- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tiga Pesan Rektor UGM untuk Keluar dari Konflik Pilpres. Delegitimasi KPU Masif


TS
shopishields
Tiga Pesan Rektor UGM untuk Keluar dari Konflik Pilpres. Delegitimasi KPU Masif
Tiga Pesan Rektor UGM untuk Keluar dari Konflik Pilpres
Jumat, 18 Juli 2014, 01:44 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Klaim kemenangan dari kedua pasangan Capres-Cawapres turut membuat Rektor UGM, Pratikno khawatir.
Lantaran kondisi tersebut, rektor yang sempat menjadi moderator debat capres tersebut memberi tiga pesan agar Indonesia keluar dari konflik dalam pemilihan presiden (pilpres).
Pesan pertama, Pratikno menilai kepercayaan bahwa Indonesia sudah berhasil melalui masa sulit dalam demokrasi pasca 1998 perlu ditumbuhkan. Setelah 15 tahun, Indonesia dinilai tidak mengalami jatuh yang cukup serius.
"Kita tidak punya tradisi buruk pada transisi kepemimpinan, seperti Thailand, kita tidak punya junta militer," ungkapnya dalam acara buka bersama awak media massa di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (17/7).
Berbagai macam isu pengambilalihan kekuasaan oleh militer pun dinilai tidak terjadi di Indonesia pada 1998. Karena itu, Pratikno menilai prediksi Indonesia akan jatuh setelah 15 tahun karena konflik pilpres merupakan hal yang berlebihan.
"Saya percaya selama ini pemerintah, jika dibandingkan negara demokrasi pasca 1990-an atau teknokrasi gelombang ketiga, kita termasuk sukses. Tidak ada trauma dalam pergantian pimpinan," ungkapnya.
Meski demikian, Pratikno mengaku khawatir dengan kondisi saat ini dimana banyak pihak menjadi partisan politik. "Itu kekhawatiran saya yang paling besar, bukan kompetisi "head to head capres," ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, dia mengibaratkan banyak pihak ikut turun main di lapangan, sampai kesulitan cari penonton dan wasit. Berbagai pihak yang ikut jadi partisan politik berasal dari lembaga survei hingga media massa.
Bahkan, Pratikno mengakui, akademisi pun sudah jadi partisan. "Tapi, saya percaya 15 tahun usia demokrasi, kita sudah dewasa dalam berpolitik," ungkapnya.
Dalam pesan keduanya, Pratikno menilai legitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu didukung. Meski ada kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, KPU dinilai sudah lebih baik dan transparan. Karena itu, hasil pilpres pun cukup selesai di KPU, tidak perlu sampai ke Mahkamah Konstitusi.
Pesan ketiga, Pratikno mengungkapkan capres dan cawapres merupakan seorang negarawan. Karena itu, negarawan harus bersikap bijaksana sehingga bukan hanya siap menang, tetapi juga siap untuk kalah. "Mari tempatkan capres dan cawapres jadi negarawan dengan segala wisdom-nya, yang juga siap untuk kalah," ujarnya.
Pratikno pun berharap kedua pasangan capres-cawapres bisa menunggu hasil rekapitulasi suara resmi dari KPU yang diumumkan 22 Juli mendatang. "Mereka harus siap nyatakan kalah bagi yang kalah bagi yang menang siap jalankan tugas," ujarnya.
http://www.republika.co.id/berita/na...onflik-pilpres
Waspada, Delegitimasi KPU Kian Masif
Rabu, 16 Juli 2014 | 06:11 WIB
inilah..com, Jakarta - Delegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu presiden kian hari semakin masif. Ironinya, delegitimasi lembaga konstitusional penyelenggara pemilu dilakukan oleh kalangan cerdik cendekia. Ada apa ini?
Di balik pelaksanaan Pemilu 2014 yang secara umum masih berjalan normal, terdapat upaya masif dari sebagian kalangan cerdik cendekia secara tidak langsung melakukan upaya delegitimasi lembaga negara yakni KPU.
Seperti rencana pertemuan yang digagas oleh Goenawan Muhammad dan Syafii Maarif pada Kamis (17/7/2014) mendatang yang bertajuk "Menyatakan Keprihatinan Untuk Persatuan". Dalam undangan yang diterima inilah..com, terdapat empat poin usulan yang akan ditawarkan dalam acara tersebut.
Keempat poin tersebut yakni, pertama mengingatkan kembali bahwa hasil hitung cepat lembaga yang kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi-JK. Rakyat sudah berbicara. Kedua, meminta agar Prabowo dan pendukungnya menerima hasil pilpres sebagai bagian dari pendidikan politik untuk masyarakat.
Ketiga, meminta seluruh masyarakat untuk mendukung KPU dalam melaksanakan perhitungan suara secara transparan dan jujur. Dan keempat, mengajak semua pihak yang selama ini tercerai berai untuk bersama menciptakan rasa aman dan rasa bersatu membangun bangsa. Tidak ada lagi koalisi pendukung capres, tetapi hanya ada koalisi besar Masyarakat Indonesia.
Usulan poin pertama dan poin kedua sungguh mengejutkan. Seperti penegasan kemenangan pasangan Joko-Kalla sebagaimana hasil hitung cepat dari lembaga survei yang kredibel. Usulan tawaran di poin satu tentu bermasalah secara substansi. Faktanya, hasil hitung cepat tidaklah tunggal. Karena ada juga lembaga survei yang menempatkan Prabowo-Hatta unggul. Fakta ini tentu tidak bisa dinafikan. Belum lagi hasil hitung cepat bertolak belakang dari temuan lembaga survei yang diklaim sebagai kredibel tersebut.
Begitu juga usulan di poin kedua. Poin ini memberikan asumsi Prabowo tidak siap kalah dalam kontestasi pemilu presiden ini. Ini tentu tidak berdasar pada fakta. Karena selama proses pilpres, baik pendaftaran, kampanye damai serta debat antarcapres, Prabowo berkali-kali menyampaikan siap kalah dan siap menang. Justru pasangan Joko-Kalla hingga saat ini belum pernah menyampaikan secara terbuka siap kalah dan siap menang.
Poin ketiga dan keempat seperti kehilangan makna setelah membaca poin pertama dan kedua yang terang-terang paradoksal dengan poin berikutnya.
Rencana penyampaian sikap oleh sekelompok orang yang dikenal berasal dari kelompok cerdik cendekia ini tentu paradoksal dengan tawaran poin yang akan disepakati. Faktanya, tokoh yang mengundang dalam acara tersebut seperti Goenawan Mohammad dan Syafiii Maarif adalah pendukung pasangan Joko-Kalla.
Upaya ini mengingatkan pernyataan kontroversial pekan lalu yag disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi yang menyebutkan penghitungan KPU salah bila berbeda dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan penghitungan yang dilakukan KPU merupakan perwujudan penghitungan konstitsuional. Ia menegaskan, keputusan negara harus dianggap benar sebelum lembaga negara membatalkan. "Jadi negara punya kebenaran sendiri, begitu juga akademik," tegas Irman.
Delegitimasi KPU ini sama saja melanggar konstitusi secara telanjang. Konstitusi secara jelas menyebutkan keberadaan KPU sebagaimana disebut dalam pasal 22E ayat 5 yang memberi legitimasi konstitusional keberadaan KPU. "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".
[url]http://m.inilah..com/read/detail/2119801/waspada-delegitimasi-kpu-kian-massif[/url]
------------------------------
Tinggal nunggu hasil akhir KPU menghitung saja, yaitu tanggal 22 Juli 2014, kok sulit amat sih?

Jumat, 18 Juli 2014, 01:44 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Klaim kemenangan dari kedua pasangan Capres-Cawapres turut membuat Rektor UGM, Pratikno khawatir.
Lantaran kondisi tersebut, rektor yang sempat menjadi moderator debat capres tersebut memberi tiga pesan agar Indonesia keluar dari konflik dalam pemilihan presiden (pilpres).
Pesan pertama, Pratikno menilai kepercayaan bahwa Indonesia sudah berhasil melalui masa sulit dalam demokrasi pasca 1998 perlu ditumbuhkan. Setelah 15 tahun, Indonesia dinilai tidak mengalami jatuh yang cukup serius.
"Kita tidak punya tradisi buruk pada transisi kepemimpinan, seperti Thailand, kita tidak punya junta militer," ungkapnya dalam acara buka bersama awak media massa di kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (17/7).
Berbagai macam isu pengambilalihan kekuasaan oleh militer pun dinilai tidak terjadi di Indonesia pada 1998. Karena itu, Pratikno menilai prediksi Indonesia akan jatuh setelah 15 tahun karena konflik pilpres merupakan hal yang berlebihan.
"Saya percaya selama ini pemerintah, jika dibandingkan negara demokrasi pasca 1990-an atau teknokrasi gelombang ketiga, kita termasuk sukses. Tidak ada trauma dalam pergantian pimpinan," ungkapnya.
Meski demikian, Pratikno mengaku khawatir dengan kondisi saat ini dimana banyak pihak menjadi partisan politik. "Itu kekhawatiran saya yang paling besar, bukan kompetisi "head to head capres," ujarnya.
Dengan kondisi tersebut, dia mengibaratkan banyak pihak ikut turun main di lapangan, sampai kesulitan cari penonton dan wasit. Berbagai pihak yang ikut jadi partisan politik berasal dari lembaga survei hingga media massa.
Bahkan, Pratikno mengakui, akademisi pun sudah jadi partisan. "Tapi, saya percaya 15 tahun usia demokrasi, kita sudah dewasa dalam berpolitik," ungkapnya.
Dalam pesan keduanya, Pratikno menilai legitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu didukung. Meski ada kekurangan dalam penyelenggaraan pemilu, KPU dinilai sudah lebih baik dan transparan. Karena itu, hasil pilpres pun cukup selesai di KPU, tidak perlu sampai ke Mahkamah Konstitusi.
Pesan ketiga, Pratikno mengungkapkan capres dan cawapres merupakan seorang negarawan. Karena itu, negarawan harus bersikap bijaksana sehingga bukan hanya siap menang, tetapi juga siap untuk kalah. "Mari tempatkan capres dan cawapres jadi negarawan dengan segala wisdom-nya, yang juga siap untuk kalah," ujarnya.
Pratikno pun berharap kedua pasangan capres-cawapres bisa menunggu hasil rekapitulasi suara resmi dari KPU yang diumumkan 22 Juli mendatang. "Mereka harus siap nyatakan kalah bagi yang kalah bagi yang menang siap jalankan tugas," ujarnya.
http://www.republika.co.id/berita/na...onflik-pilpres
Waspada, Delegitimasi KPU Kian Masif
Rabu, 16 Juli 2014 | 06:11 WIB
inilah..com, Jakarta - Delegitimasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu presiden kian hari semakin masif. Ironinya, delegitimasi lembaga konstitusional penyelenggara pemilu dilakukan oleh kalangan cerdik cendekia. Ada apa ini?
Di balik pelaksanaan Pemilu 2014 yang secara umum masih berjalan normal, terdapat upaya masif dari sebagian kalangan cerdik cendekia secara tidak langsung melakukan upaya delegitimasi lembaga negara yakni KPU.
Seperti rencana pertemuan yang digagas oleh Goenawan Muhammad dan Syafii Maarif pada Kamis (17/7/2014) mendatang yang bertajuk "Menyatakan Keprihatinan Untuk Persatuan". Dalam undangan yang diterima inilah..com, terdapat empat poin usulan yang akan ditawarkan dalam acara tersebut.
Keempat poin tersebut yakni, pertama mengingatkan kembali bahwa hasil hitung cepat lembaga yang kredibel menunjukkan kemenangan Jokowi-JK. Rakyat sudah berbicara. Kedua, meminta agar Prabowo dan pendukungnya menerima hasil pilpres sebagai bagian dari pendidikan politik untuk masyarakat.
Ketiga, meminta seluruh masyarakat untuk mendukung KPU dalam melaksanakan perhitungan suara secara transparan dan jujur. Dan keempat, mengajak semua pihak yang selama ini tercerai berai untuk bersama menciptakan rasa aman dan rasa bersatu membangun bangsa. Tidak ada lagi koalisi pendukung capres, tetapi hanya ada koalisi besar Masyarakat Indonesia.
Usulan poin pertama dan poin kedua sungguh mengejutkan. Seperti penegasan kemenangan pasangan Joko-Kalla sebagaimana hasil hitung cepat dari lembaga survei yang kredibel. Usulan tawaran di poin satu tentu bermasalah secara substansi. Faktanya, hasil hitung cepat tidaklah tunggal. Karena ada juga lembaga survei yang menempatkan Prabowo-Hatta unggul. Fakta ini tentu tidak bisa dinafikan. Belum lagi hasil hitung cepat bertolak belakang dari temuan lembaga survei yang diklaim sebagai kredibel tersebut.
Begitu juga usulan di poin kedua. Poin ini memberikan asumsi Prabowo tidak siap kalah dalam kontestasi pemilu presiden ini. Ini tentu tidak berdasar pada fakta. Karena selama proses pilpres, baik pendaftaran, kampanye damai serta debat antarcapres, Prabowo berkali-kali menyampaikan siap kalah dan siap menang. Justru pasangan Joko-Kalla hingga saat ini belum pernah menyampaikan secara terbuka siap kalah dan siap menang.
Poin ketiga dan keempat seperti kehilangan makna setelah membaca poin pertama dan kedua yang terang-terang paradoksal dengan poin berikutnya.
Rencana penyampaian sikap oleh sekelompok orang yang dikenal berasal dari kelompok cerdik cendekia ini tentu paradoksal dengan tawaran poin yang akan disepakati. Faktanya, tokoh yang mengundang dalam acara tersebut seperti Goenawan Mohammad dan Syafiii Maarif adalah pendukung pasangan Joko-Kalla.
Upaya ini mengingatkan pernyataan kontroversial pekan lalu yag disampaikan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi yang menyebutkan penghitungan KPU salah bila berbeda dengan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga survei.
"Kalau hasil hitungan resmi KPU nanti terjadi perbedaan dengan lembaga survei yang ada di sini, saya percaya KPU yang salah dan hasil hitung cepat kami tidak salah," kata Burhan.
Pengamat hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan penghitungan yang dilakukan KPU merupakan perwujudan penghitungan konstitsuional. Ia menegaskan, keputusan negara harus dianggap benar sebelum lembaga negara membatalkan. "Jadi negara punya kebenaran sendiri, begitu juga akademik," tegas Irman.
Delegitimasi KPU ini sama saja melanggar konstitusi secara telanjang. Konstitusi secara jelas menyebutkan keberadaan KPU sebagaimana disebut dalam pasal 22E ayat 5 yang memberi legitimasi konstitusional keberadaan KPU. "Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri".
[url]http://m.inilah..com/read/detail/2119801/waspada-delegitimasi-kpu-kian-massif[/url]
------------------------------
Tinggal nunggu hasil akhir KPU menghitung saja, yaitu tanggal 22 Juli 2014, kok sulit amat sih?

0
1.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan