Ini adalah pendakian pertama saya di Jawa Tengah, sekaligus catatan perjalanan pertama yang saya tulis di forum Travellers ini. Sebelumnya sih cuma baca-baca aja
Awalnya saya mau posting di sub-forum Catper OANC sih, tapi berhubung saya melihat thread ini bukan mengkhususkan petualangan di alam bebas (di gunung, di hutan, dsb.) maka saya posting disini aja
Semua berawal dari kejenuhan dengan dunia kuliah yang dirasa itu-itu aja. Saya merasa perlu sedikit refreshing, sejenak menjauhkan diri dari rutinitas. Apalagi akhir Maret kemarin ada long weekend, jadi saya rasa memang pas sekali! Setelah tekad bulat, sekarang cari-cari orang. Terkumpullah 3 orang (4 dengan saya) yang punya latar belakang kurang lebih sama : bosen dengan rutinitas.
Awalnya sih sebenarnya ingin ke Pantai Sawarna, cuma entah kenapa saya kurang suka. Buat saya pantai itu ya harus bisa snorkeling dan berenang. CMIIW, tapi kata temen saya sih Sawarna ngga bisa snorkeling. Destinasi kedua, ke Papandayan. Tapi saya bosen ke Papandayan lagi (ya sebenernya baru 2 kali juga sih kesana). Destinasi ketiga dan keempat, yaitu Pulau Seribu dan sekitaran Anak Krakatau berujung pada wacana.
Lalu terpikir : Prau. Bagi saya memang ini salah satu destinasi impian tahun ini. Bukit teletubies, golden sunrise, pemandangan yang spektakuler, sulit rasanya untuk tidak memasukkan Prau ke dalam salah satu destinasi impian. Kemudian, setelah turun Prau lanjut ke Yogyakarta. Pas sekali!
Meskipun ketiga teman saya itu belum pernah naik gunung, yang saya baca sih medan Prau tidak terlalu sulit (pikiran ini bakalan berubah setelah turun gunung), ya bisa lah. Apalagi waktu tempuhnya (katanya) cuma 3 jam, wah ya makin pingin lah kami kesini.
Quote:
Hari Pertama. Jumat, 28 Maret 2014.
Mendung sore itu mengawali meeting point kami di ruang himpunan kampus. Carrier sudah siap semua, barang bawaan sudah dipack rapi, tinggal jos. Sebenarnya bisa sih berangkat hari Kamis, tapi berhubung teman saya masih ada yang ujian jadi ya sudah lah.
Hujan mengawali perjalanan kami di angkot dari Ciumbeuleuit ke Gandok. Buat yang nggak tau Gandok, itu pertigaan Jalan Siliwangi, Ciumbeuleuit, sama Cihampelas di Bandung. Sempet berhenti di warung sih buat beli rokok. Dari Gandok, langsung lanjut lagi dengan angkot Ciroyom-Cicaheum ke Terminal Cicaheum.
Awalnya sih sebenernya mau berangkat naik kereta. Tapi dasar saya skip, saya kira berangkatnya hari Kamis tanggal 27. Jadi begitu sampe di stasiun mau beli tiket, ternyata tiketnya habis. Jadilah naik bus malam, PO Sinar Jaya langsung ke Wonosobo.
Kurang lebih sejam perjalanan kami akhirnya sampai di terminal. Hujan belum reda, namun memang intensitasnya berkurang. Di awal perjalanan ini, masalah sudah datang. Jadi teman saya, yang namanya Irsan (tapi panggilannya Kurma), belum juga datang. Bus sudah siap berangkat namun si Kurma ini masih entah dimana. Panik? Jelas. Ditelfon tidak diangkat, supir dan kenek bus sudah mewanti-wanti bakal ditinggal. Akhirnya dengan sedikit pasrah saya bilang, "Jam 18.20, kalo nggak ada tinggal aja Pak." Padahal saat itu jam menunjukkan pukul 18.15.
Dan ajaibnya, 18.19 dia menelfon saya dan bilang sebentar lagi sampai. Saya benar-benar tidak habis pikir punya keberuntungan apa saya ini, sudah benar-benar nyaris ditinggal. Untungnya, supir dan kenek bus mau diajak berkompromi sehingga kami tidak ditinggal . Pukul 18.30, kami meninggalkan Cicaheum.
Ingatan terakhir saya hari itu adalah jalanan keluar Bandung itu macet, dan supir bus yang nyetirnya bikin saya terus minta keberuntungan kedua : jangan sampai perjalanan saya berakhir di jalanan. Sisanya, terlelap.
Spoiler for "Pengeluaran Hari Pertama":
Angkot Ciumbeuleuit-Gandok Rp2.000,-
Angkot Gandok-Cicaheum Rp3.000,-
Bus Sinar Jaya Bandung - Wonosobo Rp70.000,-
Total pengeluaran hari pertama = Rp75.000,-
Quote:
Hari Kedua. Sabtu, 29 Maret 2014.
Matahari belum muncul namun kami sudah ada di Terminal Mendolo, Wonosobo. First impression, terminal ini berbeda dengan terminal di ibu kota. Sepi, sunyi, senyap, bersih, beda dengan Lebak Bulus atau Cicaheum sendiri yang, ya kita sama-sama tau lah ya
Di sini kebingungan terjadi. Kata penjaga toilet, angkutan ke Dieng itu ada dari sini, tunggu aja sekitar jam 6-an. Kata penjaga warung, harus naik angkot dulu ke Plasa Wonosobo, baru naik mikrobus ke Dieng. Karena percaya sama yang pertama, akhirnya kami memilih menunggu sampai jam 6.
Dan ternyata keputusan kami salah. Sampai jam 6 terminal masih lengang. Akhirnya saya menelfon Mas Pii di basecamp Gunung Prau untuk menanyakan rute yang benar dan ternyata memang harus naik angkot dulu kalau dari Terminal Mendolo. Dan ternyata angkotnya pun lewatnya di depan terminal, jadi nggak masuk ke terminalnya. Jadi lah jam 06.30 baru jalan dari terminal menuju alun-alun (di alun-alun banyak angkutan di Dieng, dan kata supir angkotnya gampangan di alun-alun).
Sabtu pagi di Wonosobo itu sungguh nyaman. Jalanan sepi, mendung lagi, udara dingin, wah perfect deh pokoknya. Beda dengan di ibukota atau di Bandung pastinya. Kurang lebih 15 menit kami sampai di alun-alun, dan benar saja, sudah ada angkutan ke Dieng yang ngetem.
Angkutan ke Dieng ini bentuknya seperti mikrobis, ya Isuzu Elf dikaroseri gitu lah. Ongkosnya 10.000 untuk perjalanan kira-kira sejam sampai di Dieng. Spesialnya, hari itu angkutan saya full house music dan saya menuju Dieng ditemani dengan sayur mayur untuk dagangan di pasar. Tapi harus saya akui, jalanan ke Dieng itu sungguh menarik. Aspalnya mulus, pemandangannya indah, tidak banyak lalu lintas lagi.
Benar saja, sekitar sejam akhirnya saya sampai di Desa Patak Banteng, tepat di depan basecamp pendakian Gunung Prau. Di sana Mas Pii sudah menyambut rombongan saya. Pagi itu sih masih belum terlalu ramai, cuma ada 2 pendaki asal Medan yang sedang tidur. Basecampnya enak dan luas. Setelah ramah tamah, re-packing, ngobrol-ngobrol, beli logistik tambahan, dan sarapan, kami bersiap untuk registrasi pendakian.
Tapi tunggu dulu. Dikarenakan hari sebelumnya ada hujan disertai petir, pendakian hari ini masih "nggantung". Karena Puncak Prau merupakan padang yang jarang pohon, ditambah lagi (katanya) Prau itu mengandung banyak uranium dan logam-logam, Mas Pii harus meminta ijin ke BMKG setempat dulu. Jadi, untuk membunuh waktu, kami pergi dulu ke Telaga Warna.
Awalnya saya kira ke Telaga Warna ini mesti dari desa Dieng Kulon. Namun ternyata di belakang basecamp ada jalan menuju Telaga Warna, meskipun lewat jalan tanah gitu.
Spoiler for "Jalan ke Telaga Warna":
Spoiler for "Telaga Warna":
Puas berfoto-foto di sana kami kembali lagi ke basecamp. Sekitar pukul 14.00, pendakian dibuka. Saat itu suasana sudah sangat ramai, mirip pasar lah.
Jalur dimulai dengan menyusuri kampung penduduk, kemudian tangga beton yang bikin cape karena belom apa-apa paha udah nyut-nyutan. Selanjutnya jalur makadam yang menanjak. Setelah jalur makadam, baru lah masuk ke jalur tanah (mirip tangga). Benar-benar sedikit sekali bonus di trek ini. Jalan ke atas didominasi tanah dan karena pendakian lewat jalur air, maka trek licin. Apalagi saat itu habis hujan. Tidak terhitung berapa kali kami istirahat. Kalau dipikir-pikir, menurut saya sih jalur pendakian Prau via Patak Banteng ini mirip dengan Cikuray, bedanya kalau Cikuray lebih panjang. Untungnya ketiga teman saya, meskipun mereka belum pernah naik gunung semua, bisa mengatasi trek Prau dan sampai di Puncak.
Spoiler for "1":
Spoiler for "2":
Setelah 3,5 jam pendakian, akhirnya kami sampai di Puncak Prau. Suasana malam itu berkabut parah. Tapi untungnya setelah satu jam, kabut berangsur-angsur hilang dan bintang bermunculan di langit. Setelah makan, kami ngopi di tenda sambil saya hunting foto-foto bintang. Kira-kira pukul 11, kami bersiap tidur karena besok mau liat sunrise.
Spoiler for "4":
Quote:
Original Posted By "Tambahan"Malam itu saya bener-bener kesel sama pendaki lainnya. Bagaimana tidak? Sekitar jam 1 pagi saya kebangun karena pendaki banyak yang teriak-teriak dan bersahut-sahutan. Tidak sadar apa mereka mengganggu pendaki lain yang sedang tidur? Kemudian rombongan pendaki yang baru datang dan membuat tenda di sebelah tenda kami. Mulai dari menendang-nendang tenda saya, berisik, sampai penempatan pasak yang menindih pasak saya sehingga susah untuk dilepas. Segitu lunturnya kah toleransi diantara kita, bahkan sesama pendaki gunung?
Spoiler for "Pengeluaran Hari Kedua":
Toilet (2x) Rp4.000
Angkot ke Alun-Alun Wonosobo Rp2.000,-
Mikrobis ke Dieng Rp10.000,-
Sarapan soto di depan basecamp Rp9.000,-
Beli logistik tambahan Rp30.000,-
Beli makan siang nasi rames Rp5.000,-
Registrasi pendakian Prau Rp4.000,-
Total pengeluaran hari kedua Rp64.000,-
Quote:
Hari Ketiga. Minggu, 30 Maret 2014.
Setelah kekesalan tadi malam, saya tidak bisa tidur lagi sampai kira-kira pukul 4 pagi. Saya memutuskan untuk bikin kopi dan ngerokok sambil menunggu matahari muncul. Namun sayangnya, pagi itu berkabut. Matahari yang ditunggu-tunggu hanya memancarkan sinarnya. Padahal harapan saya ya terbit kayak di teletubies gitu .
Pagi ini memberikan saya sebuah kesadaran baru : Prau pagi ini rame banget! Tapi meskipun saya nggak dapet golden sunrise, lukisan awan pagi itu benar-benar menakjubkan. Awan-awan itu seakan minta ditiduri
Spoiler for "5":
Spoiler for "6":
Spoiler for "7":
Spoiler for "8":
Puas berfoto-foto, kami turun dari Puncak Prau. Sekitar jam 08.30 kami turun. Perjalanan turun ini tidak terlalu capek seperti naik, tapi licinnya medan membuat saya merasa agak was-was juga. Untungnya, setelah 3 jam perjalanan kami selamat sampai di basecamp.
Hal pertama yang kami pikirkan setelah sampai di basecamp adalah nyobain carica! FYI, carica itu manisan khas Dieng, dari buah pepaya kecil gitu, dan enak rasanya. Jadi, kami membeli carica di salah satu rumah penduduk yang jualan carica sekalian numpang mandi karena badan ini penuh keringat dan bau. Untung juga sih, soalnya dikasih carica gratis sama dikasih liat cara pembuatan carica itu gimana.
Kira-kira jam 13.00, kami mengucapkan selamat tinggal ke Mas Pii, ke Dieng, dan kembali numpang mikrobis ke Wonosobo. Sialnya, hari Minggu itu jalanan lagi diaspal jadi diaplikasikan sistem buka tutup. Jadilah yang tadinya cuma perlu sejam jadi dua jam sampai di Terminal Mendolo lagi.
Begitu kaki pertama menjejak di depan Terminal Mendolo, seorang kenek bus menarik teman saya dan langsung bilang "Jogja? Ayo langsung ini." Dilanda kebingungan, akhirnya kami semua masuk ke bus tersebut (saya ingat namanya PO. Cebong Jaya). Di sini saya sebenarnya was-was karena takut dinaikin harganya, dan setau saya memang tidak ada bus langsung ke Jogja dari Wonosobo, harus lewat Magelang dulu. Benar saja, ketika bus sudah jalan, kenek baru bilang kalau tujuan akhir bus di Magelang.
Sampai di Terminal Magelang (setelah ber-jet coaster ria lagi), matahari sudah mau terbenam. Terminal Magelang ini tidak jauh berbeda sih dengan Mendolo, ya mungkin karena sama-sama di kota kecil kali ya. Untungnya sih masih ada bus ke Jogja, meskipun harus nunggu bus ngetem satu jam, menuhin penumpang dulu.
Perjalanan ke Jogja berbeda dengan rute Wonosobo-Magelang. Rute Jogja ini didominasi oleh kota-kota, kalau rute Wonosobo-Magelang masih lewat sawah dan hutan. Dan sialnya, kami nyasar! Karena tujuan kami ke Malioboro, harusnya minta turun di Jombor. Namun karena kami skip kami lanjut terus sampai Giwangan yang ternyata jauh dari Malioboro.
Untungnya sih, jam 21.00 itu masih ada Trans Jogja yang melayani sampai dekat Malioboro. Nama daerahnya saya lupa, tapi tinggal jalan langsung tembus di dekat Keraton itu. Dan saya pun kembali lagi ke Malioboro setelah terakhir kelas 3 SMA ke sini (berarti sudah 4 tahun yang lalu). Berbeda? Jelas. Malioboro malam itu sangat ramai, ya mungkin karena long weekend. Penuh sesak, dan yang saya kaget, harga-harga di sana sudah naik jauh sekali. Saya makan di salah satu tempat lesehan di sana dan wow, harganya cukup fantastis untuk ukuran Jogja.
Di sini saya melakukan kesalahan, yaitu saya tidak booking hotel sebelumnya, meskipun tahu bahwa minggu ini adalah long weekend. Jadilah kami muter-muter nyari hotel di Malioboro, Sosrowijayan, Pasar Kembang, tidak ada yang kosong. Sempat terpikir untuk tidur di masjid
Tapi untung, teman saya menemukan kamar kosong di hotel di Pasar Kembang, last room pula.
Malam itu, kami makan angkringan dan ngobrol sampai pagi di Malioboro. Meskipun begitu, saya senang karena akhirnya saya kembali lagi ke Malioboro, kembali lagi ke Jawa Tengah setelah sekian lama.
Spoiler for "Pengeluaran hari ketiga":
Beli carica untuk oleh-oleh Rp30.000,-
Mikrobis ke Wonosobo Rp10.000
Angkot ke Terminal Mendolo Rp2.000,-
Bus ke Magelang Rp20.000,-
Bus ke Jogjakarta Rp10.000,-
Trans Jogja Rp3.000,-
Makan di lesehan Malioboro Rp40.000,-
Hotel Rp70.000,-
Angkringan Rp15.000,-
Total pengeluaran hari ketiga Rp200.000,-
Quote:
Hari Keempat. Senin, 31 Maret 2014.
Hari ini diawali kepanikan karena kami semua bangun jam 11 siang dan tidak jadi ke Vredeburg, dan kereta jam 13.36. Kami langsung buru-buru mandi dan ngacir ke Malioboro beli oleh-oleh. Yang kami beli waktu itu bakpia, dan saya membeli tas dari anyaman rotan. Setelah beres semua, jam 13.00 kami cabut dari hotel naik becak (sekarang becaknya pake motor loh!) ke Lempuyangan. Untungnya, kami tidak terlambat dan tidak ditinggal kereta. Pukul 13.36, kereta berangkat, dan kami pun kembali ke Bandung menghadapi rutinitas yang menunggu kami. Tapi saya bersemangat menghadapi rutinitas itu, karena saya sudah direcharge dari perjalanan kali ini
Spoiler for "Pengeluaran hari keempat":
Beli bakpia Rp30.000,-
Beli tas Rp25.000,-
Becak Rp12.500
Kereta Jogjakarta-Bandung Rp90.000,-
Pengeluaran total hari keempat Rp157.500,-
Spoiler for "Total Pengeluaran":
Total pengeluaran untuk perjalanan kali ini adalah Rp496.500,-
Biaya ini belum termasuk rokok dan logistik yang dibeli ke Dieng, serta tenda yang dipinjam. Total-total saya mengeluarkan kira-kira Rp600.000,-
Harga ini bisa diminimalisir sebenarnya dengan mencari hotel yang lebih murah, karena kami mendapatkan hotel ketika harganya sudah tinggi.
Akhir kata, saya ucapkan terimakasih. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan.