Disesalkan, Langkah Komisi I Panggil RRI karena Lakukan "Quick Count"
TS
duta.pertamax
Disesalkan, Langkah Komisi I Panggil RRI karena Lakukan "Quick Count"
JAKARTA, KOMPAS.com - Sebagai lembaga penyiaran, RRI dinilai tetap berhak melakukan penelitian dan hitung cepat atau quick count Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Karena itu, Perkumpulan Media Lintas Komunitas (MediaLink) mempertanyakan langkah Komisi DPR I yang akan memanggil redaksi RRI.
"Langkah Komisi I ini sebenarnya sangat kami sesalkan. Ini sudah terlalu jauh. Jangan tempatkan quick count sebagai sebagai momok. Ini kan juga untuk penyelenggaraan pemilu," ujar Peneliti Perkumpulan Media Lintas Komunitas, Ahmad Faisol di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2014).
Menurutnya, penelitian juga merupakan salah satu fungsi jurnalisme yang dijalani media massa. Dia menganggap, sepanjang survei dan hitung RRI dilakukan dengan metodologi dan kaidah penelitian yang benar, tidak masalah jika radio itu untuk merilis hasil hitung cepatnya.
Ia menuturkan, walaupun pengelolaan RRI dibiayai negara, tapi tetap berhak menghitung hasil pilpres untuk kepentingan data dan penelitian media tersebut.
"Kami kan bisa minta mereka pertanggungjawabkan hasilnya. Komisi I dan Komisi Penyiaran bisa lakukan audit pada metodologi yang dipakai RRI," kata Faisol.
Sebelumnya, Komisi I DPR berencana memanggil jajaran direksi RRI pasca-hasil hitung cepat lembaga itu disiarkan di sejumlah lembaga penyiaran.
Hasil hitung cepat RRI menunjukkan, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dengan perolehan 52,71 persen. Adapun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 47,29 persen.
"Komisi I berencana memanggil jajaran direksi RRI terkait penayangan quick count mereka di sejumlah lembaga penyiaran," kata Ketua Komisi I Mahfud Siddiq.
Ketua Komisi I Mahfud Siddiq
Menurut Mahfud, RRI bukanlah lembaga survei resmi yang dapat melakukan hitung cepat. Di samping itu, kata dia, RRI merupakan lembaga penyiaran publik yang harus dapat menjaga netralitasnya saat pilpres.
"Quick Count" RRI Dinilai Kredibel
TRIBUNNEWS.COM.JAKARTA,- Dosen FISIP Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Arie Sudjito, berpendapat, hasil hitung cepat atau quick count pilpres 2014 yang dilakukan oleh RRI cukup kredibel. Lembaga tersebut dinilai tidak berpihak pada salah satu kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
"RRI sudah memiliki reputasi seperti pada pemilu legislatif lalu, dimana telah berhasil dan hasilnya pun mirip dengan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU)," kata Arie dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (12/7/2014), seperti dikutip Antaranews.com.
Dari segi sumber daya manusia (SDM) itu sendiri, lanjut dia, tak perlu dipertanyakan lagi karena RRI memiliki sumber daya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan survei.
"Kalau tidak percaya, kan bisa diaudit metodologinya. Saya yakin mereka transparan," tuturnya.
Ia menegaskan, bila ada pengamat yang mencurigai RRI ada kepentingan politik, hal itu dangkal dan tidak beralasan.
"Justru pengamat yang menuduh RRI itu yang patut dipertanyakan," katanya.
Dia mengimbau pengamat tidak menggunakan teori konspirasi yang menjebak pengamat menjadi tidak kritis dan sekadar menuduh.
"Saya percaya RRI telah memenuhi kaidahnya metodologi. Jika meragukan bisa ditanyakan, toh mereka pasti terbuka proses survei itu," kata Arie.
Sebelumnya, hasil hitung cepat RRI menunjukkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla unggul dengan perolehan 52,71 persen. Adapun Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 47.29 persen.
Setidaknya ada tujuh lembaga lain yang juga menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul dalam hitung cepat. Lembaga survei itu yakni, Populi Center, CSIS, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Poltracking, dan Saiful Mujani Research Center.
Sementara empat lembaga survei yang hasil hitung cepatnya pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa unggul, yakni Puskaptis, Indonesia Research Center, Lembaga Survei Nasional, dan Jaringan Suara Indonesia.
Hasil hitung cepat ini membuat kedua pasangan saling klaim kemenangan. Adapun KPU baru akan mengumumkan pemenang Pilpres pada 22 Juli.
Maaf, kali ini kami tidak memanggil Anda ‘Pak’. Namun, sejatinya Kami menghormati keinginan Anda—dan pasangan Anda, Hatta Rajasa—supaya memanggil Anda ‘Bung’, meskipun sulit dicerna mengapa orang yang tergila-gila dengan hirarki bisa-bisanya ingin dipanggil Bung. Tapi sudahlah, kami coba menempatkan diri kami sebagai simpatisan Bung.
Orang-orang pendukung capres sebelah di sekitar kami mulai kasak-kusuk tentang Bung yang, katanya, tidak mau kalah. Lihat, mereka mulai menyebarkan fitnah: Bung ini paranoid, Bung patetik, Bung pecundang, Bung psikopat, Bung tak siap kalah, Bung play victim. Ah, tapi kami tahu itu sekadar taktik buat menguatkan iman kami yang sedang goyah. Bung kan jagonya. Kami lebih suka dengan calon yang menghalalkan segala cara, ketimbang yang nyaris mengharamkan segala cara seperti capres ndeso itu.
Lagi pula, tanpa gaya kampanye Bung, rasanya Pemilu kemarin tak ada taringnya. Malah, menurut hemat kami berdua, Bung seharusnya dapat penghargaan sebagai pemicu perkembangan Pop Art Indonesia—setidaknya—sebulan ke belakang. Lihat berapa ribu meme yang ditujukan, eh, dipersembahkan untuk Bung. Jadi, kalau pendukung pasangan sebelah bilang kampanye Bung isinya cuma black campaign, sesungguhnya mereka tak pernah memahami game plan Bung. Mana bisa mereka melihat niat mulia Bung? Bagi kami—yang berusaha memahami Bung sepenuhnya—Kampanye Bung sejatinya adalah pelecut perkembangan Pop Art di Indonesia. Lebih dari itu, kampanye Bung mengembalikan seni yang memihak. Bravo!
Tapi mari sedikit serius, Bung. Kawan-kawan saya ini juga bilang kalau Bung merasa disakiti oleh serombongan media yang tidak kepingin Bung memperbaiki nasib bangsa. Tenang Bung, media-media ini kan cuma dibaca segelintir elit saja. Oplahnya juga terbatas. Maklumlah, dananya hasil patungan. Lagipula, Rakyat kita lebih suka Obor Rakjat, juga media-media besar penyokong Bung yang menguasai 40 persen siaran udara. Apalagi yang baru Bung borong sahamnya sebesar Rp 870 milyar itu.
Dan Bung tahu betul mana yang pantas diomongkan ke media asing dan mana yang patut untuk media lokal. Di radio BBC berbahasa Indonesia, Bung mengatakan “Apapun keputusan rakyat, akan kami hormati.” Adapun di BBC berbahasa Inggris, Bung mengatakan—sambil terisak—kantor lembaga quick count yang membela Bung dibom molotov, stasiun televisi yang membela Bung diduduki, bahwa capres sebelah adalah produk public relations, dst. Bung juga pernah melakukan hal yang sama bukan, ketika mengatakan ke media luar Bung tidak akan bernegosiasi dengan FPI dan bakal memberlakukan ekonomi pasar bebas hambatan? Ah, Bung ini memang jagonya menyiasati media.
Tentu dukungan kami tak lepas dari kritik kepada Bung. Seorang demagog yang baik menawarkan ilusi besar kepada para penontonnya. Pada dasarnya, ia orang yang sinis, karena ia tak harus percaya pada perkataannya sendiri. Berapa bulan terakhir, Bung menjalankan hal yang sama persis, membius khalayak dengan mimpi-mimpi Indonesia Bangkit, kekayaan nasional yang bocor dicuri asing, dan banyak lagi. Isi pidato Bung memang minim argumen yang koheren, tapi boleh jadi Bung sadar: ada saja orang yang menggadai nalar dan menganggap suara menggelegar sebagai kebenaran. Jumlahnya banyak,sekitar 40 persen dari penduduk Indonesia yang pergi ke TPS tanggal 9 kemarin. Bisa juga lebih banyak lagi, sesuai versi hitung cepat yang Bung percaya.
Tapi rasa-rasanya, kami tak pernah mendengar ada tukang pidato yang sungguh-sungguh percaya dengan bualannya sendiri. Dan Bung sedang memberikan teladan sempurna untuk itu: demagogi Bung lama-kelamaan tidak menjual ilusi, tapi delusi. Bung terlalu percaya kenyataaan yang Bung karang sendiri. Memang ada berita-berita yang mengabarkan Bung menang mutlak di rumah sakit jiwa (dan di penjara koruptor). Beberapa kawan kami tertawa dan meneruskan kabar yang disiarkan media-media yang bung marahi kemarin. ‘Yang nyoblos aja gila, apalagi yang dicoblos?’ begitu kenyinyiran orang-orang di sekitar kami.
Bung Prabs, kami tidak sejauh itu. Kami bisa percaya jika Bung kena waham, tapi kami tidak percaya Bung akan berakhir dengan kegilaan yang sama seperti Westerling, biarpun Bung setampan, sepatriotik, dan sesetia menjalankan perintah atasan seperti beliau.
Barangkali Bung kesulitan menyaring mana informasi yang benar dan mana yang keliru dari timses Bung. Kami paham beratnya kampanye Bung selama bertahun-tahun. Waktu Bung untuk berkuda, berenang pagi-pagi, dan quality time dengan mantan istri ikut binasa beberapa bulan ini. Pastinya capek, bukan?
Mungkin Bung kena waham gara-gara salah pilih asisten. Jujur saja, kami mencium aroma kekurangajaran dari orang-orang di sekitar Bung, yang lebih suka bicara bohong ketimbang bicara benar demi menyenangkan hati dan menenangkan pikiran Bung. Tapi kami pun membayangkan mereka hidup dalam ketakutan, khususnya saat menyampaikan laporan kondisi lapangan yang memburuk di hadapan Bung. Takut dilempar HP, asbak, atau disuruh makan beling. Yah, rasa takut dan sikap oportunis itu memang bisa campur aduk dalam situasi begini.
Bung Prabs, sisa waktu Bung tinggal 9 hari lagi. Kami tahu Bung tidak akan tinggal diam dan akan menggasak tiap pelaku kecurangan di daerah-daerah yang tak dinyana memenangkan kubunya si boneka partai itu. Kami akan mati-matian mendukung rencana Bung. Bung punya kehendak apa? Menyulap 6,5 juta suara? Ah, itu pekerjaan kecil. Kalau pun kami tak kuat mencoblosi satu per satu, kami kan bisa main angka di formulir.
Bung tentunya ingat Nuri Shaden, bukan? Ya, Nuri Shaden yang sempat idola remaja akhir 90an itu, Bung! Dia jadi caleg partai Bung dan mengkampanyekan Bung! Lazimnya kawan-kawan pendukung Bung, prestasinya pun tak kalah dahsyat: menabrak ambulans di daerah Blok M dan menewaskan penumpangnya. Nah, dia ini dulu sempat bikin lagu yang kira-kira cocok dengan Bung punya suasana hati: “Dunia Belum Berakhir/ wajah ku juga nggak jelek-jelek amat/Ada yang mau/Kupikir-pikir/lebih baik kumenyingkir.”
Dunia memang belum berakhir buat Bung. Ambisi di ubun-ubun ketika usia kepala enam itu memang sulit ditahan, Bung. Kami bisa paham kesepian Bung 16 tahun terakhir. Tentu Bung tidak merasa cukup jika hari tua Bung sekadar dihabiskan untuk mengelus-elus kuda atau belajar menulis puisi bersama Bung Fadli. Soal mengusir kesepian, kami betul-betul tidak punya saran untuk itu—tolonglah Bung, kehidupan asmara kami sendiri sangat mengenaskan.
Seandainya pun Bung besok-besok terancam diajukan ke pengadilan HAM, Bung kan bisa mudik sejenak ke Yordania. Kami sangat bersyukur punya pemimpin yang berkawan dengan raja-raja di dunia, dari raja Kemusuk sampai raja padang pasir. Bung bisa kembali ke sini dan berkampanye tahun 2030, ketika semua orang sudah mulai lupa-lupa rindu dengan Bung.