- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo dari Muhamad Fathan Mubin


TS
ilmimris
Surat Terbuka untuk Bapak Joko Widodo dari Muhamad Fathan Mubin
Quote:
Assalamualaikum, Pak Jokowi. Selamat malam. Bagaimana kabarnya? Semoga kesibukan Bapak dalam menjalani hari tidak menyurutkan semangat Bapak untuk menjadi yang terbaik di bulan penuh berkah ini. Aamiin.
Ini bukan surat terbuka, petisi, maupun “black campaign” yang santer tersiar di hari-hari kita. Bukan pula kecaman, pujian, atau apapun itu yang sekiranya menghambat saya untuk menuliskan apa yang selama ini melindap di pikiran. Ini pemikiran pribadi yang tidak dipesan, ataupun berpihak kepada salah satu atau salah dua calon yang ada. Biar Bapak sendiri yang insyaAllah bisa menyimpulkannya sendiri.
Dulu saya sempat bangga bahwa ibukota Jakarta akan dipimpin oleh sosok yang sederhana, santun, apa adanya, dan cermat di lapangan. Apalagi ketika itu bapak dinominasikan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia oleh beberapa media asing. Pula dengan program mobil ESEMKA yang Bapak canangkan, sungguh membuat saya yakin bahwa ibukota akan lebih baik ke depannya. Sekalipun saya tinggal di Banten, karena juga dekat dengan DKI, anggapan saya waktu itu semoga pembangunan DKI yang lebih baik ke depannya juga berpengaruh terhadap pembangunan di daerah saya. Apalagi media sering meliput kemajuan Solo yang pernah Bapak pimpin. Bahkan saya lebih kagum saat Bapak dengan terpujinya blusukan ke daerah kumuh yang pemimpin-pemimpin sebelumnya belum pernah melakukan tindakan luar biasa itu. Sungguh prestasi yang gilang-gemilang. Ketika Bapak terpilih menjadi gubernur Jakarta, dalam hati saya berkata, “Pilihan warga Jakarta tepat.”
Waktu berjalan perlahan. Bapak menjadi yang terbaik di Jakarta. Program di sana-sini terlaksana. Enam bulan awal semuanya baik-baik saja. Bahkan hasilnya cukup memuaskan. Apalagi hobi Bapak yang suka blusukan, warga Jakarta seperti menemukan ayah baru yang sayang terhadap mereka.
Cerita tidak berakhir di sini. Serta merta bapak mencalonkan diri menjadi presiden. Ehmmm iya. Presiden. Semuanya kaget. Tukang becak, supir taksi, warga kota, orang Banten, Jawa Barat, Sabang, Merauke, yang sedari awal memerhatikan sepak terjang Bapak ketika berkampanye di pilgub Jakarta dua tahun silam, merasakan karakter ayah yang ada di diri Bapak meluruh. Hilang. Apakah Bapak memahaminya? Masih ingat akan komitmen untuk mengurusi Jakarta 5 tahun ke depan? Bapak muslim. Pasti menjadikan rasul kita sebagai teladan yang baik. Bapak pun pasti paham sifat sidik, amanah, tabligh, fathonah yang menjadi karakteristik seorang pemimpin. Nah, ketika Bapak mengatakan akan komitmen mengurusi Jakarta, apakah bapak betul-betul menghayati maksud dari amanah? Itu janji, sumpah, dan harus ditepati. Ustadz saya di sekolah mengajarkan saya untuk tidak boleh khianat. Allah membenci sifat itu. Sepakat ‘kan, Pak?
Bapak Jokowi, saya seorang yatim piatu. Ibu dan ayah saya sudah lama meninggal. Ditinggalkan orang tua saat masa remaja itu menyakitkan. Usia saya saat itu masih belia. Kasih sayang adalah hal yang sangat saya butuhkan. Saya belum bisa mandiri tetapi harus memikul beban saya sendiri. Berat ‘kan? Sedih? Itulah yang warga Jakarta rasakan. Mereka akan menjadi yatim. Ayahnya akan pergi ke pelukan keluarga lain yang lebih besar. Seperti ayah yang memutuskan untuk menjadi kakek. Saat keluarga Bapak, dalam hal ini Jakarta, baru dimulai setahun, tiba-tiba Bapak akan meminang mertua Bapak sendiri, negara Indonesia, lantas bisa dibayangkan bagaimana sedihnya putri bapak, rakyat Jakarta, yang baru setahun Bapak bina, dan istri bapak, wakil gubernur maupun pemda, yang belum sempurna kinerjanya namun harus Bapak tinggalkan begitu saja. Ini bukan lagi soal mampu maupun tidak. Ini tentang komitmen dan seberapa tulusnya Bapak untuk menjadi seorang pemimpin. Bukan cuma pencari tahta.
Pak, pasangan Bapak di pilpres kali ini bahkan di awal cerita pernah mengatakan bahwa akan hancur Indonesia jika Bapak jadi presiden. Nah, bagaimana respon Bapak? Tidak sedih? Tidak kecewa? Jika tujuan Bapak benar, lantas mengapa orang yang tidak sepaham dengan bapak dijadikan pasangan dalam pilpres? Kemudian partai bapak bukannya juga berkomitmen untuk mencalonkan orang lain yang akan maju dalam pilpres kali ini? Perjanjian batu tulis. Saya tidak menyudutkan hal ini kepada calon lain. Tapi bukankah itu janji yang harus ditepati? Janji adalah hutang. Jika berjanji namun tidak ditepati bukankah itu sifat tercela? Bukankah itu menolak kebenaran? Bapak pasti lebih paham soal kebenaran. Namun kenapa yang dicalonkan justru Bapak? Saya geleng-geleng kepala. Komitmen untuk membangun Jakarta dan perjanjian batu tulis yang prestisius itu menguap ke udara. Ketidakamanahan dan khianat dalam berjanji.
Lantas, apa yang akan bapak lakukan saat menjadi presiden? Membeli drone? Bagaimana dengan satelitnya? Bu Mega dulu yang jual itu ke asing. Buy back? Duit dari mana? Kata-kata Bapak enak didenger tapi nggak’ enak di kantong. Mau rental satelit? Data kita mudah dicuri asing. Dengar-dengar bapak akan mengapus UN, padahal pasangan bapak dulu yang mencanangkannya. Pak JK pernah berkata di debat kemarin bahwa semua negara maju melaksanakan UN. Kata siapa? Cuma negara terbelakang yang melaksanakan UN. Cari di internet jika tidak percaya. Terlebih ketika bapak seolah tidak peduli dengan sengketa Laut Cina Selatan. Apakah tragedi Sipadan dan Ligitan akan terulang? Coba Bapak kembali buka buku Geografi semasa SMA dulu. Wilayah NKRI amat dekat dengan banyak negara. NKRI bukan Jakarta apalagi Solo.
Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk mau membaca tulisan ini sebelumnya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak mengenakkan hati. Tapi, Pak, percayalah, bahwa saya menuliskan ini semua dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang untuk NKRI tercinta. Saya sangat mendukung Bapak untuk memimpin Jakarta selama yang Bapak mau. Ayo majukan Jakarta! Hidup Indonesia!
Wassalamualaikum Wr. Wb.,
Ini bukan surat terbuka, petisi, maupun “black campaign” yang santer tersiar di hari-hari kita. Bukan pula kecaman, pujian, atau apapun itu yang sekiranya menghambat saya untuk menuliskan apa yang selama ini melindap di pikiran. Ini pemikiran pribadi yang tidak dipesan, ataupun berpihak kepada salah satu atau salah dua calon yang ada. Biar Bapak sendiri yang insyaAllah bisa menyimpulkannya sendiri.
Dulu saya sempat bangga bahwa ibukota Jakarta akan dipimpin oleh sosok yang sederhana, santun, apa adanya, dan cermat di lapangan. Apalagi ketika itu bapak dinominasikan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia oleh beberapa media asing. Pula dengan program mobil ESEMKA yang Bapak canangkan, sungguh membuat saya yakin bahwa ibukota akan lebih baik ke depannya. Sekalipun saya tinggal di Banten, karena juga dekat dengan DKI, anggapan saya waktu itu semoga pembangunan DKI yang lebih baik ke depannya juga berpengaruh terhadap pembangunan di daerah saya. Apalagi media sering meliput kemajuan Solo yang pernah Bapak pimpin. Bahkan saya lebih kagum saat Bapak dengan terpujinya blusukan ke daerah kumuh yang pemimpin-pemimpin sebelumnya belum pernah melakukan tindakan luar biasa itu. Sungguh prestasi yang gilang-gemilang. Ketika Bapak terpilih menjadi gubernur Jakarta, dalam hati saya berkata, “Pilihan warga Jakarta tepat.”
Waktu berjalan perlahan. Bapak menjadi yang terbaik di Jakarta. Program di sana-sini terlaksana. Enam bulan awal semuanya baik-baik saja. Bahkan hasilnya cukup memuaskan. Apalagi hobi Bapak yang suka blusukan, warga Jakarta seperti menemukan ayah baru yang sayang terhadap mereka.
Cerita tidak berakhir di sini. Serta merta bapak mencalonkan diri menjadi presiden. Ehmmm iya. Presiden. Semuanya kaget. Tukang becak, supir taksi, warga kota, orang Banten, Jawa Barat, Sabang, Merauke, yang sedari awal memerhatikan sepak terjang Bapak ketika berkampanye di pilgub Jakarta dua tahun silam, merasakan karakter ayah yang ada di diri Bapak meluruh. Hilang. Apakah Bapak memahaminya? Masih ingat akan komitmen untuk mengurusi Jakarta 5 tahun ke depan? Bapak muslim. Pasti menjadikan rasul kita sebagai teladan yang baik. Bapak pun pasti paham sifat sidik, amanah, tabligh, fathonah yang menjadi karakteristik seorang pemimpin. Nah, ketika Bapak mengatakan akan komitmen mengurusi Jakarta, apakah bapak betul-betul menghayati maksud dari amanah? Itu janji, sumpah, dan harus ditepati. Ustadz saya di sekolah mengajarkan saya untuk tidak boleh khianat. Allah membenci sifat itu. Sepakat ‘kan, Pak?
Bapak Jokowi, saya seorang yatim piatu. Ibu dan ayah saya sudah lama meninggal. Ditinggalkan orang tua saat masa remaja itu menyakitkan. Usia saya saat itu masih belia. Kasih sayang adalah hal yang sangat saya butuhkan. Saya belum bisa mandiri tetapi harus memikul beban saya sendiri. Berat ‘kan? Sedih? Itulah yang warga Jakarta rasakan. Mereka akan menjadi yatim. Ayahnya akan pergi ke pelukan keluarga lain yang lebih besar. Seperti ayah yang memutuskan untuk menjadi kakek. Saat keluarga Bapak, dalam hal ini Jakarta, baru dimulai setahun, tiba-tiba Bapak akan meminang mertua Bapak sendiri, negara Indonesia, lantas bisa dibayangkan bagaimana sedihnya putri bapak, rakyat Jakarta, yang baru setahun Bapak bina, dan istri bapak, wakil gubernur maupun pemda, yang belum sempurna kinerjanya namun harus Bapak tinggalkan begitu saja. Ini bukan lagi soal mampu maupun tidak. Ini tentang komitmen dan seberapa tulusnya Bapak untuk menjadi seorang pemimpin. Bukan cuma pencari tahta.
Pak, pasangan Bapak di pilpres kali ini bahkan di awal cerita pernah mengatakan bahwa akan hancur Indonesia jika Bapak jadi presiden. Nah, bagaimana respon Bapak? Tidak sedih? Tidak kecewa? Jika tujuan Bapak benar, lantas mengapa orang yang tidak sepaham dengan bapak dijadikan pasangan dalam pilpres? Kemudian partai bapak bukannya juga berkomitmen untuk mencalonkan orang lain yang akan maju dalam pilpres kali ini? Perjanjian batu tulis. Saya tidak menyudutkan hal ini kepada calon lain. Tapi bukankah itu janji yang harus ditepati? Janji adalah hutang. Jika berjanji namun tidak ditepati bukankah itu sifat tercela? Bukankah itu menolak kebenaran? Bapak pasti lebih paham soal kebenaran. Namun kenapa yang dicalonkan justru Bapak? Saya geleng-geleng kepala. Komitmen untuk membangun Jakarta dan perjanjian batu tulis yang prestisius itu menguap ke udara. Ketidakamanahan dan khianat dalam berjanji.
Lantas, apa yang akan bapak lakukan saat menjadi presiden? Membeli drone? Bagaimana dengan satelitnya? Bu Mega dulu yang jual itu ke asing. Buy back? Duit dari mana? Kata-kata Bapak enak didenger tapi nggak’ enak di kantong. Mau rental satelit? Data kita mudah dicuri asing. Dengar-dengar bapak akan mengapus UN, padahal pasangan bapak dulu yang mencanangkannya. Pak JK pernah berkata di debat kemarin bahwa semua negara maju melaksanakan UN. Kata siapa? Cuma negara terbelakang yang melaksanakan UN. Cari di internet jika tidak percaya. Terlebih ketika bapak seolah tidak peduli dengan sengketa Laut Cina Selatan. Apakah tragedi Sipadan dan Ligitan akan terulang? Coba Bapak kembali buka buku Geografi semasa SMA dulu. Wilayah NKRI amat dekat dengan banyak negara. NKRI bukan Jakarta apalagi Solo.
Terima kasih atas kesediaan Bapak untuk mau membaca tulisan ini sebelumnya. Mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak mengenakkan hati. Tapi, Pak, percayalah, bahwa saya menuliskan ini semua dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang untuk NKRI tercinta. Saya sangat mendukung Bapak untuk memimpin Jakarta selama yang Bapak mau. Ayo majukan Jakarta! Hidup Indonesia!
Wassalamualaikum Wr. Wb.,
Quote:
Banten, 3 Juli 2014.
Muhamad Fathan Mubin
*** Mohon bantu share. Semoga Pak Jokowi bisa langsung membaca tulisan ini. Terima kasih.
Muhamad Fathan Mubin
*** Mohon bantu share. Semoga Pak Jokowi bisa langsung membaca tulisan ini. Terima kasih.


tien212700 memberi reputasi
1
5.6K
Kutip
57
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan