Kaskus

Entertainment

ganangfindyAvatar border
TS
ganangfindy
yuk gan kenali serangan jantung (kisah nyata)
Jumat, 6 Juni 2014 | 10:52 WIB
KOMPAS.com -- Banyak orang mengenal serangan jantung
seperti yang digambarkan dalam film atau sinetron, yakni
mata mendelik, dada sesak, dan tangan memegangi dada
ketika pingsan. Padahal, adakalanya rasa sakit tidak mengikuti
pola tertentu, bahkan tanpa diikuti rasa nyeri dada.
Simak kisah serangan jantung seperti yang dialami M Latief
(38). Jurnalis yang memiliki hobi naik gunung ini mengalami
serangan jantung ringan dengan gejala mirip masuk angin. Inilah
pengalamannya.
Serasa baru selesai joging jarak jauh, keringat seketika
mengucur deras dari kening, leher, dan sebagian badan saya.
Anehnya, itu keringat dingin, bukan hangat. Dingin sekali.
Sedetik keringat menderas, tiba-tiba dada juga terasa sesak,
diikuti tengkuk hingga bahu yang menegang. Fun City, tempat
permainan anak Margo City, Depok, tempat saya berdiri itu,
seperti pelan-pelan menyempit, mengimpit.
Pikiran saya mulai kalut. Maklum, baru kali ini mendadak kondisi
badan drop secepat itu dengan tanda-tanda yang aneh, tak
biasanya.
Ketika itu, rasa sesak di dada semakin menjadi. Awalnya
memang sesak biasa, tetapi perlahan-lahan makin terasa
nyeri, seperti diremas-remas dengan keras, bahkan lebih dari
itu, seperti diinjak-injak. Napas makin sulit.
"Aneh, kok begini," batin saya.
Maklum, perubahan kondisi tubuh mendadak seperti ini baru
saya alami. Rasanya seperti masuk angin, tetapi anehnya
bukan seperti masuk angin biasa. Lebih dari masuk angin.
Pelan-pelan saya coba bernapas. Keringat makin deras. Kaki
juga mulai lemas.
Ada sekitar hampir tiga menit perubahan aneh itu berlangsung
pada diri saya. Saya lalu panggil kedua anak saya.
"Abang, adik, ayo udahan dulu mainnya. Dada ayah sesak,
ayah mau ke dokter sekarang. Nanti kalau ketemu ibu, kamu
bilang ke ibu ya, Bang, dada ayah sesak dan keluar keringat
dingin," kata saya kepada kedua putra saya, Azka (9) dan
Azzam (5).
Sebelum kejadian itu, istri saya memang izin pergi sejenak ke
toilet. Hanya saya yang menemani kedua anak saya di tempat
hiburan di lantai dasar pusat belanja tersebut. Namun, tak
sampai lima menit istri saya pergi, kejadian itu berlangsung.
Saya dan kedua anak saya pun bergegas ke lantai satu,
menyusul istri saya. Prinsip saya, jalan pelan-pelan dan
usahakan tetap sadar atau tidak pingsan. Otak saya hanya
memerintah untuk selekasnya ke rumah sakit.
Hanya dituntun dua bocah berumur belum genap 10 tahun,
saya cuma bisa pasrah. Sambil menahan sesak, saya berjalan
pelan-pelan dituntun kedua anak saya. Azka di kiri, Azzam
memegang tangan kanan.
Saya tak menghiraukan ramainya pusat belanja ini. Meskipun
kepala tidak terasa pusing, kaki saya lemas sehingga saya
harus pelan-pelan mengikuti langkah kedua anak saya.
Bahkan, dengan berusaha tetap tenang, kami bisa melewati
eskalator menuju lantai satu.
"Lho, kamu kenapa? Kok dingin banget? Kamu masuk angin nih
kayaknya," kata istri saya, setelah kami bertemu dengannya.
Azka, anak saya yang nomor satu memotong. "Dada ayah
sesak, keringatnya dingin Bu, ayah minta ke dokter," ujar
Azka.
Saya masih sadar, tetapi saya memang sudah tak mau bicara
apa-apa. Dada saya makin sesak. Karena itu, saya biarkan
anak saya yang bicara untuk menghemat energi supaya tidak
pingsan.
"Kamu masuk angin nih. Ya sudah, kita pulang sekarang saja
ya," kata istri saya.
"Enggak, ini aneh. Rumah sakit... ke rumah sakit sekarang," kata
saya.
"Kok ke rumah sakit. Pulang aja ya. Kamu tunggu dan duduk di
sini, aku beli minyak angin dulu," jawab istri saya.
Nyaris, marah saya meledak. Tetapi saya sadar, marah hanya
akan menguras energi. Jadi, saya acuhkan ucapan istri saya.
Saya juga tak mau duduk, tetapi tetap berdiri sembari
berpegangan pada dinding mal. Pikir saya, duduk hanya akan
bikin sesak di dada semakin parah.
Setengah berlari, istri saya kembali menghampiri. Dia baru
selesai dari apotek.
"Kamu masuk angin nih, sini aku olesin dada kamu. Punggungnya
juga sini," kata istri saya.
Saya diamkan istri saya berbuat demikian. Tetapi, hati saya
makin kuat bahwa ini bukan masuk angin. Entah, feeling saya
bilang lain.
"Sekarang ke rumah sakit. Cari taksi sekarang. Ini jantung,
jantung," bentak saya.
Tanpa banyak cakap, kami berempat bergegas ke luar pusat
belanja. Dari tempat kami berdiri, gerbang mal ini masih sekitar
200 meter.
Rasanya, sudah lebih dari lima menit perubahan aneh pada
kondisi badan saya ini berlangsung. Saya sadari itu. Maka,
pelan-pelan kami berjalan melewati kerumunan. Saya dituntun
kedua anak saya di kiri dan kanan. Istri saya berjalan di
belakang untuk menahan punggung saya.
"Itu taksi," kata istri saya, beberapa meter di pintu gerbang.
"Pak, ke rumah sakit ya, yang paling dekat," ujar istri saya.
Taksi langsung meluncur. Namun, baru sesaat masuk ke jalan
raya, panik mulai melanda. Bukan apa-apa, dada saya makin
sesak. Dashboard taksi ini seperti mengimpit. Badan saya juga
makin lama semakin lemas.
"Tuhan... saya ingin sampai lebih dulu ke rumah sakit, jangan
dulu biarkan saya mati," batin saya terus berkata demikian di
antara istigfar saya di mulut.
Doa saya terkabul. Saya sadari itu meskipun mata saya
terpejam menahan sakit di dada. Pasalnya, Jalan Margonda
Raya yang biasanya macet pada hari libur, siang itu nyaris
lengang. Hari itu, Kamis, 29 Mei 2014, adalah hari libur
Kenaikan Isa Almasih.
Tak sampai 10 menit, saking ngebutnya, taksi sudah berbelok
ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, tak jauh dari Terminal Depok.
Tiba di UGD, semangat saya kembali muncul. Saya keluar dari
taksi sendiri tanpa dibantu sopir taksi. Saya berjalan pelan-
pelan, dan tetap diapit kedua anak saya serta istri saya yang
menahan bahu saya dari belakang.
"Dada sesak, keringat dingin," ujar istri saya ke petugas UGD
yang datang membuka pintu sembari menyorongkan tempat
tidur.
Saya ingat betul, saat itu saya langsung diminta duduk di tepi
tempat tidur dan diminta diam sebentar.
"Angkat lidahnya, Pak, telan ini dan habiskan," ujar seorang
petugas sembari memasukkan obat berbentuk bubuk ke balik
lidah saya.
Sekonyong-konyong, selesai melumat obat tersebut, nyeri di
dada saya perlahan menghilang. Petugas pun meminta saya
berbaring, dan kemudian memasangkan selang oksigen ke
hidung saya. Tangan kiri saya pun lantas diberi cairan infus.
Memang, meskipun rasa sesak di dada belum hilang, nyerinya
sedikit berkurang. Untuk itulah, saya diminta lagi untuk
menghabiskan obat yang juga sudah disiapkan oleh seorang
suster.
Ada tujuh butir obat disorongkan suster itu kepada saya.
Sambil membawa segelas air, dia meminta saya selekasnya
minum obat tersebut.
"Habiskan, Pak," ujarnya.
Hanya lima menit seusai menenggak habis ketujuh obat itu,
nyeri di dada saya hilang seketika. Tak ada lagi sesak, apalagi
nyeri. Suhu tubuh saya pun mulai berubah menjadi hangat.
Seorang dokter muda, dokter jaga di UGD, tampak
menghampiri saya. Ia bilang, tujuh obat itu adalah obat jantung.
"Bapak kena serangan jantung ringan. Terlambat lima menit
saja, mungkin Bapak sudah enggak ada lagi. Baiklah, Bapak
kami rawat di sini ya," ujar dokter muda tersebut.
Saya cuma mengangguk lemah. Dari balik pintu UGD, saya lihat
Azka dan Azzam, melambai-lambaikan tangan ke arah saya
sembari tersenyum. Kedua "pahlawan" saya itu tidak diizinkan
masuk ke dalam ruangan, termasuk istri saya yang repot ke
sana kemari mengurus perawatan selanjutnya.
Pembengkakan jantung
Hari ini, Kamis (5/6/2014), tepat seminggu lalu serangan
jantung ringan itu terjadi, kondisi saya sudah berangsur pulih
dan semakin baik setelah dirawat selama enam hari di RS
Mitra Keluarga. Vonis dokter, saya harus mengurai kembali pola
hidup sehat agar kejadian itu tak lagi terulang.
Saya tak punya riwayat jantung. Saya pun suka berolahraga,
terutama joging, meskipun hanya dua kali seminggu. Bahkan,
pada umur 38 tahun ini saya masih menyalurkan hobi saya
mendaki gunung.
Ya, dua pekan sebelum kejadian ini, saya juga baru pulang
mendaki Gunung Gede, Jawa Barat, bersama teman-teman.
Saya rutin mendaki gunung setahun satu atau dua kali.
"Bapak memang kelihatan sehat dan banyak orang terkena
serangan jantung juga dalam kondisi sehat. Tapi, kemarin itu,
saat serangan datang, jantung bapak lemah untuk memompa
oksigen. Sekarang, kondisi Bapak sudah membaik, meskipun
masih ada pembengkakan. Bapak harus mengubah pola makan
dan stop merokok," kata Dr Bona Dwiramajaya H, SpJP, FIHA,
yang merawat saya.
Beruntung, penanganan ketika terjadi serangan itu bisa
dilakukan secara cepat dan tepat, terutama berkat bantuan
istri dan kedua anak saya. Biasanya, dengan gejala umum
seperti keringat dingin yang berlebihan, dada sesak dan nyeri,
serta tengkuk dan bahu tegang bukan main, waktu-waktu
krisis (golden time) kala serangan itu datang, orang masih
belum ngeh bahwa itu serangan jantung ringan. Lazimnya,
orang berpikir itu adalah masuk angin.
Memang, tak bisa dimungkiri, gejalanya seperti masuk angin,
yang dalam bahasa Betawi, sudah kedalon atau akut. Orang
sering kali menganggapnya demikian. Bedanya, datangnya
sangat tiba-tiba dan berbarengan, mulai dari keringat dingin
berlebihan, dada sesak dan lebih nyeri, terasa tegang atau
pegal mulai sekitar tengkuk hingga bahu.
Di situlah feeling yang kuat perlu Anda gunakan jika sewaktu-
waktu gejala itu menimpa Anda. Pasalnya, Anda sendiri yang
merasakannya, bukan orang-orang di sekitar Anda. Maka,
camkan bahwa itu bukan masuk angin biasa....

Sumber : m.kompas.com/health/read/2014/06/06/1052596/Awas.Maut.Ini.Serangan
Diubah oleh ganangfindy 08-06-2014 20:23
0
2.1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan