- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
BEGITU MEMBANGGAKANNYA TV ONE


TS
p0hong
BEGITU MEMBANGGAKANNYA TV ONE
Ini kisah beberapa waktu silam yang diposting di Kompasiana. Penting rasanya mengunggahnya kembali di laman pribadi agar proses dokumentasi menjadi semakin mudah dan tentu saja sebagai sambungan atas postingan saya sebelum ini yakni tentang Media Massa Indonesia
Quote:
Original Posted By TV ONEKetika sebuah lembaga media massa berulang jatuh pada kesalahan-kesalahan fatal, sesungguhnya adalah baik jika dia beristirahat sejenak. Berhenti berkarya. Lakukan perjalanan ke dalam diri. Tanyakan untuk siapa kita ada? Kalau jawaban yang diperoleh adalah untuk kepentingan pemilik, berhentilah jadi media massa. Kalau ternyata jawabannya adalah untuk kepentingan publik, buat langkah perbaikan yang revolusioner agar menjadi lebih baik dan tidak jatuh berulang-ulang-ulang-ulang kali.
Hari ini saya menulis tentang tvOne, bukan karena saya mendukung Jokowi-JK pada Pilpres 9 Juli mendatang. Artinya, meski pemberitaan tvOne tentang Jokowi-JK tidak sebanyak tentang Prabowo Hatta, hal tersebut bukanlah alasan saya membuat tulisan ini. Alasan saya adalah karena saya sudah lama menulis tentang tvOne (jauh sebelum gonjang-ganjing Pilpres), dan merasa rindu serindu rindunya agar media ini berubah menjadi lebih baik.
Sejak awal kemunculannya, tvOne dituding sebagai usaha Aburizal Bakrie ‘bersaing’ dengan Surya Paloh yang sudah terlebih dahulu muncul dengan Metro TV-nya. Tudingan itu tidak saya amini begitu saja. Saya melihat. Menyaksikan sendiri, bahwa televisi ini memang berusaha menyajikan jurnalisme yang menarik. Tina Talisa dan kawan-kawannya terlihat benar berjuang untuk itu. Tetapi itu tidak lama. tvOne perlahan berubah menjadi tidak menarik ketika (mungkin) untuk kepentingan sikap kritis media malah bergerak menjadi ‘arena tarung debat’ yang tidak elok. Kasar.
Saya lalu ngobrol dengan seorang praktisi media pada sebuah kesempatan tentang fenomena itu. Saya tidak spesifik menyebut tvOne tentu saja ketika berbicara dengannya di sela sebuah kegiatan pelatihan Public Speaking di Ruteng. Saya hanya mengeluhkan betapa banyaknya ‘pertengkaran’ elit di televisi. Tetapi kami sama-sama tahu, media mana yang sedang kami maksudkan. Saat itu tokoh di balik lahirnya pola jurnalisme warga di Indonesia itu bilang: media massa saat ini sebagian besar menampilkan materi yang memenuhi selera rendah manusia, pertengkaran/konflik. Saya posting hasil obrolan itu di Kompasiana dan menjadi artikel pertama saya yang dipilih admin sebagai Headline (para Kompasianer pasti tahu betapa pentingnya HL di beberapa tahun silam. Sekarang masih gak ya? Hehehe). Artikel itu, dua tahun kemudian saya hapus karena alasan personal icon smile tvOne: Markus Palsu, Hoax CNN dan Fadjroel Rahman
Sesungguhnya, masalah itu (bahwa media mengutamakan perkelahian demi kepentingan rating and share) adalah hal yang biasa. Karena itu, pada prinsipnya itu adalah hal yang sah. Yang membuat saya menjadi begitu cerewet dengan tvOne adalah karena sepertinya mereka menghalalkan segala cara agar konflik semakin panas demi meraih rating and share yang tinggi. Maka jatuhlah mereka pada kasus Markus Palsu. Ya, televisi ini pernah mendatangkan seorang makelar kasus abal-abal. Dia bukan makelar kasus tetapi ‘dipaksa’ tvOne sebagai Markus karena waktu itu kasus makelar palsu sedang ramai. Selengkapnya bisa baca di sini). Astagaaaa… Indy Rahmawatiiiii… apa yang kau lakukan? Ya Indy Rahmawati disebut-sebut sebagai salah seorang di balik kesalahan fatal tersebut. What a shame.
Setelah kasus heboh itu, Indy sempat tidak boleh bersiaran. Setelahnya dia siaran lagi dan bersama kawan-kawan kerap mengulang banyak kesalahan. Salah satunya saya tulis di kompasiana dan dishare ke mana-mana bahkan kabarnya sampai sempat didiskusikan oleh beberapa komunitas/forum jurnalis, cieeee. Baca tulisan tentang itu di sini. Setelahnya, saya memutuskan tidak terlampau sering menonton tvOne. “Televisi itu telah rusak,” pikir saya.
Lalu tibalah kita di musim Pilpres. Musim yang buruk buat media massa, terutama yang pemiliknya adalah politisi yang ikut serta bersaing di pentas politik lima tahunan itu. Metro TV dan Surya Paloh mendukung Jokowi-JK. Jelas! Sementara tvOne dan ARB mendukung Prabowo-Hatta. Netralitas media menjadi mimpi yang jauh. Tetapi tak masalah, pikir saya. Pada situasi tertentu, menjadi netral mungkin bukan pilihan yang menarik. Maka ketimbang bercerewet ria tentang betapa tidak berimbangnya dua media itu dalam pemberitaan jelang Pilpres, saya memilih menonton Kompas TV dan TVRI. Lebih manis saja mereka bergeliat, meski pada bacaan yang teliti kita tahu ke mana televisi ini berpihak namun tak membabi buta. Saya pikir, toh setelah Pilpres semua akan selesai.
Tetapi oh tetapi, ternyata oh ternyata, tvOne mengulang kesalahan yang telah berulang mereka buat. Memilih narasumber yang salah untuk produk jurnalistiknya. Adalah hoax iReport (kompasiananya CNN) yang mereka jadikan sumber. Hoax itu memang bersemangat sama dengan tvOne, memenangkan Prabowo dalam survei elektabilitas. Itu murni hoax. Tetapi dipakai sebagai sumber berita. Ini memalukan, ya untuk Prabowo-Hatta, ya untuk tvOne dan terutama untuk Indonesia. Media nasionalnya percaya hoax dan menyebarkannya sebagai berita. Mereka tidak belajar rupanya. Bahkan produser program Seputar Indonesia di RCTI saja rela mendapat Surat Peringatan (SP) 3 dari pemilik MNC karena tidak mau menayangkan berita yang tidak memenuhi unsur 5W+1H, bagaimana mungkin ada media yang menjadikan hoax sebagai sumber berita? Dan kita berurusan dengan CNN, sebuah kantor berita besar di dunia ini hanya karena sebuah kesalahan paling dasar pada penulisan berita: mengabaikan 5W+1H. Mama Mia eeee… Dibullylah tvOne ini di media sosial.
Belum habis kisah hoax itu, masih di masa Pilpres 2014 tvOne kembali melakukan kesalahan. Kali ini dengan alasan yang memperlihatkan berapa siapapun yang bertanggungjawab di balik pemberitaan media ini adalah pengecut sebenar-benarnya.
Begini cerita singkatnya: tvOne memutuskan menggelar debat tim sukses dua kandidat. Timses Jokowi-JK mengutus Fadjroel Rahman, seorang aktivis yang sekian lama golput lalu memutuskan menggunakan hak politiknya dengan aktif pada tahun ini karena alasan menemukan dirinya pada Jokowi-Hatta. Fadjroel adalah salah seorang yang ‘bermasalah’ dengan orde baru. Berangkatlah utusan Jokowi-JK ini ke studio tvOne. Tak dinyana, dirinya ditolak masuk ke ruang siaran. Ya… narasumber yang mereka undang, lalu mereka tolak. Jadilah, siaran itu hanya menghadirkan pakar semiotika, pengamat komunikasi politik dan seorang tim sukses Prabowo-Hatta.
Sesungguhnya saya tidak peduli apakah akhirnya Prabowo-Hatta terlihat unggul pada program itu (karena toh pada setiap program tvOne, Prabowo-Hatta memang harus unggul, bahkan pada siaran bola saja sempat ada seorang pengamat bola yang memakai lambang garuda merah di bajunya). Saya hanya menyayangkan sikap diskriminatif yang mereka lakukan kepada Bang Fadjroel. Misalkan yang diutus waktu itu bukan Fadjroel, mereka mungkin akan menerima. Tetapi karena Fadjroel, mereka menolak. Artinya: Fadjroel Dilarang Bicara di tvOne, meskipun dia adalah jurubicara yang ditunjuk resmi oleh timses Jokowi-JK.
Dewan pers mengeluarkan pernyataan bahwa sikap tvOne menolak Fadjroel Rahman itu melanggar etika pers. Tetapi saya pikir, itu lebih dari sekedar melanggar etika pers. Itu melanggar Hak Asasi Manusia karena melarang orang berbicara. Sontak saya dikirim kembali ke masa sebelum Wiji Thukul dan kawan-kawan hilang. Orang-orang dilarang bicara. Astagaaa… akankah kita kembali ke masa itu? Masa ketika suara-suara kritis dibungkam? Pertanyaan selanjutnya adalah: Misalkan calon yang diusung tvOne akan menang, bukankah kita menjadi sah menebak bahwa peristiwa penolakan atas Fadjroel akan sangat mungkin berulang mengingat televisi ini punya konsistensi mengulang kesalahan?
Saya tidak sedang mendukung Jokowi-JK ketika menulis ini. Saya tidak sedang mendiskreditkan Prabowo-Hatta ketika menulis ini. Saya tetap tidak setuju dengan gaya pemberitaan Metro TV yang terlampau memuja-muja Jokowi-JK ketika menulis ini. Saya hanya sedang berpikir: “Di hari ini, ketika pintu demokrasi dibuka dengan lebar di negeri ini, ada orang-orang yang dilarang bicara!”
Wiji Thukul, sebelum hilang pada Mei 1998 menulis ini pada bait terakhir puisinya yang berjudul Peringata: …Apabila usul ditolak tanpa ditimbang / Suara dibungkam/ kritik dilarang tanpa alasan / Dituduh subversif dan mengganggu keamanan / Maka hanya ada satu kata: lawan!.
Sampai di sini saja saya menulis tentang tvOne dan Markus Palsunya dan Hoax CNN dan Fadjroel Rahman. Menuliskannya lebih panjang lagi mungkin hanya akan membuat saya menulis dengan marah. Tak baik menulis dalam keadaan marah, iya to?
SUMUR
Hari ini saya menulis tentang tvOne, bukan karena saya mendukung Jokowi-JK pada Pilpres 9 Juli mendatang. Artinya, meski pemberitaan tvOne tentang Jokowi-JK tidak sebanyak tentang Prabowo Hatta, hal tersebut bukanlah alasan saya membuat tulisan ini. Alasan saya adalah karena saya sudah lama menulis tentang tvOne (jauh sebelum gonjang-ganjing Pilpres), dan merasa rindu serindu rindunya agar media ini berubah menjadi lebih baik.
Sejak awal kemunculannya, tvOne dituding sebagai usaha Aburizal Bakrie ‘bersaing’ dengan Surya Paloh yang sudah terlebih dahulu muncul dengan Metro TV-nya. Tudingan itu tidak saya amini begitu saja. Saya melihat. Menyaksikan sendiri, bahwa televisi ini memang berusaha menyajikan jurnalisme yang menarik. Tina Talisa dan kawan-kawannya terlihat benar berjuang untuk itu. Tetapi itu tidak lama. tvOne perlahan berubah menjadi tidak menarik ketika (mungkin) untuk kepentingan sikap kritis media malah bergerak menjadi ‘arena tarung debat’ yang tidak elok. Kasar.
Saya lalu ngobrol dengan seorang praktisi media pada sebuah kesempatan tentang fenomena itu. Saya tidak spesifik menyebut tvOne tentu saja ketika berbicara dengannya di sela sebuah kegiatan pelatihan Public Speaking di Ruteng. Saya hanya mengeluhkan betapa banyaknya ‘pertengkaran’ elit di televisi. Tetapi kami sama-sama tahu, media mana yang sedang kami maksudkan. Saat itu tokoh di balik lahirnya pola jurnalisme warga di Indonesia itu bilang: media massa saat ini sebagian besar menampilkan materi yang memenuhi selera rendah manusia, pertengkaran/konflik. Saya posting hasil obrolan itu di Kompasiana dan menjadi artikel pertama saya yang dipilih admin sebagai Headline (para Kompasianer pasti tahu betapa pentingnya HL di beberapa tahun silam. Sekarang masih gak ya? Hehehe). Artikel itu, dua tahun kemudian saya hapus karena alasan personal icon smile tvOne: Markus Palsu, Hoax CNN dan Fadjroel Rahman
Sesungguhnya, masalah itu (bahwa media mengutamakan perkelahian demi kepentingan rating and share) adalah hal yang biasa. Karena itu, pada prinsipnya itu adalah hal yang sah. Yang membuat saya menjadi begitu cerewet dengan tvOne adalah karena sepertinya mereka menghalalkan segala cara agar konflik semakin panas demi meraih rating and share yang tinggi. Maka jatuhlah mereka pada kasus Markus Palsu. Ya, televisi ini pernah mendatangkan seorang makelar kasus abal-abal. Dia bukan makelar kasus tetapi ‘dipaksa’ tvOne sebagai Markus karena waktu itu kasus makelar palsu sedang ramai. Selengkapnya bisa baca di sini). Astagaaaa… Indy Rahmawatiiiii… apa yang kau lakukan? Ya Indy Rahmawati disebut-sebut sebagai salah seorang di balik kesalahan fatal tersebut. What a shame.
Setelah kasus heboh itu, Indy sempat tidak boleh bersiaran. Setelahnya dia siaran lagi dan bersama kawan-kawan kerap mengulang banyak kesalahan. Salah satunya saya tulis di kompasiana dan dishare ke mana-mana bahkan kabarnya sampai sempat didiskusikan oleh beberapa komunitas/forum jurnalis, cieeee. Baca tulisan tentang itu di sini. Setelahnya, saya memutuskan tidak terlampau sering menonton tvOne. “Televisi itu telah rusak,” pikir saya.
Lalu tibalah kita di musim Pilpres. Musim yang buruk buat media massa, terutama yang pemiliknya adalah politisi yang ikut serta bersaing di pentas politik lima tahunan itu. Metro TV dan Surya Paloh mendukung Jokowi-JK. Jelas! Sementara tvOne dan ARB mendukung Prabowo-Hatta. Netralitas media menjadi mimpi yang jauh. Tetapi tak masalah, pikir saya. Pada situasi tertentu, menjadi netral mungkin bukan pilihan yang menarik. Maka ketimbang bercerewet ria tentang betapa tidak berimbangnya dua media itu dalam pemberitaan jelang Pilpres, saya memilih menonton Kompas TV dan TVRI. Lebih manis saja mereka bergeliat, meski pada bacaan yang teliti kita tahu ke mana televisi ini berpihak namun tak membabi buta. Saya pikir, toh setelah Pilpres semua akan selesai.
Tetapi oh tetapi, ternyata oh ternyata, tvOne mengulang kesalahan yang telah berulang mereka buat. Memilih narasumber yang salah untuk produk jurnalistiknya. Adalah hoax iReport (kompasiananya CNN) yang mereka jadikan sumber. Hoax itu memang bersemangat sama dengan tvOne, memenangkan Prabowo dalam survei elektabilitas. Itu murni hoax. Tetapi dipakai sebagai sumber berita. Ini memalukan, ya untuk Prabowo-Hatta, ya untuk tvOne dan terutama untuk Indonesia. Media nasionalnya percaya hoax dan menyebarkannya sebagai berita. Mereka tidak belajar rupanya. Bahkan produser program Seputar Indonesia di RCTI saja rela mendapat Surat Peringatan (SP) 3 dari pemilik MNC karena tidak mau menayangkan berita yang tidak memenuhi unsur 5W+1H, bagaimana mungkin ada media yang menjadikan hoax sebagai sumber berita? Dan kita berurusan dengan CNN, sebuah kantor berita besar di dunia ini hanya karena sebuah kesalahan paling dasar pada penulisan berita: mengabaikan 5W+1H. Mama Mia eeee… Dibullylah tvOne ini di media sosial.
Belum habis kisah hoax itu, masih di masa Pilpres 2014 tvOne kembali melakukan kesalahan. Kali ini dengan alasan yang memperlihatkan berapa siapapun yang bertanggungjawab di balik pemberitaan media ini adalah pengecut sebenar-benarnya.
Begini cerita singkatnya: tvOne memutuskan menggelar debat tim sukses dua kandidat. Timses Jokowi-JK mengutus Fadjroel Rahman, seorang aktivis yang sekian lama golput lalu memutuskan menggunakan hak politiknya dengan aktif pada tahun ini karena alasan menemukan dirinya pada Jokowi-Hatta. Fadjroel adalah salah seorang yang ‘bermasalah’ dengan orde baru. Berangkatlah utusan Jokowi-JK ini ke studio tvOne. Tak dinyana, dirinya ditolak masuk ke ruang siaran. Ya… narasumber yang mereka undang, lalu mereka tolak. Jadilah, siaran itu hanya menghadirkan pakar semiotika, pengamat komunikasi politik dan seorang tim sukses Prabowo-Hatta.
Sesungguhnya saya tidak peduli apakah akhirnya Prabowo-Hatta terlihat unggul pada program itu (karena toh pada setiap program tvOne, Prabowo-Hatta memang harus unggul, bahkan pada siaran bola saja sempat ada seorang pengamat bola yang memakai lambang garuda merah di bajunya). Saya hanya menyayangkan sikap diskriminatif yang mereka lakukan kepada Bang Fadjroel. Misalkan yang diutus waktu itu bukan Fadjroel, mereka mungkin akan menerima. Tetapi karena Fadjroel, mereka menolak. Artinya: Fadjroel Dilarang Bicara di tvOne, meskipun dia adalah jurubicara yang ditunjuk resmi oleh timses Jokowi-JK.
Dewan pers mengeluarkan pernyataan bahwa sikap tvOne menolak Fadjroel Rahman itu melanggar etika pers. Tetapi saya pikir, itu lebih dari sekedar melanggar etika pers. Itu melanggar Hak Asasi Manusia karena melarang orang berbicara. Sontak saya dikirim kembali ke masa sebelum Wiji Thukul dan kawan-kawan hilang. Orang-orang dilarang bicara. Astagaaa… akankah kita kembali ke masa itu? Masa ketika suara-suara kritis dibungkam? Pertanyaan selanjutnya adalah: Misalkan calon yang diusung tvOne akan menang, bukankah kita menjadi sah menebak bahwa peristiwa penolakan atas Fadjroel akan sangat mungkin berulang mengingat televisi ini punya konsistensi mengulang kesalahan?
Saya tidak sedang mendukung Jokowi-JK ketika menulis ini. Saya tidak sedang mendiskreditkan Prabowo-Hatta ketika menulis ini. Saya tetap tidak setuju dengan gaya pemberitaan Metro TV yang terlampau memuja-muja Jokowi-JK ketika menulis ini. Saya hanya sedang berpikir: “Di hari ini, ketika pintu demokrasi dibuka dengan lebar di negeri ini, ada orang-orang yang dilarang bicara!”
Wiji Thukul, sebelum hilang pada Mei 1998 menulis ini pada bait terakhir puisinya yang berjudul Peringata: …Apabila usul ditolak tanpa ditimbang / Suara dibungkam/ kritik dilarang tanpa alasan / Dituduh subversif dan mengganggu keamanan / Maka hanya ada satu kata: lawan!.
Sampai di sini saja saya menulis tentang tvOne dan Markus Palsunya dan Hoax CNN dan Fadjroel Rahman. Menuliskannya lebih panjang lagi mungkin hanya akan membuat saya menulis dengan marah. Tak baik menulis dalam keadaan marah, iya to?
SUMUR
Diubah oleh p0hong 30-06-2014 02:29
0
7.8K
Kutip
96
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan