Kalau agan berasal dari Medan pasti udah biasa banget sama yang namanya mati lampu. Disini mati lampu udah kaya rutinitas. Apalagi udah masuk bulan puasa gini diindikasi masih bakal sering mati lampu gan.
Awalnya sih ane bingung apa maunya PLN bikin mati lampu terus-terusan. Bukankah kalau mereka matiin lampu otomatis pemakaian listrik berkurang dan pendapatan mereka juga berkurang.
Setelah ane telusuri berita-berita terkait ane nemu hal yang ganjil gan tentang kasus seringnya mati lampu di Sumatera Utara.
Seringnya mati lampu disini karena kekurangan pasokan listrik yang diakibatkan tidak optimalnya LTE PLTGU Belawan.
Seharusnya sih PLN mesti optimalin ini PLTGU secepatnya biar masyarakat sekitar ga dihantui mati lampu terus. Namun justru yang menghambat-hambat optimalisasi ini malah terkesan oknum-oknum kejaksaan.
Kejaksaan seolah-olah mencari-cari kesalahan PLN dan PT Mapna (pemenang tender LTE PLTGU Belawan) bahkan menahan beberapa tim ahli yang mengakibatkan optimalisasi ini semakin terbengkalai. Ujung-ujungnya yang korban malah kita masyarakat kecil.
Mungkin agan bertanya kok bisa kasusnya malah jadi begini.
Ini ane nemuin artikel yang bikin ane paham bgt knp kasus ini semakin rumit dan apa dampaknya bagi masyarakat bahkan hukum di mata negara lain gan.
Quote:
Kejaksaan, Penegak dan Perusak Hukum
Kejaksaan saat ini tidak sedikit menuai kritik dari masyarakat bahkan pihak negara lain.
Sebuah sindiran datang dari Iran yang menganggap kejaksaan tidak profesional. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Operasional PT Mapna Indonesia sekaligus terdakwa kasus LTE PLTGU Belawan, Muhammad Bahalwan. Ia menyebut petinggi-petinggi Iran sudah bersuara atas persoalan yang menimpanya melalui channnel diplomatik agar segera diselesaikan.
Petinggi-petinggi tersebut yaitu Ketua Kamar Dagang di Iran, Menteri Luar Negeri Iran, Presiden Iran Hassan Rouhani, bahkan Pemimpin Spiritual Tertinggi Iran/Supremme Leader, Sayyid Ali Khamanei, meminta melalui channel diplomatik kepada pemerintah Indonesia, atau ke Kejaksaaan Agung RI untuk segera menyelesaikan kasus ini secepatnya.
Sedikit aneh ketika kasus korupsi di Indonesia malah mendapat tanggapan negatif dari pejabat-pejabat penting dari Iran. Bahkan pemerintahan Iran menuntut dan mengancam akan menghentikan pekerjaan di Indonesia.
Hal ini sedikit masuk akal ketika banyaknya ditemukan kejanggalan dalam kasus tersebut.
Dikutip dari pernyataan kuasa hukum PLN, Todung Mulya Lubis, tuduhan kejaksaan banyak yang janggal, seperti Kejaksaan negeri Medan menuduh daya mampu mesin hanya sebesar 123 MW dan tidak sesuai dengan daya mampu minimal yaitu 132 MW.
Namun hal ini tidak punya dasar yang kuat dikarenakan beban 123 MW yang diperoleh penyidik Kejagung bukan berasal dari hasil pengujian tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW di siang hari. Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak.
Tidak hanya itu, kejaksaan yang menilai PLN merugikan keuangan negara juga tidak berdasar. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapn CO, tertulis sebesar Rp 645 miliar, sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya 431 miliar.
Selain itu yang paling mengkhawatirkan adalah Bahalwan menuding ada jaksa yang memeras dirinya. Perbuatan pemerasan disebut dilakukan oleh oknum jaksa di Kejagung sebesar Rp 10 miliar. Bahalwan menyebut oknum jaksa yang memerasnya itu berinisial JIB (Juli Isnur Boy).
Lantas apakah alasan kejaksaan melakukan hal tersebut?. Bukankah seharusnya kejaksaan lebih mengutamakan keadilan dan dasar bukti yang kuat untuk mengusut suatu kasus?. Bukan malah sebaliknya dimana kejaksaan seolah-olah memaksakan kasus tersebut agar menjadi kasus pidana.
Sebuah bocoran dari Komisi Kejaksaan Republik Indonesia yang menyoroti jaksa yang hanya mengejar jabatan saja bukannya profesionalisme yang dikedepankan. “Memang jaksa itu utamanya mengejar jabatan. Utamanya, isi otaknya itu jabatan, bukan profesionalisme sebagai jaksa jempolan,” kata Ketua Komisi Kejaksaan Republik Indonesia (KKRI) Halius Hosen dalam jumpa pers Catatan Akhir Tahun KKRI di Jakarta.
Sebuah pernyataan yang bisa menjawab kenapa semua kejanggalan ini bisa terjadi.
Dengan memaksakan sebuah kasus agar terdakwa dihukum pidana akan menjadikan batu loncatan bagi kejaksaan yang mengusut agar lebih cepat naik jabatan. Sebuah sikap oknum jaksa dimana lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan keadilan itu sendiri.
“Kenakalan” jaksa dalam kasus PLTGU Belawan ini juga berimbas langsung kepada masyarakat khususnya Sumatera Utara. Dengan penahanan beberapa tenaga ahli akan menghambat kinera PLN untuk menciptakan pasokan listrik yang mencukupi kebutuhan masyarakat.
Sungguh ironi yang benar-benar terjadi di institusi penegak hukum. Seharusnya hal ini menjadi sorotan pemerintah bahkan presiden serta institusi-institusi lainnya yang semestinya bertanggungjawab atas kejanggalan ini. Jangan sampai negara lain malah meragukan profesionalisme kejaksaan Indonesia dan masyarakat juga menerima imbas negatif akan hal tersebut.
Sumber :
http://hukum.kompasiana.com/2014/06/...um-669659.html
Sekarang ane sedikit ngerti penyebab seringnya mati lampu ini gan. Sampai kapan kejaksaan seperti ini. Kita masyarakat kecil selalu harus menanggung akibatnya
