Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hiddenboyAvatar border
TS
hiddenboy
Banyak yang perhatian sama bapak nih - Surat Untuk Pak Bowo
http://suratuntukpakbowo.tumblr.com/




Yang terhormat Bapak Prabowo Subianto.

Bapak mungkin tidak mengenal saya, tapi saya cukup yakin banyak di tim bapak yang kenal saya.
Saya cukup lama ada di seberang bapak. Bahkan memang saya lebih dulu kenal bapak daripada saya kenal Jokowi.
Sejak tahun 98, nama Bapak sudah masuk dalam referensi saya. Harus saya akui, tidak dalam pencahayaan yang baik.

Namun saya, punya prinsip yang saya pegang teguh: Mencoba memahami sebelum membenci.

Saya terbiasa untuk tidak membenci sebelum saya mencoba memahami dengan menelaah dulu lebih dalam & biasanya setelah saya mencoba memahami, saya tidak jadi membenci.

Itulah mengapa, saya tidak membenci bapak. Saya adalah lawan anda, bisa jadi saya adalah salah satu lawan anda yang paling keras, tapi lawan bukanlah musuh.
Ini mungkin prinsip yang sulit dipahami dari orang yang latar belakangnya militer, tapi kalau anda suka olahraga seperti saya, prinsip ini sungguh masuk di akal.

Saya paham alasan dibalik tindakan bapak. Saya paham motivasi bapak. Saya paham emosi bapak bahkan dalam banyak kesempatan. Ayah saya emosional dan suka menggampar orang juga. Tapi beliau tetap Ayah saya & saya selamanya menyayanginya.
Orang seperti anda Pak Prabowo, tidaklah asing bagi saya. Saya hidup dengan orang seperti itu seumur hidup.

Di akhir hidupnya, Ayah saya sudah melunak walau saya masih merasa beliau sulit menerima kesalahan yang pernah diperbuat & berdampak buruk kepada saya & kakak-adik saya. Kalau ada satu hal dari beliau yang merupakah kekuatan, adalah kegigihan. Di sisi yang lain, gigih terhadap hal hal yang salah jadinya keras kepala.
Namun walau sulit untuk beliau mengakui kesalahan, sikap beliau tetap berubah. Beliau memutuskan untuk mengambil tindakan yg benar. Hidup bersama beliau menyenangkan, tenang & penuh canda tawa hingga akhir usia beliau.
Ketika beliau meninggal, saya menangis karena teramat merindukannya. Orang yang sama, dulu saya acuhkan, saya hindari karena malas harus berurusan dengan beliau. Malas kena bentak.

Pak Prabowo, anda saat ini ada di penghujung perjalanan. Sesaat lagi, kerja keras anda bersama seluruh tim akan bertemu dengan takdir.

Apapun hasilnya, saya berharap anda menerima dengan baik & hati terbuka.

Saya tahu banyak orang berkata banyak hal buruk tentang anda, tapi mungkin ucapan almarhum Ayah saya di akhir usianya bisa jadi pegangan anda


"Reputasi seseorang tidak bergantung kepada apa yang orang katakan, tapi reaksi kamu kepada apa yang orang itu katakan"
Pandji Pragiwaksono
1 note






Bapak Prabowo Subianto yang saya hormati,
Di tengah seluruh keriuhan pesta demokrasi yang menyita banyak perhatian dan pikiran saat ini, saya kira hal yang paling Pak Prabowo butuhkan adalah lelucon. Pak Prabowo butuh sesuatu yang bisa membuat tertawa, bukan kritikan dan makian seperti yang sekarang bertebaran di Internet. Jangankan tertawa, tampaknya Pak Prabowo bahkan tidak pernah tersenyum di depan kamera para wartawan. Hal tersebut membuat saya kerap tersenyum sendiri—dan kadang-kadang sedih—mengetahui ada seorang pria gagah tidak mampu tersenyum di pusat pesta yang meriah.
Sejujurnya, saya tidak pandai melucu. Selera humor saya, menurut teman-teman saya, sedikit aneh. Namun, ada banyak kisah dari masa kecil saya yang cukup lucu—setidaknya, menurut ibu saya. Saya akan menceritakan kepada Pak Prabowo kisah lucu favorit ibu saya. Kisah ini paling sering dia ceritakan di meja makan dan membuatnya tertawa sambil menangis. Saya berharap kisah ini bisa membuat Pak Prabowo tersenyum, jika tidak bisa tertawa seperti ibu saya.
Saat saya berusia 6 tahun, ada bendungan besar dibangun tidak jauh dari tempat saya lahir di pedalaman Sulawesi Selatan. Bendungan itu terletak di Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone. Tepatnya, di Sanrego, desa di mana tumbuh satu jenis pohon ajaib. Pohon itu, namanya juga Sanrego, konon, bisa membuat ** SENSOR ** kuda berdiri berhari-hari. Saya juga pernah mendengar cerita mengenai seorang lelaki yang sering meminum ramuan dari kayu bertuah itu. Konon, saat dia mati, ** SENSOR **nya masih ereksi. Ajaib sekali!
Selama Bendungan Sanrego dibangun, banyak orang baru—mungkin orang-orang kota—lewat di depan rumah kami. Beberapa di antara mereka mengenakan seragam tentara. Karena kehadiran tentara-tentara itulah para penduduk akhirnya terpaksa merelakan sawah-sawah mereka jadi jalanan dan saluran irigasi, kata ibu saya bertahun-tahun kemudian.
Selain orang-orang baru, di depan rumah kami juga banyak melintas truk, bulldozer, excavator, dan mobil-mobil Hardtop. Setiap hari.
Ada cerita menarik mengenai mobil-mobil Hardtop itu. Orang-orang di kampung saya percaya mobil-mobil itu ke mana-mana berisi orang jahat yang senang memenggal dan mengambil kepala anak kecil. Konon, kepala-kepala itu akan ditanam di tanggul bendungan agar tidak mudah jebol. Teman-teman saya, tentu saja, ketakutan setiap kali melihat mobil Hardtop.
Tetapi, saya tidak takut kepada mobil-mobil Hardtop itu. Saya lebih takut kepada bulldozer. Sungguh-sungguh takut. Jika ada bulldozer lewat, saya berlari secepat mungkin ke hutan di belakang rumah saya untuk sembunyi. Di sana, di tengah hutan, saya menangis ketakutan. Tidak jarang saya mengencingi celana sendiri. Beberapa kali, ibu saya menemukan saya pingsan karena ketakutan melihat bulldozer.
Pak Prabowo pasti bisa membayangkan seberapa besar ketakutan saya.
Cerita mengenai saya yang takut bulldozer, tentu saja, dengan mudah menyebar ke mana-mana, termasuk ke sekolah, dan menjadi lelucon semua orang. Banyak orang tidak tahu nama saya, tetapi mereka tahu bahwa saya adalah Si Anak yang Takut Bulldozer.
Lelucon itu tidak mati saat saya tamat Sekolah Dasar—sebagaimana ketakutan saya kepada bulldozer. Ketika duduk di bangku SMA, saya pernah berkelahi dengan seorang teman yang menceritakan aib tersebut kepada seorang gadis yang saya taksir. Dia menyebut saya lelaki pengecut, bahkan kepada bulldozer takut.
Beberapa tahun lalu, saya berpikir anggapan kawan saya itu ada betulnya. Saya menuliskan satu sajak sederhana perihal ketakutan saya kepada bulldozerdan kepengecutan saya. Jika Pak Prabowo punya waktu, sajak itu bisa dibaca di sini.
Bapak Prabowo yang baik,
Sudah saya katakan di awal surat ini, saya tidak pandai melucu. Jika kisah yang sering membuat ibu saya tertawa sambil menangis tersebut gagal membuat Pak Prabowo tersenyum, setidaknya berpikirlah kenapa ibu saya harus menangis ketika menceritakannya.
Ibu saya dulu kader Partai Golkar. Saya ingat, dia punya semacam kartu anggota yang sering dia pajang di lemari kaca di ruang tengah rumah kami sepeninggal kakek dan ayah saya. Saya pernah bertanya kenapa dia memilih Partai Golkar, padahal dia bukan pegawai negeri. Dia menjawab singkat: saya takut.
Sekarang, ibu saya seorang kader PKS. Tapi, katanya melalui telepon, dia tidak memilih Pak Prabowo. Saya tanya kenapa. Jawabannya: saya tidak mau kembali hidup dipenuhi ketakutan.
Saya yakin Pak Prabowo paham betul kenapa ketakutan-ketakutan ibu saya muncul. Tentu saja, Pak Prabowo juga tahu bahwa ada banyak orang yang memiliki ketakutan seperti yang hidup dalam diri ibu saya.
Sekali lagi, jika Pak Prabowo tidak bisa tersenyum karena kisah lucu masa kecil saya di atas, setidaknya berpikirlah perihal ketakutan orang-orang seperti ibu saya. Pula nyaris semua kawan saya ketika bercerita perihal Pak Prabowo hanya ketakutan-ketakutan yang keluar dari diri mereka.
Sungguh, saya khawatir, ketakutan-ketakutan mereka itu kelak membuat Pak Prabowo betul-betul susah tersenyum—bahkan ketika mendengar lelucon paling lucu.
Saya kira Pak Prabowo jauh lebih paham daripada saya mengenai apa yang sebaiknya Bapak lakukan untuk membuat negeri ini lebih baik.
Salam hormat,
M. Aan Mansyur

Dear Pak Prabowo,
Sebelum saya sok akrab dengan Bapak, saya ingin meminta maaf atas kesoktahuan saya mengenai sosok Bapak, sosok yang hanya saya kenali dari layar kaca, sosok yang saya berusaha pahami dari cerita-cerita ayah saya. Saya berusaha memahami Bapak dengan pandangan gadis yang umurnya belum genap berusia dua puluh, dari gadis yang mungkin ditertawakan banyak orang karena tulisan-tulisannya yang seringkali terlalu menyedihkan, dari kacamata gadis yang diam-diam menatap wajah tampan Bapak sewaktu muda dulu.

Ngomong-ngomong, Bapak tetap tampan hingga saat ini. emoticon-Big Grin

Selain jatuh cinta dengan wajah Bapak, saya juga lebih dulu jatuh cinta pada pangeran berkemeja kotak-kotak yang pernah saya temui setahun yang lalu. Sosok yang saya kagumi hingga saat ini, sosok yang menjadi inspirasi beberapa tulisan blog saya. Saya mengagumi Bapak dan pangeran berkemeja kotak-kotak itu. Saya berharap juga bisa bertemu dengan Bapak dan membuktikan bahwa ketampanan Bapak bisa saya buktikan tanpa dibatasi layar kaca.

Bapak tidak perlu bertanya siapa gadis yang menuliskan surat ini, karena sosok saya pasti terhapus oleh jutaan orang yang fanatik memuja Bapak. Saya hanya rakyat kecil biasa yang mengharapkan perubahan baru untuk Indonesia. Saya lelah dengan Indonesia yang nampak tua dan tak lagi mampu menampung masalah-masalah yang ada di bahunya. Oleh sebab itu, 9 Juli kemarin saya bangun pagi-pagi untuk menentukan nasib saya dan nasib banyak orang yang masih ingin Indonesia tampak lebih segar, bersemangat, dan tetap terlihat awet muda di umurnya yang sudah puluhan.

Harapan saya siapapun yang jadi presiden nanti harus siap menomorsatukan suara rakyat dan melupakan kepentingan-kepentingan di luar itu. Saya boleh sedikit mengutip ucapan pangeran berkemeja kotak-kota itu, Pak? Beliau berkata bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tidak punya kepentingan, kepentingannya hanyalah untuk rakyatnya.

Saya berharap siapapun yang nanti naik tahta kekuasaan akan bersikap seperti itu. Kalaupun singasana itu diduduki oleh Bapak, harapan saya tidak muluk-muluk. Saya ingin Bapak, seperti yang saya bilang tadi, tidak punya kepentingan lain selain menomorsatukan kepentingan rakyat.

Kalaupun Bapak punya kuasa, saya harap setidaknya Bapak tidak mengecewakan kami dengan mementingkan kepentingan di luar kepentingan rakyat, Pak. Bukankah hebat, Pak, jika kelak Bapak naik tahta, dengan sikap bersemangat Bapak yang selalu mengacungkan jari telunjuk itu, ditambah lagi integritas Bapak untuk menomorsatukan rakyat di atas kepentingan lain.

Untuk membayangkan saja rasanya saya sudah menginjak lantai surga, Bapak mungkin sudah tertawa melihat kata-kata saya yang menggunakan metofora berlebihan. Begitu, dong, Pak. Tersenyumlah, Pak, tertawa lepas. Wajah tampan Bapak akan terlihat lusuh jika berkeringat karena terlalu semangat berteriak-teriak.

Santailah, Pak, 22 Juli nanti dengan hati yang lapang dan tenang, mari kita nikmati siapa yang jadi pemenang. Jika bukan Bapak, saya dan Indonesia minta Bapak lapang dada. Buat kami tenang ya, Pak.

Gimana, Pak? Setuju, ya, Bapak harus selow, santai, woles, kalau kelak Tuhan memberi atau tak memberi Bapak kesempatan untuk memimpin Indonesia.
Dwitasari

Bapak Prabowo yang Perkasa Seperti Macan,
Waktu kecil saya pernah ditanya, apa cita-citamu kalau sudah besar?
Jawaban yang populer di masa itu adalah jadi dokter. Tapi saya tak kuat melihat darah. Karenanya lantang saya bilang, ingin jadi presiden. Presiden itu hebat. Dikagumi orang, disanjung rakyat, disegani dunia. Saya percaya, jutaan anak Indonesia pernah merasakan punya cita-cita yang sama. Bapak adalah seseorang yang amat beruntung, karena Bapak sudah sedekat ini dengan kursi presiden.
Tadi malam, saya menyimak wawancara Bapak dengan sebuah stasiun televisi internasional. Saya mengira akan mendapati argumen yang diperkuat fakta dan bukti nyata. Sesuatu yang bisa membuat saya, dan jutaan rakyat yang memilih saingan Bapak, berpikir dua kali dan menjadi simpati (karena, percayalah, jika Bapak dilantik jadi presiden, Bapak akan tetap membutuhkan dukungan rakyat). Namun yang saya temukan bukanlah ketegasan dan kekuatan seorang calon pemimpin yang siap melayani, melainkan kemarahan dan kepahitan seorang calon penguasa yang gagal naik tahta.
Saya tercengang. Segusar itukah Bapak?
Barangkali anggapan Bapak benar. Barangkali tudingan itu bukan bualan. Mungkin kami semua sedang dibohongi oleh seorang tukang mebel yang pura-pura rendah hati. Namun, menyimak perkataan Bapak, yang saya dapati hanya amarah yang membuat jengah. Analogi ini mungkin berlebih, tapi saya seperti sedang menyaksikan bocah yang meronta di toko mainan karena tidak dibelikan robot-robotan.
Bapak, saya tak ingin punya pemimpin yang begitu dikuasai ambisi dan amarah, karena saya tak mau hidup dalam ketakutan. Pemimpin yang menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya akan melahirkan prajurit-prajurit yang tak kenal belas kasihan, dan bukan itu yang kami perlukan. Lebih dari tiga abad kami dijajah. Lebih dari tiga puluh tahun kami hidup dalam gentar. Cukup sudah kami didera.
Indonesia dari dulu dikenal sebagai bangsa yang ramah. Mungkin kami dianggap bodoh, seperti yang Bapak katakan. Namun adakalanya menjadi ramah dan bijak lebih baik ketimbang pintar dan perkasa. Mungkin kami bukan macan yang jago mengoyak mangsa, namun kami tak memerlukan taring karena kami bukan bangsa pemburu. Barangkali kami disebut pemalas, seperti ucapan Bapak dalam wawancara, namun dalam ‘kemalasan’ kami masih sempat bertegur sapa dan saling merangkul sesama saudara. Karena, Bapak, itulah Indonesia yang kami tahu. Indonesia yang diceritakan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila.
Bapak Prabowo yang Tangguh Seperti Macan,
Beberapa hari lalu dalam wawancara di Metro TV, Jokowi memakai sepatu seharga dua ratus ribu. Istri yang membelikan, katanya sambil tertawa. Mungkin itu semua cuma pura-pura. Barangkali kesederhanaan itu tak lebih dari permainan. Namun tahukah Bapak, berapa banyak hati yang dibesarkan oleh sepasang sepatu dua ratus ribu di kaki seorang calon presiden? Berapa banyak semangat dan harapan yang bangkit saat seorang calon presiden berjanji ia takkan punya kepentingan, selain mengabdi kepada rakyat? Berapa banyak anak tuna netra yang punya keberanian untuk terus bermimpi setelah kawan mereka dihampiri dan ditepuk pundaknya oleh calon presiden? Berapa banyak senyum yang terkembang saat seorang calon presiden tanpa segan berpose ‘selfie’ di televisi nasional? Ratusan tahun kami dijajah, akhirnya kami punya figur yang mendekati ayah—meski ia lebih suka dipanggil kakak. Dan pernahkah Bapak berpikir, berapa banyak kekecewaan yang sirna dan maaf yang diberikan, saat dengan senyum ia berkata, “Pak Prabowo dan Pak Hatta adalah patriot dan negarawan. Saya percaya mereka akan melakukan yang terbaik untuk negara ini.”?
Bapak, kami sungguh tak ingin membenci. Kami hanya ingin seorang pemimpin yang bisa kami cintai dan hormati, seseorang untuk dipercayai, yang tak menimbulkan ngeri. Beliau sudah ada di sini. Tolong beri ia kesempatan. Biarkan ia menjalankan tugas sebagai abdi rakyat. Dan sementara ia bekerja, barangkali Bapak bisa duduk beristirahat, meluruskan kaki yang sudah penat.
Jenny Jusuf
2 notes

Pak Prabowo,
Ingatkah Anda di dalam salah satu debat Anda mengatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan nasihat tim saya.”
Anda mengatakan tim Anda menyarankan tak boleh setuju dengan apapun yang dikatakan pak Jokowi. Tetapi saat itu Anda tak mengindahkan saran mereka. Anda turun dari podium, menghampiri Jokowi dan menyalaminya seraya mengatakan Anda setuju dengan konsep Ekonomi Kreatif yang diutarakannya.
Pak Prabowo, saat itu, saya tersentuh dan lantas menyimpulkan, Anda seorang yang sportif dan akan mengakui kelebihan lawan.
Tetapi tanggal 9 Juli mengatakan kenyataan yang lain.
Kali ini, saya meminta Anda untuk kembali tidak mendengarkan suara apapun di sekeliling Anda; untuk hanya mendengarkan suara hati Anda yang paling dalam: bahwa sesungguhnya enam lembaga yang menyatakan perolehan angka Jokowi-JK berada di atas perolehan angka Anda dan Hatta adalah sebuah hasil yang sah dan bisa dipercaya. Saya memohon Anda untuk menjenguk dan menyentuh hati yang paling dalam. Jangan diganggu suara lain; jangan terganggu suara bising; jangan biarkan hati Anda disentuh apapun barang seusapan.
Saya yakin, Anda, seperti kita semua sebetulnya tahu apa yang tengah terjadi. Saya yakin Anda akan melakukan yang terbaik sebagai negarawan dan patriot sejati; sebagai orang yang sangat mencintai Indonesia, yang tak ingin Indonesia terpecah belah. Saya percaya, Anda tak ingin masyarakat Indonesia gelisah berkepanjangan karena masalah kepemimpinan yang serba tak pasti dan terulur-ulur. Saya percaya anda cukup peka dan cerdas yang mengetahui fakta yang sesungguhnya.
Pak Prabowo, kemenangan Jokowi-JK bukan berarti kekalahan Anda. Kemenangan mereka adalah kemenangan kita semua, karena artinya Anda juga menjadi bagian yang mendirikan tiang demokrasi Indonesia. Kami semua menanti langkah damai dari Anda untuk menjadi seorang negarawan yang sportif yang sekali lagi menyatakan “kali ini saya tak akan mendengarkan tim saya. Saya akan mengakui Jokowi-JK yang akan memimpin negeri ini….”
Dan itu berarti Anda, tim Anda, kita semua, adalah pemenang dalam demokrasi Indonesia.
Leila S. Chudori
2 notes

Pak Prabowo (dan Pak Hatta),

Sejujurnya saya sudah tidak tahu harus mau ngomong apa. Saya menduga, banyak juga orang yang seperti saya. Semangat kami menggebu hingga tanggal 9 Juli lalu, setelah itu yang ada hanyalah bingung dan ragu.

Banyak dari kami berusaha mati-matian menjadi warga negara yang baik dan aktif menggunakan hak politiknya, dari mulai tobat golput sampai memotret-motret formulir C1 di TPS. Padahal, biasanya kami alergi bicara politik dan isi HP kami lebih banyak foto makanan atau selfie. Tahun ini memang beda, Pak. Terima kasih untuk Bapak juga, tentunya. Kehadiran Bapak yang begitu kuat di Pilpres 2014 menggugah banyak orang untuk jadi melek urusan beginian.

Pak, banyak yang mau menulis surat untuk Bapak, jadi saya singkat saja. Apa yang sesungguhnya terjadi, rakyat awam seperti kami ini tidak akan pernah benar-benar mengerti. Kami hanya merajut dari media, obrolan warung kopi, apa yang kami lihat di televisi, dan cuap-cuap di media sosial. Apakah hiruk-pikuk itu bagian dari sebuah rencana besar, skenario politik tingkat tinggi? Entah. Terlebih lagi, kami tidak tahu persis apa yang Bapak rasakan saat ini. Saya juga tidak ingin mengajari Bapak berikhlas hati dan legawa, karena itu bukan sesuatu yang bisa diajarkan atau dibuat, ia harus lahir sendiri. Saya cuma titip satu pesan, Pak.

Konon, seorang Gus Dur pernah melihat ketulusan besar pada diri Bapak. Semoga ketulusan itu bukan hanya perihal menjadi Presiden saja, tapi juga ketulusan atas segalanya, termasuk kalau sampai tidak menjadi seorang Presiden. Menjadi presiden adalah hal yang luar biasa hebat. Namun, bukan segalanya. Going back to our quiet life, just like what you had mentioned on BBC, is a true privilege not all of us can have. Apalagi, jika kita berhasil retret dengan terhormat.

Dalam salah satu wawancara Bapak dengan media internasional, Bapak berkata, “Losing is not an option.” Usia saya masih jauh di bawah Bapak, mudah-mudah ucapan berikut tidak dianggap menggurui. Yang saya lihat sejauh ini, Pak, kadang-kadang hidup tidak selalu memberikan apa yang kita inginkan. Katanya, karena apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan apa yang kita butuhkan. Sucks, doesn’t it? Sometimes losing becomes our reality. But, you know what, Sir? It doesn’t end there. Karena ketika kita berhasil berdamai dengan kekalahan, kita pun bisa keluar menjadi seorang pemenang.

From that perspective, life is not bad at all.

Salam hormat,

Dee Lestari.

PS. Saya sepenuhnya sadar paragraf terakhir akan kembali lagi kepada saya kalau ternyata Pak Jokowi nggak jadi presiden. Jujur, saya nyoblos nomor 2, Pak. Jangan marah, ya. Begitulah demokrasi. Peace.

5 notes
tien212700
tien212700 memberi reputasi
1
5.5K
28
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan