- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ini Alasan Prabowo Dipecat sebagai Perwira


TS
iloen
Ini Alasan Prabowo Dipecat sebagai Perwira
TEMPO.CO, Jakarta - Bekas anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo Subianto pada Agustus 1998, Fachrul Razi, membenarkan surat rahasia berisi pemecatan yang kini beredar. Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP itu menyingkap setidaknya delapan kesalahan Prabowo sebagai perwira yang berujung pada rekomendasi pemberhentian dari dinas keprajuritan. (Baca: Valid, Surat Rekomendasi Pemecatan Prabowo)
Kesalahan Prabowo--ketika itu menyandang pangkat letnan jenderal--yang menyita banyak penjelasan adalah soal penugasan Satuan Tugas Mawar atau lebih dikenal sebagai Tim Mawar untuk menculik aktivis prodemokrasi. Perintah itu dikirimkan melalui Kolonel Infanteri Chairawan, yang merupakan Komandan Grup 4, dan Mayor Infanteri Bambang Kristiono.
Berdasarkan dokumen tersebut, dua anak buah Prabowo itu menjalankan tugas karena telah diyakinkan. Kepada anak buahnya, Prabowo menyebut Tim Mawar dibentuk atas perintah pimpinan.
Prabowo sendiri baru melaporkan operasi yang dilakukannya kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada April 1998. Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan Dewan Kehormatan Perwira, laporan itu dibuat Prabowo setelah didesak Kepala Badan Intelijen ABRI.
Dewan Kehormatan Perwira juga menyebut Prabowo melampaui kewenangan dengan menjalankan operasi pengendalian stabilitas nasional. Operasi itu dilakukan berulang-ulang di Aceh, Irian Jaya--sekarang Papua, dan pengamanan presiden di Vancouver, Kanada, oleh Kopassus. Prabowo juga dinilai bersalah lantaran kerap bepergian ke luar negeri tanpa izin Kasad atau Panglima ABRI.
Atas sejumlah tindakan Prabowo, Dewan Kehormatan Perwira menilai Prabowo mengabaikan sistem operasi, hierarki, dan disiplin di lingkungan militer. Prabowo juga dianggap tidak menjalankan etika profesionalisme dan tanggung jawab.
Dewan Kehormatan juga menyebut Prabowo melakukan tindak pidana berupa ketidakpatuhan. Pidana lain yang dilakukan Prabowo adalah perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan.
Prabowo sendiri melalui debat calon presiden yang dilakukan di Balai Sarbini, Senin malam, mengungkapkan penculikan aktivis dilakukannya untuk mengamankan negara. Menurut dia, hal itu dilakukannya untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Dia meminta penilaian soal tindakannya itu ditanyakan kepada atasannya kala itu. (Baca: Soal HAM, Prabowo Dianggap Lempar Tanggung Jawab)
Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo sendiri terdiri dari tujuh perwira TNI. Mereka adalah Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, Letnan Jenderal Fachrul Razi, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, Letnan Jenderal Yusuf Kartanegara, Letnan Jenderal Agum Gumelar, Letnan Jenderal Arie J. Kumaat, dan Letnan Jenderal Djamari Chaniago. Surat keputusan DKP diterbitkan pada 21 Agustus 1998.
Agum Gumelar dalam wawancara kepada Tempo sepekan setelah keputusan tersebut mengatakan Prabowo mengakui dirinya telah salah menganalisis perintah. Agum juga menjelaskan tak pernah ada perintah dari Presiden dan Panglima ABRI soal pengamanan itu. Fachrul Razi membenarkan dokumen rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo. Surat tersebut kini beredar di sejumlah media massa dan media sosial. "Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek, Senin malam, 9 Juni 2014.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS | RIKY FERDIANTO
oh, ini toh yang bikin prabowo gugup kalo ditanya masalah ham
sumur
Valid, Surat Rekomendasi Pemecatan Prabowo
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidangkan Prabowo Subianto pada 24 Juli 1998, Fachrul Razi, membenarkan adanya surat rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo. Surat tersebut kini beredar di sejumlah media massa dan media sosial. (Baca: Nurul: Keaslian Dokumen Pemecatan Prabowo Diragukan)
Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP itu menyebut 11 pertimbangan yang melatari rekomendasi pemecatan Prabowo. Antara lain, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur, seperti pengabaian sistem operasi,dan disiplin hukum di lingkungan ABRI.
"Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin malam, 9 Juni 2014. Fachrul merupakan salah satu dari 22 jenderal pimpinan Luhut Binsar Panjaitan, yang mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi pada Maret 2014. (Baca juga: Luhut: Calon Pemimpin Jangan Marah dan Bikin Puisi)
Fachrul pun menyindir bekas komandan Kopassus yang maju sebagai calon presiden itu. Katanya, dengan wewenang di level Kopassus saja Prabowo bisa melakukan beberapa tindakan prajurit yang tak layak. "Bagaimana kalau jadi presiden?"
Surat rekomendasi pemecatan Prabowo diteken Ketua Dewan Kehormatan Perwira, Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, serta Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagian isi surat tertanggal 21 Agustus 1998 itu pernah diakui Agum Gumelar ketika diwawancarai Tempo pada 28 Agustus 1998.
Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman meminta Markas Besar TNI menangkap pembocor dan penyebar dokumen Dewan Kehormatan Perwira. Marciano menyatakan dokumen tersebut seharusnya tak bocor kepada yang tak berkepentingan. Dokumen itu menjadi tanggung jawab penuh Markas Besar TNI. “Semua harus dievaluasi. Dokumen seperti itu tak boleh keluar,” katanya. (Baca: BIN Minta Bocornya Dokumen DKP Soal Prabowo Diusut)
Sekretaris Tim Kampanye Prabowo-Hatta Rajasa, Fadli Zon, juga meminta TNI mengusut pelaku pembocoran. Menurut Fadli, dokumen itu hanya ada di tempat aman yang diketahui Panglima TNI. Fadli menilai bocornya dokumen itu merupakan tindak pidana terhadap rahasia negara. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Andika, belum bisa memberikan keterangan otentisitas dokumen tersebut.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS | RIKY FERDIANTO
sumur
Kesalahan Prabowo--ketika itu menyandang pangkat letnan jenderal--yang menyita banyak penjelasan adalah soal penugasan Satuan Tugas Mawar atau lebih dikenal sebagai Tim Mawar untuk menculik aktivis prodemokrasi. Perintah itu dikirimkan melalui Kolonel Infanteri Chairawan, yang merupakan Komandan Grup 4, dan Mayor Infanteri Bambang Kristiono.
Berdasarkan dokumen tersebut, dua anak buah Prabowo itu menjalankan tugas karena telah diyakinkan. Kepada anak buahnya, Prabowo menyebut Tim Mawar dibentuk atas perintah pimpinan.
Prabowo sendiri baru melaporkan operasi yang dilakukannya kepada Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada April 1998. Berdasarkan keterangan yang dikumpulkan Dewan Kehormatan Perwira, laporan itu dibuat Prabowo setelah didesak Kepala Badan Intelijen ABRI.
Dewan Kehormatan Perwira juga menyebut Prabowo melampaui kewenangan dengan menjalankan operasi pengendalian stabilitas nasional. Operasi itu dilakukan berulang-ulang di Aceh, Irian Jaya--sekarang Papua, dan pengamanan presiden di Vancouver, Kanada, oleh Kopassus. Prabowo juga dinilai bersalah lantaran kerap bepergian ke luar negeri tanpa izin Kasad atau Panglima ABRI.
Atas sejumlah tindakan Prabowo, Dewan Kehormatan Perwira menilai Prabowo mengabaikan sistem operasi, hierarki, dan disiplin di lingkungan militer. Prabowo juga dianggap tidak menjalankan etika profesionalisme dan tanggung jawab.
Dewan Kehormatan juga menyebut Prabowo melakukan tindak pidana berupa ketidakpatuhan. Pidana lain yang dilakukan Prabowo adalah perintah merampas kemerdekaan orang lain dan penculikan.
Prabowo sendiri melalui debat calon presiden yang dilakukan di Balai Sarbini, Senin malam, mengungkapkan penculikan aktivis dilakukannya untuk mengamankan negara. Menurut dia, hal itu dilakukannya untuk melindungi kepentingan yang lebih besar. Dia meminta penilaian soal tindakannya itu ditanyakan kepada atasannya kala itu. (Baca: Soal HAM, Prabowo Dianggap Lempar Tanggung Jawab)
Dewan Kehormatan Perwira yang menyidang Prabowo sendiri terdiri dari tujuh perwira TNI. Mereka adalah Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, Letnan Jenderal Fachrul Razi, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, Letnan Jenderal Yusuf Kartanegara, Letnan Jenderal Agum Gumelar, Letnan Jenderal Arie J. Kumaat, dan Letnan Jenderal Djamari Chaniago. Surat keputusan DKP diterbitkan pada 21 Agustus 1998.
Agum Gumelar dalam wawancara kepada Tempo sepekan setelah keputusan tersebut mengatakan Prabowo mengakui dirinya telah salah menganalisis perintah. Agum juga menjelaskan tak pernah ada perintah dari Presiden dan Panglima ABRI soal pengamanan itu. Fachrul Razi membenarkan dokumen rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo. Surat tersebut kini beredar di sejumlah media massa dan media sosial. "Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek, Senin malam, 9 Juni 2014.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS | RIKY FERDIANTO
oh, ini toh yang bikin prabowo gugup kalo ditanya masalah ham

sumur
Valid, Surat Rekomendasi Pemecatan Prabowo
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan anggota Dewan Kehormatan Perwira yang menyidangkan Prabowo Subianto pada 24 Juli 1998, Fachrul Razi, membenarkan adanya surat rahasia berisi rekomendasi pemecatan Prabowo. Surat tersebut kini beredar di sejumlah media massa dan media sosial. (Baca: Nurul: Keaslian Dokumen Pemecatan Prabowo Diragukan)
Surat bernomor KEP/03/VIII/1998/DKP itu menyebut 11 pertimbangan yang melatari rekomendasi pemecatan Prabowo. Antara lain, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran prosedur, seperti pengabaian sistem operasi,dan disiplin hukum di lingkungan ABRI.
"Tanda tangan dan bunyi keputusannya valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin malam, 9 Juni 2014. Fachrul merupakan salah satu dari 22 jenderal pimpinan Luhut Binsar Panjaitan, yang mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi pada Maret 2014. (Baca juga: Luhut: Calon Pemimpin Jangan Marah dan Bikin Puisi)
Fachrul pun menyindir bekas komandan Kopassus yang maju sebagai calon presiden itu. Katanya, dengan wewenang di level Kopassus saja Prabowo bisa melakukan beberapa tindakan prajurit yang tak layak. "Bagaimana kalau jadi presiden?"
Surat rekomendasi pemecatan Prabowo diteken Ketua Dewan Kehormatan Perwira, Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo, dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, serta Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagian isi surat tertanggal 21 Agustus 1998 itu pernah diakui Agum Gumelar ketika diwawancarai Tempo pada 28 Agustus 1998.
Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman meminta Markas Besar TNI menangkap pembocor dan penyebar dokumen Dewan Kehormatan Perwira. Marciano menyatakan dokumen tersebut seharusnya tak bocor kepada yang tak berkepentingan. Dokumen itu menjadi tanggung jawab penuh Markas Besar TNI. “Semua harus dievaluasi. Dokumen seperti itu tak boleh keluar,” katanya. (Baca: BIN Minta Bocornya Dokumen DKP Soal Prabowo Diusut)
Sekretaris Tim Kampanye Prabowo-Hatta Rajasa, Fadli Zon, juga meminta TNI mengusut pelaku pembocoran. Menurut Fadli, dokumen itu hanya ada di tempat aman yang diketahui Panglima TNI. Fadli menilai bocornya dokumen itu merupakan tindak pidana terhadap rahasia negara. Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Andika, belum bisa memberikan keterangan otentisitas dokumen tersebut.
MUHAMMAD MUHYIDDIN | FRANSISCO ROSARIANS | RIKY FERDIANTO
sumur
Diubah oleh iloen 10-06-2014 09:52
0
3.2K
16


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan