- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cerita Seorang Mahasiswi Bandung tentang "Sedekah Tubuh"


TS
iogia
Cerita Seorang Mahasiswi Bandung tentang "Sedekah Tubuh"
Spoiler for Disclaimer:
Disclaimer: Bersedekah adalah tindakan terpuji. Istilah sedekah tubuh di sini untuk menggambarkan seseorang yang menyerahkan tubuhnya pada orang lain selain suami/istrinya. Istilah sedekah di sini tidak bermaksud mendeskriditkan siapapun.

Ini cerita kawan ane, Ira, seorang mahasiswi di Bandung punya cerita. Ceritanya tentang gambaran pergaulan anak muda dari sudut pandang seorang perempuan.
Ane belum cross check apakah ini kisah asli atau tidak. Tapi ane merinding bacanya.
Saran ane sih sebaiknya dibaca saat sedang tidak menjalankan ibadah yang harus menahan hawa nafsu.
Spoiler for Perasaan pas pertama kali "sedekah tubuh":
Aku takut! Takut tidak perawan. Setelah telunjuknya menyelam ke dalam rawa–rawa, mengoyak yang ada di dalamnya. Aku takut tidak perawan. Ngilu rasanya, sakit tentu saja. Aku takut. Tetapi ia terus saja berkata tak apa. Aku takut menolak, takut ditinggalkan nantinya. Walau tetap saja aku ditinggalkannya.
Ia selalu berkata ini pertama untuknya, dulu hanya sekedar di pipi, menggandeng tangan, peluk yang tidak begitu erat, bertemu pun jarang. Denganku, sehari dalam seminggu harus bertatap muka, rindu katanya. Rindu tubuhku mungkin. Awalnya banyak yang kami bicarakan, ia begitu memuja sikap pengertianku, katanya mana mau mantan-mantannya datang jauh – jauh ke rumah hanya untuk menemaninya, aku mau, mungkin karena aku bodoh. Saat itulah pelukan pertamanya, hangat, aku suka dan nyaman, kecanduan panas tubuhnya yang mengalir kepadaku, dadanya yang bidang tempat kepalaku beristirahat. Ini pertama bagiku, tidak baginya. Selanjutnya yang terjadi adalah pelukan itu menjadi senjata ampuhnya meredam marahku, aku lemah di bawah pelukan itu. Sering ia mendaratkan kecupan di pipiku, pertama bagiku tidak baginya, aku tidak peduli, dia milikku, bersamaku, setidaknya hanya sampai saat itu.
Ini pertama kalinya kami pergi ke bioskop bersama, bukan film yang begitu bagus baginya karena ia memiliki adegannya sendiri selama menonton. Ia duduk di sebelah kiriku, telapak tangan kanannya menindih punggung tanganku, menyisipkan jarinya ke sela – sela jemariku. Ia bertahan dalam posisi itu untuk beberapa lama sampai akhirnya memindahkan tanganku yang di bawah kuasanya ke sekitar sisi kiri paha kanannya, ia tidak meninggalkan tanganku di tempat itu sendirian, sesekali menggerak tangannya seolah meyuruh tanganku bergesar terus ke kiri sampai mentok. Tanganku mati kaku membeku, tak bergerak walau ingin sekali menariknya kembali ke posisi semula, atau menyembunyikannya di dalam tasku.
Tangannya belum berhenti bermain, kini giliran tangan kiri, ia memintaku bergeser sedikit lagi, menempelkan tubuhku ke sisi kiri kursi, pundak kanannya aku tiduri, membiarkannya lebih mudah menyuapi walau memakai tangan kiri. Brondong jagung seharga 15.000 itu habis, namun tangannya masih bergerak, mendaki juluran lengan kiriku yang masih tak berdaya, telunjuknya bergerak melingkar, hingga sampai di puncak, memelintir puncak gunung seolah pelet untuk ikan. Aku masih saja diam tak berani bergerak, ini seolah adegan dalam layar putih di depan, mataku tak berani memandangnya, takut, mungkin, entahlah aku tak tahu pasti apa yang aku takutkan. Wajahnya, perangainya, apa yang dia lakukan, dirinya atau apa yang akan terjadi padaku setelah ini, aku sangat tak tahu pasti apa yang aku takutkan, aku hanya ingin menangis, menangisi diriku yang lemah, bodoh.
Setelah sepenggal adegan itu aku tak banyak bicara padanya, parahnya, ia seolah tak peduli dengan apa yang baru saja ia perbuat, ia seolah lupa dan aku tak berani bertanya. Ia mengantarku pulang, berceloteh ke sana ke mari dan aku hanya diam, menganggukan kepala, tersenyum, menggeleng, tak ada kata yang keluar. Setibanya di depan rumah, aku bergegas melepas sabuk pengamanku. Tangannya kembali menahan tanganku, dipandangnya aku jauh ke dalam, tak pernah aku melihat matanya begitu indah, aku jatuh ke dalam pandangannya yang tajam dan mengintimidasi, jatuh pula bertekuk lutut pada kelincahan lidahnya, mengeskplorasi bagian dalam mulutku, aku diam masih memandang matanya, matanya indah, sungguh, hanya saja, aku takut. Aku menarik wajahku, namun lengannya mendekap tubuhku, aku tak bisa berbuat banyak selain hanya menatap matanya yang indah mengintimidasi dan merasakan lidahnya yang masih memenuhin mulutku.
“Terimakasih”
Kata itu ia ucapkan aku rasa dengan sungguh-sungguh, terimakasih untuk apa, untuk sedekah tubuh yang aku lakukan, aku diam dan kembali takut.
“Ini pertama untukku, semuanya, hari ini segalanya pertama untukku”
Pertama untukknya dan tentu saja juga untukku, belum pernah sebelumnya lenganku digenggam hingga tak sanggup berkutik, belum pernah tubuh ini dijamah sebegitu liarnya. Dan apa katanya, terimakasih. Sungguh dermawan aku ini. Aku diam hanya bisa diam tak sanggup berkata apapun di bawah intimidasi mata dan tubuhnya.
Ia selalu berkata ini pertama untuknya, dulu hanya sekedar di pipi, menggandeng tangan, peluk yang tidak begitu erat, bertemu pun jarang. Denganku, sehari dalam seminggu harus bertatap muka, rindu katanya. Rindu tubuhku mungkin. Awalnya banyak yang kami bicarakan, ia begitu memuja sikap pengertianku, katanya mana mau mantan-mantannya datang jauh – jauh ke rumah hanya untuk menemaninya, aku mau, mungkin karena aku bodoh. Saat itulah pelukan pertamanya, hangat, aku suka dan nyaman, kecanduan panas tubuhnya yang mengalir kepadaku, dadanya yang bidang tempat kepalaku beristirahat. Ini pertama bagiku, tidak baginya. Selanjutnya yang terjadi adalah pelukan itu menjadi senjata ampuhnya meredam marahku, aku lemah di bawah pelukan itu. Sering ia mendaratkan kecupan di pipiku, pertama bagiku tidak baginya, aku tidak peduli, dia milikku, bersamaku, setidaknya hanya sampai saat itu.
Ini pertama kalinya kami pergi ke bioskop bersama, bukan film yang begitu bagus baginya karena ia memiliki adegannya sendiri selama menonton. Ia duduk di sebelah kiriku, telapak tangan kanannya menindih punggung tanganku, menyisipkan jarinya ke sela – sela jemariku. Ia bertahan dalam posisi itu untuk beberapa lama sampai akhirnya memindahkan tanganku yang di bawah kuasanya ke sekitar sisi kiri paha kanannya, ia tidak meninggalkan tanganku di tempat itu sendirian, sesekali menggerak tangannya seolah meyuruh tanganku bergesar terus ke kiri sampai mentok. Tanganku mati kaku membeku, tak bergerak walau ingin sekali menariknya kembali ke posisi semula, atau menyembunyikannya di dalam tasku.
Tangannya belum berhenti bermain, kini giliran tangan kiri, ia memintaku bergeser sedikit lagi, menempelkan tubuhku ke sisi kiri kursi, pundak kanannya aku tiduri, membiarkannya lebih mudah menyuapi walau memakai tangan kiri. Brondong jagung seharga 15.000 itu habis, namun tangannya masih bergerak, mendaki juluran lengan kiriku yang masih tak berdaya, telunjuknya bergerak melingkar, hingga sampai di puncak, memelintir puncak gunung seolah pelet untuk ikan. Aku masih saja diam tak berani bergerak, ini seolah adegan dalam layar putih di depan, mataku tak berani memandangnya, takut, mungkin, entahlah aku tak tahu pasti apa yang aku takutkan. Wajahnya, perangainya, apa yang dia lakukan, dirinya atau apa yang akan terjadi padaku setelah ini, aku sangat tak tahu pasti apa yang aku takutkan, aku hanya ingin menangis, menangisi diriku yang lemah, bodoh.
Setelah sepenggal adegan itu aku tak banyak bicara padanya, parahnya, ia seolah tak peduli dengan apa yang baru saja ia perbuat, ia seolah lupa dan aku tak berani bertanya. Ia mengantarku pulang, berceloteh ke sana ke mari dan aku hanya diam, menganggukan kepala, tersenyum, menggeleng, tak ada kata yang keluar. Setibanya di depan rumah, aku bergegas melepas sabuk pengamanku. Tangannya kembali menahan tanganku, dipandangnya aku jauh ke dalam, tak pernah aku melihat matanya begitu indah, aku jatuh ke dalam pandangannya yang tajam dan mengintimidasi, jatuh pula bertekuk lutut pada kelincahan lidahnya, mengeskplorasi bagian dalam mulutku, aku diam masih memandang matanya, matanya indah, sungguh, hanya saja, aku takut. Aku menarik wajahku, namun lengannya mendekap tubuhku, aku tak bisa berbuat banyak selain hanya menatap matanya yang indah mengintimidasi dan merasakan lidahnya yang masih memenuhin mulutku.
“Terimakasih”
Kata itu ia ucapkan aku rasa dengan sungguh-sungguh, terimakasih untuk apa, untuk sedekah tubuh yang aku lakukan, aku diam dan kembali takut.
“Ini pertama untukku, semuanya, hari ini segalanya pertama untukku”
Pertama untukknya dan tentu saja juga untukku, belum pernah sebelumnya lenganku digenggam hingga tak sanggup berkutik, belum pernah tubuh ini dijamah sebegitu liarnya. Dan apa katanya, terimakasih. Sungguh dermawan aku ini. Aku diam hanya bisa diam tak sanggup berkata apapun di bawah intimidasi mata dan tubuhnya.
Spoiler for 8 bulan sedekah tubuh:
Delapan bulan aku jalani bersamanya di bawah pengaruh mata dan rasa takut, aku tak berani berbuat banyak, tak berani protes, tak berani menolak, tak berani membanyangkan aku yang sendiri ditinggalkan setelah disentuh begitu banyak. Mengapa aku tak lari dan meninggalkannya, mungkin karena aku bodoh yang memang sejak awal aku sudah sangat bodoh, tak pandai menjaga diri dan harganya. Kini, aku mulai terbiasa dengan senyum penuh isyaratnya, senyum manis yang memiliki banyak makna di baliknya. Aku bisa apa, selain menuruti maunya karena takut ditinggal pergi.
Terkadang aku rindu dia yang dulu saat pertama kali mendekatiku, rasanya begitu cepat aku jatuh hati pada pria yang baru satu bulan aku mengenalnya, dan baru satu bulan pula putus dengan pacarnya yang sudah menemani harinya 1.080 hari lamanya. Sejak awal aku yang begitu bodoh mudah percaya pada segala janji yang dia umbar, apa gunanya pandai Logaritma jika begini saja aku dengan mudahnya tertipu. Setelah keliaran tangan dan kawan – kawan di tubuhnya aku semakin ragu pada perasaannya. Namun, aku menolak untuk sadar, lebih karena takut ditinggalkan jika aku banyak meminta dan merajuk. Aku menutupi kesadaranku dengan fakta bahwa matanya memang indah.
Apa yang aku takutkan memang fana namun tidak menutup takdir untuk menjadi nyata.
Walau sedikit lama – lama terbiasa, dari ujung kepala turun ke telinga, menggoyangkan lidah menjilat daun telinga sampai ke dalam, turun ke leher, meninggalkan cap merah. Ah, tak lupa tangannya yang terus bermain memutar – mutar tombol di dada, lidahnya begitu lincah, menjelajahi satu per satu deretan gigi. Aku takut, selalu takut. Awalnya hanya bagian atas, telinga, mulut, leher dan sekitarnya. Lalu bertambah ke dada, buah dada, pusar dan bawah pusar. Lidahnya lincah sekali.
Terkadang aku rindu dia yang dulu saat pertama kali mendekatiku, rasanya begitu cepat aku jatuh hati pada pria yang baru satu bulan aku mengenalnya, dan baru satu bulan pula putus dengan pacarnya yang sudah menemani harinya 1.080 hari lamanya. Sejak awal aku yang begitu bodoh mudah percaya pada segala janji yang dia umbar, apa gunanya pandai Logaritma jika begini saja aku dengan mudahnya tertipu. Setelah keliaran tangan dan kawan – kawan di tubuhnya aku semakin ragu pada perasaannya. Namun, aku menolak untuk sadar, lebih karena takut ditinggalkan jika aku banyak meminta dan merajuk. Aku menutupi kesadaranku dengan fakta bahwa matanya memang indah.
Apa yang aku takutkan memang fana namun tidak menutup takdir untuk menjadi nyata.
Walau sedikit lama – lama terbiasa, dari ujung kepala turun ke telinga, menggoyangkan lidah menjilat daun telinga sampai ke dalam, turun ke leher, meninggalkan cap merah. Ah, tak lupa tangannya yang terus bermain memutar – mutar tombol di dada, lidahnya begitu lincah, menjelajahi satu per satu deretan gigi. Aku takut, selalu takut. Awalnya hanya bagian atas, telinga, mulut, leher dan sekitarnya. Lalu bertambah ke dada, buah dada, pusar dan bawah pusar. Lidahnya lincah sekali.
Spoiler for Tiba-tiba:
“Aku mau sendiri dulu”
Satu kalimat yang mematikan jiwaku, mengubur tawaku jauh sekali ke dalam palung.
“Tapi, kenapa, aku...”
Entahlah, aku harus bahagia atau merana, harus tertawa terbahak – bahak atau mencakar wajahnya, aku harus apa, aku semakin takut, lebih takut. Semua masa pendekatan yang begitu indah, dia yang saat kami lari sore bersama berjanji, aku bukan hanya sekedar track lari, yang sudah dipakai lalu ditinggal pergi. Dia dan segala yang ada dalam dirinya dan segala perbuatannya, aku tak bisa berkata apa – apa. Mungkin ini cara Tuhan untuk menjagaku, agar ia tak lebih jauh mengoyak tubuhku.
Aku sakit hati tentu saja, aku marah, lebih dari marah, kecewa dan merasa paling bodoh ditipu oleh pria macam dia. Untuk apa semua hukum aksi reaksi yang aku pelajari jika baik dan jahat pun tak bisa aku membedakannya. Nasi sudah menjadi bubur, tubuh kami sudah terkontaminasi bakteri asing, sidik jarinya yang dapat ditemukan di bagian mana saja di tubuhku.
Sulit rasanya membuka hati pada pria lain yang berlomba mendekatiku, sungguh hanya mendekatiku saja atau berniat busuk seperti dia. Aku takut, sahabatku yang seorang Psikolog mengatakan aku trauma, tentu saja aku tak mungkin menceritakan segala perbuatan pria itu padaku, aku malu, sungguh malu. Malu menjadi begitu sangat bodoh, biar saja mereka mengira aku patah hati karena ditinggal pergi pria yang kini kembali merajut kasih dengan mantannya yang sudah 1.080 hari bersamanya, sekarang sudah menjadi 4.320 hari. Sementara aku 1.080 hari sendirian dalam pilu, luka dan segala ketakutan yang ada. Mungkin selamanya aku menjadi bodoh dan penuh ketakutan. Biarlah, aku lebih baik begini daripada menjadi lebih sakit, ini saja belum sembuh benar sedikit pun. Sulit rasanya membedakan mana malaikat dan mana jiwa-jiwa iblis yang bersembunyi di balik tubuh malaikat.
“Aku mau sendiri dulu”
“Tapi, kenapa, aku salah apa”
“Nggak ada”
“Terus kenapa kamu pergi, ingkar janji”
“Janji apa, aku ingin sendiri”
“Kamu! Setelah semua yang kamu lakuin, setelah segala yang pertama buat aku, kamu nggak ngerti, aku...”
“Aku nggak ngerti kenapa kita ngelakuin semua itu, mungkin kebawa penasaran dan suasana, sudahlah”
Satu kalimat yang mematikan jiwaku, mengubur tawaku jauh sekali ke dalam palung.
“Tapi, kenapa, aku...”
Entahlah, aku harus bahagia atau merana, harus tertawa terbahak – bahak atau mencakar wajahnya, aku harus apa, aku semakin takut, lebih takut. Semua masa pendekatan yang begitu indah, dia yang saat kami lari sore bersama berjanji, aku bukan hanya sekedar track lari, yang sudah dipakai lalu ditinggal pergi. Dia dan segala yang ada dalam dirinya dan segala perbuatannya, aku tak bisa berkata apa – apa. Mungkin ini cara Tuhan untuk menjagaku, agar ia tak lebih jauh mengoyak tubuhku.
Aku sakit hati tentu saja, aku marah, lebih dari marah, kecewa dan merasa paling bodoh ditipu oleh pria macam dia. Untuk apa semua hukum aksi reaksi yang aku pelajari jika baik dan jahat pun tak bisa aku membedakannya. Nasi sudah menjadi bubur, tubuh kami sudah terkontaminasi bakteri asing, sidik jarinya yang dapat ditemukan di bagian mana saja di tubuhku.
Sulit rasanya membuka hati pada pria lain yang berlomba mendekatiku, sungguh hanya mendekatiku saja atau berniat busuk seperti dia. Aku takut, sahabatku yang seorang Psikolog mengatakan aku trauma, tentu saja aku tak mungkin menceritakan segala perbuatan pria itu padaku, aku malu, sungguh malu. Malu menjadi begitu sangat bodoh, biar saja mereka mengira aku patah hati karena ditinggal pergi pria yang kini kembali merajut kasih dengan mantannya yang sudah 1.080 hari bersamanya, sekarang sudah menjadi 4.320 hari. Sementara aku 1.080 hari sendirian dalam pilu, luka dan segala ketakutan yang ada. Mungkin selamanya aku menjadi bodoh dan penuh ketakutan. Biarlah, aku lebih baik begini daripada menjadi lebih sakit, ini saja belum sembuh benar sedikit pun. Sulit rasanya membedakan mana malaikat dan mana jiwa-jiwa iblis yang bersembunyi di balik tubuh malaikat.
“Aku mau sendiri dulu”
“Tapi, kenapa, aku salah apa”
“Nggak ada”
“Terus kenapa kamu pergi, ingkar janji”
“Janji apa, aku ingin sendiri”
“Kamu! Setelah semua yang kamu lakuin, setelah segala yang pertama buat aku, kamu nggak ngerti, aku...”
“Aku nggak ngerti kenapa kita ngelakuin semua itu, mungkin kebawa penasaran dan suasana, sudahlah”
Spoiler for pasca "Sedekah tubuh":
Penjelasan darinya membuatku yakin bahwa ada banyak iblis yang bersembunyi di balik tubuh malaikat. Lebih baik sendiri dan mengurusi diriku daripada kembali terjebak dengan iblis – iblis itu. Sesungguhnya seorang ilmuwan sekali pun tak pernah dapat membedakan mana malaikat dan mana malaikat yang dirasuki iblis, iblis begitu pandai menyamar, biarlah ia nyaman di balik tubuh malikat itu dan aku tak peduli.
Setiap kali memandangi kulit yang membalut tubuhku, kesalahan bersamanya yang selalu teringat. Perasaan aneh saat kulit kami bersentuhan, sisa – sisa sidik jari, bibir dan kawannya yang tersisa di kulit tubuhku. Selama aku masih hidup dengan tubuh ini, kenangan tentangnya tak akan pernah pupus.
Setiap kali memandangi kulit yang membalut tubuhku, kesalahan bersamanya yang selalu teringat. Perasaan aneh saat kulit kami bersentuhan, sisa – sisa sidik jari, bibir dan kawannya yang tersisa di kulit tubuhku. Selama aku masih hidup dengan tubuh ini, kenangan tentangnya tak akan pernah pupus.
Ini bukan kisah yang ane tulis sendiri. Ane dapat dari sumurnya di: Rak Cerita
Spoiler for kesimpulan ane:
sedekah tubuh bukanlah termasuk sedekah. Lebih banyak sengsaranya dari pada nikmatnya. Jagalah tubuhmu, jagalah tubuh kekasihmu.
0
15.1K
Kutip
49
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan