Kaskus

Entertainment

itayovitadiahAvatar border
TS
itayovitadiah
Benarkah Berita Ttg Jusuf Kala dan Bukakanya .... ???
http://gorgadeo.blogspot.com/2006/08...isnis-pln.html


Sutet dan mafia bisnis PLN
Bagaikan Gatotkaca, yang terbang di atas saluran udara tegangan (ekstra) tinggi, mereka seperti tak tersentuh oleh hukum di negeri ini[1]
Oleh George Junus Aditjondro[2]



BAGAIMANA kalau mulut Kepala PLN yang dijahit, dan bukan para korban SUTET yang berbulan-bulan lamanya terkapar di Posko ‘Selamatkan Rakyat Indonesia’? Bagaimana kalau mulut para wakil rakyat, yang hanya panas-panas tahi ayam membela para korban SUTET, yang dijahit? Bagaimana kalau mulut Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan yang dijahit, karena tidak mau duduk di satu meja dan berbicara sebagai mitra yang setara dengan para aktivis pendukung korban SUTET? Tidak enak, bukan, sebab walaupun sudah dibius lokal waktu dijahit, bibir mereka akan tetap merasa sakit di empat luka kecil tempat benang menembus kulit. Kalaupun sakit itu dapat ditahan oleh para pejabat tersebut, tapi dapatkah mereka menempuh hari-hari mendatang, tanpa bicara, tanpa makan makanan padat, hanya hidup dari cairan infus?

Namun mereka tidak perlu khawatir, sebab itu tidak bakal terjadi. Seluruh perangkat hukum positif, lembaga-lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif tidak berfihak pada mereka yang harus hidup di bawah rentangan kabel listrik tegangan tinggi dan ekstra tinggi[3]. Bagaikan Gatotkaca dalam cerita-cerita wayang, para VIP tadi terbang di atas kabel-kabel listrik tersebut. Sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan polusi elektro-magnetis yang mungkin mengganggu kesehatan keluarga mereka. Mereka tidak perlu mengkhawatirkan jatuhnya harga tanah dan rumah mereka, yang harus dijual supaya penghuni rumah tidak disambar petir yang tertarik oleh kabel-kabel listrik tegangan tinggi itu. Mereka juga tidak terganggu oleh kebisingan getaran kabel-kabel tegangan tinggi tersebut.

***

SIAPA-SIAPA saja yang punya kekuatan ekonomi untuk membangun dan merentangkan lebih banyak jaringan transmisi listrik tegangan tinggi dan ekstra tinggi itu? Apa kekuatan politik yang mereka miliki, sehingga nasib rakyat yang hidup di bawah jaringan itu seperti tidak diacuhkan oleh para penentu kebijakan di negeri ini?

PLN, tentu saja, adalah regulator pembangunan jaringan transmisi listrik yang utama. Jadi secara tidak langsung, PLN ikut mencetak keuntungan bagi segelintir maskapai besar, yang pada gilirannya memberi makan ribuan karyawan di bidang perlistrikan. Kita perlu mengenal maskapai-maskapai domestik, serta kongsinya di luar negeri, yang diuntungkan dari penderitaan para korban SUTET yang berkumpul di bekas markas besar Partai Demokrasi Indonesia, hari Minggu, 23 April lalu.

Trio ABB-CCM-PT ABB Energy Systems Indonesia
DARI data yang dapat saya kumpulkan, ada tiga kelompok perusahaan yang ikut membangun jaringan-jaringan transmisi tegangan tinggi + ekstra tinggi di Indonesia. Pertama, adalah dua BUMN di bawah payung BPIS (Badan Pengendali Industri Strategis), yang dulu dikepalai oleh Dr B.J. Habibie, yakni PT PAL dan PT Barata Indonesia. Kedua perusahaan itu berkongsi dengan ABB (Asea Brown Boveri), maskapai transnasional bermodal Swiss dan Swedia, mendirikan PT ABB Energy Systems Indonesia (ABB ESI), yang 80% sahamnya dimiliki oleh ABB. Bulan April 1995, ABB telah menanam US$ 35 juta dalam usaha gabungan itu untuk membangun pusat jasa dan produksi komponen pembangkit listrik untuk wilayah Asia Tenggara, khususnya di bidang rekayasa pembakaran. PT ABB ESI itu kini memiliki pabrik di Surabaya, Medan, dan Palembang (Aditjondro 2006: 207).

Sebelum berkongsi dengan kedua perusahaan BPIS itu, ABB sudah memiliki hubungan bisnis dengan CCM (Central Cipta Murdaya) Group yang dulu lebih dikenal dengan nama Grup Berca. Grup itu milik suami isteri Murdaya Widyawimarta (d/h Poo Tjie Gwan) dan Siti Hartati Tjakra Murdaya (d/h Chow Lie Ing), dengan lebih dari 60 perusahaan, yang total perputaran uangnya lebih dari Rp 2,3 trilyun dengan nilai aset sekitar Rp 1,2 trilyun, yang mempekerjakan lebih dari 40 ribu karyawan. Hubungan ini sudah berlangsung sejak awal masa kediktatoran Soeharto. Sejak awal 1970-an, Berca menjadi pemasok utama peralatan instalasi listrik untuk proyek-proyek PLN, seperti gas turbin, peralatan transmisi dan peralatan pembangkit listrik. Mayoritas sistem kelistrikan gedung-gedung sepanjang Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, dipasok oleh kelompok Berca. Sampai-sampai di era Menpan JB Sumarlin, PLN diplesetkan menjadi “Poo eL eN” (Aditjondro 2006: 206-10; Swa, 6-19 April 2006: 98-108).

Anggota kelompok CCM yang berkongsi dengan ABB adalah PT Asea Brown Boveri Sakti (motor listrik) yang didirikan tahun 1983 dan PT ABB Transmission & Distribution (transformator) yang didirikan tahun 1996, di mana ABB memiliki 40% saham. Sebagai perwakilan dari ABB, mereka terlibat dalam pembangunan PLTU Belawan (Medan), PLTA Mrica (Jawa Tengah), PLTU Gresik (Jawa Timur), PLTU Paiton (Jawa Timur), PLTGU Tanjung Priok, PLTU Muara Tawar dan PLTG Samarinda (Aditjondro 2006: 209).

Suami isteri Murdaya dan Siti Hartati Murdaya ini terkenal pintar melindungi ekspansi bisnisnya lewat aliansi politis mereka. Di era kediktatoran Soeharto, sang isteri yang aktif di DPP Golkar, sebagai Bendahara (Aditjondro 2006: 208). Sedangkan di era pasca-Soeharto sekarang, Hartati keluar dari politik praktis, sementara suaminya menjadi kader PDI-P (Swasembada, 6-19 April 2006: 1001). Selain itu, Hartati yang juga memegang monopoli produksi sepatu Nike di Indonesia, lewat PT Hardaya Aneka Shoes Industry dan PT Nagasaki Paramashoes Industry, di mana ribuan buruh perempuan berkali-kali mogok karena tidak diperlakukan secara adil, juga aktif dalam bidang keagamaan.

Perlakuan Siti Hartati Murdaya yang tidak manusiawi terhadap ribuan buruh perempuannya bertolak belakang dengan ajaran agamanya, yakni Buddhisme. Ia duduk dalam kepengurusan Perbudhi (Perwalian Umat Buddha Indonesia) dan juga memimpin asosiasi cendekiawan Buddhis, KCBI (Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia). KCBI baru didirikan menjelang seminar nasional cendekiawan antar agama yang diprakarsai B.J. Habibie di bulan Agustus 1994, sebagai Ketua Umum ICMI waktu itu. Melalui dua organisasi Buddhis yang diresmikan oleh pemerintah, yakni Perbudhi dan KCBI, Soeharto berusaha mengumpulkan dukungan dari golongan Tionghoa-Buddhis yang kaya seperti Murdaya, agar terpilih kembali untuk ketujuh kalinya menjadi Presiden RI, akhir Maret 1998. Menariknya, Murdaya dan Habibie, selain sama-sama memberi dukungan bagi pengangkatan kembali Soeharto, keduanya merupakan rekanan bisnis ABB yang utama di Indonesia (Aditjondro 2006: 208).

Selain akrab dengan ABB, CCM juga akrab dengan maskapai-maskapai multinasional Jepang, khususnya Marubeni, yang juga merupakan mitra ABB, serta Sumitomo dan Mitsubishi. Pada Sidang Kabinet 1993, komunitas bisnis di Jakarta dikejutkan oleh rapat terbatas Kabinet Soeharto yang menunjuk ABB untuk membangun PLTU Muara Tawar, sedangkan Sumitomo dan Mitsubishi ditunjuk untuk membangun PLTU Tambak Lorok (Jawa Tengah) dan PLTU Grati, Pasuruan (Jawa Timur), tanpa melalui tender terbuka (Aditjondro 2006: 209).

Kadang-kadang, kelompok CCM itu tidak sungkan-sungkan bermain politik tingkat tinggi dengan merangkul jenderal dan gubernur di daerah operasi mereka. Dalam perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations seluas 52 ribu hektar di Kabupaten Buol dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah, yang termasuk CCM, Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN waktu itu, Letjen (Purn) A.M. Hendropriyono duduk sebagai komisaris, bersama mantan Gubernur Sulteng, Azis Lamadjido (Aditjondro 2004: 144-5, 2006: 27).

Bukan itu saja kepentingan bisnis kelompok CCM di Sulawesi Tengah. Selain konsesi hutan PT Bina Balantak Raya seluas 72.500 hektar di Desa Lamala Balantak, Kabupaten Banggai, yang didirikan tahun 1980, CCM juga berencana membangun pabrik semen di Kabupaten Donggala, dengan modal sebesar Rp 1,5 trilyun, di bawah bendera PT Cipta Central Murdaya Semen (Swa, 6-19 April 2006: 102). Dengan demikian, CCM termasuk satu di antara empat grup bisnis swasta yang diuntungkan oleh konflik Poso, yang mencetuskan pemekaran batalyon TNI/AD yang menjaga kepentingan korporasi besar di Sulawesi Tengah, yakni Grup Medco, Grup Artha Graha, Grup CCM, dan Grup Bukaka. Soalnya, kalau tadinya di seluruh Sulawesi Tengah hanya ada satu batalyon TNI/AD, yakni Yoninf 711/Raksatama, maka sejak kerusuhan Poso batalyon itu sudah dimekarkan menjadi dua. Batalyon yang lama bertugas memelihara keamanan para pemodal besar di wilayah Sulteng bagian Barat, dari Toli-toli s/d Donggala, batalyon yang baru, Yoninf 714/Sintuwu Maroso yang berbasis di kota Poso, menjaga keamanan para pemodal besar dari Kabupaten Poso s/d Kabupaten Banggai Kepulauan.

Dengan Restu Keluarga Cendana:
‘Trio’ ABB-CCM-PT ABB Energy Systems Indonesia waktu itu dapat begitu berjaya, karena ketiga perusahaan itu rajin melibatkan perusahaan-perusahaan keluarga Soeharto dalam bisnis mereka. Tiga kelompok perusahaan yang punya pertalian dengan keluarga Soeharto yang waktu itu sering bekerjasama dengan trio di atas adalah kelompok Salim, di mana Soeharto diwakili oleh saudara sepupunya, Sudwikatmono; kelompok Citra Lamtorogung Persada (CLP) milik Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dan adik-adik perempuannya; dan kelompok Tirtamas milik Hashim Djojohadikusumo dan abangnya, Prabowo Subianto, yang waktu itu masih menikah dengan putri kedua Soeharti, Siti Heriyadi Hartati (Titiek).

Berkaitan dengan kelompok Salim, turbin gas ABB digunakan untuk melayani pabrik semen PT Indo Kodeco di Kalimantan Selatan. Berkaitan dengan kelompok CLP milik Tutut, Titiek dan Mamiek, ABB memasang dua turbin gas berkekuatan 135 MW milik PT Energi Sengkang di Sulawesi Selatan. Lima persen saham pembangkit listrik swasta itu milik PT Trihasra Sarana Jaya milik Tutut. Dan yang berkaitan dengan bisnis keluarga Hashim Djojohadikusumo, konsorsium Paiton Energy Company yang membangun PLTU Paiton di Jawa Timur menggunakan dua blok generator tenaga panas batubara buatan ABB, yang dipasok oleh CCM dan PT ABB Energy Systems Indonesia (Aditjondro 2006: 211-2).

Tentu saja, bukan ABB dengan kedua kroni Indonesianya itu saja yang diuntungkan oleh keluarga Soeharto di Indonesia. Hashim Djojohadikusumo, Sigit Hardjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Tommy Suharto, dan Bob Hasan juga berkongsi dengan berbagai perusahaan AS – seperti Edison International, Enron International, California Energy Inc.. Morrison Knudsen Corporation, dan Magma Power – untuk membangun berbagai pembangkit listrik di Sumatera Utara, Jawa, dan Bali (Aditjondro 2006: 270-2).

Kwartet B3M (Bukaka-Bosowo-Bakrie-Medco)
KALAU BPIS dan Berca adalah pemain-pemain lama, maka di akhir era kediktatoran Soeharto telah muncul pemain-pemain baru, yakni kelompok Bukaka, kelompok Bosowa, kelompok Bakrie, dan kelompok Medco. Pertama-tama, mari kita bahas dulu kelompok Bukaka dan Bosowa, yang dikendalikan oleh keluarga besar yang sama. Sejak 1991, grup Bukaka milik keluarga Jusuf Kalla, kini Wakil Presiden RI, telah membangun tiga proyek raksasa jaringan transmisi tenaga listrik, yakni proyek SUTET bertegangan 500 KV antara Suralaya dan Cilegon (Jawa Barat) sepanjang 40 Km dengan nilai investasi US$ 15 juta; proyek SUTT bertegangan 150 KV antara Gresik dan Tandes (Jawa Timur) sepanjang 60-70 Km dengan nilai investasi US 13 juta; serta jaringan SUTET bertegangan 500 KV sepanjang 300 Km dari Bandung ke Semarang. Makanya Ahmad Kalla, Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama, berkata dengan bangganya: “Kami yang paling mampu membangun saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET) hingga 500 kilovolt” (Tempo, 23 April 2006: 98).

Sedikit catatan tentang tiga kelompok perusahaan milik milik keluarga besar M. Jusuf Kalla, yakni Hadji Kalla, Bukaka, dan Bosowa. PT Hadji Kalla dirintis oleh H. Kalla dan isterinya, Hj. Athirah Kalla, orangtua Wakil Presiden M. Jusuf Kalla, tahun 1952, di Watampone, Bone. Setelah lulus dari FE UnHas, Jusuf Kalla memindahkan kantor pusat perusahaan keluarganya ke Makassar, di mana ia mengelola perusahaan itu bersama sembilan saudara kandungnya. Semula mereka bergerak di bidang perdagangan tekstil dan bisnis angkutan darat dengan sepuluh bis dan selusin kapal mereka. Tapi sejak 1969, mereka berhasil meyakinkan William Soeryadjaya untuk menjadi dealer utama mobil Toyota untuk Indonesia Timur (Aditjondro 2005: 13).

Setelah merasa “baju” PT Hadji Kalla terlalu sempit, tahun 1978 Jusuf Kalla mendirikan kelompok Bukaka, bersama Fadel Muhammad, kini Gubernur Gorontalo. Holding companynya adalah PT Bukaka Teknik Utama. Setelah Fadel melepaskan diri dari Bukaka, dan mendirikan kelompok Gema, PT Bukaka Teknik Utama membangun aliansi bisnis – dan sekaligus aliansi politis – dengan Ginanjar Kartasasmita, yang sekarang Ketua DPD. Adik kandung Ginanjar, Gunariyah Kartasasmita, menjadi salah seorang komisaris PT Bukaka Teknik Utama (idem).

PT Hadji Kalla tidak cuma melahirkan kelompok Bukaka, tapi juga kelompok Bosowa, yang dipimpin oleh Muhammad Aksa Mahmud. Bekas aktivis mahasiswa dan rekan Jusuf Kalla di HMI dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Cabang Makassar, tahun 1968 bergabung dengan PT Hadji Kalla. Ia kemudian menikah dengan Ramlah Kalla, adik kandung Jusuf Kalla yang juga pemegang saham PT Hadji Kalla (idem). Aksa Mahmud kini memangku jabatan sebagai Wakil Ketua MPR, sementara anaknya, Erwin Mahmud, memimpin kelompok Bosowa.

Bisnis ketiga kelompok itu cukup komplementer. Sementara kelompok Hadji Kalla menjual mobil Toyota, Bukaka menjual mobil Kia, dan Bosowa menjual mobil Mitsubishi, maka kelompok Bukaka dan Bosowa aktif membangun jalan raya dan jalan tol untuk dilewati mobil-mobil tersebut. Jalan Raya Trans Sulawesi yang membelah dua Kabupaten Poso, juga dibangun oleh anak perusahaan Bukaka, PT Bumi Karsa. Kelompok Bosowa juga memiliki pabrik semen di Maros, Sulawesi Selatan, yang produknya kini semakin populer di Sulawesi Tengah. Dengan demikian, daya saing perpaduan ketiga konglomerat itu dalam pembangunan jalan tol di Jawa, apalagi di Sulawesi Selatan, cukup besar (idem).

Akhir 1985 dan awal 1986, ketika pemerintah mulai menggalakkan pembangunan di sektor pertambangan dan infrastruktur, Bukaka mulai merancang dan memproduksi jaringan transmisi listik tegangan tinggi. Selanjutnya, tahun 1997 Bukaka diangkat menjadi pelaksana proyek Bank Dunia untuk membangun proyek-proyek infrastruktur di Kambodia, Laos, Bangladesh, Pakistan, dan sejumlah negara Asia yang lain. Ini seiring dengan ekspansi konglomerat itu dengan pendirian kantor-kantor perwakilan Bukaka di Singapura, Kuala Lumpur, Beijing, dan Salt Lake City di Amerika Serikat (idem).

Sejak Jusuf Kalla dilantik sebagai Wakil Presiden RI tanggal 20 Oktober 2004, dan terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, dua bulan kemudian, Bukaka mulai kebanjiran order membangun PLTA di Sulawesi dan Sumatera Utara. Di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu, bekas pusat kerajaan Luwu’ di Kabupaten Luwu’ Timur, berkapasitas 620 MW; sebuah PLTA senilai Rp 1,44 trilyun di Pinrang; sebuah PLTA kecil berkapasitas 1 MW di Desa Mappung, Tompobutu, di perbatasan Kabupaten Gowa dan Sinjai, sebuah PLTA berskala menengah berkapasitas 8 MW di Bantaeng, serta sebuah PLTA kecil di Salu Anoa di Mungkutana, Kabupaten Luwu’ Utara. Saat ini, Bukaka sedang membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, yang akan berkapasitas total 780 MW. Di Kolaka, Sulawesi Tenggara, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA berkapasitas 25 MW, dibantu pembangunan jalan sepanjang 10 KM oleh Pemerintah Kabupaten (Aditjondro 2005: 15; Tribun Timur, 21-22 Agustus 2005; Fajar, 19 Okt. 2005; Tempo, 30 Oktober 2005: 74).

Menurut rencana, Bukaka juga akan membangun PLTA berkapasitas 200 MW dengan investasi sebesar US$ 300 juta di Sungai Saddang, sekitar 4 Km dari Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, yang diharapkan bisa rampung pada tahun 2010. Untuk itu, Pemprov Sulawesi Selatan telah menandatangani nota kesepakatan dengan konsultan rekayasa Jepang, Nippon Koei, dua tahun lalu (6 Febr. 2004). Untuk itu fihak konsultan berharap agar Pemprov Sulsel dan Pemkab Tana Toraja dapat mendukung pembebasan tanah di lokasi proyek yang dikenal dengan nama “PLTA Malea”, yang meliputi satu kelurahan (Awa Tiromanda) dan dua lembang (Randanbatu dan Talion) di Kecamatan Makale Selatan dan Kecamatan Saloputti. Selain berdampak terhadap perladangan-hutan (agroforestry ) penduduk yang terdiri dari campuran kayu, kopi, kemiri, coklat, enau, bamboo, sengon, dan vanili, pembendungan Sungai Saddang itu juga punya efek sosio-psikologis, sebab di badan sungai di Lembang Randanbatu terdapat tempat yang dalam legenda orang Toraja diyakini sebagai tempat munculnya putri Sandabilik, isteri Datu Pamula Tana (Franky 2006; Kompas, 7 Febr. 2004; Bisnis Indonesia, 9 Febr. 2004; [url=http://www.antara.co.id,]www.antara.co.id,[/url] 3 Jan. 2005).
0
8.5K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan