- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
[MOTIVED] KISAH SEEKOR ELANG
TS
Ms.Noer
[MOTIVED] KISAH SEEKOR ELANG
INI CERITA ANE BUAT SENDIRI. TERUS DIKAITIN SAMA KISAH BURUNG ELANG. SEMOGA BERMANFAAT GAN.
YANG SABAR BACANYA, EMANG RADA PEGEL.


KASIH KOMENG YA GAN
YANG SABAR BACANYA, EMANG RADA PEGEL.



KASIH KOMENG YA GAN

Spoiler for CHECK THIS OUT:
Malam itu saya sedang duduk santai depan teras rumah sambil ditemani salah satu penemuan hebat manusia, Smartphone. Ada banyak kelebihan dari penemuan ini, dan tidak sedikit juga kekurangannya. Teknologi membuat kita lebih mudah meng-ngenali dunia. Dengan adanya internet, hal apapun bisa kita ketahui hanya dari tangan kita. Kalau dulu, mungkin kita harus pergi ke warnet terdekat untuk mencari sebuah informasi. Jaman sudah berbeda, dunia sudah berpindah. Tapi, kemudian kita lupa dan mengabaikan komunikasi verbal dengan sekitar kita, termasuk keluarga.
Mamah datang dengan piring kecil berisi buah mangga yang sudah dipotong dan dikupas kulitnya.
“Sakti, nih mangga, manis banget” sambil duduk disebelah saya dan menawarkan mangga itu.
“Iya mah, simpen dulu aja”
Moment seperti ini memang tidak bisa dipungkuri, JARANG TERJADI. Di jaman modern seperti ini, kita lebih sering menghabiskan waktu luang kita dengan gadget yang kita gemgam dibanding mencari kesempatan untuk sekedar berbincang dengan sekitar.
Saya adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di kota Bandung. Sedangkan kedua orang tua saya tinggal di kota yang berbeda. Artinya, kesempatan seperti tadi memang jarang saya temui karena mengingat jarangnya saya pulang kerumah kedua orang tua. Maka saya letakan Smartphone yang saya pegang, lalu mencicipi mangga manis itu sembari mencari topik yang menarik untuk kita bicarakan. Saya tertarik untuk menanyakan beberapa hal mengenai rumah baru ini. Ya, September 2013, mamah baru saja membeli sebuah rumah di komplek perumahan baru, tak jauh dari komplek perumahan kita sebelumnya.
Sudah hampir satu tahun kok masih dibilang baru???
Orang tua saya memang sudah hampir satu tahun pindah kerumah ini, tapi tidak dengan saya. Mungkin bisa dihitung menggunakan jari, berapa malam saya tidur dirumah ini. Dan ini adalah pindah rumah saya yang ke-2. Pindah rumah yang pertama terjadi pada saat saya berusia 3tahun setengah. Waktu itu, kita tinggal di Bandung, dan karena alasan pekerjaan, papah pindah ke kota kecil ini.
Awal September tahun lalu, saya harus meninggalkan Indonesia. Ada satu kewajiban dari kampus yang harus saya kerjakan di Negara luar. Artinya, saya tidak mengalami moment perpindahan itu secara langsung. Saya tidak menemani mamah mencari-cari rumah baru, saya tidak mengepack barang-barang yang saya punya, bahkan saya tidak sempat membantu orang tua memindahkan semua barang-barang itu.
“Kenapa bukan pilih rumah yang ada hook nya mah?” Tanya saya sambil memakan mangga potongan ke dua.
“Udah habis, ini juga untung-untungan dapet disini. Kan sistemnya kita pesen dulu, terus nanti baru dibangun. Rumah ini dulu udah ada yang pesen, tapi yang pesen ga jadi beli karena ada masalah dikit” jelas mamah.
“Coba kalau mamah beli lebih awal, kan lumayan perbedaan harganya hampir 20jtan dari tanggal mamah beli ini” mamah melanjutkan sembari meminum kopi yang dia buat.
Rumah ini memang tampak lebih kecil dari pada rumah sebelumnya. Untuk memindahkan semua barang di rumah dulu ke rumah baru, memang tidak mungkin. Sehingga, sebagian barang dititipkan ke tetangga yang baru saja menikah. Ini namanya simbiosis mutualisme. Hehe.
Kalau bicara soal kenangan, tidak bisa dipungkiri, memang banyak sekali kenangan dirumah dulu itu. Rumah yang menemani kita lebih dari 15tahun. Saya ingat waktu rumah dulu itu pertama di renovasi, saya dan papah bermain layang-layang di dalam rumah (karena atap rumah belum jadi sempurna). Saya ingat waktu pertama pindah kamar, ke kamar yang lebih besar, cat dan dekorasipun saya tetapkan sendiri. Saya ingat ketika mulai beranjak remaja, membawa teman wanita sebaya dan memperkenalkan kepada orang tua. Saya ingat pertama kali dibelikan sepada motor, dibulan-bulan pertama, garasi rumah berubah menjadi tempat cuci motor di hari minggu. Tidak hanya kejadian-kejadian manis, banyak juga kejadian yang tidak saya inginkan, terjadi dirumah itu.
“Kenapa pindah mah” saya melanjutkan pertanyaan.
“Mamah kan udah tua, kalau ngurus rumah yang dulu, terlalu capek buat mamahnya. Anak-anak domisili diluar kota kan. Terus rumah dulu bisa di kontrakin, lumayan muterin uang” terang mamah.
Untuk usia nya yang memang sudah tidak muda, alasan ini cukup logis.
Dari penjelasan mamah tadi, mengingatkan saya bahwa saya pun harus segera “pindah”. Pindah dari yang dulu hidup dengan mereka, pindah dari yang dulu dapat asupan financial dari mereka, ke hidup yang lebih mandiri secara tempat tinggal dan financial. Karena perpindahan itu adalah suatu fase yang akan dihadapi oleh setiap manusia. Kadang kita harus mengorbankan sesuatu demi sebuah perpindahan itu sendiri, kadang juga kita harus siap meninggalkan kebiasan lama dan berpindah kepada kebiasan baru yang dinilai lebih baik. Perpindahan selalu dikaitkan dengan kepergian, kepergian kadang menjadi sebuah kesediahan. Kita, terkadang terlalu berfikir bahwa ini adalah sebuah perpisahan yang membuat kita harus meninggalkan sesuatu yang kita rasa aman dan nyaman. Sehingga kita TAKUT, apakah hal baru tersebut akan terasa aman dan nyaman? Atau malah sebaliknya.
Saya masih ingat, ketika seorang teman memutuskan untuk pindah universitas. Karena apa yang universitasnya beri dengan apa yang dia diinginkan itu berbeda, sudah tidak cocok. Maka dia putuskan untuk pindah dengan penuh resiko. Intinya adalah, dia sudah berani meninggalkan apa yang dia anggap sudah tidak cocok untuk nya dan berharap menemukan sesuatu yang cocok di depan. Sama seperti kedua orang tua saya yang memutuskan untuk pindah rumah. Rumah dengan ukuran besar tapi hanya dihuni oleh dua orang yang sudah memasuki usia +50, bukanlah rumah yang ideal, sudah tidak cocok.
Saya akan menutup artikel ini, untuk mereka yang masih takut akan suatu pilihan, dengan memberikan beberapa pesan moral yang terdapat pada seekor burung elang.
Elang adalah jenis unggas yang mempunyai hidup paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70tahun. Namun, seekor elang harus mengambil keputusan yang sangat berat pada usia 40tahun demi mencapai usia 70. Ketika berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Tidak dapat lagi terbang sempurna karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal.
Maka, hanya ada dua pilihan pada saat itu. Menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi. Proses ini bisa memakan waktu 150hari. Untuk melakukan proses transformasi, seekor elang harus terbang keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang. Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian menunggu tumbuhnya paruh baru. Ketika paruh baru tersebut mulai tumbuh, elang harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya. Lalu, mencabut bulu badannya satu demi satu.
Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, semua bulu, cakar, dan paruh baru sudah tumbuh. Elang pun bisa terbang sempurna dan menjalani 30 tahun kedepan dengan penuh energi.
Andai manusia dapat belajar dari SANG ELANG.
Mamah datang dengan piring kecil berisi buah mangga yang sudah dipotong dan dikupas kulitnya.
“Sakti, nih mangga, manis banget” sambil duduk disebelah saya dan menawarkan mangga itu.
“Iya mah, simpen dulu aja”
Moment seperti ini memang tidak bisa dipungkuri, JARANG TERJADI. Di jaman modern seperti ini, kita lebih sering menghabiskan waktu luang kita dengan gadget yang kita gemgam dibanding mencari kesempatan untuk sekedar berbincang dengan sekitar.
Saya adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di kota Bandung. Sedangkan kedua orang tua saya tinggal di kota yang berbeda. Artinya, kesempatan seperti tadi memang jarang saya temui karena mengingat jarangnya saya pulang kerumah kedua orang tua. Maka saya letakan Smartphone yang saya pegang, lalu mencicipi mangga manis itu sembari mencari topik yang menarik untuk kita bicarakan. Saya tertarik untuk menanyakan beberapa hal mengenai rumah baru ini. Ya, September 2013, mamah baru saja membeli sebuah rumah di komplek perumahan baru, tak jauh dari komplek perumahan kita sebelumnya.
Sudah hampir satu tahun kok masih dibilang baru???
Orang tua saya memang sudah hampir satu tahun pindah kerumah ini, tapi tidak dengan saya. Mungkin bisa dihitung menggunakan jari, berapa malam saya tidur dirumah ini. Dan ini adalah pindah rumah saya yang ke-2. Pindah rumah yang pertama terjadi pada saat saya berusia 3tahun setengah. Waktu itu, kita tinggal di Bandung, dan karena alasan pekerjaan, papah pindah ke kota kecil ini.
Awal September tahun lalu, saya harus meninggalkan Indonesia. Ada satu kewajiban dari kampus yang harus saya kerjakan di Negara luar. Artinya, saya tidak mengalami moment perpindahan itu secara langsung. Saya tidak menemani mamah mencari-cari rumah baru, saya tidak mengepack barang-barang yang saya punya, bahkan saya tidak sempat membantu orang tua memindahkan semua barang-barang itu.
“Kenapa bukan pilih rumah yang ada hook nya mah?” Tanya saya sambil memakan mangga potongan ke dua.
“Udah habis, ini juga untung-untungan dapet disini. Kan sistemnya kita pesen dulu, terus nanti baru dibangun. Rumah ini dulu udah ada yang pesen, tapi yang pesen ga jadi beli karena ada masalah dikit” jelas mamah.
“Coba kalau mamah beli lebih awal, kan lumayan perbedaan harganya hampir 20jtan dari tanggal mamah beli ini” mamah melanjutkan sembari meminum kopi yang dia buat.
Rumah ini memang tampak lebih kecil dari pada rumah sebelumnya. Untuk memindahkan semua barang di rumah dulu ke rumah baru, memang tidak mungkin. Sehingga, sebagian barang dititipkan ke tetangga yang baru saja menikah. Ini namanya simbiosis mutualisme. Hehe.
Kalau bicara soal kenangan, tidak bisa dipungkiri, memang banyak sekali kenangan dirumah dulu itu. Rumah yang menemani kita lebih dari 15tahun. Saya ingat waktu rumah dulu itu pertama di renovasi, saya dan papah bermain layang-layang di dalam rumah (karena atap rumah belum jadi sempurna). Saya ingat waktu pertama pindah kamar, ke kamar yang lebih besar, cat dan dekorasipun saya tetapkan sendiri. Saya ingat ketika mulai beranjak remaja, membawa teman wanita sebaya dan memperkenalkan kepada orang tua. Saya ingat pertama kali dibelikan sepada motor, dibulan-bulan pertama, garasi rumah berubah menjadi tempat cuci motor di hari minggu. Tidak hanya kejadian-kejadian manis, banyak juga kejadian yang tidak saya inginkan, terjadi dirumah itu.
“Kenapa pindah mah” saya melanjutkan pertanyaan.
“Mamah kan udah tua, kalau ngurus rumah yang dulu, terlalu capek buat mamahnya. Anak-anak domisili diluar kota kan. Terus rumah dulu bisa di kontrakin, lumayan muterin uang” terang mamah.
Untuk usia nya yang memang sudah tidak muda, alasan ini cukup logis.
Dari penjelasan mamah tadi, mengingatkan saya bahwa saya pun harus segera “pindah”. Pindah dari yang dulu hidup dengan mereka, pindah dari yang dulu dapat asupan financial dari mereka, ke hidup yang lebih mandiri secara tempat tinggal dan financial. Karena perpindahan itu adalah suatu fase yang akan dihadapi oleh setiap manusia. Kadang kita harus mengorbankan sesuatu demi sebuah perpindahan itu sendiri, kadang juga kita harus siap meninggalkan kebiasan lama dan berpindah kepada kebiasan baru yang dinilai lebih baik. Perpindahan selalu dikaitkan dengan kepergian, kepergian kadang menjadi sebuah kesediahan. Kita, terkadang terlalu berfikir bahwa ini adalah sebuah perpisahan yang membuat kita harus meninggalkan sesuatu yang kita rasa aman dan nyaman. Sehingga kita TAKUT, apakah hal baru tersebut akan terasa aman dan nyaman? Atau malah sebaliknya.
Saya masih ingat, ketika seorang teman memutuskan untuk pindah universitas. Karena apa yang universitasnya beri dengan apa yang dia diinginkan itu berbeda, sudah tidak cocok. Maka dia putuskan untuk pindah dengan penuh resiko. Intinya adalah, dia sudah berani meninggalkan apa yang dia anggap sudah tidak cocok untuk nya dan berharap menemukan sesuatu yang cocok di depan. Sama seperti kedua orang tua saya yang memutuskan untuk pindah rumah. Rumah dengan ukuran besar tapi hanya dihuni oleh dua orang yang sudah memasuki usia +50, bukanlah rumah yang ideal, sudah tidak cocok.
Saya akan menutup artikel ini, untuk mereka yang masih takut akan suatu pilihan, dengan memberikan beberapa pesan moral yang terdapat pada seekor burung elang.
Elang adalah jenis unggas yang mempunyai hidup paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70tahun. Namun, seekor elang harus mengambil keputusan yang sangat berat pada usia 40tahun demi mencapai usia 70. Ketika berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Tidak dapat lagi terbang sempurna karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal.
Maka, hanya ada dua pilihan pada saat itu. Menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi. Proses ini bisa memakan waktu 150hari. Untuk melakukan proses transformasi, seekor elang harus terbang keatas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang ditepi jurang. Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian menunggu tumbuhnya paruh baru. Ketika paruh baru tersebut mulai tumbuh, elang harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya. Lalu, mencabut bulu badannya satu demi satu.
Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, semua bulu, cakar, dan paruh baru sudah tumbuh. Elang pun bisa terbang sempurna dan menjalani 30 tahun kedepan dengan penuh energi.
Andai manusia dapat belajar dari SANG ELANG.
0
1.7K
Kutip
10
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan