comANDREAvatar border
TS
comANDRE
Piala Dunia dan Kita
Piala Dunia dan Kita



Piala Dunia 2014, sekali lagi, hadir saat Indonesia sedang menghadapi salah satu fase krusial dalam sejarah Indonesia pasca reformasi. Inilah Pemilu Presiden ketiga dalam sejarah Indonesia yang dijalankan secara langsung. Dan harus diakui, inilah Pilpres yang paling tajam menghadirkan polarisasi politik.

Pada Pilpres 2004 ada lima pasangan capres-cawapres yang maju yaitu Wiranto-Sholahuddin Wahid, Megawati-Hasyim Muzadi, Amien Rais-Siswono, SBY-JK dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Pada Pilpres 2009 ada tiga pasangan capres-cawapres yang bertarung: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Pada Pilpres 2014 ini, sejak awal hanya ada dua pasangan yang bertarung: Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta.

Situasi inilah yang membuat Pilpres 2014 ini sejak awal menghadirkan atmosfir yang begitu hitam-putih dan polarisasi politik yang demikian tajam. Parpol terbelah ke dalam dua kubu, begitu juga sipil dan (pensiunan) militer. Sejak era reformasi yang berhasil mencabut dwi-fungsi ABRI, baru kali ini pertarungan pensiunan jenderal-jenderal tampil secara eksesif, massif dan begitu terbuka serta terus terang. Baru sekarang pensiunan jenderal menyerang tim lawan secara terbuka bahkan tak sungkan melakukannya di depan kamera televisi dalam tayangan langsung.

Jika Piala Dunia 1998 berhasil mengalihkan sejenak persoalan ekonomi-politik yang pelik (dan kita tahu, mengalihkan persoalan tidak pernah bisa menyelesaikan perkara), Piala Dunia 2014 setidaknya bisa menjanjikan oase yang agak menyejukkan di tengah ketegangan dan polarisasi politik karena kampanye Pilpres. Suasana politik yang panas dan sumpek, di level akar rumput, bisa sedikit ditawarkan oleh jeda-demi-jeda yang disodorkan oleh 90 menit pertandingan-demi-pertandingan setiap malam.

Dan sepakbola bisa saja memberi ilham yang mencerahkan di tengah kampanye pilpres yang hitam-putih ini. Kita bisa menoleh pada Jean-Paul Sartre, seorang filsuf Prancis, untuk menemukan ilham itu. Suatu saat, Sartre pernah berkata: "Di dalam sepakbola, segalanya menjadi lebih rumit dengan hadirnya kesebelasan lawan."

Sartre menggunakan istilah "kesebelasan lawan" (opposite team), bukan “kesebelasan musuh” (the enemy team). Memang ada yang berbeda antara "musuh" dan "lawan". Kita lazim mendengar "Kesebelasan A melawan Kesebelasan B", bukan "Kesebelasan X musuh Kesebelasan Y".

Sebagaimana politik di sistem demokrasi, sepakbola meniscayakan adanya kompetisi. Sepakbola hanya bisa dimainkan jika ada dua kesebelasan yang bertanding. Lawan adalah prasyarat mutlak untuk memainkan sepakbola. Tanpa lawan, tak ada pertandingan. Lawan, dengan demikian, adalah syarat eksistensi sebuah pertandingan. Jika syarat itu dimusnahkan, maka tak akan pernah ada pertandingan sepakbola.

Begitu juga yang terjadi dalam kompetisi di alam demokrasi. Lawan bukanlah musuh yang mesti dimusnahkan. Lawan adalah syarat mutlak kehidupan demokrasi. Jika lawan politik dimusnahkan, maka demokrasi pun lenyap. Hanya sistem totalitarian yang menginginkan sekaligus mensyaratkan kemusnahan lawan politik. Hanya musuh yang layak dimusnahkan. Lawan bukan untuk dimusnahkan, lawan justru dibutuhkan.

Melalui penerimaan terhadap eksistensi lawan itulah, politik tak akan pernah menjadi sehitam-putih aku vs engkau, kami vs kalian. Lawan adalah bagian eksistensial yang tak bisa dan tak boleh dihapus. Bersama mereka, lawan-lawan dalam politik itu, kita semua justru mengada. Sebab lawan adalah kita.

Selamat datang, Piala Dunia 2014!

=====

*penulis adalah Chief Editor [url=http://www.panditfootball.com.]www.panditfootball.com.Beredar di dunia maya dengan akun @zenrs[/URL]
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
2.3K
8
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan