- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Buat Kawanku Pendukung Fanatik Capres: “Apa Kalian Sadar Sedang Membangun Apa?”


TS
btdthea_05
Buat Kawanku Pendukung Fanatik Capres: “Apa Kalian Sadar Sedang Membangun Apa?”
Hanya sekedar share dari jerit hati pribadi newbie yang sedang menggali kecerdasan yang telah ditulis oleh sesama yang memiliki hati yang tidak buta.
Terus terang saya sudah mulai jenuh dengan segala macam kampanye capres yang dilancarkan melalui sosial media milik sejumlah kawan saya. Fanatisme sudah membuat mereka buta akan resiko yang mungkin dihadapi ke depan.
“Memangnya ada resiko apa? Santai saja bro!” ujar kawan saya.
Okay, cobalah kita tengok betapa parahnya perdebatan di sosial media itu. Mulai dari fakta sampai fitnah ditebar demi merasa dirinya pintar karena telah memilih calon yang benar. Semua cara dilakukan untuk membuat orang yang memilih capres lawannya terlihat bodoh.
“Itu kan cuma sebatas sosial media, kenyataan di lapangan baik-baik saja Kok!” kata kawan lainnya memberi pembelaan.
Nih ya, saya kasih gambaran yang dikerjakan oleh tim kampanye digital salah satu capres. Sebelum si capres mengunjungi suatu daerah untuk kampanye, si tim digital ini akan melakukan persiapan. Mereka menggunakan sejumlah aplikasi dan software untuk menarik serta memfilter informasi yang beredar diinternet. Mereka juga bisa membagi elemen positif atau negatif tentang capresnya, lalu direlasikan dengan keyword daerah yang akan dituju.
Jadi ketika tiba dilokasi daerah tersebut, si capres akan bicara tentang masalah dan isu yang didapatnya dari tim digital ini. Termasuk juga isu yang berkembang di sosial media terutama yang berkaitan erat dengan daerah pemilihan yang sedang didatanginya.
Ini berarti apapun yang kawan-kawan katakan melalui sosial media, akan ditransfer dan ditangkal melalui kampanye offline. Masyarakat Indonesia yang semula tak ikut berisitegang dengan isu di sosial media itu juga akan terpapar informasi yang sama.
Masalahnya, diskusi yang dialami orang-orang di kampanye offline ini hanya searah. Tidak sistem 2.0 seperti yang kita alami di sosial media. Mereka tak bisa saling bertanya, berpendapat dan berkomen ria. Mereka hanya mendengar dan menerima.
Bayangkan kondisi sebal, marah seperti yang kawan-kawan rasakan ketika beradu argumen, dialami juga oleh orang-orang tersebut. Bedanya mereka tak bisa membalasnya seperti kita di sosial media. Mereka hanya diam, dan memendam amarah menerima informasi buruk tersebut.
“tenang saja, orang Indonesia sudah pinter-pinter dan baik-baik semua kok!” tutur kawan saya lagi.
Saya sepakat sekali, orang Indonesia dari sabang sampai merauke adalah orang yang pintar, cerdas dan penyabar. Tapi kalau sendiri! Yes, kita itu pintar dan penyabar kalau lagi sendiri-sendiri. Sayangnya ini gak terjadi kalau kita sudah berkumpul dalam kelompok. Kita bertransformasi jadi barbar dan mudah emosi.
Dengan potensi macam itu, coba kita hubungkan dengan kekhawatiran yang juga diungkapkan pengamat politik Effendi Gazali. Saat ini survei manapun belum ada yang menunjukan salah satu capres akan menang telak. Anggaplah kondisi ini pula yang akan terjadi di pemilihan nanti pada 9 Juli 2014.
Tak ada satu pun pasangan yang menang telak. Dan berbagai lembaga menelurkan hasil quick count mereka sesaat setelah pemilihan. Problemnya, setiap quick count ini memiliki margin of error Alias simpangan yang masih mungkin terjadi karena pengambilan datanya melalui sistem sampel. Umumnya nilai ini berada dalam rentang 1-3 persen.
Coba bayangkan hasil quick count menunjukan pasangan A menang tipis. Sementara satu bulan kemudian KPU mengumumkan hasil perhitungan sesungguhnya yang menang adalah pasangan B. Hampir pasti para pendukung pasangan A tadi langsung menuduh ada terjadi kecurangan. Pemilu telah diselewengkan dan mereka tidak terima dengan hasil resmi tersebut. Padahal perbedaan dan penyimpangan ini terjadi hanyalah karena margin of error sebuah penelitian.
Masalah perbedaan quick count dan real count ini bukan isapan jempol. Kesalahan macam begini pernah terjadi di pemilihan Gubernur Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Sekarang coba jumlahkan, Kemarahan kamu disosial media + tim digital capres + kampanye offline + kemenangan tipis di quick count + margin of error + kekalahan di perhitungan KPU + kebodohan dan kemarahan ketika berkelompok, hasilnya? Mengerikan!
Ini kah yang kamu sedang bangun? Saya mengalami sendiri tahun 1998 bagaimana kita, individu Indonesia yang pintar berubah menjadi kelompok bodoh dan mengerikan. Sampai ibu-ibu dan anak-anak pun bisa menjarah dan membakar ketika itu, sesuatu yang tak mungkin mereka lakukan ketika mereka hanya sendiri (*edited). Kalau terulang seperti itu bahkan lebih buruk, apa sudah kamu pikirkan efeknya terhadapmu?
Saya yakin ketika membaca tulisan ini, sebagian kawan saya akan berujar begini:
“Emang tuh, kubu capres sebelah gemar sekali menebar kebencian, mereka fanatik buta, dan suka menjelek-jelekan capres lain”
Saya bisikin sesuatu ya:
“Tulisan ini tentang kamu bukan tentang lawanmu….iya kamu…!”
PS: kalau ada yang tanya, “memangnya tim digital Capres bisa melakukan itu?” Di bawah ini adalah hasil aplikasi election tracker besutan bubu untuk percakapan facebook. Aplikasi lebih advance bisa melakukan hal yang seperti saya ceritakan di atas untuk situs dan sosial media lainnya. Masih penasaran? Yuk main ke rumah saya tunjukin

Thanks for ur sharing "Bang Gardino".
source
Terus terang saya sudah mulai jenuh dengan segala macam kampanye capres yang dilancarkan melalui sosial media milik sejumlah kawan saya. Fanatisme sudah membuat mereka buta akan resiko yang mungkin dihadapi ke depan.
“Memangnya ada resiko apa? Santai saja bro!” ujar kawan saya.
Okay, cobalah kita tengok betapa parahnya perdebatan di sosial media itu. Mulai dari fakta sampai fitnah ditebar demi merasa dirinya pintar karena telah memilih calon yang benar. Semua cara dilakukan untuk membuat orang yang memilih capres lawannya terlihat bodoh.
“Itu kan cuma sebatas sosial media, kenyataan di lapangan baik-baik saja Kok!” kata kawan lainnya memberi pembelaan.
Nih ya, saya kasih gambaran yang dikerjakan oleh tim kampanye digital salah satu capres. Sebelum si capres mengunjungi suatu daerah untuk kampanye, si tim digital ini akan melakukan persiapan. Mereka menggunakan sejumlah aplikasi dan software untuk menarik serta memfilter informasi yang beredar diinternet. Mereka juga bisa membagi elemen positif atau negatif tentang capresnya, lalu direlasikan dengan keyword daerah yang akan dituju.
Jadi ketika tiba dilokasi daerah tersebut, si capres akan bicara tentang masalah dan isu yang didapatnya dari tim digital ini. Termasuk juga isu yang berkembang di sosial media terutama yang berkaitan erat dengan daerah pemilihan yang sedang didatanginya.
Ini berarti apapun yang kawan-kawan katakan melalui sosial media, akan ditransfer dan ditangkal melalui kampanye offline. Masyarakat Indonesia yang semula tak ikut berisitegang dengan isu di sosial media itu juga akan terpapar informasi yang sama.
Masalahnya, diskusi yang dialami orang-orang di kampanye offline ini hanya searah. Tidak sistem 2.0 seperti yang kita alami di sosial media. Mereka tak bisa saling bertanya, berpendapat dan berkomen ria. Mereka hanya mendengar dan menerima.
Bayangkan kondisi sebal, marah seperti yang kawan-kawan rasakan ketika beradu argumen, dialami juga oleh orang-orang tersebut. Bedanya mereka tak bisa membalasnya seperti kita di sosial media. Mereka hanya diam, dan memendam amarah menerima informasi buruk tersebut.
“tenang saja, orang Indonesia sudah pinter-pinter dan baik-baik semua kok!” tutur kawan saya lagi.
Saya sepakat sekali, orang Indonesia dari sabang sampai merauke adalah orang yang pintar, cerdas dan penyabar. Tapi kalau sendiri! Yes, kita itu pintar dan penyabar kalau lagi sendiri-sendiri. Sayangnya ini gak terjadi kalau kita sudah berkumpul dalam kelompok. Kita bertransformasi jadi barbar dan mudah emosi.
Dengan potensi macam itu, coba kita hubungkan dengan kekhawatiran yang juga diungkapkan pengamat politik Effendi Gazali. Saat ini survei manapun belum ada yang menunjukan salah satu capres akan menang telak. Anggaplah kondisi ini pula yang akan terjadi di pemilihan nanti pada 9 Juli 2014.
Tak ada satu pun pasangan yang menang telak. Dan berbagai lembaga menelurkan hasil quick count mereka sesaat setelah pemilihan. Problemnya, setiap quick count ini memiliki margin of error Alias simpangan yang masih mungkin terjadi karena pengambilan datanya melalui sistem sampel. Umumnya nilai ini berada dalam rentang 1-3 persen.
Coba bayangkan hasil quick count menunjukan pasangan A menang tipis. Sementara satu bulan kemudian KPU mengumumkan hasil perhitungan sesungguhnya yang menang adalah pasangan B. Hampir pasti para pendukung pasangan A tadi langsung menuduh ada terjadi kecurangan. Pemilu telah diselewengkan dan mereka tidak terima dengan hasil resmi tersebut. Padahal perbedaan dan penyimpangan ini terjadi hanyalah karena margin of error sebuah penelitian.
Masalah perbedaan quick count dan real count ini bukan isapan jempol. Kesalahan macam begini pernah terjadi di pemilihan Gubernur Sumatera Selatan dan Jawa Timur.
Sekarang coba jumlahkan, Kemarahan kamu disosial media + tim digital capres + kampanye offline + kemenangan tipis di quick count + margin of error + kekalahan di perhitungan KPU + kebodohan dan kemarahan ketika berkelompok, hasilnya? Mengerikan!
Ini kah yang kamu sedang bangun? Saya mengalami sendiri tahun 1998 bagaimana kita, individu Indonesia yang pintar berubah menjadi kelompok bodoh dan mengerikan. Sampai ibu-ibu dan anak-anak pun bisa menjarah dan membakar ketika itu, sesuatu yang tak mungkin mereka lakukan ketika mereka hanya sendiri (*edited). Kalau terulang seperti itu bahkan lebih buruk, apa sudah kamu pikirkan efeknya terhadapmu?
Saya yakin ketika membaca tulisan ini, sebagian kawan saya akan berujar begini:
“Emang tuh, kubu capres sebelah gemar sekali menebar kebencian, mereka fanatik buta, dan suka menjelek-jelekan capres lain”
Saya bisikin sesuatu ya:
“Tulisan ini tentang kamu bukan tentang lawanmu….iya kamu…!”
PS: kalau ada yang tanya, “memangnya tim digital Capres bisa melakukan itu?” Di bawah ini adalah hasil aplikasi election tracker besutan bubu untuk percakapan facebook. Aplikasi lebih advance bisa melakukan hal yang seperti saya ceritakan di atas untuk situs dan sosial media lainnya. Masih penasaran? Yuk main ke rumah saya tunjukin


Thanks for ur sharing "Bang Gardino".

source
0
3.9K
25
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan