- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Ternyata RI Tak Punya Hak Buy-Back Saham Indosat !


TS
suketsu-sama
Ternyata RI Tak Punya Hak Buy-Back Saham Indosat !
Ternyata RI Tak Punya Hak Buy-Back Saham Indosat !
Quote:

Jakarta- Indonesia ternyata tak punyak hak sama sekali untuk membeli kembali 41,94 persen saham Indosat yang kini sudah dikuasai Singapore Technology Telemedia (STT). Masalah pembelian kembali saham atau buy back sama sekali tidak tercantum dalam perjanjian jual beli atau sales and purchase agreement (SPA). Hal tersebut diungkapkan oleh Menkominfo Sofyan Djalil usai rapat yang dipimpin Wapres Jusuf Kalla soal RUU Aceh di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Kamis (5/1/2006). "Ternyata kewajiban atau hak kita untuk membeli kembali itu tidak ada dalam SPA. Kalau seolah-olah kita ingin membeli kembali, ada hak untuk membeli kembali, itu tidak ada. Semua tergantung apakah mereka mau menjual atau tidak," ungkap Sofyan. Ia menambahkan, sebelumnya mantan Menneg BUMN Laksamana Sukardi pernah mengisyaratkan Indonesia bisa membeli kembali saham tersebut. "Dulu terkesan seolah-olah Pak Laksamana menyatakan kita punya hak untuk membeli kembali. Tapi sebenarnya tidak ada kewajiban dari pihak Singapura untuk menawarkan," tegasnya.
Kepemilikan saham Indosat saat ini adalah pemerintah Indonesia (14,7 persen), STT (41,94 persen) dan sisanya publik. Pemerintah berniat membeli kembali sahamnya di Indosat yang dilego ke STT pada Desember lalu karena periode lock up selama dua tahun sudah selesai. Dengan selesainya periode lock up, maka STT bisa bebas menjual saham yang dibelinya tersebut. Namun ternyata STT secara tegas menyatakan tidak akan menjual sahamnya di perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Indonesia itu. Padahal pemerintah Indoensia tampaknya sudah sangat ngebet. Menneg BUMN Sugiharto pun sudah mengirimkan surat ke STT agar bersedia menjual sahamnya. Sementara "saudara kembar" Indosat, yakni Telkom, sudah bersedia membantu pendanaanya. Menurut Sofyan, STT secara tegas menyatakan tidak minat menjual sahamnya di Indosat sehingga Indonesia tidak bisa berbuat banyak. "Pak Sugiharto kan menawarkan kalau Singapura mau jual. Tapi kelihatannya mereka tidak mau jual. Jadi tidak ada kewajiban kita untuk membeli atau kewajiban mereka untuk menjual balik ke kita. Periode lock up itu boleh dijual kalau mereka mau," urai Sofyan. (rouzni)
Sumber : http://inet.detik.com/read/2006/01/0...-saham-indosat
Woow,, apanya yang klausul buy-back, ternyata ngga sama sekali ada perjanjian tersebut..

Komen Kaskuser :
Quote:
Original Posted By juzzmynick►
masalah bukan bikin perusahaan barunya gan .. itu mah sekarang juga udah banyak satelit Indonesia gan ... yang menjadi masalah adalah Indosat yang memiliki Geo Stationary Orbit.
Nih ane kutip tulisan yang ane dapet dari Internet yah gan, mengenai betapa pentingnya Indosat
Republika
Selasa, 31 Desember 2002
Nilai Indosat bagi Negara
Oleh : H Priyatna Abdurrasyid
Untuk memahami nilai Indosat bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia
perlu mendalami dulu latar belakang dan riwayat terbentuknya kemampuan
nasional Indonesia di bidang persatelitan dan mengalir ke bidang
telekomunikasi, siaran langsung, penginderaan jauh, dan internet.
Pertama, secara geografis negara Indonesia diklasifikasikan oleh masyarakat
ruang angkasa internasional sebagai suatu space power state. Bahkan, dapat
dikatakan berada pada urutan ketiga setelah AS dan Rusia. Indonesia dianggap
memenuhi persyaratan-persyaratan bentuk dan luas wilayah (sama dengan
se-Eropa, Rusia dan USA), memiliki kekayaan bumi dan alam yang melimpah,
keadaan cuaca positif sepanjang masa, kecerdasan dan jumlah penduduk,
berpotensi untuk pasar telekomunikasi, memiliki lautan pedalaman yang luas
dengan hasil laut yang tidak terbatas, memiliki ahli-ahli hukum ruang
angkasa peringkat internasional dan mampu berperan di forum hukum ruang
angkasa internasional.
Berikutnya, negara Indonesia dipotong garis khatulistiwa sehingga berada di
bawah lingkar orbit geostationer (geo stationary orbit -- GSO). Orbit ini
dinyatakan oleh hukum ruang angkasa (space law) sebagai milik bersama
kemanusiaan (common heritage of mankind), karena letaknya di luar wilayah
kedaulatan negara di ruang udara -- seperti laut bebas.
GSO merupakan suatu orbit di atas khatulistiwa, teletak pada ketinggian kl
360.000 km dari permukaan bumi dan merupakan tempat (slot) yang efisien
serta ekonomis untuk meletakkan satelit telekomunikasi. GSO lebih fleksibel
dari kabel laut dan mampu mencakup wilayah luas.
Sistem Telkom melalui terrestrial (permukaan bumi) rawan pengaruh lingkungan
bumi, gempa bumi, badai listrik, tanah longsor, letusan gunung berapi, ombak
laut, banjir, dan sabotase. Sedangkan GSO bebas dari pengaruh-pengaruh
negatif tersebut.
Selain itu, merupakan tempat yang tepat untuk satelit pengatur navigasi
penerbangan dan pelayaran komersial dan dapat diarahkan mengganti Flight
Information Region (FIR) yang sampai hari ini masih dalam ketergantungan
mutlak Indonesia dari Singapore (dan merupakan duri bagi sistem navigasi
penerbangan komersial serta militer Indonesia). GSO juga merupakan tempat
yang efisien untuk operasi satelit relay, pangkalan militer, tenaga
matahari, satelit mata-mata, cermin-cermin raksasa pemantul tenaga matahari
dan pada suatu saat dikemudian hari sebagai tempat untuk space heavy
platform di mana dapat ditempatkan switchboard telkom. Intelsat (organisasi
telkom komersial internasional) cukup menempatkan 3 satelit saja di GSO
lingkar bumi dan menghasilkan telekomunikasi internasional yang meliputi
seluruh dunia.
Nilai Indosat
Satelit Indosat sungguh tidak ternilai. Satelit ini mempunyai kedudukan di
GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi, budaya, strategi,
keamanan, pertahanan, pendidikan dan masa depan pembangunan bangsa-negara
Indonesia.
Frekuensi memiliki ciri-ciri sebagai sumber alam terbatas, bukan hasil
produksi manusia, tidak dapat dimanfaatkan tanpa koordinasi dengan
masyarakat internasional yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri,
tidak aus/habis dipakai oleh pemiliknya, dan tidak mengenal batas
perambatan. Sebagai contoh, di Indonesia masih ada 64.000 desa yang sulit
dihubungi kecuali melalui frekuensi satelit/radio seperti oleh Indosat.
Kedua, dari segi temporal (sejarah). Seorang putra Indonesia pada tahun 1973
melihat bahwa GSO ini memiliki potensi bagi kepentingan nasional Indonesia
dan masyarakat internasional. Pada tahun 1974, untuk pertama kalinya dalam
sejarah hubungan internasional, masalah GSO ini diusulkan untuk menjadi
salah satu agenda Kongres Internasional IAF (International Astronautical
Federation), IAA (International Academy of ASstronautics) dan IISI
(International Institute of Space Law) di Amsterdam.
Usulan tersebut mendapat tantangan keras oleh hampir 99% pakar yang hadir
dari berbagai penjuru dunia. Tantangan mereka merupakan usaha proteksi
kepentingan negara-negara berteknologi maju. Pada kenyataannya selama ini
GSO hanya mampu dimanfaatkan oleh negara-negara berteknologi maju, seperti
AS, Jepang, Prancis, dan Inggris melalui prinsip first come, first served --
yang dapat, mampu dan paling dahulu. Prinsip ini mereka kembangkan
berlandaskan Pasal 33 ITU Convention 1973 yang berbunyi, "...the
geostationary satellite orbit are limited natural resource... efficiently
and economically... equitable access... according to their need and the
technical facilities at their disposal".
Pasal 33 inilah yang selalu dijadikan justifikasi negara-negara berteknologi
maju untuk mendalihkan, bahwa kalau tidak mampu dan tidak punya fasilitas
jangan coba-coba menyentuh GSO. Sedangkan Indonesia sebagai negara
equatorial jelas dipotong oleh garis orbit GSO yang terpanjang di dunia,
yakni 12,8% dari lingkar orbit (dengan panjang sekitar 33.000 km). Beberapa
satelit Indonesia telah berhasil memperoleh frekuensi 6/4 GHz (rendah)
sampai 8/7 GHz (sedang). Frequency sulit adalah 80/70 GHz (tinggi) dan
sampai hari ini tidak satu negara pun mampu memanfaatkannya.
Secara teknis, GSO hanya mampu ditempati secara efisien oleh 180 buah
satelit saja dengan jarak masing-masing 2 derajat. Sejak 1974 Indonesia
aktif di berbagai forum telekomunikasi internasional, dan berusaha
menghimpun serta meyakinkan negara-negara berkembang lainnya tentang manfaat
GSO bagi kepentingan dan pembangunan bangsa.
Perjuangan Indonesia dilakukan bukan saja secara langsung menghubungi dan
menyadarkan negara-negara (terutama berkembang) tentang manfaat GSO --
frekuensi, tetapi juga agar isu tersebut dapat dimasukkan ke dalam agenda
pertemuan internasional, seperti di PBB (United Nations Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space -- UNCOPUOS), ITU (International
Telecommunication Union), IAF, IAA, dan IISL. Juga melalui Organization of
Equatorial Countries yang bermarkas di Bogota, Colombia.
Banyak negara yang didatangi dan kemudian turut aktif berdialog melalui WARC
(World Administrative Radio Conference) di Venetia, Paris, Geneve, Vienna,
Terra-molinos, Nairobi, Annheim, Washington DC, Bengolore, Beijing, Tokio,
Quito, Bogota, Rio de Janeiro dan lain-lain. Akhirnya Pasal 33 Konvensi ITU
di pertemuan UNISPACE II 1982 Vienna dan di pertemuan ITU 1982 Naerobi
dicabut dan diubah menjadi, "... as well as the special geographical
situation of particular countries."
Kemudian, pada sidang-sidang berikutnya di PBB, ITU dapat disepakati, bahwa
mampu tidak mampu, perlu tidak perlu, setiap negara dijatahkan hak 1 slot
dengan frekuensi tertentu. Ternyata frekuensi yang efisien (6/4 GHz dan 8/7
GHz) telah habis terbagi (Indonesia masih beruntung, karena pada 1975 telah
memperolehnya, antara lain untuk satelit Palapa).
Yang dijatahkan secara rata ternyata hanya frekuensi 80/70 GHz ke atas, yang
merupakan frekuensi sulit dan penuh komplikasi serta menghendaki teknologi
tinggi dan mungkin baru dapat dikuasai 50 tahun mendatang. Dapat dibayangkan
bagaimana panjangnya waktu perjuangan internasional Indonesia (lebih dari 20
tahun) dan sulitnya bagi Indonesia untuk memperoleh kesempatan
mengoperasikan Indosat kemudian.
Belum selesai
Sampai hari ini perjuangan Indonesia di forum internasional belum selesai.
Antara lain, mengusahakan agar GSO ditetapkan oleh Space Law sebagai sui
generis regime artinya diatur secara khusus (seperti halnya ZEE di laut) dan
mengembangkan suatu bentuk preservation right bagi negara yang dipotong oleh
GSO.
Beberapa negara Asia, seperti China, Singapore, Malaysia, dan Filipina, baru
jauh hari kemudian turut mempersoalkannya setelah perjuangan Indonesia
berhasil meniadakan prinsip first comes, first served tadi. Jelas, bahwa
masalah penyelesaian GSO/frekuensi menyangkut kelangsungan hak hidup dan
keselamatan bangsa dan negara karena isu pokoknya adalah menyelesaikan
pertentangan antara negara maju-berkembang.
Ketiga, dari segi personal (manusia). Akses mutlak nasional kepada suatu
sistem satelit seperti Indosat akan mampu meningkatkan SDM melalui
pendidikan, dan pembangunan bangsa. Sampai hari ini, misalnya, masih ada
64.000 desa di Indonesia, tersebar di berbagai pulau terpencil, yang tidak
memiliki komunikasi langsung, kecuali melalui satelit. Hanya satelit
(Indosat) yang mampu melalui telekomunikasi, TV, dan siaran langsung ke
desa-desa tersebut. Satelit juga bermanfaat untuk observasi hutan, banjir,
gangguan hama pertanian, dan keamanan di laut-darat.
Secara teknis dan efisien satelit yang memiliki kualifikasi teknologi
mutakhir adalah buatan USA yang melalui undang-undang nasionalnya dinyatakan
sebagai classified-strategic-restricted-product yang tidak begitu saja dapat
diekspor ke luar USA kecuali dengan seizin Kongres. Dalam situasi sekarang,
USA (andaikata kita mampu membeli pun) belum tentu mengizinkan Indonesia
membelinya. Bagaimana pula dengan frekuensi yang sudah terbagi habis? Kita
sudah kehilangan begitu banyak akses kepada slot-slot, karena di atas
Indonesia di GSO telah bertengger sekitar 300 satelit berbagai negara.
Honorary Director International Institute of Space Law, Member International
Academy of Astronaautics Paris
masalah bukan bikin perusahaan barunya gan .. itu mah sekarang juga udah banyak satelit Indonesia gan ... yang menjadi masalah adalah Indosat yang memiliki Geo Stationary Orbit.
Nih ane kutip tulisan yang ane dapet dari Internet yah gan, mengenai betapa pentingnya Indosat
Spoiler for Nilai Indosat:
Republika
Selasa, 31 Desember 2002
Nilai Indosat bagi Negara
Oleh : H Priyatna Abdurrasyid
Untuk memahami nilai Indosat bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia
perlu mendalami dulu latar belakang dan riwayat terbentuknya kemampuan
nasional Indonesia di bidang persatelitan dan mengalir ke bidang
telekomunikasi, siaran langsung, penginderaan jauh, dan internet.
Pertama, secara geografis negara Indonesia diklasifikasikan oleh masyarakat
ruang angkasa internasional sebagai suatu space power state. Bahkan, dapat
dikatakan berada pada urutan ketiga setelah AS dan Rusia. Indonesia dianggap
memenuhi persyaratan-persyaratan bentuk dan luas wilayah (sama dengan
se-Eropa, Rusia dan USA), memiliki kekayaan bumi dan alam yang melimpah,
keadaan cuaca positif sepanjang masa, kecerdasan dan jumlah penduduk,
berpotensi untuk pasar telekomunikasi, memiliki lautan pedalaman yang luas
dengan hasil laut yang tidak terbatas, memiliki ahli-ahli hukum ruang
angkasa peringkat internasional dan mampu berperan di forum hukum ruang
angkasa internasional.
Berikutnya, negara Indonesia dipotong garis khatulistiwa sehingga berada di
bawah lingkar orbit geostationer (geo stationary orbit -- GSO). Orbit ini
dinyatakan oleh hukum ruang angkasa (space law) sebagai milik bersama
kemanusiaan (common heritage of mankind), karena letaknya di luar wilayah
kedaulatan negara di ruang udara -- seperti laut bebas.
GSO merupakan suatu orbit di atas khatulistiwa, teletak pada ketinggian kl
360.000 km dari permukaan bumi dan merupakan tempat (slot) yang efisien
serta ekonomis untuk meletakkan satelit telekomunikasi. GSO lebih fleksibel
dari kabel laut dan mampu mencakup wilayah luas.
Sistem Telkom melalui terrestrial (permukaan bumi) rawan pengaruh lingkungan
bumi, gempa bumi, badai listrik, tanah longsor, letusan gunung berapi, ombak
laut, banjir, dan sabotase. Sedangkan GSO bebas dari pengaruh-pengaruh
negatif tersebut.
Selain itu, merupakan tempat yang tepat untuk satelit pengatur navigasi
penerbangan dan pelayaran komersial dan dapat diarahkan mengganti Flight
Information Region (FIR) yang sampai hari ini masih dalam ketergantungan
mutlak Indonesia dari Singapore (dan merupakan duri bagi sistem navigasi
penerbangan komersial serta militer Indonesia). GSO juga merupakan tempat
yang efisien untuk operasi satelit relay, pangkalan militer, tenaga
matahari, satelit mata-mata, cermin-cermin raksasa pemantul tenaga matahari
dan pada suatu saat dikemudian hari sebagai tempat untuk space heavy
platform di mana dapat ditempatkan switchboard telkom. Intelsat (organisasi
telkom komersial internasional) cukup menempatkan 3 satelit saja di GSO
lingkar bumi dan menghasilkan telekomunikasi internasional yang meliputi
seluruh dunia.
Nilai Indosat
Satelit Indosat sungguh tidak ternilai. Satelit ini mempunyai kedudukan di
GSO di atas Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi, budaya, strategi,
keamanan, pertahanan, pendidikan dan masa depan pembangunan bangsa-negara
Indonesia.
Frekuensi memiliki ciri-ciri sebagai sumber alam terbatas, bukan hasil
produksi manusia, tidak dapat dimanfaatkan tanpa koordinasi dengan
masyarakat internasional yang masing-masing memiliki kepentingan sendiri,
tidak aus/habis dipakai oleh pemiliknya, dan tidak mengenal batas
perambatan. Sebagai contoh, di Indonesia masih ada 64.000 desa yang sulit
dihubungi kecuali melalui frekuensi satelit/radio seperti oleh Indosat.
Kedua, dari segi temporal (sejarah). Seorang putra Indonesia pada tahun 1973
melihat bahwa GSO ini memiliki potensi bagi kepentingan nasional Indonesia
dan masyarakat internasional. Pada tahun 1974, untuk pertama kalinya dalam
sejarah hubungan internasional, masalah GSO ini diusulkan untuk menjadi
salah satu agenda Kongres Internasional IAF (International Astronautical
Federation), IAA (International Academy of ASstronautics) dan IISI
(International Institute of Space Law) di Amsterdam.
Usulan tersebut mendapat tantangan keras oleh hampir 99% pakar yang hadir
dari berbagai penjuru dunia. Tantangan mereka merupakan usaha proteksi
kepentingan negara-negara berteknologi maju. Pada kenyataannya selama ini
GSO hanya mampu dimanfaatkan oleh negara-negara berteknologi maju, seperti
AS, Jepang, Prancis, dan Inggris melalui prinsip first come, first served --
yang dapat, mampu dan paling dahulu. Prinsip ini mereka kembangkan
berlandaskan Pasal 33 ITU Convention 1973 yang berbunyi, "...the
geostationary satellite orbit are limited natural resource... efficiently
and economically... equitable access... according to their need and the
technical facilities at their disposal".
Pasal 33 inilah yang selalu dijadikan justifikasi negara-negara berteknologi
maju untuk mendalihkan, bahwa kalau tidak mampu dan tidak punya fasilitas
jangan coba-coba menyentuh GSO. Sedangkan Indonesia sebagai negara
equatorial jelas dipotong oleh garis orbit GSO yang terpanjang di dunia,
yakni 12,8% dari lingkar orbit (dengan panjang sekitar 33.000 km). Beberapa
satelit Indonesia telah berhasil memperoleh frekuensi 6/4 GHz (rendah)
sampai 8/7 GHz (sedang). Frequency sulit adalah 80/70 GHz (tinggi) dan
sampai hari ini tidak satu negara pun mampu memanfaatkannya.
Secara teknis, GSO hanya mampu ditempati secara efisien oleh 180 buah
satelit saja dengan jarak masing-masing 2 derajat. Sejak 1974 Indonesia
aktif di berbagai forum telekomunikasi internasional, dan berusaha
menghimpun serta meyakinkan negara-negara berkembang lainnya tentang manfaat
GSO bagi kepentingan dan pembangunan bangsa.
Perjuangan Indonesia dilakukan bukan saja secara langsung menghubungi dan
menyadarkan negara-negara (terutama berkembang) tentang manfaat GSO --
frekuensi, tetapi juga agar isu tersebut dapat dimasukkan ke dalam agenda
pertemuan internasional, seperti di PBB (United Nations Committee on the
Peaceful Uses of Outer Space -- UNCOPUOS), ITU (International
Telecommunication Union), IAF, IAA, dan IISL. Juga melalui Organization of
Equatorial Countries yang bermarkas di Bogota, Colombia.
Banyak negara yang didatangi dan kemudian turut aktif berdialog melalui WARC
(World Administrative Radio Conference) di Venetia, Paris, Geneve, Vienna,
Terra-molinos, Nairobi, Annheim, Washington DC, Bengolore, Beijing, Tokio,
Quito, Bogota, Rio de Janeiro dan lain-lain. Akhirnya Pasal 33 Konvensi ITU
di pertemuan UNISPACE II 1982 Vienna dan di pertemuan ITU 1982 Naerobi
dicabut dan diubah menjadi, "... as well as the special geographical
situation of particular countries."
Kemudian, pada sidang-sidang berikutnya di PBB, ITU dapat disepakati, bahwa
mampu tidak mampu, perlu tidak perlu, setiap negara dijatahkan hak 1 slot
dengan frekuensi tertentu. Ternyata frekuensi yang efisien (6/4 GHz dan 8/7
GHz) telah habis terbagi (Indonesia masih beruntung, karena pada 1975 telah
memperolehnya, antara lain untuk satelit Palapa).
Yang dijatahkan secara rata ternyata hanya frekuensi 80/70 GHz ke atas, yang
merupakan frekuensi sulit dan penuh komplikasi serta menghendaki teknologi
tinggi dan mungkin baru dapat dikuasai 50 tahun mendatang. Dapat dibayangkan
bagaimana panjangnya waktu perjuangan internasional Indonesia (lebih dari 20
tahun) dan sulitnya bagi Indonesia untuk memperoleh kesempatan
mengoperasikan Indosat kemudian.
Belum selesai
Sampai hari ini perjuangan Indonesia di forum internasional belum selesai.
Antara lain, mengusahakan agar GSO ditetapkan oleh Space Law sebagai sui
generis regime artinya diatur secara khusus (seperti halnya ZEE di laut) dan
mengembangkan suatu bentuk preservation right bagi negara yang dipotong oleh
GSO.
Beberapa negara Asia, seperti China, Singapore, Malaysia, dan Filipina, baru
jauh hari kemudian turut mempersoalkannya setelah perjuangan Indonesia
berhasil meniadakan prinsip first comes, first served tadi. Jelas, bahwa
masalah penyelesaian GSO/frekuensi menyangkut kelangsungan hak hidup dan
keselamatan bangsa dan negara karena isu pokoknya adalah menyelesaikan
pertentangan antara negara maju-berkembang.
Ketiga, dari segi personal (manusia). Akses mutlak nasional kepada suatu
sistem satelit seperti Indosat akan mampu meningkatkan SDM melalui
pendidikan, dan pembangunan bangsa. Sampai hari ini, misalnya, masih ada
64.000 desa di Indonesia, tersebar di berbagai pulau terpencil, yang tidak
memiliki komunikasi langsung, kecuali melalui satelit. Hanya satelit
(Indosat) yang mampu melalui telekomunikasi, TV, dan siaran langsung ke
desa-desa tersebut. Satelit juga bermanfaat untuk observasi hutan, banjir,
gangguan hama pertanian, dan keamanan di laut-darat.
Secara teknis dan efisien satelit yang memiliki kualifikasi teknologi
mutakhir adalah buatan USA yang melalui undang-undang nasionalnya dinyatakan
sebagai classified-strategic-restricted-product yang tidak begitu saja dapat
diekspor ke luar USA kecuali dengan seizin Kongres. Dalam situasi sekarang,
USA (andaikata kita mampu membeli pun) belum tentu mengizinkan Indonesia
membelinya. Bagaimana pula dengan frekuensi yang sudah terbagi habis? Kita
sudah kehilangan begitu banyak akses kepada slot-slot, karena di atas
Indonesia di GSO telah bertengger sekitar 300 satelit berbagai negara.
Honorary Director International Institute of Space Law, Member International
Academy of Astronaautics Paris
Quote:
Original Posted By antelope►kan yg penting ngomong dl spy terlihat hebat..
d buyback dgn harga wajar..
sumpah bikin
d buyback dgn harga wajar..
sumpah bikin

Quote:
Original Posted By juzzmynick►nah informasi yang kayak gini nih yang harusnya diklarifikasi.
kalau klausulnya lock up tapi tergantung si pemegang saham mau jual apa tidak, itu artinya apa? lalu kalau mau dibeli sekarang strateginya gimana? ini nih baru devil is on detail!
Sayang timsesnya Prabowo gak jeli ngelihat bolong2nya kampanye tadi malem , trus dibuat jadi strategi buat menyerang lawan.
kalau klausulnya lock up tapi tergantung si pemegang saham mau jual apa tidak, itu artinya apa? lalu kalau mau dibeli sekarang strateginya gimana? ini nih baru devil is on detail!
Sayang timsesnya Prabowo gak jeli ngelihat bolong2nya kampanye tadi malem , trus dibuat jadi strategi buat menyerang lawan.
Quote:
Original Posted By SiDogg►sayang banget enggk bisa di buy back, Indonesia kehilangan aset berharganya 

Quote:
Original Posted By rpm12345678►Ternyata RI Tak Punya Hak Buy-Back Saham Indosat !
.... nah lho......
.... nah lho......

Diubah oleh suketsu-sama 24-06-2014 17:43
0
7.9K
Kutip
126
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan