- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mengenal Sosok Bunda Mala, 'Penegak Hukum' yang Aslinya Bekerja Serabutan


TS
psycho182
Mengenal Sosok Bunda Mala, 'Penegak Hukum' yang Aslinya Bekerja Serabutan
Quote:
Sosoknya tak seperti penegak hukum. Tak berseragam, tak berlencana. Padahal jika sudah berhadapan dengan kasus, ia bertindak bak polisi. Beberapa kasus kelar di tangannya. Ini dia Nurmalawati, penegak hukum yang sejatinya bekerja serabutan.
Di Aceh, tidak semua kasus pidana ringan mesti diselesaikan oleh polisi atau di pengadilan karena ada peradilan adat. Pihak yang bermasalah dipertemukan. Kemudian masalah diselesaikan melalui musyawarah.
Peradilan adat berlaku di Aceh sejak ratusan tahun lalu. Saat provinsi paling ujung barat Sumatera ini mengalami konflik berkepanjangan, peradilan adat sempat tenggelam. Setiap kasus diselesaikan di lembaga tuha peut (orang yang dituakan di kampung). Nah Bunda Mala, panggilan Nurmalawati, berada di lembaga tersebut.
Perkara yang ditangani Bunda Mala tak jauh beda dari aparat penegak hukum umumnya. Mulai kasus pencurian kecil, sengketa tanah, hingga kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia tidak mendapat imbalan dalam bekerja. Untuk menghidupi 7 anaknya, ia harus bekerja serabutan. Kadang menjadi buruh cuci pakaian, kadang pula jadi buruh tani.
Bunda Mala ditinggal mati suaminya pada 2004 silam. Sejak itu, ia menghidupi anak-anaknya seorang diri. Ia tetap menyekolahkan semua anaknya hingga tingkat SMA. Meski sudah berstatus janda, tapi tidak menyurutkan niatnya untuk membangun desa. Pada tahun 2010, ia terpilih sebagai salah seorang anggota majelis adat tingkat kecamatan. Kasus pertama yang ditanganinya adalah dugaan perselingkuhan.
"Butuh waktu 6 bulan untuk mengungkapnya," kata Mala ketika ditemui detikcom di rumahnya, di desa Masjid Ulim Tunong, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya, Aceh, Selasa (1/7/2014) lalu.
Kasus tersebut berawal dari informasi yang diterima seorang istri yang menyebutkan suaminya telah berselingkuh. Sang istri menerima kabar tak sedap itu dari orang kepercayaannya melalui telepon genggam. Setelah beberapa kali menerima kabar serupa, wanita itu akhirnya percaya
Rumah tangga suami istri ini mulai cekcok. Sang istri kerap mendatangi tempat suaminya bekerja saat pagi buta. Bukan itu saja, wanita ini juga mendatangi rumah-rumah wanita lain yang diduga menjadi selingkuhan suaminya. Cekcok antara ia dengan warga lain pun tak terhindari.
Tak lama berselang, kabar percekcokan ini sampai ke telinga Nurmalawati. Ia selanjutnya mendatangi rumah-rumah wanita yang dituduh menjadi selingkuhan pria tersebut. Tapi semua orang yang dimintai keterangan mengaku tidak punya hubungan apa-apa. Baru kemudian ia menyelidiki istri tersebut untuk menanyakan duduk persoalan. "Ternyata ia mendapat informasi dari pemuda kampung yang iseng-iseng memberi informasi," jelasnya.
Setelah mendapat informasi tentang identitas pemuda yang menjadi biang kerok, Bunda Mala kemudian mendatangi pemuda tersebut. "Setelah saya selidiki, pemuda itu akhirnya mengaku memberi informasi itu karena sudah ditanya setiap hari, karena tidak tahu maka dijawab asal-asalan. Pemuda itu saya nasihati dan saat ini rumah tangga tersebut sudah akur kembali," ungkap Bunda Mala.
Di Aceh, peradilan adat mulai digunakan kembali pasca perdamaian antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 2005 silam. Hal itu kini juga diatur dalam Qanun Aceh nomor 9 tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.
Pada pasal 13 qanun tersebut disebutkan, ada 18 jenis sengketa di masyarakat yang bisa diselesaikan melalui proses peradilan adat ini, antara lain: perselisihan dalam rumah tangga; perselisihan antar warga; perselisihan tentang hak milik; pencurian ringan; penganiayaan ringan; pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, dan lainnya.
Sementara kasus di luar kewenangan peradilan adat yaitu pembunuhan, perzinaan, pemerkosaan, narkoba, ganja dan sejenisnya, pencurian (berat, seperti kerbau, kendaraan bermotor dan lain-lain), subversif, penghinaan terhadap pemerintah yang sah (presiden dan gubernur), kecelakaan lalu lintas berat (kematian), penculikan, khalwat, dan perampokan bersenjata.
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Aceh bahkan telah punya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda, dan Ketua MAA tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim. Meski demikian, tidak semua desa di Aceh sudah memberlakukan peradilan adat dalam menyelesaikan setiap kasus-kasus kecil yang terjadi di tengah-tengah warga.
sumber


0
1.5K
Kutip
12
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan