donitaunaAvatar border
TS
donitauna
Kasus Pajak BCA, Akankah Diusut Tuntas Jika Jokowi Terpilih ?
Kasus Pajak BCA, Akankah Diusut Tuntas Jika Jokowi Terpilih ?


Disebutkan pada tanggal 17 Juli 2003 BCA pernah mengajukan keberatan pajak senilai Rp. 375 Miliar atas Kredit Macet sebesar Rp.5,7 triliun kepada Direktorat Pajak Penghasilan, namun setelah di bahas selama satu tahun, pada tanggal 13 Maret 2014 hal ini ditolak pihak Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) tersebut.

Setelah ditolak oleh Direktorat Pajak Penghasilan, kemudian Hadi Purnomo mengirimkan nota kerja ke Direktorat Pajak Penghasilan tersebut, pada Nota tersebut Hadi meminta Direktur PPh untuk menerima semua permohonan BCA. Hal ini di lakukan hadi pada tanggal 17 Juli 2004 padahal jatuh tempo pembayaran pajak BCA jatuh pada tanggal 18 Juli 2004.

Dan pada tanggal 18 Juli 2014 itu pula Hadi Purnomo menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil dan memutuskan untuk menerima segala permohonan BCA, karena penerbitan surat itu tepat pada tanggal tepat dimana jatoh temponya pembayaran pajak BCA, sehingga tidak memungkinkan Direktur PPh untuk menelaahnya.

Disebutkan juga sebelumnya ada bank lain yang membuat permohonan seperti Bank BCA, namun hal itu tidak dihiraukan oleh Hadi Purnomo, sehingga banyak kalangan yang mempertanyakan apa motif dibelakangnya.

Pada kasus BCA ini selain dari yang disebutkan diatas, ada juga kejanggalan lainya, yaitu tahun pajak yang dibebankan BCA tidak sesuai dengan yang dikirimkan.Terkait kasus ini BCA dapat terancam kewajiban membayar pajak Rp.375 miliar ditambah dengan denda empat kali lipat dari utang pokok (4×375) 1,5 triliun dengan jumlah total menjadi Rp. 1,875 triliun. Sesuai yang tertera pada :

http://www.pajak.go.id/content/artic...elaku-korupsi.

Namun demikian, seperti saya paparkan tadi, adanya motif politik dalam dibukanya suatu kasus atau skandal, bukan berarti sepenuhnya rekayasa. Kebanyakan, pelanggaran memang ada, kasus memang ada, hanya saja dimainkan timing dibukanya kasus tersebut. Oleh karena itu, saya sangsi kalau ada yang bilang Hadi Purnomo tidak melakukan pelanggaran sama sekali. Atau ada yang sebut, kasus ini murni rekayasa atau konspirasi. Tidak demikian. Mari kita telaah.

Menurut keterangan dari Abraham Samad, pada 12 Juli 2003, BCA mengajukan keberatan ke Direktorat Pajak Penghasilan (PPH) atas pengenaan pajak sebesar Rp 375 miliar pada NPL (Non Performing Loan/kredit macet) sebesar Rp 5,7 triliun.

Direktorat PPH kemudian menelaah pengajuan keberatan BCA itu selama kurang lebih 1 tahun. Hasil putusan Direktorat PPH menolak pengajuan keberatan pajak Rp 375 miliar tersebut. Tiba-tiba, pada 15 Juli 2004, Dirjen Pajak yang menjabat saat itu, Hadi Purnomo, memerintahkan Direktur PPH dalam sebuah nota dinas untuk mengubah putusan penolakan Direktorat PPH atas BCA. Akhirnya, Direktorat Jenderal Pajak putuskan menerima seluruh keberatan BCA untuk membayar pajak tambahan sebesar Rp 375 miliar atas NPL Rp 5,7 triliun.

Perlu dicatat, ketika itu bukan hanya BCA yang ajukan keberatan, bank-bank lain yang berada dalam pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) juga mengajukan keberatan yang sama. Namun, hanya BCA yang diterima keberatannya oleh Ditjen Pajak. Bank-bank lainnya ditolak.

Nota Dinas dari Hadi Purnomo itu yang kemudian menjadi bukti KPK untuk menjadikan Hadi Purnomo tersangka dalam skandal pajak BCA Rp 375 miliar. Dan dengan diterimanya keberatan pajak itu, pajak yang harus dibayarkan BCA kepada negara hemat Rp 375 miliar dan mencatat laba bersih tahun 2004 sebesar Rp 3,196 triliun. Apabila keberatan pajak BCA Rp 375 miliar itu ditolak, maka laba bersih BCA tahun 2004 sebesar Rp 2,821 triliun, lebih rendah 12% dari Rp 3,196 triliun.

Penjelasan dari BCA dalam keterangan resminya, pengajuan keberatan dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam menilai NPL Rp 5,7 triliun tersebut. Dalam kacamata BCA, angka Rp 5,7 triliun itu adalah transaksi jual beli piutang BCA terhadap BPPN yang dikonversi menjadi saham BCA. Sebagai penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), BCA memiliki utang kepada negara. Di bawah pengelolaan BPPN, BCA membayar utangnya itu dengan saham, sehingga pemerintah melalui BPPN memiliki saham di BCA. Nantinya, BPPN akan menjual sahamnya di BCA agar dana BLBI yang dikucurkan ke BCA kembali ke kas negara. Teorinya begitu, tapi pada praktiknya, dana yang kembali jauh lebih rendah dari yang dikucurkan pemerintah.

Nah, bagi BCA, angka Rp 5,7 triliun itu bukan kredit macet (NPL) tapi pengalihan utang menjadi aset saham kepada pemerintah. Sebaliknya, bagi Ditjen Pajak, angka Rp 5,7 triliun itu adalah bentuk penghapusan utang, sehingga tetap dikenakan pajak sebesar Rp 375 miliar. Dari perdebatan itulah, Hadi Purnomo mendadak mengambil alih dan perintahkan menerima keberatan pajak BCA Rp 375 miliar.

Kemudian muncul pertanyaan yang besar sekarang, apakah mungkin masalah ini akan diusut oleh calon presiden kita Jokowi? Karena seperti yang kita ketahui bahwa donator terbesar Jokowi berasal dari Salim Group (salah satu pemilik saham di BCA sekarang). Apakah Jokowi punya cukup nyali untuk mengusut tuntas kasus ini? Ataukah dia akan menutup kasus ini dan berkata “I don’t think about that” Mari kita tunggu kelanjutannya.


0
2.1K
22
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan