- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Surat Untuk Pak Bowo


TS
xoelicious
Surat Untuk Pak Bowo
Quote:
Yang terhormat Bapak Prabowo Subianto.
Bapak mungkin tidak mengenal saya, tapi saya cukup yakin banyak di tim bapak yang kenal saya.
Saya cukup lama ada di seberang bapak. Bahkan memang saya lebih dulu kenal bapak daripada saya kenal Jokowi.
Sejak tahun 98, nama Bapak sudah masuk dalam referensi saya. Harus saya akui, tidak dalam pencahayaan yang baik.
Namun saya, punya prinsip yang saya pegang teguh: Mencoba memahami sebelum membenci.
Saya terbiasa untuk tidak membenci sebelum saya mencoba memahami dengan menelaah dulu lebih dalam & biasanya setelah saya mencoba memahami, saya tidak jadi membenci.
Itulah mengapa, saya tidak membenci bapak. Saya adalah lawan anda, bisa jadi saya adalah salah satu lawan anda yang paling keras, tapi lawan bukanlah musuh.
Ini mungkin prinsip yang sulit dipahami dari orang yang latar belakangnya militer, tapi kalau anda suka olahraga seperti saya, prinsip ini sungguh masuk di akal.
Saya paham alasan dibalik tindakan bapak. Saya paham motivasi bapak. Saya paham emosi bapak bahkan dalam banyak kesempatan. Ayah saya emosional dan suka menggampar orang juga. Tapi beliau tetap Ayah saya & saya selamanya menyayanginya.
Orang seperti anda Pak Prabowo, tidaklah asing bagi saya. Saya hidup dengan orang seperti itu seumur hidup.
Di akhir hidupnya, Ayah saya sudah melunak walau saya masih merasa beliau sulit menerima kesalahan yang pernah diperbuat & berdampak buruk kepada saya & kakak-adik saya. Kalau ada satu hal dari beliau yang merupakah kekuatan, adalah kegigihan. Di sisi yang lain, gigih terhadap hal hal yang salah jadinya keras kepala.
Namun walau sulit untuk beliau mengakui kesalahan, sikap beliau tetap berubah. Beliau memutuskan untuk mengambil tindakan yg benar. Hidup bersama beliau menyenangkan, tenang & penuh canda tawa hingga akhir usia beliau.
Ketika beliau meninggal, saya menangis karena teramat merindukannya. Orang yang sama, dulu saya acuhkan, saya hindari karena malas harus berurusan dengan beliau. Malas kena bentak.
Pak Prabowo, anda saat ini ada di penghujung perjalanan. Sesaat lagi, kerja keras anda bersama seluruh tim akan bertemu dengan takdir.
Apapun hasilnya, saya berharap anda menerima dengan baik & hati terbuka.
Saya tahu banyak orang berkata banyak hal buruk tentang anda, tapi mungkin ucapan almarhum Ayah saya di akhir usianya bisa jadi pegangan anda
"Reputasi seseorang tidak bergantung kepada apa yang orang katakan, tapi reaksi kamu kepada apa yang orang itu katakan"
Pandji Pragiwaksono
Bapak mungkin tidak mengenal saya, tapi saya cukup yakin banyak di tim bapak yang kenal saya.
Saya cukup lama ada di seberang bapak. Bahkan memang saya lebih dulu kenal bapak daripada saya kenal Jokowi.
Sejak tahun 98, nama Bapak sudah masuk dalam referensi saya. Harus saya akui, tidak dalam pencahayaan yang baik.
Namun saya, punya prinsip yang saya pegang teguh: Mencoba memahami sebelum membenci.
Saya terbiasa untuk tidak membenci sebelum saya mencoba memahami dengan menelaah dulu lebih dalam & biasanya setelah saya mencoba memahami, saya tidak jadi membenci.
Itulah mengapa, saya tidak membenci bapak. Saya adalah lawan anda, bisa jadi saya adalah salah satu lawan anda yang paling keras, tapi lawan bukanlah musuh.
Ini mungkin prinsip yang sulit dipahami dari orang yang latar belakangnya militer, tapi kalau anda suka olahraga seperti saya, prinsip ini sungguh masuk di akal.
Saya paham alasan dibalik tindakan bapak. Saya paham motivasi bapak. Saya paham emosi bapak bahkan dalam banyak kesempatan. Ayah saya emosional dan suka menggampar orang juga. Tapi beliau tetap Ayah saya & saya selamanya menyayanginya.
Orang seperti anda Pak Prabowo, tidaklah asing bagi saya. Saya hidup dengan orang seperti itu seumur hidup.
Di akhir hidupnya, Ayah saya sudah melunak walau saya masih merasa beliau sulit menerima kesalahan yang pernah diperbuat & berdampak buruk kepada saya & kakak-adik saya. Kalau ada satu hal dari beliau yang merupakah kekuatan, adalah kegigihan. Di sisi yang lain, gigih terhadap hal hal yang salah jadinya keras kepala.
Namun walau sulit untuk beliau mengakui kesalahan, sikap beliau tetap berubah. Beliau memutuskan untuk mengambil tindakan yg benar. Hidup bersama beliau menyenangkan, tenang & penuh canda tawa hingga akhir usia beliau.
Ketika beliau meninggal, saya menangis karena teramat merindukannya. Orang yang sama, dulu saya acuhkan, saya hindari karena malas harus berurusan dengan beliau. Malas kena bentak.
Pak Prabowo, anda saat ini ada di penghujung perjalanan. Sesaat lagi, kerja keras anda bersama seluruh tim akan bertemu dengan takdir.
Apapun hasilnya, saya berharap anda menerima dengan baik & hati terbuka.
Saya tahu banyak orang berkata banyak hal buruk tentang anda, tapi mungkin ucapan almarhum Ayah saya di akhir usianya bisa jadi pegangan anda
"Reputasi seseorang tidak bergantung kepada apa yang orang katakan, tapi reaksi kamu kepada apa yang orang itu katakan"
Pandji Pragiwaksono
Quote:
Bapak Prabowo yang Perkasa Seperti Macan,
Waktu kecil saya pernah ditanya, apa cita-citamu kalau sudah besar?
Jawaban yang populer di masa itu adalah jadi dokter. Tapi saya tak kuat melihat darah. Karenanya lantang saya bilang, ingin jadi presiden. Presiden itu hebat. Dikagumi orang, disanjung rakyat, disegani dunia. Saya percaya, jutaan anak Indonesia pernah merasakan punya cita-cita yang sama. Bapak adalah seseorang yang amat beruntung, karena Bapak sudah sedekat ini dengan kursi presiden.
Tadi malam, saya menyimak wawancara Bapak dengan sebuah stasiun televisi internasional. Saya mengira akan mendapati argumen yang diperkuat fakta dan bukti nyata. Sesuatu yang bisa membuat saya, dan jutaan rakyat yang memilih saingan Bapak, berpikir dua kali dan menjadi simpati (karena, percayalah, jika Bapak dilantik jadi presiden, Bapak akan tetap membutuhkan dukungan rakyat). Namun yang saya temukan bukanlah ketegasan dan kekuatan seorang calon pemimpin yang siap melayani, melainkan kemarahan dan kepahitan seorang calon penguasa yang gagal naik tahta.
Saya tercengang. Segusar itukah Bapak?
Barangkali anggapan Bapak benar. Barangkali tudingan itu bukan bualan. Mungkin kami semua sedang dibohongi oleh seorang tukang mebel yang pura-pura rendah hati. Namun, menyimak perkataan Bapak, yang saya dapati hanya amarah yang membuat jengah. Analogi ini mungkin berlebih, tapi saya seperti sedang menyaksikan bocah yang meronta di toko mainan karena tidak dibelikan robot-robotan.
Bapak, saya tak ingin punya pemimpin yang begitu dikuasai ambisi dan amarah, karena saya tak mau hidup dalam ketakutan. Pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya akan melahirkan prajurit-prajurit yang tak kenal belas kasihan, dan bukan itu yang kami perlukan. Lebih dari tiga abad kami dijajah. Lebih dari tiga puluh tahun kami hidup dalam gentar. Cukup sudah kami didera.
Indonesia dari dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah. Mungkin kami dianggap bodoh, seperti yang Bapak katakan. Namun adakalanya menjadi ramah dan bijak lebih baik ketimbang pintar dan perkasa. Mungkin kami bukan macan yang jago mengoyak mangsa, namun kami tak memerlukan taring karena kami bukan bangsa pemburu. Barangkali kami disebut pemalas, seperti ucapan Bapak dalam wawancara, namun dalam ‘kemalasan’ kami masih sempat bertegur sapa dan saling merangkul sesama saudara. Karena, Bapak, itulah Indonesia yang kami tahu. Indonesia yang diceritakan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila.
Bapak Prabowo yang Tangguh Seperti Macan,
Beberapa hari lalu dalam wawancara di Metro TV, Jokowi memakai sepatu seharga dua ratus ribu. Istri yang membelikan, katanya sambil tertawa. Mungkin itu semua cuma pura-pura. Barangkali kesederhanaan itu tak lebih dari permainan. Namun tahukah Bapak, berapa banyak hati yang dibesarkan oleh sepasang sepatu dua ratus ribu di kaki seorang calon presiden? Berapa banyak semangat dan harapan yang bangkit saat seorang calon presiden berjanji ia takkan punya kepentingan, selain mengabdi kepada rakyat? Berapa banyak anak tuna netra yang punya keberanian untuk terus bermimpi setelah kawan mereka dihampiri dan ditepuk pundaknya oleh calon presiden? Berapa banyak senyum yang terkembang saat seorang calon presiden tanpa segan berpose ‘selfie’ di televisi nasional? Ratusan tahun kami dijajah, akhirnya kami punya figur yang mendekati ayah—meski ia lebih suka dipanggil kakak. Dan pernahkah Bapak berpikir, berapa banyak kekecewaan yang sirna dan maaf yang diberikan, saat dengan senyum ia berkata, “Pak Prabowo dan Pak Hatta adalah patriot dan negarawan. Saya percaya mereka akan melakukan yang terbaik untuk negara ini.”?
Bapak, kami sungguh tak ingin membenci. Kami hanya ingin seorang pemimpin yang bisa kami cintai dan hormati, seseorang untuk dipercayai, yang tak menimbulkan ngeri. Beliau sudah ada di sini. Tolong beri ia kesempatan. Biarkan ia menjalankan tugas sebagai abdi rakyat. Dan sementara ia bekerja, barangkali Bapak bisa duduk beristirahat, meluruskan kaki yang sudah penat.
Jenny Jusuf
Waktu kecil saya pernah ditanya, apa cita-citamu kalau sudah besar?
Jawaban yang populer di masa itu adalah jadi dokter. Tapi saya tak kuat melihat darah. Karenanya lantang saya bilang, ingin jadi presiden. Presiden itu hebat. Dikagumi orang, disanjung rakyat, disegani dunia. Saya percaya, jutaan anak Indonesia pernah merasakan punya cita-cita yang sama. Bapak adalah seseorang yang amat beruntung, karena Bapak sudah sedekat ini dengan kursi presiden.
Tadi malam, saya menyimak wawancara Bapak dengan sebuah stasiun televisi internasional. Saya mengira akan mendapati argumen yang diperkuat fakta dan bukti nyata. Sesuatu yang bisa membuat saya, dan jutaan rakyat yang memilih saingan Bapak, berpikir dua kali dan menjadi simpati (karena, percayalah, jika Bapak dilantik jadi presiden, Bapak akan tetap membutuhkan dukungan rakyat). Namun yang saya temukan bukanlah ketegasan dan kekuatan seorang calon pemimpin yang siap melayani, melainkan kemarahan dan kepahitan seorang calon penguasa yang gagal naik tahta.
Saya tercengang. Segusar itukah Bapak?
Barangkali anggapan Bapak benar. Barangkali tudingan itu bukan bualan. Mungkin kami semua sedang dibohongi oleh seorang tukang mebel yang pura-pura rendah hati. Namun, menyimak perkataan Bapak, yang saya dapati hanya amarah yang membuat jengah. Analogi ini mungkin berlebih, tapi saya seperti sedang menyaksikan bocah yang meronta di toko mainan karena tidak dibelikan robot-robotan.
Bapak, saya tak ingin punya pemimpin yang begitu dikuasai ambisi dan amarah, karena saya tak mau hidup dalam ketakutan. Pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya akan melahirkan prajurit-prajurit yang tak kenal belas kasihan, dan bukan itu yang kami perlukan. Lebih dari tiga abad kami dijajah. Lebih dari tiga puluh tahun kami hidup dalam gentar. Cukup sudah kami didera.
Indonesia dari dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah. Mungkin kami dianggap bodoh, seperti yang Bapak katakan. Namun adakalanya menjadi ramah dan bijak lebih baik ketimbang pintar dan perkasa. Mungkin kami bukan macan yang jago mengoyak mangsa, namun kami tak memerlukan taring karena kami bukan bangsa pemburu. Barangkali kami disebut pemalas, seperti ucapan Bapak dalam wawancara, namun dalam ‘kemalasan’ kami masih sempat bertegur sapa dan saling merangkul sesama saudara. Karena, Bapak, itulah Indonesia yang kami tahu. Indonesia yang diceritakan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila.
Bapak Prabowo yang Tangguh Seperti Macan,
Beberapa hari lalu dalam wawancara di Metro TV, Jokowi memakai sepatu seharga dua ratus ribu. Istri yang membelikan, katanya sambil tertawa. Mungkin itu semua cuma pura-pura. Barangkali kesederhanaan itu tak lebih dari permainan. Namun tahukah Bapak, berapa banyak hati yang dibesarkan oleh sepasang sepatu dua ratus ribu di kaki seorang calon presiden? Berapa banyak semangat dan harapan yang bangkit saat seorang calon presiden berjanji ia takkan punya kepentingan, selain mengabdi kepada rakyat? Berapa banyak anak tuna netra yang punya keberanian untuk terus bermimpi setelah kawan mereka dihampiri dan ditepuk pundaknya oleh calon presiden? Berapa banyak senyum yang terkembang saat seorang calon presiden tanpa segan berpose ‘selfie’ di televisi nasional? Ratusan tahun kami dijajah, akhirnya kami punya figur yang mendekati ayah—meski ia lebih suka dipanggil kakak. Dan pernahkah Bapak berpikir, berapa banyak kekecewaan yang sirna dan maaf yang diberikan, saat dengan senyum ia berkata, “Pak Prabowo dan Pak Hatta adalah patriot dan negarawan. Saya percaya mereka akan melakukan yang terbaik untuk negara ini.”?
Bapak, kami sungguh tak ingin membenci. Kami hanya ingin seorang pemimpin yang bisa kami cintai dan hormati, seseorang untuk dipercayai, yang tak menimbulkan ngeri. Beliau sudah ada di sini. Tolong beri ia kesempatan. Biarkan ia menjalankan tugas sebagai abdi rakyat. Dan sementara ia bekerja, barangkali Bapak bisa duduk beristirahat, meluruskan kaki yang sudah penat.
Jenny Jusuf
Quote:
Kepada Bapak Prabowo,
Saya adalah Ibu dari seorang anak yang bercita-cita ingin jadi Presiden. (Padahal melihat gaya saya sebagai seorang Ibu, saya pikir anak saya bakal jadi anak band ;p). Menjadi Presiden adalah cita-cita yang ia ucapkan dari usianya 5 tahun hingga kini beranjak 13 tahun, dan sejauh ini ia masih teguh dengan cita-citanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia di masa depan.
Dul, panggilan kesayangan saya buat dia.
Si Dul anak yang manis, baik hati, sederhana, selalu berpikir positif, dan nyaris tidak pernah berpikir atau berkata buruk. Dia sangat suka ilmu pengetahuan, khususnya Sejarah dan Politik. Jika anak-anak suka bermain, dari kecil hari-hari si Dul dihabiskan untuk membaca, membaca, dan membaca. Baik buku ataupun browsing internet. Selama pilpres ini si Dul rajin menonton beritanya di televisi dan membacanya di media cetak maupun internet.
Melihat antusias si Dul terhadap pilpres ini membuat saya terusik.
Mungkin kita lupa, dan para pemimpin mungkin juga lupa, selalu berpikir politik-negara itu urusan orang dewasa. Mungkin kita tidak menganggap dan mengabaikan anak-anak karena berpikir “Ini bukan urusan anak-anak. Tugas anak adalah sekolah, belajar yang bener.” Mungkin kita alpa, belajar bukan cuma di sekolah. Bahwa saat ini anak-anak lewat media televisi, cetak, dan internet sedang membaca dan menonton sikap, prilaku, tindakan, para pemimpin negara. Anak-anak sedang belajar bukan dari teori-teori yang ada di buku-buku tetapi melihat langsung dan real proses bagaimana menjadi seorang pemimpin di negara ini.
Si Dul mengamati semuanya, mempelajari semuanya. Dan anda-anda para pemimpin adalah contohnya. Si Dul sedang belajar bagaimana pesta demokrasi sedang dirayakan di negara ini. Bagaimana seorang pemimpin nantinya akan terpilih di negara ini dengan proses yang baik, benar, jujur, dan berdasarkan suara rakyat terbanyak.
Tetapi apa yang disaksikannya sungguh mengenaskan. Isue-isue negatif merebak tak terkontrol. Isue sosial, suku, agama dijual demi kepentingan politik. Mungkin sebagai orang dewasa yang sedang fokus pada kursi kekuasaan tidak terpikir bahwa issue-issue SARA itu juga akan terekam dikepala anak-anak. Dan tanpa disadari mereka sedang menanamkan bibit-bibit kebencian di otak polos anak-anak. Sungguh mengerikan.
Saya lalu berpikir jika si Dul mau jadi Presiden apakah dia sanggup nantinya menghadapi gempuran demi gempuran yang sedemikian kejam dan kotornya? Bagaimana nasibnya, ya? Dia terlalu baik, terlalu sederhana, terlalu jujur, terlalu santun, dan sopan, (Sekilas si Dul mirip sekali dengan Jokowi, ya? J), memangnya ada tempat bagi orang seperti dia untuk menjadi Presiden di negara ini?
Jadi saya bertanya ulang pada si Dul:
Dul, ngeliat betapa mengerikannya untuk menjadi Presiden, anda yakin tetap mau jadi Presiden?
Saya pikir awalnya si Dul akan berpikir dulu setelah akhirnya ia menyaksikan proses pilpres yang mengerikan ini. Tapi Si Dul menjawab dengan yakin:
“Aku yakin. Karena aku tetap percaya orang baik, jujur, sederhana, berani menegakkan hukum dan keadilan, dan memikirkan kepentingan rakyat, bisa jadi Presiden Indonesia.”
Jangan sekedar menilai itu cuma jawaban polos atau klise dari anak-anak. Jangan. Jangan juga anggap itu cuma jawaban sotoy dari anak kecil yang gak ngerti apa-apa. Mereka mungkin muda secara usia tetapi mereka tidak bodoh. Itu adalah apa yang si Dul yakini sebenar-benarnya tentang Presidennya nanti. Keyakinan yang harus dimiliki oleh semua anak di Indonesia. Keyakinan yang harus kita sebagai orang dewasa yang waras buktikan dan wujudkan.
NB: Tanpa harus menyebut nama, dari kriteria itu Bapak pasti mengerti kan siapa calon Presiden yang si Dul maksud?
UPI.
Saya adalah Ibu dari seorang anak yang bercita-cita ingin jadi Presiden. (Padahal melihat gaya saya sebagai seorang Ibu, saya pikir anak saya bakal jadi anak band ;p). Menjadi Presiden adalah cita-cita yang ia ucapkan dari usianya 5 tahun hingga kini beranjak 13 tahun, dan sejauh ini ia masih teguh dengan cita-citanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia di masa depan.
Dul, panggilan kesayangan saya buat dia.
Si Dul anak yang manis, baik hati, sederhana, selalu berpikir positif, dan nyaris tidak pernah berpikir atau berkata buruk. Dia sangat suka ilmu pengetahuan, khususnya Sejarah dan Politik. Jika anak-anak suka bermain, dari kecil hari-hari si Dul dihabiskan untuk membaca, membaca, dan membaca. Baik buku ataupun browsing internet. Selama pilpres ini si Dul rajin menonton beritanya di televisi dan membacanya di media cetak maupun internet.
Melihat antusias si Dul terhadap pilpres ini membuat saya terusik.
Mungkin kita lupa, dan para pemimpin mungkin juga lupa, selalu berpikir politik-negara itu urusan orang dewasa. Mungkin kita tidak menganggap dan mengabaikan anak-anak karena berpikir “Ini bukan urusan anak-anak. Tugas anak adalah sekolah, belajar yang bener.” Mungkin kita alpa, belajar bukan cuma di sekolah. Bahwa saat ini anak-anak lewat media televisi, cetak, dan internet sedang membaca dan menonton sikap, prilaku, tindakan, para pemimpin negara. Anak-anak sedang belajar bukan dari teori-teori yang ada di buku-buku tetapi melihat langsung dan real proses bagaimana menjadi seorang pemimpin di negara ini.
Si Dul mengamati semuanya, mempelajari semuanya. Dan anda-anda para pemimpin adalah contohnya. Si Dul sedang belajar bagaimana pesta demokrasi sedang dirayakan di negara ini. Bagaimana seorang pemimpin nantinya akan terpilih di negara ini dengan proses yang baik, benar, jujur, dan berdasarkan suara rakyat terbanyak.
Tetapi apa yang disaksikannya sungguh mengenaskan. Isue-isue negatif merebak tak terkontrol. Isue sosial, suku, agama dijual demi kepentingan politik. Mungkin sebagai orang dewasa yang sedang fokus pada kursi kekuasaan tidak terpikir bahwa issue-issue SARA itu juga akan terekam dikepala anak-anak. Dan tanpa disadari mereka sedang menanamkan bibit-bibit kebencian di otak polos anak-anak. Sungguh mengerikan.
Saya lalu berpikir jika si Dul mau jadi Presiden apakah dia sanggup nantinya menghadapi gempuran demi gempuran yang sedemikian kejam dan kotornya? Bagaimana nasibnya, ya? Dia terlalu baik, terlalu sederhana, terlalu jujur, terlalu santun, dan sopan, (Sekilas si Dul mirip sekali dengan Jokowi, ya? J), memangnya ada tempat bagi orang seperti dia untuk menjadi Presiden di negara ini?
Jadi saya bertanya ulang pada si Dul:
Dul, ngeliat betapa mengerikannya untuk menjadi Presiden, anda yakin tetap mau jadi Presiden?
Saya pikir awalnya si Dul akan berpikir dulu setelah akhirnya ia menyaksikan proses pilpres yang mengerikan ini. Tapi Si Dul menjawab dengan yakin:
“Aku yakin. Karena aku tetap percaya orang baik, jujur, sederhana, berani menegakkan hukum dan keadilan, dan memikirkan kepentingan rakyat, bisa jadi Presiden Indonesia.”
Jangan sekedar menilai itu cuma jawaban polos atau klise dari anak-anak. Jangan. Jangan juga anggap itu cuma jawaban sotoy dari anak kecil yang gak ngerti apa-apa. Mereka mungkin muda secara usia tetapi mereka tidak bodoh. Itu adalah apa yang si Dul yakini sebenar-benarnya tentang Presidennya nanti. Keyakinan yang harus dimiliki oleh semua anak di Indonesia. Keyakinan yang harus kita sebagai orang dewasa yang waras buktikan dan wujudkan.
NB: Tanpa harus menyebut nama, dari kriteria itu Bapak pasti mengerti kan siapa calon Presiden yang si Dul maksud?

UPI.
Masih banyak surat-surat yang ditunjukkan oleh Pak Prabowo silahkan mengunjungi Surat Untuk Pak Bowo
Terimakasih
Hanya sekedar share
0
2K
Kutip
27
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan