- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
senja itu, 24 july 2014


TS
azkaesa
senja itu, 24 july 2014
ane numpang curhat gan 

Quote:
Senja itu, langit cerah. Hanya ada sedikit awan yang berarak mengitari luas langit tanpa batas. Angin berhembus lamban seolah menyapa kedatanganku. Bersama motor bututku, aku datang. Menghampiri. Sekedar mengobati rindu.
Entah perasaan apa, semua bercampur aduk. Emosi yg meluap seolah tak tertahan ketika tepat aku berdiri di sandingnya. Di sanding batu nisan itu. Tak ada kata, tak ada suara. Hanya hati yang berbicara. Hanya mata yang perlahan berlinang. Hanya... tidak ada, tidak ada makna selain doa yang terus dan terus terucap di dalam sanubari.
Jauh di ujung pandangan mata, pikiranku hilang ntah kemana. Mengingat semua memori dan kejadian. Mengingat semua kisah dan kenangan. Teringatkan kasih sayangnya.
Semua terlihat jelas, ketika ia masih bisa ku dengar. Matanya yang indah masih bisa kutatap dalam. Perkataan-perkataan hangat yang selalu menyertai hari-hariku. Kini, semua itu terlintas di benakku. Aku memang seorang pria, aku pun bisa di bilang dewasa. Tapi hati ini tak sanggup untuk menahan air mata yang mengalir. Hati ini terlalu rindu.
27 juli setahun silam, betapa perih dan tak kuasanya diri ini. Ketika seseorang yang tersayang, terkasih, harus direlakan untuk pergi selamanya. Bukan takdir yang patut disalahkan, bukan pula waktu yang terasa singkat. Inilah suratan Tuhan. Tiada yang bisa mengelak.
Sakit itu telah merenggut nyawanya. Tidak, bukan sakitlah yg salah, ini sudah suratan! Tak bisa di tolak! Saat-saat terakhir aku bisa melihat wajahnya. Beberapa detik, hanya beberapa detik. Tapi saat itulah yg sangat kurindukan sekarang.
Selalu kucoba ikhlas, selalu ku coba tegar, dan selalu ku coba untuk terbiasa. Ikhlas untuk menerima kepergiannya, tegar untuk tetap menjalani hidup tanpa dirinya, serta terbiasa untuk senantiasa mendoakannya. Walau mungkin, doaku bukanlah doa dari seorang anak kandungnya, tapi dialah ibu bagiku. dialah orang tua ku.
Ibu, sosoknya yang sangat aku rindukan. Sosoknya yang sangat aku kagumi. Sosoknya yang lembut dan penyayang, penyabar dan selalu hangat. Bait-bait tutur katanya yang selalu mengayomi. Nasihat-nasihatnya yang selalu menjaga. Serta senyumnya yang...
Ibu, tenangkah engkau disana? Bahagiakah engkau bersama-Nya?
Aku tahu engkau baik, aku yakin Tuhan pun tau itu, pasti engkau diberikan tempat yang baik pula. Aku tahu engkau menyayangiku, aku pun yakin Tuhan tau, pasti Tuhan selalu senantiasa menyayangimu. Ibu, engkau selalu tersenyum dipagi hari ketika aku membuka mata, tutur lembutmu yang selalu menyambutku saat pagi buta mengingatkan ku untuk menyembah-Nya.
Ibu, bagaimana keadaanmu disana? Apakah mereka yang kau temui itu baik-baik sepertimu? Apakah engkau merindukanku seperti aku merindumu, ibu?
Tiap fajar kau selalu menyiapkan sarapan untukku, selalu menyiapkan keperluan sekolah ku untuk hari itu. Bukan karena kau tidak ingin aku mandiri, tapi aku tau, karena kau menyayangiku. Kau selalu menuntunku, memberikan arah untuk melanjutkan masa depanku yang indah. Meski kini, aku tak bisa membuatmu bangga :’)
Maafkan aku ibu, karena masih terlalu cengeng. Maaf karena aku tak bisa menahan air mataku saat dirimu pergi. Aku tau itu memberatkan kepergianmu, maaf ibu. Maaf karena selama ini aku belum bisa membanggakanmu, belum bisa menjadi sosok yang engkau banggakan.
Maaf bu. Aku masih terlalu kecil. Aku selalu kecil di hadapanmu. Tingkahku masih seperti anak2 yang ingin dimanja dan dimanja. Tapi kuharap kau tau, aku begitu karena aku menyayangimu.
Roda kehidupan memang terus berputar. Alangkah indah waktu yang telah kita lalui bersama. Alangkah indah kenangan kita.
Aku selalu merindukan masakanmu yang lezat itu. Bagiku engkau adalah chef terbaik yang pernah aku kenal. Kau bisa masak apapun, dan itu pasti menjadi makanan favoritku.
Aku ingat saat aku ingin belajar memasak denganmu, aku sangat ingin bisa menjadi chef sepertimu. Tapi semua itu.....
Ibu, aku ingin melihat senyummu. Sekali saja... bisakah kau datang malam nanti ke dalam mimpiku?
Ibu, kapan aku bisa mendengarkan ocehan bawelanmu lagi? Aku suka saat kau memarahiku, saat kau membentakku, aku suka bu, aku rindu...
Bu, maafkan aku. Jika aku belum cukup berbakti selama ini. Masih banyak airmatamu yang tumpah karena ulahku, dan belum sempat aku hapuskan.
Maafkan aku karena aku jarang mengunjungimu. Maaf bu.
Maaf, mungkin kau melihatku dari atas sana, atau dari manapun itu, aku tau kau selalu mengawasiku, maaf atas tingkahku yang konyol, kekanak-kanakan dan membuatmu jengkel.
Maaf aku tidak bisa merawatmu di hari tuamu, meski aku sangat ingin melakukannya. Aku ingin menyelimutimu kala kau kedinginan. Aku ingin menyuapimu di pagi hari dengan bubur yang biasa kau buatkan untukku. Aku ingin mengelap kakimu tiap sore sebelum kau beranjak tidur. Aku ingin menggenggam tanganmu saat dirimu rapuh. Aku ingin waktu yang lebih lama bagi kita bu.
Cukupkah aku berbakti padamu? Jauh kurasa, jauh dari kata berbakti.
Ibu...
Tak pernah henti aku merindukan sosokmu. Tak pernah, dan tak akan pernah.
Entah perasaan apa, semua bercampur aduk. Emosi yg meluap seolah tak tertahan ketika tepat aku berdiri di sandingnya. Di sanding batu nisan itu. Tak ada kata, tak ada suara. Hanya hati yang berbicara. Hanya mata yang perlahan berlinang. Hanya... tidak ada, tidak ada makna selain doa yang terus dan terus terucap di dalam sanubari.
Jauh di ujung pandangan mata, pikiranku hilang ntah kemana. Mengingat semua memori dan kejadian. Mengingat semua kisah dan kenangan. Teringatkan kasih sayangnya.
Semua terlihat jelas, ketika ia masih bisa ku dengar. Matanya yang indah masih bisa kutatap dalam. Perkataan-perkataan hangat yang selalu menyertai hari-hariku. Kini, semua itu terlintas di benakku. Aku memang seorang pria, aku pun bisa di bilang dewasa. Tapi hati ini tak sanggup untuk menahan air mata yang mengalir. Hati ini terlalu rindu.
27 juli setahun silam, betapa perih dan tak kuasanya diri ini. Ketika seseorang yang tersayang, terkasih, harus direlakan untuk pergi selamanya. Bukan takdir yang patut disalahkan, bukan pula waktu yang terasa singkat. Inilah suratan Tuhan. Tiada yang bisa mengelak.
Sakit itu telah merenggut nyawanya. Tidak, bukan sakitlah yg salah, ini sudah suratan! Tak bisa di tolak! Saat-saat terakhir aku bisa melihat wajahnya. Beberapa detik, hanya beberapa detik. Tapi saat itulah yg sangat kurindukan sekarang.
Selalu kucoba ikhlas, selalu ku coba tegar, dan selalu ku coba untuk terbiasa. Ikhlas untuk menerima kepergiannya, tegar untuk tetap menjalani hidup tanpa dirinya, serta terbiasa untuk senantiasa mendoakannya. Walau mungkin, doaku bukanlah doa dari seorang anak kandungnya, tapi dialah ibu bagiku. dialah orang tua ku.
Ibu, sosoknya yang sangat aku rindukan. Sosoknya yang sangat aku kagumi. Sosoknya yang lembut dan penyayang, penyabar dan selalu hangat. Bait-bait tutur katanya yang selalu mengayomi. Nasihat-nasihatnya yang selalu menjaga. Serta senyumnya yang...
Ibu, tenangkah engkau disana? Bahagiakah engkau bersama-Nya?
Aku tahu engkau baik, aku yakin Tuhan pun tau itu, pasti engkau diberikan tempat yang baik pula. Aku tahu engkau menyayangiku, aku pun yakin Tuhan tau, pasti Tuhan selalu senantiasa menyayangimu. Ibu, engkau selalu tersenyum dipagi hari ketika aku membuka mata, tutur lembutmu yang selalu menyambutku saat pagi buta mengingatkan ku untuk menyembah-Nya.
Ibu, bagaimana keadaanmu disana? Apakah mereka yang kau temui itu baik-baik sepertimu? Apakah engkau merindukanku seperti aku merindumu, ibu?
Tiap fajar kau selalu menyiapkan sarapan untukku, selalu menyiapkan keperluan sekolah ku untuk hari itu. Bukan karena kau tidak ingin aku mandiri, tapi aku tau, karena kau menyayangiku. Kau selalu menuntunku, memberikan arah untuk melanjutkan masa depanku yang indah. Meski kini, aku tak bisa membuatmu bangga :’)
Maafkan aku ibu, karena masih terlalu cengeng. Maaf karena aku tak bisa menahan air mataku saat dirimu pergi. Aku tau itu memberatkan kepergianmu, maaf ibu. Maaf karena selama ini aku belum bisa membanggakanmu, belum bisa menjadi sosok yang engkau banggakan.
Maaf bu. Aku masih terlalu kecil. Aku selalu kecil di hadapanmu. Tingkahku masih seperti anak2 yang ingin dimanja dan dimanja. Tapi kuharap kau tau, aku begitu karena aku menyayangimu.
Roda kehidupan memang terus berputar. Alangkah indah waktu yang telah kita lalui bersama. Alangkah indah kenangan kita.
Aku selalu merindukan masakanmu yang lezat itu. Bagiku engkau adalah chef terbaik yang pernah aku kenal. Kau bisa masak apapun, dan itu pasti menjadi makanan favoritku.
Aku ingat saat aku ingin belajar memasak denganmu, aku sangat ingin bisa menjadi chef sepertimu. Tapi semua itu.....
Ibu, aku ingin melihat senyummu. Sekali saja... bisakah kau datang malam nanti ke dalam mimpiku?
Ibu, kapan aku bisa mendengarkan ocehan bawelanmu lagi? Aku suka saat kau memarahiku, saat kau membentakku, aku suka bu, aku rindu...
Bu, maafkan aku. Jika aku belum cukup berbakti selama ini. Masih banyak airmatamu yang tumpah karena ulahku, dan belum sempat aku hapuskan.
Maafkan aku karena aku jarang mengunjungimu. Maaf bu.
Maaf, mungkin kau melihatku dari atas sana, atau dari manapun itu, aku tau kau selalu mengawasiku, maaf atas tingkahku yang konyol, kekanak-kanakan dan membuatmu jengkel.
Maaf aku tidak bisa merawatmu di hari tuamu, meski aku sangat ingin melakukannya. Aku ingin menyelimutimu kala kau kedinginan. Aku ingin menyuapimu di pagi hari dengan bubur yang biasa kau buatkan untukku. Aku ingin mengelap kakimu tiap sore sebelum kau beranjak tidur. Aku ingin menggenggam tanganmu saat dirimu rapuh. Aku ingin waktu yang lebih lama bagi kita bu.
Cukupkah aku berbakti padamu? Jauh kurasa, jauh dari kata berbakti.
Ibu...
Tak pernah henti aku merindukan sosokmu. Tak pernah, dan tak akan pernah.
0
1.7K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan