- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
selubung fitnah itu semakin terkuak


TS
LockFolder
selubung fitnah itu semakin terkuak
Oleh: Prayudi Azwar.
Roda sejarah bergulir. Bukan secara
kebetulan. Begitu juga sejarah anak
manusia.
Seperti sejarah sosok cerdas,
pemberani, dan pecinta negeri paling
romantis ini.
Telah terjungkal ia, diterjang fitnah,
yang tak pernah usang di daur ulang.
Dipaksa memikul dosa satu institusi,
seorang sendiri. Dipojokkan. Terhina
di mata anak bangsa. Terusir dari
keluarga mertua. Terpisah dari istri dan
ananda tercinta. Sendiri, terbuang
jauh ke negeri di ujung sana.
Dalam kehampaan coba ia bertahan.
Mengobati raga cedera dari beragam
pertempuran agung demi negeri
cintanya (@Jerman). Membasuh perih
luka jiwa di tanah suci, bersimpuh
pada kuasa Tuhannya (@Mekkah).
Sebelum akhirnya terdampar ia di
istana megah karibnya (@Yordania).
Nanar dia tatap langit yang telah
berganti warna. “Sekarang kamu
dijadikan sasaran macam-macam.
Jangan harapkan teman-teman kamu
sendiri akan membantu. Orang yang
berhutang budi terhadap kamu pun
bakal meninggalkan kamu. Tapi dalam
keadaan segelap apapun, niscaya
masih ada orang-orang baru yang
akan membantu. Jadi harus tabah.
Jangan menjadi dendam. Ini
kehidupan, hadapilah”.
Bekal wasiat, Soemitro, sang Ayah
membaluri luka hatinya. Nasihat ini
begitu membekas dikalbunya. Menyatu
dalam pergumulan batinnya. Maka
istana indah itu tak mampu silaukan-
surutkan rindunya. Rindu pada negeri
yang selalu memenangi hatinya.
Bahkan sejak usia belianya.
Tawaran beasiswa George Washington
University yang menjanjikan
kemapanan tak mampu menggoda
setianya. Baginya, cinta diukur dari
kesediaan berkorban untuk yang
dicinta. Maka baginya, jalan bakti
tertinggi, terbaik dan paling romantis
adalah jalan pengorbanan. Jalan
ksatria. Maka digembleng ia pada
institusi negara. Merintis jalan paman
kebanggaannya, Subianto. Yang gugur
berkorban di medan tempur
pembebasan.
“Bowo, jangan lupa, rakyatmu masih
banyak yang miskin” pesan terakhir
almarhum ibunda, Dora Sigar
menyusupi relung batinnya. Ingin dia
membelai, membasuh luka-luka di
sekujur raga ibu pertiwi, cintanya.
Yang terus dikoyak laku khianat
segelintir anak-anak kandungnya.
Maka kepulangannya ketanah air
disambut gegap gempita. Bukan
dengan kembang api atau bunga
tujuh rupa. Tapi oleh ledakan dahsyat
bom natal, yang kembali coba
menistanya. Memang fitnah adalah
bagian hidupnya. Suratan dalam
romantika perjuangannya. Fitnah yang
membesar setiap ia melangkah
mendekati takdirnya. Memimpin
kekasih hatinya, Indonesia raya.
Kini tiba masanya, tiada selubung kan
lagi mampu tutupi kilaunya. Wangi
aroma gelora jiwanya membuka
sumbat penciuman rakyatnya. Maka
bersiaplah menjadi saksi sejarah,
episode terakhir dari sang pencinta
memeluk kekasih hatinya.
The best fighter is always a best lover.
Prayudhi Azwar
Perth, 18 Juni 2014
12.08 PM, di sapa mentari yang
menerangi hati.
Roda sejarah bergulir. Bukan secara
kebetulan. Begitu juga sejarah anak
manusia.
Seperti sejarah sosok cerdas,
pemberani, dan pecinta negeri paling
romantis ini.
Telah terjungkal ia, diterjang fitnah,
yang tak pernah usang di daur ulang.
Dipaksa memikul dosa satu institusi,
seorang sendiri. Dipojokkan. Terhina
di mata anak bangsa. Terusir dari
keluarga mertua. Terpisah dari istri dan
ananda tercinta. Sendiri, terbuang
jauh ke negeri di ujung sana.
Dalam kehampaan coba ia bertahan.
Mengobati raga cedera dari beragam
pertempuran agung demi negeri
cintanya (@Jerman). Membasuh perih
luka jiwa di tanah suci, bersimpuh
pada kuasa Tuhannya (@Mekkah).
Sebelum akhirnya terdampar ia di
istana megah karibnya (@Yordania).
Nanar dia tatap langit yang telah
berganti warna. “Sekarang kamu
dijadikan sasaran macam-macam.
Jangan harapkan teman-teman kamu
sendiri akan membantu. Orang yang
berhutang budi terhadap kamu pun
bakal meninggalkan kamu. Tapi dalam
keadaan segelap apapun, niscaya
masih ada orang-orang baru yang
akan membantu. Jadi harus tabah.
Jangan menjadi dendam. Ini
kehidupan, hadapilah”.
Bekal wasiat, Soemitro, sang Ayah
membaluri luka hatinya. Nasihat ini
begitu membekas dikalbunya. Menyatu
dalam pergumulan batinnya. Maka
istana indah itu tak mampu silaukan-
surutkan rindunya. Rindu pada negeri
yang selalu memenangi hatinya.
Bahkan sejak usia belianya.
Tawaran beasiswa George Washington
University yang menjanjikan
kemapanan tak mampu menggoda
setianya. Baginya, cinta diukur dari
kesediaan berkorban untuk yang
dicinta. Maka baginya, jalan bakti
tertinggi, terbaik dan paling romantis
adalah jalan pengorbanan. Jalan
ksatria. Maka digembleng ia pada
institusi negara. Merintis jalan paman
kebanggaannya, Subianto. Yang gugur
berkorban di medan tempur
pembebasan.
“Bowo, jangan lupa, rakyatmu masih
banyak yang miskin” pesan terakhir
almarhum ibunda, Dora Sigar
menyusupi relung batinnya. Ingin dia
membelai, membasuh luka-luka di
sekujur raga ibu pertiwi, cintanya.
Yang terus dikoyak laku khianat
segelintir anak-anak kandungnya.
Maka kepulangannya ketanah air
disambut gegap gempita. Bukan
dengan kembang api atau bunga
tujuh rupa. Tapi oleh ledakan dahsyat
bom natal, yang kembali coba
menistanya. Memang fitnah adalah
bagian hidupnya. Suratan dalam
romantika perjuangannya. Fitnah yang
membesar setiap ia melangkah
mendekati takdirnya. Memimpin
kekasih hatinya, Indonesia raya.
Kini tiba masanya, tiada selubung kan
lagi mampu tutupi kilaunya. Wangi
aroma gelora jiwanya membuka
sumbat penciuman rakyatnya. Maka
bersiaplah menjadi saksi sejarah,
episode terakhir dari sang pencinta
memeluk kekasih hatinya.
The best fighter is always a best lover.
Prayudhi Azwar
Perth, 18 Juni 2014
12.08 PM, di sapa mentari yang
menerangi hati.
Diubah oleh LockFolder 02-07-2014 20:38


tien212700 memberi reputasi
1
737
5
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan