- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Para Kyai Sudah Tahu Siapa Pembuat "Obor Rakyat"
TS
shinderela
Para Kyai Sudah Tahu Siapa Pembuat "Obor Rakyat"
Dari penerawangan para kyai, sudah diketahui siapa pembuat tabloid Obor Rakyat yang jahat itu.
Doa para kyai kepada para pembuat dan dalang penyebaran tabloid Obor Rakyat.
Pembuat / Penyandang dana Obor Rakyat adalah orang yang takut kalah dalam pilpres 2014.
Mereka orang yang sakit.
Tinggal nunggu pengakuan dalangnya sekaligus penyandang dananya.
Doa para kyai kepada para pembuat dan dalang penyebaran tabloid Obor Rakyat.
Pembuat / Penyandang dana Obor Rakyat adalah orang yang takut kalah dalam pilpres 2014.
Mereka orang yang sakit.
PENGAKUAN DARMAWAN SEPRIYOSSA pion pembuat OBOR RAKYAT.
Quote:
Sejak sekitar dua pekan lalu, saya diminta wartawan dua media massa, Tempo grup dan Detik, untuk berwawancara. Mereka mengatakan ingin melakukan konfirmasi atas kabar yang mereka dapat dari Mas Gun Gun Heryanto, pengamat politik dan pengajar Universitas Islam Negeri Jakarta. Menurut Detik dan Tempo, Gun Gun mengatakan bahwa saya memintanya untuk menulis artikel tentang PDI Perjuangan.
Kepada kedua media itu, Gun Gun juga menyatakan kekecewaan terhadap saya, karena telah memuat artikel tersebut di Obor Rakyat, yang dalam waktu-waktu terakhir ini tengah disorot media massa dan dituding telah melakukan ‘kampanye hitam’.
Saya menolak permintaan dua media tersebut. Permintaan dari kedua media tersebut dilakukan lewat telepon, SMS, BBM dan Whats’up. Tak ada satu pun dari keduanya yang datang menemui saya di kantor.
Senyampang itu, entah berapa kali pula saya menerima telepon dan SMS dari Mas Gun Gun. Beberapa SMS terakhir meminta saya untuk menghubungi wartawan kedua media tersebut dan menjelaskan persoalannya. Selama kedua proses itu—permintaan terus-terusan dari Detik dan Tempo serta sekian kali hubungan komunikasi dengan Mas Gun Gun yang juga terus meminta saya mengklarifikasi, pemberitaan mengenai Obor Rakyat tak pernah berhenti.
Barangkali saya memang bersalah dengan tidak meladeni permintaan Detik dan Tempo tersebut. Juga tidak secepatnya memenuhi permintaan bertubi-tubi dari Mas Gun Gun untuk secara aktif menghubungi Tempo (dan Detik). Tetapi ada alasan yang menurut pengalaman saya pribadi cukup kuat mendasari sikap saya.
Sejak lepas kuliah, hanya setahun saja saya bekerja di luar institusi pers, yakni tatkala bergabung di Biro Dati II dan Perdesaan Bappenas, di saat ramai-ramainya program Inpres Desa Tertinggal (IDT), sekitar 1997. Selebihnya, saya bekerja sebagai wartawan, mulai dari Harian Republika (1996), Majalah Panji Masyarakat (1997-98), Majalah Tempo (1998-2005), Harian Suara Karya (2005), kembali ke Republika (2006-2012), Alif Tv (Januari 2012-akhir 2013), hingga saat ini berkiprah di inilah..com.
Pengalaman selama itu mengajarkan saya, tak selamanya segera memenuhi permintaan media massa itu bermanfaat. Apalagi dalam konteks dan kondisi politik saat ini—dimana polarisasi dua pasangan capres telah berimbas jauh dan dalam terhadap media massa, sehingga harus jujur diakui semua itu telah memetakan secara telanjang pemihakan masing-masing media kepada dua pasangan capres tersebut. Suka atau tidak, diakui atau dimungkiri, kini (sebagian) media telah bergabung kepada salah satu dari dua blok kepentingan politik yang berseberangan.
Kenyataan itu membuat saya berpikir, apapun keterangan yang saya berikan, bagi media tersebut pada akhirnya tak lebih hanya akan dianggap sebagai bahan bakar, agar tungku pemberitaan soal Obor Rakyat tetap berkobar.
Apalagi, gencarnya telepon dan SMS dari Mas Gun Gun pada akhirnya hanya membuat saya justru merasa tak bisa mengandalkannya untuk bertukar pendapat guna mencari cara penyelesaian terbaik. Dengan kata yang cenderung kasar, saat itu saya hanya menangkap kesan panik pada diri Mas Gun Gun. Sementara, kehidupan selama ini mengajarkan saya, bahwa dalam kepanikan, langkah yang diambil pada akhirnya cenderung bisa merugikan.
Saya percaya, tak ada kewajiban saya untuk mengklarifikasi persoalan itu kepada media massa, dalam hal ini Tempo dan Detik. Yang saya yakini sebagai kewajiban yang harus saya lakukan adalah memberikan klarifikasi dan menjawab semua yang ditanyakan pihak yang berwenang dalam hal ini—apakah itu Bawaslu atau Polri, manakala saya diminta datang.
Dengan keyakinan itu, saya tidak memenuhi permintaan Tempo dan Detik. Hasilnya: pada sekitar Sabtu (7/6) lalu Majalah Detik menurunkan berita soal itu, lengkap dengan penyebutan nama saya sebagai pihak yang meminta Mas Gun Gun menulis artikel yang dimuat di Obor Rakyat tersebut. Esoknya, dalam komunikasi SMS dengan seorang redaktur pelaksana Majalah Tempo, saya iseng bertanya apakah Tempo juga akan menurunkan berita itu pada edisi Senin (9/6). Saya mendapatkan jawaban tidak, dengan alasan yang tak perlu saya tuliskan di sini.
Sejak itulah, saya kian kerap mendapatkan permintaan untuk berwawancara. Termasuk dari Metro Tv. Jawaban saya tetap tidak.
Kini, izinkan saya menerangkan keterlibatan saya dalam penerbitan Obor Rakyat.
Semua berawal dari obrolan telepon dengan sahabat saya sesama alumnus Majalah Tempo, Setiyardi, sekitar akhir April lalu. Dia bilang, sedang coba-coba membuat tabloid politik, dan meminta saya mencarikan pengamat politik yang bisa menuliskan artikel. Temanya tentang kekuatan PDI Perjuangan yang baru saja memenangkan Pileg 2014.
Dengan relasi selama ini yang saya miliki, saya tak merasa perlu berpikir lama untuk menyanggupi. Hanya, saya katakan, agar ia memperhatikan besar dan waktu pembayaran honor tulisan. Saat Setiyardi tanya berapa nominal yang cukup layak untuk tulisan sekitar 3.500 karakter, saya jawab sejumlah tertentu. Saya juga berpesan agar honor dibayarkan paling telat 2 hari setelah tulisan ia terima. Dan itu kemudian dilakukan Setiyardi.
Lainnya, ajakan untuk makan malam satu atau dua hari ke depan. Komunikasi yang tak tergolong panjang itu pun selesai. Kuatir lupa, saya pun segera meng-SMS Mas Gun Gun, memintanya menuliskan artikel sebagaimana diminta. Ketika Mas Gun Gun bertanya lebih detil, saya saat itu hanya bisa menjawab hal-hal teknis, semacam panjang tulisan dan tema. Juga besarnya honor. Saat ditanya buat tabloid apa, saya masih bisa menjawab. Ada satu dua pertanyaan yang saya jawab tak banyak tahu soal itu.
Dua hari kemudian, saya dan Setiyardi bertemu untuk makan malam di sebuah resto. Saat itulah, kami mengulas soal makin telanjangnya keberpihakan media dalam politik, terutama menjelang Pilpres mendatang. Kami juga bicara tentang peluang siapa yang akan menjadi Capres pada Pilpres Juli; siapa sejatinya tokoh-tokoh tersebut; apa yang bisa diharapkan dari mereka; bagaimana keberpihakan mereka, terutama kepada kalangan muslim, mayoritas yang ironisnya justru tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri.
Waktu saya tanya soal tabloid itu, siapa saja pengelolanya. Setiyardi mengatakan belum ada, hanya dirinya. Tentu saja saya kaget. Meski bukan tidak mungkin, itu pekerjaan yang teramat sulit. Setiyardi bilang, dengan meruyaknya tulisan-tulisan kritis di dunia maya, baik dari situs-situs berita maupun laman sosial media, persoalan bahan sebenarnya tak begitu sulit-sulit amat. Saya akui, pendapat itu ada benarnya juga.
“Kita ambil saja tulisan-tulisan kritis yang berseliweran di Fesbuk, Twitter, kan banyak,” kata Setiyardi. “Kan nggak semua warga negara Indonesia punya akun fesbuk dan sehari-hari internetan.” Artinya, Setiyardi berniat membagikan tulisan-tulisan kritis itu kepada mereka yang tak terlalu akrab dengan internet, dalam bentuk media cetak.
Saya juga sempat bertanya, dari mana dana pembuatannya. Setiyardi menjawab dananya sendiri lebih dari cukup untuk membiayai penerbitan. Saya percaya. Bukan sekali dua Setiyardi bikin media cetak. Pada sekitar 2005-2005 lalu, misalnya, perusahaannya, Senapati Media, sempat membuat majalah bulanan luks bernama 69+, yang dia bagikan gratis. Biaya produksi dll semuanya ditutup oleh iklan.
Ide untuk menjadi ‘anjing penjaga’ di saat beberapa media mainstream terlena itulah yang menggoda saya.
Itu juga yang membuat saya menyanggupi saat diajak bergabung bersama. Sempat saya berpikir akan ada persoalan dengan Inilahcom, tempat saya bekerja. Tak mungkin saya bekerja di dua media tanpa mendapatkan sanksi atau bahkan pemecatan dari inilah..com. Kami akhirnya bersepakat, saya memakai nama samaran, sementara sebagai pimred Setiyardi memakai nama sebenarnya.
Dia bahkan berkata akan menambahkan nama almarhum ayahnya dalam mashead, menjadi Setiyardi Boediono.
Sikap itu mau tak mau menjadikan kami terlihat sebagai media partisan. Awalnya kami sendiri tak nyaman dengan hal itu. Tetapi bukankah bahkan menurut raja media Rupert Murdoch pun tak mungkin media massa tak berpihak? “Tuhan saja tidak netral,” kata Murdoch, “apalagi media massa.”
Semoga apa yang kami lakukan memenuhi fungsi dan niat kami itu.
Salam,
Darmawan Sepriyossa
Kepada kedua media itu, Gun Gun juga menyatakan kekecewaan terhadap saya, karena telah memuat artikel tersebut di Obor Rakyat, yang dalam waktu-waktu terakhir ini tengah disorot media massa dan dituding telah melakukan ‘kampanye hitam’.
Saya menolak permintaan dua media tersebut. Permintaan dari kedua media tersebut dilakukan lewat telepon, SMS, BBM dan Whats’up. Tak ada satu pun dari keduanya yang datang menemui saya di kantor.
Senyampang itu, entah berapa kali pula saya menerima telepon dan SMS dari Mas Gun Gun. Beberapa SMS terakhir meminta saya untuk menghubungi wartawan kedua media tersebut dan menjelaskan persoalannya. Selama kedua proses itu—permintaan terus-terusan dari Detik dan Tempo serta sekian kali hubungan komunikasi dengan Mas Gun Gun yang juga terus meminta saya mengklarifikasi, pemberitaan mengenai Obor Rakyat tak pernah berhenti.
Barangkali saya memang bersalah dengan tidak meladeni permintaan Detik dan Tempo tersebut. Juga tidak secepatnya memenuhi permintaan bertubi-tubi dari Mas Gun Gun untuk secara aktif menghubungi Tempo (dan Detik). Tetapi ada alasan yang menurut pengalaman saya pribadi cukup kuat mendasari sikap saya.
Sejak lepas kuliah, hanya setahun saja saya bekerja di luar institusi pers, yakni tatkala bergabung di Biro Dati II dan Perdesaan Bappenas, di saat ramai-ramainya program Inpres Desa Tertinggal (IDT), sekitar 1997. Selebihnya, saya bekerja sebagai wartawan, mulai dari Harian Republika (1996), Majalah Panji Masyarakat (1997-98), Majalah Tempo (1998-2005), Harian Suara Karya (2005), kembali ke Republika (2006-2012), Alif Tv (Januari 2012-akhir 2013), hingga saat ini berkiprah di inilah..com.
Pengalaman selama itu mengajarkan saya, tak selamanya segera memenuhi permintaan media massa itu bermanfaat. Apalagi dalam konteks dan kondisi politik saat ini—dimana polarisasi dua pasangan capres telah berimbas jauh dan dalam terhadap media massa, sehingga harus jujur diakui semua itu telah memetakan secara telanjang pemihakan masing-masing media kepada dua pasangan capres tersebut. Suka atau tidak, diakui atau dimungkiri, kini (sebagian) media telah bergabung kepada salah satu dari dua blok kepentingan politik yang berseberangan.
Kenyataan itu membuat saya berpikir, apapun keterangan yang saya berikan, bagi media tersebut pada akhirnya tak lebih hanya akan dianggap sebagai bahan bakar, agar tungku pemberitaan soal Obor Rakyat tetap berkobar.
Apalagi, gencarnya telepon dan SMS dari Mas Gun Gun pada akhirnya hanya membuat saya justru merasa tak bisa mengandalkannya untuk bertukar pendapat guna mencari cara penyelesaian terbaik. Dengan kata yang cenderung kasar, saat itu saya hanya menangkap kesan panik pada diri Mas Gun Gun. Sementara, kehidupan selama ini mengajarkan saya, bahwa dalam kepanikan, langkah yang diambil pada akhirnya cenderung bisa merugikan.
Saya percaya, tak ada kewajiban saya untuk mengklarifikasi persoalan itu kepada media massa, dalam hal ini Tempo dan Detik. Yang saya yakini sebagai kewajiban yang harus saya lakukan adalah memberikan klarifikasi dan menjawab semua yang ditanyakan pihak yang berwenang dalam hal ini—apakah itu Bawaslu atau Polri, manakala saya diminta datang.
Dengan keyakinan itu, saya tidak memenuhi permintaan Tempo dan Detik. Hasilnya: pada sekitar Sabtu (7/6) lalu Majalah Detik menurunkan berita soal itu, lengkap dengan penyebutan nama saya sebagai pihak yang meminta Mas Gun Gun menulis artikel yang dimuat di Obor Rakyat tersebut. Esoknya, dalam komunikasi SMS dengan seorang redaktur pelaksana Majalah Tempo, saya iseng bertanya apakah Tempo juga akan menurunkan berita itu pada edisi Senin (9/6). Saya mendapatkan jawaban tidak, dengan alasan yang tak perlu saya tuliskan di sini.
Sejak itulah, saya kian kerap mendapatkan permintaan untuk berwawancara. Termasuk dari Metro Tv. Jawaban saya tetap tidak.
Kini, izinkan saya menerangkan keterlibatan saya dalam penerbitan Obor Rakyat.
Semua berawal dari obrolan telepon dengan sahabat saya sesama alumnus Majalah Tempo, Setiyardi, sekitar akhir April lalu. Dia bilang, sedang coba-coba membuat tabloid politik, dan meminta saya mencarikan pengamat politik yang bisa menuliskan artikel. Temanya tentang kekuatan PDI Perjuangan yang baru saja memenangkan Pileg 2014.
Dengan relasi selama ini yang saya miliki, saya tak merasa perlu berpikir lama untuk menyanggupi. Hanya, saya katakan, agar ia memperhatikan besar dan waktu pembayaran honor tulisan. Saat Setiyardi tanya berapa nominal yang cukup layak untuk tulisan sekitar 3.500 karakter, saya jawab sejumlah tertentu. Saya juga berpesan agar honor dibayarkan paling telat 2 hari setelah tulisan ia terima. Dan itu kemudian dilakukan Setiyardi.
Lainnya, ajakan untuk makan malam satu atau dua hari ke depan. Komunikasi yang tak tergolong panjang itu pun selesai. Kuatir lupa, saya pun segera meng-SMS Mas Gun Gun, memintanya menuliskan artikel sebagaimana diminta. Ketika Mas Gun Gun bertanya lebih detil, saya saat itu hanya bisa menjawab hal-hal teknis, semacam panjang tulisan dan tema. Juga besarnya honor. Saat ditanya buat tabloid apa, saya masih bisa menjawab. Ada satu dua pertanyaan yang saya jawab tak banyak tahu soal itu.
Dua hari kemudian, saya dan Setiyardi bertemu untuk makan malam di sebuah resto. Saat itulah, kami mengulas soal makin telanjangnya keberpihakan media dalam politik, terutama menjelang Pilpres mendatang. Kami juga bicara tentang peluang siapa yang akan menjadi Capres pada Pilpres Juli; siapa sejatinya tokoh-tokoh tersebut; apa yang bisa diharapkan dari mereka; bagaimana keberpihakan mereka, terutama kepada kalangan muslim, mayoritas yang ironisnya justru tak pernah menjadi tuan di negerinya sendiri.
Waktu saya tanya soal tabloid itu, siapa saja pengelolanya. Setiyardi mengatakan belum ada, hanya dirinya. Tentu saja saya kaget. Meski bukan tidak mungkin, itu pekerjaan yang teramat sulit. Setiyardi bilang, dengan meruyaknya tulisan-tulisan kritis di dunia maya, baik dari situs-situs berita maupun laman sosial media, persoalan bahan sebenarnya tak begitu sulit-sulit amat. Saya akui, pendapat itu ada benarnya juga.
“Kita ambil saja tulisan-tulisan kritis yang berseliweran di Fesbuk, Twitter, kan banyak,” kata Setiyardi. “Kan nggak semua warga negara Indonesia punya akun fesbuk dan sehari-hari internetan.” Artinya, Setiyardi berniat membagikan tulisan-tulisan kritis itu kepada mereka yang tak terlalu akrab dengan internet, dalam bentuk media cetak.
Saya juga sempat bertanya, dari mana dana pembuatannya. Setiyardi menjawab dananya sendiri lebih dari cukup untuk membiayai penerbitan. Saya percaya. Bukan sekali dua Setiyardi bikin media cetak. Pada sekitar 2005-2005 lalu, misalnya, perusahaannya, Senapati Media, sempat membuat majalah bulanan luks bernama 69+, yang dia bagikan gratis. Biaya produksi dll semuanya ditutup oleh iklan.
Ide untuk menjadi ‘anjing penjaga’ di saat beberapa media mainstream terlena itulah yang menggoda saya.
Itu juga yang membuat saya menyanggupi saat diajak bergabung bersama. Sempat saya berpikir akan ada persoalan dengan Inilahcom, tempat saya bekerja. Tak mungkin saya bekerja di dua media tanpa mendapatkan sanksi atau bahkan pemecatan dari inilah..com. Kami akhirnya bersepakat, saya memakai nama samaran, sementara sebagai pimred Setiyardi memakai nama sebenarnya.
Dia bahkan berkata akan menambahkan nama almarhum ayahnya dalam mashead, menjadi Setiyardi Boediono.
Sikap itu mau tak mau menjadikan kami terlihat sebagai media partisan. Awalnya kami sendiri tak nyaman dengan hal itu. Tetapi bukankah bahkan menurut raja media Rupert Murdoch pun tak mungkin media massa tak berpihak? “Tuhan saja tidak netral,” kata Murdoch, “apalagi media massa.”
Semoga apa yang kami lakukan memenuhi fungsi dan niat kami itu.
Salam,
Darmawan Sepriyossa
Tinggal nunggu pengakuan dalangnya sekaligus penyandang dananya.
Diubah oleh shinderela 13-06-2014 06:24
0
3.6K
Kutip
15
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan