- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
KENYATAAN DI UNIVERSITAS INDONESIA


TS
ui.on.com
KENYATAAN DI UNIVERSITAS INDONESIA
Quote:



























BACA DENGAN SEKSAMA, AMATI, RENUNGI, SELIDIKI DAN PERBAIKI
RULES
YANG SILENT RIDER

YANG KOMEN GA JELAS/GA BERPENDIDIKAN

YANG NYENDOL

BERITA SATU
Spoiler for SATU BRO:
Mahasiswa Pemohon Keringanan SPP di UI Harus Siap Dihina
Februari 8, 2012
oleh : adearmando
Sekadar informasi BOPB adalah singkatan Biaya Operasional Pendidikan Berkeadilan. Rektor selama ini selalu menyatakan, UI akan menjamin hak orang miskin untuk kuliah di UI. Dia juga bilang, tak ada mahasiswa yang dikeluarkan UI karena kesulitan membayar kuliah.
Melalui BOPB, orang kaya akan bayar mahal, yang miskin bayar murah. Jadi standard SPP Rp 5 juta (ilmu social) dan Rp 7,5 juta (ilmu pasti alam) per semester itu hanya akan dikenakan pada orang kaya. Mereka yang tak mampu bisa meminta keringanan. Dalam skema BOPB, SPP terendah adalah Rp. 100.00 per semester.
Pimpinan UI menyatakan mereka akan menata pemasukan dari SPP ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan di UI. Jadi, menurut pimpinan UI, mereka memiliki angka total kebutuhan biaya pendidikan mahasiswa di setiap fakultas dan angka SPP akan dihitung berdasarkan total biaya yang diperlukan itu. Namanya student unit cost.
Kembali ke BOPB, untuk meminta keringanan, mahasiswa harus memenuhi banyak syarat yang harus dilengkapi dalam 10 hari:
o Surat keterangan dari RT/RW diketahui oleh Lurah setempat mengenai gaji orangtua;
o fotocopi rekening listrik, telepon, PAM (pertanyaan kalau autodebet bagaimana)
o foto rumah
o kartu pembayaran SPP kelas 3 SMA
Ini semua harus dilengkapi dalam 10 hari, tak boleh lebih. Dan untuk mengetahui waktu dimulainya masa permohonan keringanan ini, mahasiswa harus mengupdate informasi secara online.
Keputusan pemberian keringanan berlngsung secara tidak transparan di fakultas. Berikut ini adalah cerita mahasiswa tentang apa yang terjadi dalam tahap wawancara pada mahasiswa pemohon keringanan. Yang diceritakan memang kasus FMIPA, namn dari apa yang saya dengar, praktek serupa juga berlangsung di banyak tempat, meski tidak sebengis di FMIPA ini.
Silakan baca dan bersedih:
BOPB: Waktu, Nurani dan Transparansi
http://www.anakui.com/2011/12/27/upd...-transparansi/
27 December 2011 at 20:21
Waktu :
Jumat, 23 Desember 2011, adalah hari terakhir wawancara untuk update BOPB bagi mahasiswa yang mengalami kesulitan ekonomi khususnya untuk departemen Matematika, departemen Kimia dan departemen Farmasi (6 bulan lagi berubah menjadi Fakultas Farmasi).
Pemberitahuan cukup mendadak, entah pihak dekanat yang lambat, atau pihak mahasiswa yang kelupaan. Jam 10 pagi berkumpulah mahasiswa yang ingin update BOPB di depan ruang sidan B gd. Dekanat FMIPA. Cukup banyak, sekitar 20 orang. Setelah menunggu sekitar 35 menit, akhirnya 3 pewawancara datang dan memasuki ruangan, seperti biasa para birokrat memang sering telat.
Beberapa nama dipanggil dan ternyata menghabiskan waktu kurang lebih 30 menit untuk mewawancara 1 orang, sehingga akhirnya wawancara terpotong waktu istirahat. Jam setengah 2 wawancara dimulai kembali. Kali ini telat sekitar 10 menit, itupun baru 1 pewawancara, 2 lainnya telat sekitar 30 menit.
Dengan waktu wawancara yang cukup lama, wawancara diperkirakan akan berlanjut hingga sore hari, dan banyak mahasiswa yang telah mengorbankan waktu kuliahnya hanya untuk menunggu giliran wawancara yang tidak jelas dan kena imbas ketidaktepatan waktu pihak dekanat.
. . .
Nurani :
Hal terburuk yang mungkin terjadi dalam hidup manusia adalah hilangnya hati nurani. Pada dasarnya hati nurani dimiliki oleh semua orang, dan tidak dapat dipungkiri dalam setiap hal yang kita lakukan, hati nurani pasti mengambil andil. Sayangnya hal buruk ini terjadi di sebuah fakultas di Universitas Indonesia, dimana hati nurani dikekang oleh uang.
Tiga pewawancara, sebut saja Mr. ERA, Mr. Md, dan Mr. Sr, pasti punya hati nurani. Tapi beberapa mahasiswa keluar dari ruangan dengan air mata, kenapa? Berikut kutipan percakapan di dalam ruang sidang (berdasarkan pernyataan mahasiswa yang diwawancara)
Mahasiswi Y yang akan diwawancara masuk
Mr. ERA : Coba liat handphone kamu
Mahasiswi Y : Ini pak (sambil menyodorkan handphone)
Mr. ERA : Wah bagus kok, Blackberry, kamu kaya dong berarti
Mahasiswi Y : Bapak juga Blackberry
Mr. ERA : Lho, saya udah kerja 30 tahun, dan BB ini juga dikasih kok
Mahasiswi Y : Saya juga dikasih pak
Mr. ERA : Ooo gitu?
. . .
Mahasiswi F yang akan diwawancara masuk
Mr. ERA : Coba liat handphone kamu
Mahasiswi F : Ini pak (sambil menyodorkan handphone Nokia QWERTY)
Mr. ERA : Wah bagus kok, ini kayaknya nggak murah
Keuangan dinilai dari handphone, apakah valid? Tentu tidak, banyak mahasiswa rela menabung untuk membeli handphone yang cukup mahal karena menginginkan fitur yang lengkap yang memungkinkan kita terus update dan tidak ketinggalan informasi. Entah menabung dari hasil kerja sambilan, ngajar, atau mungkin uang bulanan dari orang tua. MENABUNG, bukan uang yang datang begitu saja dari orang tua.
Setelah handphone, ada percakapan yang lebih sadis lagi
Mahasiswi A yang menjelaskan alasan kenapa dia meminta BOP-nya turun
Mahasiswi A : Saya benar-benar tidak sanggup pak, rumah saya sekarang disita karena hutang, dan saya tidak akan mengajukan BOP kalau saya sanggup
Mr. ERA : Lho? Itu salah orang tua kamu dong, siapa suruh ngutang
Mahasiswi C yang menjelaskan alasan kenapa dia meminta BOP-nya turun
Mahasiswi C : Bapak saya di PHK pak, dan sekarang sakit, saya mohon pak, tolong saya
Mr. ERA : Ya udah, suruh aja bapak kamu kerja lagi
Mahasiswi C : Kalau kumat gimana pak? Bapak saya lagi sakit
Mr. ERA : Pokoknya kerja aja lagi
. . .
Mahasiswa D sedang diwawancara
Mahasiswa D : Pak, apa gunanya dong BOPB kalo uang yang kita bayar ditentukan oleh fakultas, bukan oleh kemampuan ekonomi kita sendiri?
Mr. ERA : Sekarang Fakultas lagi kekurangan uang, fasilitas sedang dibangun dan ternyata uang tidak mencukupi, lalu kamu masih mau meminta keringanan uang? Berarti uang kita makin berkurang dong..
Mahasiswa D : hanya terdiam
Seorang mahasiswi tidak terima dengan alasan tersebut dan mengeluarkan sebuah pernyataan
Mahasiswi E : Pak, saya bersedia bayar 5 juta asalkan fasilitas di departemen matematika diperbaiki
Mr. ERA : Lho, tidak bisa begitu, uangnya harus disalurkan ke dana praktikum dulu dong, kita mambutuhkan banyak dana untuk mendanai praktikum
Mahasiswi E : Lho? Matematika nggak butuh dana buat praktikum pak (di matematika praktikum hanya membutuhkan komputer dan tidak perlu biaya yang besar, semester lalu sekitar 50an komputer baru dipasang dan itupun sumbangan alumni, bukan dari fakultas)
Mr. ERA : Ya sudah kalo gitu, kalo kalian merasa mampu dan mau jalan sendiri, buka aja nanti fakultas baru, Fakultas Matematika, kayak Farmasi sekarang
Mr. Md, Mr.Sr juga sama keras dan sama kejamnya dalam mewawancara, seolah-olah mahasiswa harus tunduk pada kebijakan fakultas dan tidak bisa berbuat apa-apa meski sedang mengalami kesulitan ekonomi.
Saya yakin Mr. ERA, Mr. Md dan Mr. Sr dilahirkan dengan nurani di hatinya, tapi kemana nurani tersebut? Semua mahasiswi yang diwawancarai Mr. ERA keluar dengan air mata, ada yang bilang Mr. ERA tidak punya perasaan, tidak peduli kondisi ekonomi orang lain, ada juga yang bilang mulutnya lincah berkelit. Apakah mungkin nuraninya dibeli oleh uang senilai 5 juta?
Banyak mahasiswa yang merasa diperlakukan tidak adil. Memang benar, mahasiswa yang telah mengajukan BOPB sebelumnya tidak diwawancara lagi, bahkan 6 mahasiswa Geografi yang mengajukan update BOPB langsung ditolak dengan alasan telah mengajukan BOPB sebelumnya.
Kesulitan ekonomi orang berbeda-beda, dan mahasiswa yang mengajukan update BOPB pastilah punya alasan yang kuat mengenai kondisi ekonominya, lalu kenapa pewawancara yang menentukan besaran yang harus dibayar? Ada mahasiswa yang benar-benar tidak sanggup membayar meski telah mendapat keringanan dari semester pertama ,namun haknya untuk update BOPB telah dihilangkan oleh pihak fakultas. Apakah itu etis? Tentu TIDAK.
Transparansi :
Alasan yang aneh : Fakultas kekurangan duit, memangnya alasan ini logis? Kenapa kekurangan dana fakultas harus ditanggung mahasiswa.
Mahasiswa yang mengajukan update BOPB telah menyertakan bukti bahwa mereka benar-benar tidak sanggup membayar dan butuh keringanan, lalu bagaimana dengan fakultas? Mana bukti kalau kalian kekurangan dana?
Selama ini banyak yang telah membayar full dan fasilitas tetap diam di tempat. Yang makin bagus tidak ada, yang makin jelek banyak. Memang ada pembaharuan, tapi yang baru hanya selasar gedung B dan selasar depan Aula BSM, apakah biaya pembuatannya mencapai puluhan juta? Rasanya tidak mungkin.
Krisis transparansi terjadi, begitu juga dengan krisis kepercayaan. Selama ini informasi yang diberikan tidak jelas kebenarannya, mahasiswa tidak percaya birokrat, birokrat tidak percaya mahasiswa, secara kultural itulah yang terjadi. Kenapa? Tidak ada transparansi!
Mahasiswa tidak dilibatkan dalam proses ini. Kedepannya renstra yang telah disusun kesma harus berjalan, bahwa mahasiswa akan (harus) dilibatkan dalam proses pengajuan BOPB dan update BOPB. Pengawalan harus benar dan tegas, namun sesuai fakta, transparansi dan dengan HATI NURANI.
BERITA DUA
Spoiler for DUA NIH BRO:
“Anak saya ternyata diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Saya sebagai orang tua sangat bahagia dan bangga,” kata Rabda mengenang saat melihat hasil UMB-PTN melalui internet.
Semangat untuk kuliah di universitas bergengsi tersebut semakin bergejolak pada diri Sarah. Terlebih lagi, ia telah lama memimpikan bisa kuliah di kampus kuning itu. Tetapi, kebahagiaan Sarah dan kedua orang tuanya tak berlangsung lama.
Untuk dapat kuliah di FKM UI, Rabda harus menyiapkan uang pangkal Rp5 juta. Selain itu, setiap semester, anaknya harus membayar biaya kuliah Rp7,5 juta. “Saya pun pasrah. Sebagai guru, dari mana saya dapat memenuhi uang itu,” ujarnya. Dengan perasaan sangat terpukul, Sarah harus melepaskan niatnya kuliah di FKM UI. Media Indonesia – Niat Kuliah di PTN Terganjal
Masih ada lagi nih, satu fakta lagi:
Dwi berkisah keberhasilan lolos UMB berkat upaya kerasnya. Selain belajar keras selama di sekolah, ia mengikuti kursus bimbingan belajar di Bandung. Terbukti, hasil UMB perguruan tinggi negeri (PTN) yang diikutinya cukup memuaskan dan sesuai dengan harapan.
Setelah dinyatakan lolos UMB, Dwi pun melaksanakan daftar ulang sesuai dengan arahan dalam tata tertib dalam UMB. Dan… ia mengaku sangat terkejut dengan nilai uang pendaftaran dan biaya kuliah di UI yang harus dibayarkan.
“Untuk masuk ke Teknik Lingkungan UI yang baru berjalan tiga tahun, orang tua saya harus menyediakan uang pangkal sebesar Rp33 juta dan biaya kuliah sebesar Rp7,5 juta per semester,” jelasnya.
Setelah berdiskusi dengan kedua orang tuanya, Dwi pun akhirnya memutuskan untuk tidak mendaftar ulang di UI. Dengan pertimbangan salah satunya soal biaya. Ia pun harus melupakan hasil jerih payahnya mengikuti UMB-PTN. Media Indonesia – Jerih Payah itu Sia-Sia
UI! Lihat, apa yang telah kau lakukan terhadap ratusan calon mahasiswa baru yang nggak daftar ulang karena masalah biaya! Dari kedua berita tersebut, kita tahu bahwa satu hal yang pertama para (calon) mahasiswa baru dan keluarganya lihat adalah: bayaran UI 7,5 juta atau 5 juta per semester, dengan uang pangkal jutaan.
Hal lainnya, seperti: BOP itu nanti dibayarkan sesuai kemampuan orang tua, di UI banyak beasiswa, dan bla-bla-bla-bla lainnya, nggak diketahui para (calon) mahasiswa baru. Boleh aja berkali-kali rektorat bilang “ini kan udah disosialisasiin”, “di website udah ada informasinya kok”, dan bla-bla-bla-bla lainnya, tapi ya, itu dia faktanya: banyak (calon) mahasiswa baru yang mengundurkan diri dari UI karena melihat biaya pendidikan itu!
Semuanya, lihat apa yang UI telah lakukan kepada (calon) mahasiswa baru! Dan mari kita sama-sama berimajinasi, bila UI terus seperti ini, 5 tahun lagi apa yang akan terjadi di UI?
TIGA
Spoiler for TIGA:
Pernahkah teman-teman menghitung berapa besar “harga” yang harus dikeluarkan untuk mendapat gelar sarjana di UI ?. Jika memakai patokan BOP untuk jurusan ilmu-ilmu sosial dengan lama studi normal, yaitu 8 semester maka totalnya adalah 40 juta!. Biaya tersebut belum ditambah uang pangkal dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan selama proses perkuliahan kita.
40 juta bukan angka yang sedikit kawan. Dengan uang sebesar itu kita bisa membeli banyak kebutuhan hidup. 40 juta bisa jadi adalah total pendapatan orang tua kita selama setahun.
Melihat kenyataan diatas agaknya benar bila banyak orang berpendapat bahwa pendidikan itu mahal. Dulu sempat ada sebuah iklan produk rokok yang membuat jargon, “Mau Pintar kok Mahal?”. Mungkin memang seperti itulah kenyataan yang ada di negeri kita ini.
Lalu, apakah 40 juta itu adalah uang yang pantas dikeluarkan untuk memberi emblem-emblem S.Sos, S.E atau S… yang lain di belakang nama kita?.
Semuanya tentu tergantung pendapat pribadi masing-masing. Pertanyaan ini akan bersifat subjektif bila dibahas. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa seharusnya biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk mencapai gelar sarjana tidak harus sebegitu mahalnya. 40 juta menurut saya adalah angka yang terlalu fantastis untuk sebuah pendidikan.
Dulu ketika saya masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA, uang SPP tidak pernah mencapai 500 ribu, paling mahal 200 ribu. Kemudian setelah memasuki UI, saya tercengang dengan kebijakan biaya pendidikan di kampus ini. Mengapa menjadi sangat mahal sekali?. Kebetulan tahun pertama saya masuk UI (2008) adalah tahun dimana rektor baru, Prof. Gumilar, diangkat menggantikan rektor yang lama.
Pergantian kepemimpinan ini ternyata berimbas pada hal lain, yaitu naiknya biaya pendidikan. Sungguh tak saya sangka rektor baru kita ini ternyata memiliki pemikiran yang sangat berbeda. Belum pernah saya dengar biaya kuliah di UI mencapai 5 juta. Walau banyak sekali manfaat yang kita peroleh dari naiknya biaya pendidikan ini, misalnya pembangunan dan perbaikan fasilitas kampus. Agaknya biaya pendidikan itu segera dikompensasikan ke dalam pembangunan yang masif di kampus kita.
Sebagai salah seorang mahasiswa yang membayar uang kuliah tanpa keringanan saya merasa bahwa kebijakan ini agak memberatkan. Sebenarnya alasan saya tidak mengajukan BOP adalah karena prosedurnya yang berbelit-belit. Hal ini pula yang menjadi dasar pemikiran ayah saya sehingga tidak jadi mengajukan BOP. Syarat-syarat yang harus disertakan begitu rumit, misalnya surat keterangan tidak mampu, pernyataan tidak mampu dari tetangga, dan lain-lain.
Sekarang mari kita pikirkan, apakah sebagai calon mahasiswa pantas bagi kita untuk meminta keterangan tidak mampu dari tetangga kita atau meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT?. Atau apakah semua mahasiswa yang tidak bisa membayar biaya kuliah 5 juta/ semester adalah mahasiswa yang kategorinya sangat, sangat miskin sehingga harus meminta surat keterangan tidak mampu kepada 3 tetangga. Padahal banyak mahasiswa di luar sana yang kondisi rumahnya terlihat baik tetapi tidak sanggup membayar uang kuliah 5 juta karena harga itu memang terlampau mahal. Apakah mereka harus tetap meminta surat keterangan dari tetangga?, bukankah hal itu hanya menimbulkan rasa malu saja. Pada akhirnya banyak sekali pihak yang dirugikan karena rumitnya syarat-syarat pengajuan BOP ini.
Bila pihak universitas ingin menerapkan kebijakan yang adil seadil-adilnya maka mereka seharusnya memperhatikan hal-hal kecil yang diakibatkan oleh penerapan kebijakan mereka.
Menurut pendapat saya selain prosedurnya yang tidak dipersulit kebijakan BOP seharusnya dibedakan untuk setiap program studi di UI. Mengapa?, sebab antar program studi yang satu dengan program studi yang lain memiliki perbedaan kualitas dalam proses belajar mengajarnya, dan antar program studi di satu fakultas dengan di fakultas lain tentu memiliki sarana dan prasarana yang berbeda.
Misalnya, mahasiswa yang mengambil program studi X dimana program studi itu memiliki dosen-dosen yang profesional, terkenal, atau sering muncul di media. Untuk program studi ini besarnya biaya pendidikan seharusnya agak ditinggikan karena mereka mendapat pelayanan yang lebih dibanding program studi Y misalnya yang pengajarnya adalah orang biasa saja.
Selain itu, bila program studi X berada dalam gedung suatu fakultas yang sarana dan prasarananya lebih dibanding yang lain maka besaran BOP nya juga harus ditingkatkan dibanding program studi yang lain.
Hal ini dilakukan bukan untuk mendiskriminasikan program studi tapi untuk mewujudkan kebijakan BOP yang lebih adil. Jadi subsidi silang yang merupakan strategi dalam kebijakan ini tidak salah sasaran. Misalnya, pembangunan gedung yang dilakukan di fakultas X dari dana yang didapat dari mahasiswa yang kuliah di fakultas lain. Hal ini menurut saya tidak adil karena mahasiswa yang membayar lebih mahal seharusnya mendapat fasilitas yang lebih dibanding yang lain. Hal ini demi mewujudkan kebijakan BOP yang seadil-adilnya.
Semoga opini ini bisa didengar dan dipertimbangkan oleh pihak rektorat yang berwenang disana. Semoga opini ini tidak hanya sekedar memenuhi lembar-lembar opini lain tentang BOP. Akhir kata semoga universitas kita tercinta ini bisa memiliki manajemen yang lebih baik lagi sehingga bisa benar-benar pantas menyandang gelar world class university.
40 juta bukan angka yang sedikit kawan. Dengan uang sebesar itu kita bisa membeli banyak kebutuhan hidup. 40 juta bisa jadi adalah total pendapatan orang tua kita selama setahun.
Melihat kenyataan diatas agaknya benar bila banyak orang berpendapat bahwa pendidikan itu mahal. Dulu sempat ada sebuah iklan produk rokok yang membuat jargon, “Mau Pintar kok Mahal?”. Mungkin memang seperti itulah kenyataan yang ada di negeri kita ini.
Lalu, apakah 40 juta itu adalah uang yang pantas dikeluarkan untuk memberi emblem-emblem S.Sos, S.E atau S… yang lain di belakang nama kita?.
Semuanya tentu tergantung pendapat pribadi masing-masing. Pertanyaan ini akan bersifat subjektif bila dibahas. Namun, saya pribadi berpendapat bahwa seharusnya biaya pendidikan yang dikeluarkan untuk mencapai gelar sarjana tidak harus sebegitu mahalnya. 40 juta menurut saya adalah angka yang terlalu fantastis untuk sebuah pendidikan.
Dulu ketika saya masih duduk di bangku SD, SMP, dan SMA, uang SPP tidak pernah mencapai 500 ribu, paling mahal 200 ribu. Kemudian setelah memasuki UI, saya tercengang dengan kebijakan biaya pendidikan di kampus ini. Mengapa menjadi sangat mahal sekali?. Kebetulan tahun pertama saya masuk UI (2008) adalah tahun dimana rektor baru, Prof. Gumilar, diangkat menggantikan rektor yang lama.
Pergantian kepemimpinan ini ternyata berimbas pada hal lain, yaitu naiknya biaya pendidikan. Sungguh tak saya sangka rektor baru kita ini ternyata memiliki pemikiran yang sangat berbeda. Belum pernah saya dengar biaya kuliah di UI mencapai 5 juta. Walau banyak sekali manfaat yang kita peroleh dari naiknya biaya pendidikan ini, misalnya pembangunan dan perbaikan fasilitas kampus. Agaknya biaya pendidikan itu segera dikompensasikan ke dalam pembangunan yang masif di kampus kita.
Sebagai salah seorang mahasiswa yang membayar uang kuliah tanpa keringanan saya merasa bahwa kebijakan ini agak memberatkan. Sebenarnya alasan saya tidak mengajukan BOP adalah karena prosedurnya yang berbelit-belit. Hal ini pula yang menjadi dasar pemikiran ayah saya sehingga tidak jadi mengajukan BOP. Syarat-syarat yang harus disertakan begitu rumit, misalnya surat keterangan tidak mampu, pernyataan tidak mampu dari tetangga, dan lain-lain.
Sekarang mari kita pikirkan, apakah sebagai calon mahasiswa pantas bagi kita untuk meminta keterangan tidak mampu dari tetangga kita atau meminta surat keterangan tidak mampu dari ketua RT?. Atau apakah semua mahasiswa yang tidak bisa membayar biaya kuliah 5 juta/ semester adalah mahasiswa yang kategorinya sangat, sangat miskin sehingga harus meminta surat keterangan tidak mampu kepada 3 tetangga. Padahal banyak mahasiswa di luar sana yang kondisi rumahnya terlihat baik tetapi tidak sanggup membayar uang kuliah 5 juta karena harga itu memang terlampau mahal. Apakah mereka harus tetap meminta surat keterangan dari tetangga?, bukankah hal itu hanya menimbulkan rasa malu saja. Pada akhirnya banyak sekali pihak yang dirugikan karena rumitnya syarat-syarat pengajuan BOP ini.
Bila pihak universitas ingin menerapkan kebijakan yang adil seadil-adilnya maka mereka seharusnya memperhatikan hal-hal kecil yang diakibatkan oleh penerapan kebijakan mereka.
Menurut pendapat saya selain prosedurnya yang tidak dipersulit kebijakan BOP seharusnya dibedakan untuk setiap program studi di UI. Mengapa?, sebab antar program studi yang satu dengan program studi yang lain memiliki perbedaan kualitas dalam proses belajar mengajarnya, dan antar program studi di satu fakultas dengan di fakultas lain tentu memiliki sarana dan prasarana yang berbeda.
Misalnya, mahasiswa yang mengambil program studi X dimana program studi itu memiliki dosen-dosen yang profesional, terkenal, atau sering muncul di media. Untuk program studi ini besarnya biaya pendidikan seharusnya agak ditinggikan karena mereka mendapat pelayanan yang lebih dibanding program studi Y misalnya yang pengajarnya adalah orang biasa saja.
Selain itu, bila program studi X berada dalam gedung suatu fakultas yang sarana dan prasarananya lebih dibanding yang lain maka besaran BOP nya juga harus ditingkatkan dibanding program studi yang lain.
Hal ini dilakukan bukan untuk mendiskriminasikan program studi tapi untuk mewujudkan kebijakan BOP yang lebih adil. Jadi subsidi silang yang merupakan strategi dalam kebijakan ini tidak salah sasaran. Misalnya, pembangunan gedung yang dilakukan di fakultas X dari dana yang didapat dari mahasiswa yang kuliah di fakultas lain. Hal ini menurut saya tidak adil karena mahasiswa yang membayar lebih mahal seharusnya mendapat fasilitas yang lebih dibanding yang lain. Hal ini demi mewujudkan kebijakan BOP yang seadil-adilnya.
Semoga opini ini bisa didengar dan dipertimbangkan oleh pihak rektorat yang berwenang disana. Semoga opini ini tidak hanya sekedar memenuhi lembar-lembar opini lain tentang BOP. Akhir kata semoga universitas kita tercinta ini bisa memiliki manajemen yang lebih baik lagi sehingga bisa benar-benar pantas menyandang gelar world class university.
SUMBER PERTAMA
SUMBER DUA
SUMBER TIGA
[CENTER]ANE SEORANG

SALAM SEJAHTERA BUAT ENTE SEMUA

Diubah oleh ui.on.com 23-07-2014 15:27
0
14.9K
Kutip
41
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan