- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
RRI Terjebak dalam Quick Count ?


TS
bastianokdeh
RRI Terjebak dalam Quick Count ?
RBN, Jakarta – Keterlibatan Radio Republik Indonesia (RRI) dalam penghitungan cepat (quick count) pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014, terus menuai kritik dari berbagai pihak. Bahkan, penghitungan cepat yang dilakukan RRI dituding telah ditunggangi oleh pihak tertentu.
Pengamat Media Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra menilai, keterlibatan RRI dalam penghitungan cepat di Pilpres 2014 merupakan sebuah persoalan. Menurutnya, ada lima permasalahan karena keterlibatan RRI didalam hal tersebut.
Pertama, kata Iswandi, apakah sumber pendanaan RRI yang berasal dari APBN sudah disetujui DPR bila dipergunakan untuk quick count? “Padahal, KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara pemilu sudah memperoleh dana untuk melakukan penghitungan hasil pilpres. Hal ini mecurigakan, KPK bisa saja menyelidiki,” tuturnya, kepada pers, Minggu (13/7/2014)
Kedua, katanya, keterlibatan RRI didalam quick count, menjadikan posisinya menjadi tidak netral. “Harusnya RRI mengkritisi dan membandingkan hasil quick count yang lain,” ungkapnya.
Ketiga, quick count bukanlah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama RRI. “Aneh, quick count bukan tupoksinya RRI. Biaya qucik count itu sangat besar, kok tetap dilakukan? Sebaiknya dana itu digunakan untuk penguatan penyiaran perbatasan yang selama ini kurang digarap oleh RRI,” tambahnya.
Keempat, lanjutnya, RRI sebenarnya tidak punya tradisi quick count sehingga secara keilmuan diragukan metodologinya. Kelima, RRI patut diduga ditunggangi sebagai alat propaganda kepentingan kelompok tertentu.
“Ini berbahaya. Sepengetahuan saya, tidak pernah ada radio publik di belahan dunia manapun yang selenggarakan quick count kecuali RRI. Harusnya quick report dari pada quick count,” tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sujoko mengatakan hal yang sama. Menurutnya, RRI yang selama ini dianggap netral, diduga sudah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan Pilpres 2014.
“Posisi netral RRI coba dimanfaatkan. Lagipula RRI tak punya pengalaman menangani suvei. Terus dananya dari mana? Untuk operasional sehari-hari saja RRI mengeluh, apalagi untuk kegiatan quick count yang membutuhkan dana besar,” kata Anang kepada pers, Sabtu (12/7/2014)
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) no 12 /2005, lanjut Anang, RRI di izinkan mecari sumber dana lain selain dari APBN, tapi masih dalam konteks fungsinya sebagai lembaga penyiaran.
“Kegiatan Quick count bukan dalam koridor kegiatan penyiaran. pilpres kali ini sangat sensitif. Harusnya RRI bisa menjaga integritas bangsa, ” katanya, Minggu (13/7/2014).
Sementara itu, Ketua Komisi I Mahfud Siddiq berencana memanggil jajaran direksi RRI terkait keterlibatan RRI dalam quick count yang juga disiarkan disejumlah lembaga penyiaran.
“RRI bukanlah lembaga survei yang dapat melakukan hitung cepat. Harusnya, sebagai lembaga penyiaran publik, RR dapat menjaga netralitasya,” tegasnya, Minggu (13/7/2014).
Berikut hasil quick count yang dilakukan RRI:
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa: 47.29 persen.
Joko Widodo-Jusuf Kalla: 52,71 persen.
Mengapa RRI terlibat dalam politik praktis? Benarkah kecurigaan sejumlah pihak mengenai keberpihakan RRI? (dsm)
http://www.rajabasanews.com/20140714...m-quick-count/
Pengamat Media Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Iswandi Syahputra menilai, keterlibatan RRI dalam penghitungan cepat di Pilpres 2014 merupakan sebuah persoalan. Menurutnya, ada lima permasalahan karena keterlibatan RRI didalam hal tersebut.
Pertama, kata Iswandi, apakah sumber pendanaan RRI yang berasal dari APBN sudah disetujui DPR bila dipergunakan untuk quick count? “Padahal, KPU sebagai lembaga resmi penyelenggara pemilu sudah memperoleh dana untuk melakukan penghitungan hasil pilpres. Hal ini mecurigakan, KPK bisa saja menyelidiki,” tuturnya, kepada pers, Minggu (13/7/2014)
Kedua, katanya, keterlibatan RRI didalam quick count, menjadikan posisinya menjadi tidak netral. “Harusnya RRI mengkritisi dan membandingkan hasil quick count yang lain,” ungkapnya.
Ketiga, quick count bukanlah tugas pokok dan fungsi (tupoksi) utama RRI. “Aneh, quick count bukan tupoksinya RRI. Biaya qucik count itu sangat besar, kok tetap dilakukan? Sebaiknya dana itu digunakan untuk penguatan penyiaran perbatasan yang selama ini kurang digarap oleh RRI,” tambahnya.
Keempat, lanjutnya, RRI sebenarnya tidak punya tradisi quick count sehingga secara keilmuan diragukan metodologinya. Kelima, RRI patut diduga ditunggangi sebagai alat propaganda kepentingan kelompok tertentu.
“Ini berbahaya. Sepengetahuan saya, tidak pernah ada radio publik di belahan dunia manapun yang selenggarakan quick count kecuali RRI. Harusnya quick report dari pada quick count,” tuturnya.
Sebelumnya, Pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sujoko mengatakan hal yang sama. Menurutnya, RRI yang selama ini dianggap netral, diduga sudah dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan Pilpres 2014.
“Posisi netral RRI coba dimanfaatkan. Lagipula RRI tak punya pengalaman menangani suvei. Terus dananya dari mana? Untuk operasional sehari-hari saja RRI mengeluh, apalagi untuk kegiatan quick count yang membutuhkan dana besar,” kata Anang kepada pers, Sabtu (12/7/2014)
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) no 12 /2005, lanjut Anang, RRI di izinkan mecari sumber dana lain selain dari APBN, tapi masih dalam konteks fungsinya sebagai lembaga penyiaran.
“Kegiatan Quick count bukan dalam koridor kegiatan penyiaran. pilpres kali ini sangat sensitif. Harusnya RRI bisa menjaga integritas bangsa, ” katanya, Minggu (13/7/2014).
Sementara itu, Ketua Komisi I Mahfud Siddiq berencana memanggil jajaran direksi RRI terkait keterlibatan RRI dalam quick count yang juga disiarkan disejumlah lembaga penyiaran.
“RRI bukanlah lembaga survei yang dapat melakukan hitung cepat. Harusnya, sebagai lembaga penyiaran publik, RR dapat menjaga netralitasya,” tegasnya, Minggu (13/7/2014).
Berikut hasil quick count yang dilakukan RRI:
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa: 47.29 persen.
Joko Widodo-Jusuf Kalla: 52,71 persen.
Mengapa RRI terlibat dalam politik praktis? Benarkah kecurigaan sejumlah pihak mengenai keberpihakan RRI? (dsm)
http://www.rajabasanews.com/20140714...m-quick-count/
0
2.2K
24


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan