- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Catatan Perjalanan OANC
Kisah Tentang Tiga Gunung Dengan Sepeda
TS
BakulRombeng
Kisah Tentang Tiga Gunung Dengan Sepeda
Ketemu lagi kita
Ini cerita sebenarnya udah (agak) lama, cuman karena baru niat bikin trit sekarang yaudah akhirnya baru kelar hari ini
Yauda deh, selamat menikmati. Makasih ya, gamsahamnida
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
18 Maret 2014 : Kediri, Istirahat Untuk Bertapa
19 Maret 2014 : Kediri – Madiun
Lagi – lagi kami berangkat saat matahari sudah mulai menyengat :
Jalan dari kota Kediri menuju Madiun cenderung landai dengan beberapa titik jalan rolling. Kok bisa tau? Karena saya udah beberapa kali gowes lewat sana . Disini kendaraan besar masih tak sekejam ibu tiri. Bahkan bus Sumber Kencono yang kata sebagian besar orang selalu ugal – ugalan ketika di jalan ternyata cukup ramah kepada sepeda. Selalu mengklakson dari jauh dan memperlambat lajunya saat mendekat. Duh, pak sopir baik banget ya , sini pak, sentil dulu bijinya
Kami istirahat di beberapa tempat. Di Nganjuk untuk sekedar menenggak kafein dan menghisap nikotin. Juga di sebuah tempat yang entah danau entah rawa di daerah Caruban.
Semakin siang semakin panas, dan sialnya angin berhembus dari arah depan, makin berat dong . Sebodo amat, yang penting hari ini kami kudu sampe Madiun
Hore! Kita sampai di Madiun. Kami masuk kota melewati jalur alternatif untuk menghindari asap kendaraan besar di jalur antar provinsi. Juga dijemput seorang teman yang kebetulan sedang mudik ke kota asalnya. Dia ganteng, tapi sayangnya jomblo. Dia mirip nobita, tapi sayangnya homo. Namanya cuplis ceples :
20 Maret 2014 : Madiun – Sarangan
Kali ini berangkat agak pagi. Menghindari panas matahari saat menanjak menuju arah Cemoro Sewu. Dari Madiun jalan menanjak ringan, masih enak dikayuh walaupun angin kencang berhembus dari arah samping. Kiri kanan persawahan diselingi beberapa rumah penduduk.
Masuk Magetan, awal yang berat dimulai. Sudut kemiringan jalan makin lama makin bertambah. Tenaga makin lama makin melemah, tapi semangat untungnya masih ada.
Dan sialnya teman saya tertinggal jauh di belakang
Beberapa kali menunggu di pinggir jalan sekalian mengistirahatkan kaki, tetap saja nggak kelihatan
Ini anak kemana ya :
Apa jangan – jangan naik kendaraan terus udah nunggu diatas
Pada awalnya memang niatnya di Sarangan hanya sekedar mampir untuk istirahat dan foto – foto.
Tapi apa daya, ternyata saat hari hampir gelap saya baru sampai di Sarangan
Semakin lama memang semakin berat tanjakannya. Sebelumnya di Plaosan saya sudah mulai nuntun sepeda di beberapa titik (temen saya masih belum kelihatan juga ). 10 meter dituntun, berhenti, tuntun lagi, berhenti, lalu ulangi lagi sampe ganteng :
Sialnya hujan kemudian turun, untungnya tak lama. Plang tulisan arah Sarangan baru terlihat ketika hampir maghrib.
Fix, hari ini sampai Sarangan saja, kalau memaksakan diri ke Cemoro Sewu malam ini juga sepertinya nggak mungkin. Partner masih belum terlihat, dan menurut info beberapa orang yang saya tanya di jalan, dari Sarangan ke Cemoro Sewu masih 15 km lagi (dan lebih nanjak). Idih, kita ogah nyari penyakit malem – malem nuntun sepeda di hutan.
Kami bertemu lagi saat hari sudah gelap di pinggir telaga. Bingung malam ini mau tidur dimana. Kalau tidur di penginapan kita ogah, mending duitnya buat beli makan sama rokok.
Setelah makan baru kami mencari tempat istirahat. Ketemu juga, akhirnya ada tempat untuk sekedar menggelar matras dan tidur untuk malam ini.
21 Maret 2014 : Sarangan – Cemoro Kandang
Memang tak jauh, hanya 15 km saja. Tapi dari awal kita sudah nuntun
Selepas dari tempat kami menggelar matras kemarin malam, tanjakan sudah terhidang. Lebih baik nuntun saja, ini bukan lawan yang tepat untuk sepeda dengan 7 speed
Selepas dari tanjakan biadab kami diberi tahu penduduk. Jalurnya ada dua, jalur lama dan jalur baru. Jalur lama lebih pendek namun lebih curam. Jalur baru lebih lebar, lebih landai, namun lebih jauh. Gak masalah lebih jauh, seenggak – enggaknya masih bisa dikayuh. Oke, kita lewat jalur baru saja.
Tapi apa yang terjadi? Ujung – ujungnya tetep nuntun juga
Bajingan
Dan yang lebih bajingan lagi, di pinggir jalan banyak kondom bekas berserakan , masih ada yang lengket – lengket pula : . Ini orang – orang mikir apa kok mainnya di pinggir hutan
Gak ngajak - ngajak lagi
Siang sudah sampai di Cemoro Kandang. Temen saya dengan santainya nyalip dengan ditarik motor yang disetirin bule .
22 Maret 2014 : Lawu via Cemoro Kandang
Cemoro Kandang saat itu masih pagi. Tanahnya masih basah oleh sisa hujan kemarin sore. Jalanan masih sepi. Eh, emang tau gitu jalan masih sepi jam segitu?
Enggak orang kita masih mlungker pake sleeping bag di basecamp kok
Tapi nggak ada suara kendaraan, jadi anggap saja masih sepi
Gitu
Hari ini rencananya kami langsung naik ke Lawu lewat Cemoro Kandang. Ngopi – ngopi dulu sembari menunggu tambahan personil dari Madiun yang berangkat pagi itu, katanya jam 7 sudah sampai ke Cemoro Kandang. Ujung – ujungnya? Tetap aja telat Indonesia sekali bukan
(Mungkin) Jam 9 pagi berangkat muncak. Jalur pendakian dari Cemoro Kandang relatif lebih landai dari jalur Cemoro Sewu, lebih bersih, juga lebih sepi. Hanya sempat berpapasan dengan beberapa rombongan pendaki dari atas. Cuaca lumayan bersahabat saat itu, cerah diselingi beberapa kali hujan rintik – rintik turun.
Oiya, di pertengahan track sampai atas ada dua jalur, walau ujung – ujungnya tetap saja kedua jalur ini bertemu. Kita namakan saja jalur nubi dan jalur pro. Jalur nubi lebih jelas, berputar, namun lebih landai. Sedangkan jalur pro tinggal tembak keatas, lebih curam dan kelihatannya jarang dilalui. Gara – gara jalur pro ini pula saya sempat kesasar sedikit melenceng dari jalur
Dua orang, satu bertubuh sedang, satu bertubuh tambun. Yang satu normal, yang satunya terganggu jiwanya. Dua orang dari Jogja rupanya pernah baca cerita saya waktu ke rinjani di catper oanc. Haduh, jadi malu
Eh mas, kalo baca catper ini tolong jitakin temennya yang badannya gede itu. Kalau punya duit lebih tolong temennya itu jiwanya di setelin lagi di bengkel bubut
Sore kami sudah tiba di pos terakhir, entah pos berapa itu saya lupa, sejenak meluangkan waktu untuk berfoto bersama sunset dari ketinggian gunung Lawu. Saat gelap baru kami menuju ke warung mbok yem. Malas buka tenda, malas masak sendiri, karena gak bawa logistik . Makan? Tinggal pesen. Pengen kopi? Tinggal ngomong. Pengen jodoh? Sono bertapa dulu di dekat puncak sambil guling – gulingan
Sebuah warung di gunung, malam itu lumayan ramai oleh beberapa rombongan pendaki. Hingga malam masih terdengar beberapa orang mengobrol. Saya lebih memilih tidur. Sayup – sayup terdengar suara televisi yang disetel oleh sang pemilik warung diatas awan.
23 Maret 2014 : Turun via Cemoro Sewu – Solo
Kalau kata Sheila On 7, ini adalah pagi yang menakjubkan. Sunrisenya indah sekali. Nggak rugi kali ini bangun pagi. Semua orang tampak berusaha mengabadikan momen tersebut, tak lupa berfoto narsis di ketinggian.
Saat matahari sudah mulai tinggi baru kami semua beranjak ke puncak. Berfoto tetap merupakan ritual wajib, demi ganti avatar di twittter, facebook, dan lain sebagainya
Cukup lama di puncak. Kami turun, sarapan di warungnya mbok yem, baru lanjut kembali turun ke basecamp lewat Cemoro Sewu. Cepat bergegas, karena hari itu juga harus lanjut naik sepeda lagi ke Solo. Dua jam kami turun dari atas sampai ke basecamp disertai sedikit hujan dan kabut. Sedikit berjalan kaki dari Cemoro Sewu ke Cemoro Kandang, mandi (eh, kemarin mandi nggak ya, lupa, kayaknya sih enggak ), packing ulang, berpisah dengan kawan seperjalanan, kemudian lanjut bersepeda lagi sampai Solo.
Dari Cemoro Kandang menuju Solo jalan turun terus, sepeda tanpa dikayuh dapat melaju hingga 60 km/jam. Agak ngeri juga apabila berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. Turun terus.... Karanganyar lewat......
Lhah, kok jek enek nanjake su :
Bajingan, tenogoku wes entek : Asu :
Untungnya hanya sedikit, tak lama jalan turun kembali, lalu turun sampai Solo jalan kembali datar.
Di Solo dua orang yang kelelahan ini menumpang tidur di salah satu tempat rekan OANC yang tinggal di Solo. Wajahnya mirip – mirip lah sama Syech Puji, mungkin ada kecenderungan juga kalau dia suka grepe – grepe lelaki waktu tidur :
Ini cerita sebenarnya udah (agak) lama, cuman karena baru niat bikin trit sekarang yaudah akhirnya baru kelar hari ini
Yauda deh, selamat menikmati. Makasih ya, gamsahamnida
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Quote:
18 Maret 2014 : Kediri, Istirahat Untuk Bertapa
19 Maret 2014 : Kediri – Madiun
Lagi – lagi kami berangkat saat matahari sudah mulai menyengat :
Jalan dari kota Kediri menuju Madiun cenderung landai dengan beberapa titik jalan rolling. Kok bisa tau? Karena saya udah beberapa kali gowes lewat sana . Disini kendaraan besar masih tak sekejam ibu tiri. Bahkan bus Sumber Kencono yang kata sebagian besar orang selalu ugal – ugalan ketika di jalan ternyata cukup ramah kepada sepeda. Selalu mengklakson dari jauh dan memperlambat lajunya saat mendekat. Duh, pak sopir baik banget ya , sini pak, sentil dulu bijinya
Kami istirahat di beberapa tempat. Di Nganjuk untuk sekedar menenggak kafein dan menghisap nikotin. Juga di sebuah tempat yang entah danau entah rawa di daerah Caruban.
Semakin siang semakin panas, dan sialnya angin berhembus dari arah depan, makin berat dong . Sebodo amat, yang penting hari ini kami kudu sampe Madiun
Hore! Kita sampai di Madiun. Kami masuk kota melewati jalur alternatif untuk menghindari asap kendaraan besar di jalur antar provinsi. Juga dijemput seorang teman yang kebetulan sedang mudik ke kota asalnya. Dia ganteng, tapi sayangnya jomblo. Dia mirip nobita, tapi sayangnya homo. Namanya cuplis ceples :
Spoiler for foto:
20 Maret 2014 : Madiun – Sarangan
Kali ini berangkat agak pagi. Menghindari panas matahari saat menanjak menuju arah Cemoro Sewu. Dari Madiun jalan menanjak ringan, masih enak dikayuh walaupun angin kencang berhembus dari arah samping. Kiri kanan persawahan diselingi beberapa rumah penduduk.
Masuk Magetan, awal yang berat dimulai. Sudut kemiringan jalan makin lama makin bertambah. Tenaga makin lama makin melemah, tapi semangat untungnya masih ada.
Dan sialnya teman saya tertinggal jauh di belakang
Beberapa kali menunggu di pinggir jalan sekalian mengistirahatkan kaki, tetap saja nggak kelihatan
Ini anak kemana ya :
Apa jangan – jangan naik kendaraan terus udah nunggu diatas
Pada awalnya memang niatnya di Sarangan hanya sekedar mampir untuk istirahat dan foto – foto.
Tapi apa daya, ternyata saat hari hampir gelap saya baru sampai di Sarangan
Semakin lama memang semakin berat tanjakannya. Sebelumnya di Plaosan saya sudah mulai nuntun sepeda di beberapa titik (temen saya masih belum kelihatan juga ). 10 meter dituntun, berhenti, tuntun lagi, berhenti, lalu ulangi lagi sampe ganteng :
Sialnya hujan kemudian turun, untungnya tak lama. Plang tulisan arah Sarangan baru terlihat ketika hampir maghrib.
Fix, hari ini sampai Sarangan saja, kalau memaksakan diri ke Cemoro Sewu malam ini juga sepertinya nggak mungkin. Partner masih belum terlihat, dan menurut info beberapa orang yang saya tanya di jalan, dari Sarangan ke Cemoro Sewu masih 15 km lagi (dan lebih nanjak). Idih, kita ogah nyari penyakit malem – malem nuntun sepeda di hutan.
Kami bertemu lagi saat hari sudah gelap di pinggir telaga. Bingung malam ini mau tidur dimana. Kalau tidur di penginapan kita ogah, mending duitnya buat beli makan sama rokok.
Setelah makan baru kami mencari tempat istirahat. Ketemu juga, akhirnya ada tempat untuk sekedar menggelar matras dan tidur untuk malam ini.
Spoiler for foto:
21 Maret 2014 : Sarangan – Cemoro Kandang
Memang tak jauh, hanya 15 km saja. Tapi dari awal kita sudah nuntun
Selepas dari tempat kami menggelar matras kemarin malam, tanjakan sudah terhidang. Lebih baik nuntun saja, ini bukan lawan yang tepat untuk sepeda dengan 7 speed
Selepas dari tanjakan biadab kami diberi tahu penduduk. Jalurnya ada dua, jalur lama dan jalur baru. Jalur lama lebih pendek namun lebih curam. Jalur baru lebih lebar, lebih landai, namun lebih jauh. Gak masalah lebih jauh, seenggak – enggaknya masih bisa dikayuh. Oke, kita lewat jalur baru saja.
Tapi apa yang terjadi? Ujung – ujungnya tetep nuntun juga
Bajingan
Dan yang lebih bajingan lagi, di pinggir jalan banyak kondom bekas berserakan , masih ada yang lengket – lengket pula : . Ini orang – orang mikir apa kok mainnya di pinggir hutan
Gak ngajak - ngajak lagi
Siang sudah sampai di Cemoro Kandang. Temen saya dengan santainya nyalip dengan ditarik motor yang disetirin bule .
Spoiler for foto:
22 Maret 2014 : Lawu via Cemoro Kandang
Cemoro Kandang saat itu masih pagi. Tanahnya masih basah oleh sisa hujan kemarin sore. Jalanan masih sepi. Eh, emang tau gitu jalan masih sepi jam segitu?
Enggak orang kita masih mlungker pake sleeping bag di basecamp kok
Tapi nggak ada suara kendaraan, jadi anggap saja masih sepi
Gitu
Hari ini rencananya kami langsung naik ke Lawu lewat Cemoro Kandang. Ngopi – ngopi dulu sembari menunggu tambahan personil dari Madiun yang berangkat pagi itu, katanya jam 7 sudah sampai ke Cemoro Kandang. Ujung – ujungnya? Tetap aja telat Indonesia sekali bukan
(Mungkin) Jam 9 pagi berangkat muncak. Jalur pendakian dari Cemoro Kandang relatif lebih landai dari jalur Cemoro Sewu, lebih bersih, juga lebih sepi. Hanya sempat berpapasan dengan beberapa rombongan pendaki dari atas. Cuaca lumayan bersahabat saat itu, cerah diselingi beberapa kali hujan rintik – rintik turun.
Oiya, di pertengahan track sampai atas ada dua jalur, walau ujung – ujungnya tetap saja kedua jalur ini bertemu. Kita namakan saja jalur nubi dan jalur pro. Jalur nubi lebih jelas, berputar, namun lebih landai. Sedangkan jalur pro tinggal tembak keatas, lebih curam dan kelihatannya jarang dilalui. Gara – gara jalur pro ini pula saya sempat kesasar sedikit melenceng dari jalur
Dua orang, satu bertubuh sedang, satu bertubuh tambun. Yang satu normal, yang satunya terganggu jiwanya. Dua orang dari Jogja rupanya pernah baca cerita saya waktu ke rinjani di catper oanc. Haduh, jadi malu
Eh mas, kalo baca catper ini tolong jitakin temennya yang badannya gede itu. Kalau punya duit lebih tolong temennya itu jiwanya di setelin lagi di bengkel bubut
Sore kami sudah tiba di pos terakhir, entah pos berapa itu saya lupa, sejenak meluangkan waktu untuk berfoto bersama sunset dari ketinggian gunung Lawu. Saat gelap baru kami menuju ke warung mbok yem. Malas buka tenda, malas masak sendiri, karena gak bawa logistik . Makan? Tinggal pesen. Pengen kopi? Tinggal ngomong. Pengen jodoh? Sono bertapa dulu di dekat puncak sambil guling – gulingan
Sebuah warung di gunung, malam itu lumayan ramai oleh beberapa rombongan pendaki. Hingga malam masih terdengar beberapa orang mengobrol. Saya lebih memilih tidur. Sayup – sayup terdengar suara televisi yang disetel oleh sang pemilik warung diatas awan.
Spoiler for foto:
23 Maret 2014 : Turun via Cemoro Sewu – Solo
Kalau kata Sheila On 7, ini adalah pagi yang menakjubkan. Sunrisenya indah sekali. Nggak rugi kali ini bangun pagi. Semua orang tampak berusaha mengabadikan momen tersebut, tak lupa berfoto narsis di ketinggian.
Saat matahari sudah mulai tinggi baru kami semua beranjak ke puncak. Berfoto tetap merupakan ritual wajib, demi ganti avatar di twittter, facebook, dan lain sebagainya
Cukup lama di puncak. Kami turun, sarapan di warungnya mbok yem, baru lanjut kembali turun ke basecamp lewat Cemoro Sewu. Cepat bergegas, karena hari itu juga harus lanjut naik sepeda lagi ke Solo. Dua jam kami turun dari atas sampai ke basecamp disertai sedikit hujan dan kabut. Sedikit berjalan kaki dari Cemoro Sewu ke Cemoro Kandang, mandi (eh, kemarin mandi nggak ya, lupa, kayaknya sih enggak ), packing ulang, berpisah dengan kawan seperjalanan, kemudian lanjut bersepeda lagi sampai Solo.
Dari Cemoro Kandang menuju Solo jalan turun terus, sepeda tanpa dikayuh dapat melaju hingga 60 km/jam. Agak ngeri juga apabila berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan. Turun terus.... Karanganyar lewat......
Lhah, kok jek enek nanjake su :
Bajingan, tenogoku wes entek : Asu :
Untungnya hanya sedikit, tak lama jalan turun kembali, lalu turun sampai Solo jalan kembali datar.
Di Solo dua orang yang kelelahan ini menumpang tidur di salah satu tempat rekan OANC yang tinggal di Solo. Wajahnya mirip – mirip lah sama Syech Puji, mungkin ada kecenderungan juga kalau dia suka grepe – grepe lelaki waktu tidur :
Spoiler for foto:
Diubah oleh BakulRombeng 13-06-2014 07:36
0
8.1K
56
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan