siskanasutionAvatar border
TS
siskanasution
RENUNGAN Sebelum 9 Juli 2014
sumber : http://nefosnews.com/post/opini/hipokrasiby : Rocky Gerung

HIPOKRASI


Politik adalah sejarah yang sedang ditulis. Tetapi hanya dalam sorotan akal sehat ia memberi kita harapan tentang masa depan yang terang.

Akal sehat. Itulah yang kini jadi pertaruhan kita hari-hari ini. Seberapa kuat energi akal itu mampu mengaktifkan kesadaran sejarah kita untuk menemukan hipokrasi yang disembunyikan di gudang-gudang politik hari ini?

Berbuih-buih dalam retorika, atau bersantun-santun dalam penampilan, adalah cara-cara ekstrem untuk menghindari pertanyaan etis: seputih apa moral yang sedang dipentaskan di panggung-panggung itu?

Dalam sorotan akal sehat, politik adalah rentang antara "secrecy" dan "publicity". Antara yang disembunyikan dan yang diperlihatkan. Pada spektrum itulah hipokrasi bekerja.

Benar bahwa politik adalah kontestasi. Tetapi tanpa sorot cahaya akal kritis, tak ada yang mampu mengatakan bahwa para kontestan sebetulnya tak berpakaian. Pemuja tak akan mengatakannya, pengikut tak ingin mengatakannya. Kendati dua-duanya bermata normal. Sejarah adalah mata akal. Ia melihat tembus ke belakang panggung, untuk membebaskan penonton dari dalang yang sedang berbohong.

***

Kemerdekaan manusia adalah alasan menyelenggarakan kekuasaan. Artinya, kekuasaan itu ada sebagai hasil transaksi pikiran bebas. Jadi, kekuasaan itu tak punya hakekat. Ia tergantung pada lalu lintas pikiran bebas. Politik, karena itu, adalah bentuk lain dari pikiran bebas. Pikiran itu tak boleh terkunci di gudang hipokrasi.

Ukuran asasi kemerdekaan manusia adalah kemerdekaan pikirannya. Tetapi bukan kemerdekaan untuk berpikir, melainkan kemerdekaan untuk mengedarkan pikiran itu. Artinya, pikiran hanya disebut pikiran bila ia dapat bertemu dengan pikiran lain. Jadi, hakekat pikiran adalah percakapan. Pikiran selalu bersifat publik. Itulah alasan demokrasi diselenggarakan.

***

Dalam politik hari ini, pikiran itu sedang ditenggelamkan oleh hiruk-pikuk kekuasaan. Yang diucapkan bukan gagasan tentang "Visi Indonesia" dalam versi dua kubu, melainkan ketaksabaran masing-masing kubu untuk segera berkuasa. Konfrontasi berlangsung frontal: kepung, keroyok, menang! To be or not to be.

Tetapi sesungguhnya frontalisasi itu sekaligus memperlihatkan kerasnya mesin kepentingan yang bekerja di belakang panggung setiap capres. Kartel modal bekerja lintas kubu demi posisi aman yang tak pasti. Para akumulator memerlukan politik, suatu pertanda bahwa dunia bisnis kita masih tergantung pada aturan politik, bukan pada aturan hukum.

Tetapi pemilu kali ini bukan cuma kepentingan para akumulator rente. Para perpetrator HAM juga berkepentingan menutup jejak kejahatan melalui perlindungan politik. Bahkan di soal ini konfrontasi menjadi sangat berasap. Persoalannya adalah, dalam soal kejahatan kemanusiaan suatu kontras moral harus terlihat bukan saja antar capres, melainkan antar kubu. Pada setiap isu moral, tak ada eksepsi utilitarian. Artinya, demi nyawa yang telah hilang, tak ada beda antara pelaku dan mereka yang pernah melindungi pelaku. Sejarah tak mungkin disogok dengan alasan politik. Di sini diperlukan pihak ketiga yang independen untuk menentukan baju siapa yang paling putih dalam isu HAM. Tak cukup hanya mengandalkan pers yang memang kini ikut dalam konfrontasi.

Yang ditonton rakyat melalui media cuma lapisan sensasi dari isu HAM, belum lapisan rahasianya.

***

Pada akhirnya, setelah semua hal diperlihatkan, mata rakyatlah yang akan menilai: baju siapa sesungguhnya yang lebih putih.

Tetapi mata rakyat bukanlah mata sejarah. Mata sejarah baru akan melihat nanti, ketika baju-baju politik itu berubah warna. Ketika watak kekuasaan membuatnya kotor. Ketika akal sehat telah kembali.
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
994
3
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan