Ada pertanyaan menggelitik dalam benak saya mengenai toilet yaitu mengapa kamar mandi + toilet di negara-negara Eropa dan Amerika selalu kering, sedangkan kamar mandi + toilet di rumah kita selalu basah dan tergenang sedikit air? Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada perbedaan metoda membasuh buritan (alias cebok) setelah kita membuang hajat (besar dan kecil). Orang bule menggunakan ‘toilet paper’ atau ‘tissue’, sedangkan kita menggunakan air dan tangan kiri. Inilah penjelasan logis mengapa ‘washroom’ orang bule selalu kering, bahkan seringkali diberi lapisan karpet tebal di atas lantainya.

Kalau diperdebatkan mana yang lebih higienis diantara kedua metoda ini, mungkin akan terjadi polemik yang berkepanjangan. Kita akan bersikukuh bahwa membasuh dengan air pasti jauh lebih bersih dibandingkan dengan hanya mengelap menggunakan tissue. Orang bule mungkin akan berargumentasi bahwa cebok menggunakan air akan ‘mengotori’ lantai kamar mandi dan ‘mencemari’ tangan kiri yang dipakai untuk membilas. Memang benar juga secara kultural, di negara-negara yang membasuh dengan air, tangan kiri sudah mendapat stigma sebagai tangan yang ‘tercemar’, sehingga ada pantangan atau tabu memberikan/menerima barang atau bersalaman dengan tangan kiri.

Mengingat orang bule menggunakan ‘toilet paper’ (TP) setelah berhajat, timbul pertanyaan dalam hati saya, sebelum terciptanya TP ini, mereka menggunakan apa? TP baru mulai digunakan secara luas pada tahun 1920an. Sebelum masa ini, percaya atau tidak, mereka menggunakan ‘corncob’. Dari namanya kita sudah bisa mengira-ira bahwa ‘corncob’ adalah bonggol jagung yaitu jagung yang sudah dipreteli bulir-bulir jagungnya. Corncob ini direndam dalam air abu, lalu dijemur sampai kering dan akan menghasilkan bahan yang halus dan lembut (soft and fluffy). Corncob ini diberi tali dan digantungkan di dekat WC.

Corncob ternyata bukan cuma berkiprah di dunia kakus belaka, tetapi juga tersohor sebagai bahan baku pembuat pipa cangklong (mirip pipa tembakau yang dipakai oleh tokoh kartun Popeye). Corncob ini dipotong berbentuk silinder, dibuang bagian tengahnya, lalu disambungkan ke pipa yang biasanya terbuat dari gading. Konon mengisap tembakau dengan pipa corncob ini membawa nikmat tersendiri karena pengaruh semerbak aroma jagung yang dihasilkannya. Jenderal MacArthur, komandan wilayah Pasifik yang terkenal itu, selalu digambarkan dengan pipa corncob yang terselip di bibirnya.



Selain menggunakan corncob sebagai toilet paper, orang bule di zaman dahulu memanfaat buku katalog Sears and Roebuck. Buku katalog tebal yang berisi promosi barang-barang yang dijual di toko serba-ada Sears ini biasanya digantung di dekat toilet. Siapa saja yang akan berhajat, akan menyobek lembar-lembar buku katalog ini untuk dibawa masuk ke dalam WC. Lumayan bisa dipakai untuk bahan bacaan sambil merenung di atas toilet, sebelum akhirnya turun jerajat dihapuskan di bokong dan dibuang ke dalam lubang toilet.

Sebelum corncob ini, di zaman yang lebih kuno lagi orang bahkan menggunakan angsa sebagai toilet paper. Kisah yang jenaka ini bisa Anda baca pada novel satire ‘Gargantua’ oleh Francois Rabelais. Pada bab 13, dengan humoris dia mengisahkan benda-benda apa saja yang sudah dibuat eksperimen sebagai pembersih setelah buang hajat ini. Dia sudah mencoba topeng beludru (velvet mask) yang dipakai putri bangsawan, atau kerudung (hood), selendang (neckerchief) wanita priayi ini. Semuanya memang berbahan kain yang lembut, tapi umumnya perlengkapan wanita ini banyak manik-maniknya (spangles), sehingga menggoresi kulit pantatnya. Pernah juga dia mencoba dengan kucing yang bulunya lebat, tapi malah pantatnya kena cakar. Juga tak ketinggalan dia mencoba sarung tangan ibunya yang lembut dan berbau wangi. Tapi tuturnya, tak ada yang bisa mengalahkan leher angsa. Kempitlah leher angsa diantara selangkangan Anda, dan rasakan kelembutan bulu lehernya dan kehangatan yang dipancarkan dari tubuhnya. Mungkin di zaman itu sudah menjadi pemandangan biasa melihat angsa putih tetapi berleher cokelat, ya.