- Beranda
- Komunitas
- News
- Entrepreneur Corner
Teh Neneng Sukses Berbisnis Kebun Agrobisnis
TS
eCIPUTRA.com
Teh Neneng Sukses Berbisnis Kebun Agrobisnis
Teh Neneng mungkin tak mengenal fenomenologi ala Simone De Beauvoir mengenai kesetaraan gender, namun, perempuan 28 tahun ini begitu tahu bahwa kodratnya sebagai perempuan tak bisa menghentikannya untuk sukses secara ekonomi.
"Perempuan jaman sekarang jangan kalah dari laki-laki, kita juga harus berusaha biar sukses," kata Teh Eneng di Bandung.
Hasil tani dari kebun miliknya ini, dia pasarkan ke pasar-pasar lokal tradisional dan pasar induk di sekitar Ciwidey. "Dulu saya hanya dibantu empat orang pegawai untuk mengelola kebun, sehari hasilnya cuma Rp800 ribu hingga Rp2 juta," kata Teh Eneng.
"Lalu saya berpikir saya tidak bisa terus begini, akhirnya saya mulai mencari tahu bagaimana caranya untuk berkembang," kata Teh Eneng.
Pada 2007, Teh Eneng berkenalan dengan LSM Satoe Indonesia yang awalnya adalah organisasi mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung. Satoe Indonesia memiliki satu program divisi bernama Pengembangan Usaha yang bertugas membuat dan mengembangkan secara berkelanjutan bisnis-bisnis potensial serta realistis untuk desaCiwidey.
"Dengan dukungan dari Satoe Indonesia, saya ikut pelatihan-pelatihan termasuk pelatihan teknik budidaya dan packing, selain itu, saya juga ikut pameran-pameran seperti Agro Expo di JCC," kata ibu satu anak ini.
Pameran dan pelatihan yang diikutinya, memungkinkan Teh Eneng bertemu dengan orang-orang dari industri pemasok ritel modern.
"Saya jadi mengenal yang namanya komoditas sayur eksklusif, bagaimana cara membudidayakan tanaman itu dengan baik, dan cara mengemas atau packaging yang benar sehingga bisa masuk ke ritel," katanya.
Sebelum ini, pengetahuan bercocok tanam hanya dia dapat berdasarkan pengetahuan turun temurun dari orang tuanya. "Sekarang, dibantu 26 karyawan yang bekerja di kebun, gudang, dan pengemasan, saya bisa ekspor ke luar negeri dan masuk ke 13 ritel modern di Jakarta," kata dia.
Disebutnyalah beberapa tempat di Jakarta, seperti Lebak Bulus, MT Haryono, Season City, Ciledug, Cempaka Mas, TMII, dan Ambassador.
Sayuran yang diproduksi Teh Eneng telah mendapat sertifikasi sayuran semiorganik, yaitu sayuran berpestisida minimum. Dari 60 hektare kebun sayurnya,
Teh Eneng bisa menghasilkan tiga ton sayuran lokal dan tiga kwintal sayuran eksklusif setiap hari. Yang disebutnya sayuran eksklusif adalah sayuran ekspor seperti brokoli, adamame, kabocah atau labu Jepang, kyuri atau timun Jepan.
Kini, Teh Eneng bisa memasok sayuran ke swalayan-swalayan besar tiga kali dalam seminggu dengan minimum order 300 kilo untuk 54 komoditas sayuran. "Permintaannya sih tiap hari dikirim, tapi kami belum bisa mengejar permintaan itu," kata Teh Eneng.
Masalah modal adalah kendala utama baginya dalam mengembangkan bisnis. Dia mungkin sulit menambah modal, tapi dia sama sekali tidak sulit menurunkan ilmu kewirausahaan nya kepada para petani Ciwidey. 270 petani di daerah ini dia bimbing dengan membaginya ke dalam 23 gapoktan (gabungan kelompok tani).
"Harapan saya, para petani Ciwidey bisa menjadi sukses dan merajai ritel nasional dan internasional," kata Teh Eneng.
Satu impian mulia. Namun lebih dari itu, Teh Eneng telah mempermak wajah pertanian Indonesia yang sebelum ini identik dengan dunia laki-laki.
Tani sering dipahami sebagai profesi maskulin yang melulu mengandalkan kekuatan otot, tapi Teh Eneng telah membuktikan itu tidaklah terlalu benar, karena tani ternyata juga profesi feminis yang mesti juga mengeksplorasi kecerdasan akal.
sumber
"Perempuan jaman sekarang jangan kalah dari laki-laki, kita juga harus berusaha biar sukses," kata Teh Eneng di Bandung.
Hasil tani dari kebun miliknya ini, dia pasarkan ke pasar-pasar lokal tradisional dan pasar induk di sekitar Ciwidey. "Dulu saya hanya dibantu empat orang pegawai untuk mengelola kebun, sehari hasilnya cuma Rp800 ribu hingga Rp2 juta," kata Teh Eneng.
"Lalu saya berpikir saya tidak bisa terus begini, akhirnya saya mulai mencari tahu bagaimana caranya untuk berkembang," kata Teh Eneng.
Pada 2007, Teh Eneng berkenalan dengan LSM Satoe Indonesia yang awalnya adalah organisasi mahasiswa Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung. Satoe Indonesia memiliki satu program divisi bernama Pengembangan Usaha yang bertugas membuat dan mengembangkan secara berkelanjutan bisnis-bisnis potensial serta realistis untuk desaCiwidey.
"Dengan dukungan dari Satoe Indonesia, saya ikut pelatihan-pelatihan termasuk pelatihan teknik budidaya dan packing, selain itu, saya juga ikut pameran-pameran seperti Agro Expo di JCC," kata ibu satu anak ini.
Pameran dan pelatihan yang diikutinya, memungkinkan Teh Eneng bertemu dengan orang-orang dari industri pemasok ritel modern.
"Saya jadi mengenal yang namanya komoditas sayur eksklusif, bagaimana cara membudidayakan tanaman itu dengan baik, dan cara mengemas atau packaging yang benar sehingga bisa masuk ke ritel," katanya.
Sebelum ini, pengetahuan bercocok tanam hanya dia dapat berdasarkan pengetahuan turun temurun dari orang tuanya. "Sekarang, dibantu 26 karyawan yang bekerja di kebun, gudang, dan pengemasan, saya bisa ekspor ke luar negeri dan masuk ke 13 ritel modern di Jakarta," kata dia.
Disebutnyalah beberapa tempat di Jakarta, seperti Lebak Bulus, MT Haryono, Season City, Ciledug, Cempaka Mas, TMII, dan Ambassador.
Sayuran yang diproduksi Teh Eneng telah mendapat sertifikasi sayuran semiorganik, yaitu sayuran berpestisida minimum. Dari 60 hektare kebun sayurnya,
Teh Eneng bisa menghasilkan tiga ton sayuran lokal dan tiga kwintal sayuran eksklusif setiap hari. Yang disebutnya sayuran eksklusif adalah sayuran ekspor seperti brokoli, adamame, kabocah atau labu Jepang, kyuri atau timun Jepan.
Kini, Teh Eneng bisa memasok sayuran ke swalayan-swalayan besar tiga kali dalam seminggu dengan minimum order 300 kilo untuk 54 komoditas sayuran. "Permintaannya sih tiap hari dikirim, tapi kami belum bisa mengejar permintaan itu," kata Teh Eneng.
Masalah modal adalah kendala utama baginya dalam mengembangkan bisnis. Dia mungkin sulit menambah modal, tapi dia sama sekali tidak sulit menurunkan ilmu kewirausahaan nya kepada para petani Ciwidey. 270 petani di daerah ini dia bimbing dengan membaginya ke dalam 23 gapoktan (gabungan kelompok tani).
"Harapan saya, para petani Ciwidey bisa menjadi sukses dan merajai ritel nasional dan internasional," kata Teh Eneng.
Satu impian mulia. Namun lebih dari itu, Teh Eneng telah mempermak wajah pertanian Indonesia yang sebelum ini identik dengan dunia laki-laki.
Tani sering dipahami sebagai profesi maskulin yang melulu mengandalkan kekuatan otot, tapi Teh Eneng telah membuktikan itu tidaklah terlalu benar, karena tani ternyata juga profesi feminis yang mesti juga mengeksplorasi kecerdasan akal.
sumber
Diubah oleh eCIPUTRA.com 26-05-2014 16:54
0
1.3K
3
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan