Satu persembahan lagi dari anak bangsa di dunia dalam bidang teknologi robotika sudah tidak diragukan lagi. Lintang Selatan Tim yang beranggotakan 7 orang dari
berhasil mendapatkan penghargaan special dalam kategori guts and glory.
Perlombaan robot underwater yang dilaksanankan pada 26-28 Juli di Tunder Bay Alpena, Michigan, USA di ikuti 62 tim dari 13 Negara yang terbagi menjadi 2 kategori. Dimana sebelum mencapai perlombaan international masing masing tim harus beradu di kanca regional.
Regional Asia yg di selenggarakan di Hong Kong pada 12 – 13 April 2014 inilah yang membawa tim dari Sekolah Robot Indonesia untuk mewakili Asia dalam perlombaan tersebut. Total Ada 5 tim yang mewakili dari Regional Asia yang di Hong Kong.
BERANGKAT MODAL ISENG, PULANG BAWA PENGHARGAAN

Lintang Selatan, Tim Robotik Asal Surabaya, Peraih Special Award di Amerika
LINTANGSelatan berukuran tinggi 30 sentimeter dan panjang 50 sentimeter. Layaknya manusia, Lintang Selatan juga punya kaki, tangan, dan mata. Tidak sepenuhnya sama dengan manusia memang. Sebab, kakinya berbentuk roda. Tangannya juga satu. Sementara itu, mata –hasil modifikasi dari kamera– berjumlah tiga.
Lintang Selatan, robot satu tangan itu, punya kemampuan luar biasa. Ia mampu mengangkat beban lebih dari 5 kilogram. Bagaimana tidak, robot underwater tersebut memang dirancang untuk menyelesaikan tiga misi. Mencari kapal karam salah satunya.
Lintang Selatan bukan hanya julukan untuk sang robot underwater. Ia juga nama tim robotik asal Surabaya yang beranggota tujuh anak. Mereka adalah Ahistya Purbolintang dan M. Reza Ar Razi (kelas XIII SMAN 1 Sidoarjo), Naura Aurelia (kelas VIII SMPN 17 Surabaya), M. Ilham dan Kaisar Nialfza (kelas V SD Muhammadiyah 4 Surabaya), Firman Fathoni (kelas IV SD Muhamadiyah 4 Surabaya), serta Rachel Yusriyah (kelas II SD Muhammadiyah 4 Surabaya).
”Agar mudah diingat, nama robot dan nama tim sama,” kata Ahistya Purbolintang. Nah, leader tim Lintang Selatan itu juga disapa Lintang. Selain tertua di kelompoknya, Lintang merupakan dalang pembuatan robot underwater tersebut. Dialah ahli mekaniknya.
Siang itu, Minggu (6/7), Lintang Selatan memiliki jadwal kumpul. Hingga malam mereka terus berada di bengkel robot. Basecamp mereka berlokasi di Perum Sidokare Asri.
Rumah itu berukuran sedang. Ruang tengah berukuran 4x4 meter di rumah tersebut dipenuhi puluhan robot. Baik yang sudah jadi dan dipajang maupun yang masih dikerjakan.
”Sebelum lomba, setiap hari kami ke sini,” ujarnya. Dia menambahkan, membuat robot underwater memerlukan waktu lama. Mereka mengerjakannya selama empat bulan penuh. ”Siang habis pulang sekolah sampai malam,” tambahnya. Meski perlombaan terlambat selesai, Lintang bersama keenam rekannya masih saja sibuk memperbincangkan robot mereka.
”Ini yang kami dapat dari Amerika,” katanya sembari menunjukkan sebilah kaca berbentuk persegi panjang yang tidak lain adalah piagamnya.
Dia mengamati sejenak piagam itu, lantas mulai bercerita. ”Perjuangannya luar biasa untuk dapat ini (piagam, Red),” ujarnya. Sebab, mereka harus lembur setiap malam hanya untuk menyelesaikan robot underwater itu. Terlebih, biaya pembuatan robot tidak sedikit. Katanya, biayanya sekitar USD 1.800 atau lebih dari Rp 21 juta.
Awalnya, mereka berlomba atas ajakan salah seorang mentor robot mereka, Dhadhang Setya Budi. ”Nyoba aja,” celetuk Lintang. Namun, tidak disangka, mereka berhasil lolos dalam babak penyisihan tingkat Asia Pasifik di Hongkong pada April lalu.
’’Diikuti tim se-Asia Pasifik, tapi diambil lima negara,’’ kata Lintang. Dia menambahkan, lima negara yang lolos dalam babak final adalah Singapura, Taiwan, Tiongkok, Makau, dan Indonesia.
Lima negara tersebut kemudian bersaing di tingkat dunia di Alpena, Michigan, Amerika Serikat. Dalam MATE (Maritime Advance Technology Education) International Rov Competition 2014, ada 50 tim dari 13 negara yang turut serta dalam lomba robot underwater.
Bagi Lintang, underwater merupakan kategori baru dalam lomba robot. Sebab, jenis lomba itu bukan hanya untuk robot yang mampu menyelesaikan misi seperti line tracer analog. Melainkan, sudah menjadi robot yang aplikatif. ”Robot itu bisa mendeteksi kapal karam, menemukan bangkai kapal, mengambil sampah, dan mengumpulkan sampel mikroba,” jelas Lintang.
Lintang Selatan berangkat ke Alpena sejak 20 Juni lalu. Untuk membawa satu buah robot, ternyata juga dibutuhkan perjuangan. Lantaran minimnya alat yang ada, robot underwater akhirnya mereka bawa dengan koper baju. Untuk meminimalkan kerusakan saat di pesawat, mereka mengakali dengan mengganjal setiap sisi koper dengan kain bekas.
Perjalanan yang mereka lakukan juga cukup lama. Lebih dari 24 jam. Berawal dari Jakarta kemudian ke Chicago. Perjalanan mereka sekitar 17 jam. Kemudian, perjalanan dilanjutkan dari Chicago ke Alpena sekitar tujuh jam.
Hanya, cerita Lintang, di Bandara Narita, aki dan baterai robot harus disita petugas karena diduga membahayakan. ”Kami sempat debat, tapi tetap tidak diizinkan,” kata Lintang. Akhirnya, mereka tetap melanjutkan perjalanan tanpa membawa aki dan baterai untuk robot mereka. Beruntung, mereka masih sempat membelinya di Amerika.
Dalam kompetisi di Amerika itu, masing-masing robot harus mampu menyelesaikan tiga misi. Yakni, shipwreck, science, dan konservasi. Untuk kategori shipwreck, robot harus bisa menjelajah dan mengidentifikasi kapal karam. Di misi science, robot harus bisa mengumpulkan mikroba, mengukur konduktivitas air tanah yang muncul dari logam pembuangan, dan memperkirakan jumlah kerang zebra yang ditemukan di bangkai kapal. Untuk konservasi, robot harus bisa mengangkat sampah atau puing-puing kapal ke permukaan.
Lintang mengakui, tidak semua rintangan dalam misi mampu mereka selesaikan. Hasilnya, mereka tidak berhasil meraih juara di sana. Yang mereka raih adalah special award.
”Tim dari USA bikin robot dengan biaya lebih dari 10 ribu dolar,” ungkap Lintang. Boks penyimpanan tim tuan rumah juga modern.
Lintang menjelaskan, kegagalan terjadi lantaran belum pernah menguji coba robot tersebut. ’’Di sini kan tidak ada kolam dengan kedalaman sampai 6 meter,’’ katanya.
Hanya, mereka bangga dengan hasil karyanya saat ini. Bahkan, Lintang berharap karyanya bisa dikembangkan di Indonesia. Sebab, Indonesia sangat membutuhkan robot jenis itu. Selain Indonesia sebagai wilayah maritim, kapal yang tenggelam di laut kita tidak sedikit.
”Jika Indonesia mau, bisa dikembangkan untuk laut kita,” ujar Lintang tampak masih serius mengamati kembali kondisi robotnya.
Lintang Selatan memang berangan-angan untuk kembali ikut dalam Mate International Rov Competition 2015. Mereka berharap tidak hanya meraih special award. Melainkan, sebagai pemenang dalam kompetisi itu. (Rista R. Cahayaningrum/c6/dos)