erlsmoneyAvatar border
TS
erlsmoney
Mah, Pah! Maaf. Tapi Kali Ini Kita Bersebrangan
Baca baca nemuin catatan ini di blog orang, cukup sangat menyentuh dan berfikir sedikit ke masalalu.

Mah, Pah! Maaf. Tapi Kali Ini Kita Bersebrangan

Bagi Hobbes, manusia bukanlah mahluk sosial, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) karena manusia mempunyai naluri untuk mempertahankan dirinya masing- masing. Dalam bukunya yang sangat terkenal yang berjudul “Leviathan”, Hobbes menganalogikan binatang buas dalam mitologi Timur Tengah tersebut sebagai simbol negara, karena bagi Hobbes negara haruslah berkuasa dan ditakuti oleh rakyatnya, karena dengan cara itulah rakyat akan tunduk seutuhnya.

Masih menurut Hobbes dalam bukunya tersebut, pada suatu titik negara akan berhenti melindungi rakyatnya dan akan memulai menegakan keadilan dengan cara kekerasan dan represi, di sini lah Negara berubah menjadi monster yang buas, yang siap meneror dan memangsa siapa yang tak patuh pada perintahnya seperti halnya Leviathan.


Hari itu merupakan hari yang cukup panjang dan melelahkan bagi saya, pekerjaan yang menumpuk, membuat saya terlalu malas untuk melangkah ke kamar atas dan memilih untuk menonton televisi dan tiduran di ruang keluarga. Saat itu ada Ayah, Ibu dan anak buah ayah saya , Ende, duduk di ruang keluarga.

Diskusi dimulai ketika salah satu dari kami melempar pertanyaan siapa yang layak memimpin negeri ini, di antara kedua capres yang ada. Saya tak menjawab, saat itu saya belum memutuskan untuk memilih Jokowi atau tetap abstain seperti sebelumnya. Semua orang yang berada di ruangan itu kecuali saya seperti sepakat dan mengamini, Prabowo adalah orang yang tepat untuk memimpin negeri ini, menurut mereka ketegasan yang Prabowo punya mungkin bisa merubah peruntungan Negara Indonesia ini. Tindakan kekerasan dan represi jika diperlukan adalah salah kedua alasannya.

Betapa terkejutnya saya, keluarga saya yang mendidik saya dengan kelembutan tanpa pernah ada satu bogem mentah melayang ke muka saya itu bisa berpendapat demikian. Ok, saya memang dibesarkan dalam keluarga yang konservatif tapi tak pernah sekalipun mereka melarang saya membaca buku, apapun judul dan isi buku tersebut.

Malam itu kami berdebat cukup panjang, satu perdebatan tentang ideologi politik yang saya nikmati walau melelahkan sekaligus mengecewakan bagi saya secara pribadi. Bukan soal pilihan mereka terhadap Prabowo dan Hatta, tapi pilihan mereka terhadap alasan kenapa Prabowo layak memimpin negara ini. Bahwa negara butuh seorang yang tegas, yang bisa melakukan kekerasan dan represi jika diperlukan dan menjadi monster agar keadilan dapat terlaksana.

Entah, tapi saya yakin, mereka lupa soal cerita yang sering mereka ceritakan, tentang Petrus di tahun 80an. Saat itu, banyak orang yang dianggap preman dibunuh dan dibuang layaknya sampah. Seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, ada rindu tak terbalas yang berbekas dalam keluarga yang ditinggalkan.

Mungkin saya salah, mungkin. Tapi bagaimana mungkin mereka dengan mudah memaafkan orang yang berjasa menghilangkan nyawa ribuan manusia atas nama kedaulatan dan stabilitas Negara?

Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka besarkan dan diberi makan dengan keringat mereka ini hilang saat membaca buku yang dilarang oleh orang yang mereka dukung ?

Bagaimana jika suatu saat nanti, anak yang mereka timang dengan penuh kasih sayang ini harus meregang nyawa karena berpikir kritis terhadap pemerintahan yang mereka dukung?

Mungkin saya salah soal Prabowo nanti, akan tetapi ketakutan saya menjadi wajar jika melihat penegakan HAM saat ini, di negara ini. Bagaimana orang- orang yang terlibat dalam pembantaian DOM di Aceh dan Santa Cruz di Timor Timur bisa melenggang dengan bebas mencalonkan diri menjadi presiden tanpa diadili di pengadilan. Ini bukan soal Prabowo personal, toh, jika Wiranto mencalonkan diri pun saya akan tetap berdiri di sisi yang sama seperti saat ini.

Tanpa mengurangi rasa cinta dan rasa sayang saya kepada kalian, mohon maaf kali ini kita bersebrangan, mungkin saya abstain atau memilih calon presiden dari kubu yang berlawanan dengan kalian. Tapi seperti yang kalian ajarkan soal perbedaan pendapat, adalah hal lumrah jika diantara kita berbeda pendapat. Itu hak kalian dalam memilih nomor satu atau dua. Maka seperti soal fasisme yang anak kalian lawan, maka tak mungkin saya memaksakan kehendak saya pada kalian. Toh, jika saya bertindak seperti itu, maka apa bedanya saya dengan mereka yang saya lawan? bertindak fasis sedari dalam pikiran.
Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara anak sulung kalian yang bersebrangan pendapat dengan kalian.

Mungkin ketika Prabowo menang kalian akan merindukan suara pagar yang dibuka oleh anak sulung kalian setiap malam, karena berpikir kritis terhadap pemerintahan yang kalian dukung.

Mungkin, salah satu dari kalian akan berdiri di depan istana, pada setiap kamis sore, layaknya ibu- ibu yang rindu akan kehadiran anak dan suami mereka untuk pulang.

Tapi mungkin saya salah soal Prabowo. Mungkin saya terlalu berlebihan. Mungkin?

“semoga”.

Karena untuk sebuah cinta yang dalam, kehilangan akan selalu aktual. Karena untuk kerinduan yang menahun, kehilangan tak akan pernah basi

SUMBER
http://regisethisgoals.blogspot.com/2014/07/mah-dan-pah-maaf-tapi-kali-ini-kita.html?m=1
0
4.2K
42
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan