 2019 pun inkonstitusional.
”MK telah menyatakan pemilu terpisah itu adalah pelanggaran konstitusi, maka penundaan pemilu serentak dari 2014 ke 2019 jelas pelanggaran konstitusi pula. Ini pelanggaran serius terhadap konstitusi karena menunda hak warga negara, hak pemilih untuk menggunakan hak pilih dengan cerdas,” jelasnya.
Terkait kesulitan KPU kalau pemilu serentak dilakukan tahun ini, menurut dia, dengan sedikit menunda waktu pemilu lantas menambah persediaan logistik pemilu seperti kotak suara, maka pemilu serentak niscaya dilakukan tahun ini ”Persoalan teknis tinggal ditunda misalnya dua bulan, lantas menambah kotak suara, saya kira KPU siap,” pungkas Kamal. (ind)
Sumber
Spoiler for Sumber Lain:
Spoiler for Bukti celah hukum Putusan MK:
Spoiler for PUTUSAN MK
Nomor 14/PUU-XI/2013 BAB 5 Pasal 1 dan 2 Dibacakan tanggal 23 Januari 2014:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan
Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan
pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;
Sumber
Spoiler for UU No. 24 tahun 2003 Tentang MK:
Pasal 47
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka
untuk umum.
Sumber
Kasian Jasmev, JKW ternyata cuma mentok jadi capres terpilih versi Pilpres 2014 yg ternyata Inkonstitusional.
Dilantik jadi presiden juga percuma, digoyang dikit sama parlemen juga pasti lengser, namanya aja kepilih secara inkonstitusional.



Spoiler for Pertanyaan:
Buat yg bertanya, mengapa kami tetap mengikuti Pilpres 2014 padahal sudah tahu Pilpres 2014 sebenarnya inkonstitusional, ini jawabannya :
Karena kami dari awal percaya pihak JKW tidak akan menggugat LEGALITAS Pilpres 2014 dan hanya akan menggugat HASIL Pilpres 2014 jika kalah.
Diubah oleh sukanawar2 23-07-2014 05:46
0
7.2K
Kutip
109
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan