Quote:
Untuk Sang Jenderal
“Jenderal.”
“Ya, Nak. Ada apa?”
“Jenderal tahu kenapa Pemilu kemarin saya tidak mau memilih Jenderal?”
“Karena saya penculik?”
“Bener. Itu baru satu.”
“Karena saya pembunuh?”
“Dua.”
“Karena rekam jejak jejak saya sebagai pelanggar HAM?”
“Itu sama aja dengan dua poin sebelumnya sih. Tapi baiklah. Tiga.”
“Karena saya labil dan ngamuk-ngamuk mulu?”
“Empat.”
“Karena saya dikelilingi orang-orang brengsek dan bermasalah, menghalalkan segala cara, suka bikin fitnah yang ngawur abis, dan.. “
“Cukup, Jenderal. Saya rasa sekarang Jenderal sudah paham dan cukup banyak berkaca.”
“Ya ya ya.”
“Tapi Jenderal tahu kan? Sejahat-jahatnya Jenderal, se** SENSOR **-** SENSOR **nya dan seabsurd-absurdnya fitnah yang Jenderal buat demi kekuasaan, Jenderal masih punya kesempatan.”
“Kesempatan apa?”
“Kesempatan untuk memperbaiki itu semua. Kesempatan untuk bersikap ksatria. Jenderal seorang prajurit bukan? Jenderal seharusnya tahu. Kapan harus maju, kapan harus bertahan dan diam sejenak, dan kapan harus mundur. Kalau Jenderal mau berpikir jernih, ini sudah saatnya Jenderal berhenti.”
“Hmm..”
“Pejuang sejati tahu kapan saatnya berhenti, Jenderal. Cinta juga seperti itu sih.”
“Cinta?”
“Maaf, Jenderal. Saya mulai ngelantur nih.”
“Ok. Lanjutkan.”
“Dengan mengaku kalah dan bersikap ksatria, respek rakyat terhadap Jenderal juga akan sedikit membaik. Saya ulang. Sedikit. Ini tentu saja tidak begitu saja menghapus dosa-dosa Jenderal di mata mereka. Tapi setidaknya, Jenderal akan diingat sebagai ksatria. Bukan pengecut yang suka marah-marah dan ujung-ujungnya kabur.”
“Baik. Kamu tunggu di sini sebentar ya. Saya segera panggil Tim Mawar buat jemput kamu sekarang.”
“Aduh, Jenderal. Jangan sensi mulu ah.”
http://suratuntukpakbowo.tumblr.com/...-sang-jenderal
Ngakak ane bacanya...
Ampun pak Jendral, bukan saya yang buat...




