- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
[Culik2an] Daripada cuma "KATANYA", mending kita langsung INTEROGASI aja Pak PRABOWO


TS
bathur
[Culik2an] Daripada cuma "KATANYA", mending kita langsung INTEROGASI aja Pak PRABOWO
Wawancara dari Bangkok, Thailand, Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto bicara soal penculikan aktivis, dugaan keterlibatannya dalam kerusuhan 13-14 Mei 1998, serta hubungannya dengan Soeharto, Habibie, dan Wiranto.
Dimuat dalam rubrik Wawancara Khas Majalah PANJI No. 28/III, 27 Oktober 1999
Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis.
Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan.
Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998.
Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.
Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.
Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus “diamankan” dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.
Dari siapa Anda terima daftar itu?
Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.
Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?
Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.
Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
Tentu saya tanya.
Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
Ha… ha… ha… Pertanyaan bagus, tapi sulit dijawab.
Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.
Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ.
Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi.
Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka.
Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua.
Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi.
Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.
Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu.
Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum.
Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.
Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau.
Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarankan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya.
Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.
Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian.
Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Apalagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser.
Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.
Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya.
Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi.
Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom.
Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal.
Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu.
Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain.
Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.
Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan. Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati.
Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah.
Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap.
Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada.
Tapi saya ambil alih tanggung jawab.
Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka.
Cek saja rekamannya di DKP.
Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.
Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
Bisa saja. Saya tidak tahu.
Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?
Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu, dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu.
Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.
Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen—Red.) kan ketemu saya juga.
Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi.
Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah.
Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.
Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain.
Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.
Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka.
Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan.
Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.
Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?
Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul.
Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.
Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?
Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia.
Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.
Dikutip Dari
-------------------------------------------------------------------------------------
Di sejumlah kesempatan wawancara, Pius justru membela Prabowo. Dia menilai, Prabowo tidak bersalah dalam penculikan tersebut.
Pius malah menyalahkan Soeharto seorang. Sebab Prabowo sebagai anak buah dan prajurit, harus menjalankan perintah dari seorang pimpinan. Pembelaan ini dilakukan Pius kepada Prabowo setelah dirinya bertemu langsung tatap muka dengan Prabowo. Di sana, Prabowo menceritakan kisah penculikan tersebut.
Sumber yg ini
------------------------------------------------------------------------------
In September 1998, Marzuki Darusman, then TGPF chair and today attorney-general, mused to reporters: "I think there's more to it than just Prabowo. I say he's a keeper of secrets. And he might be predisposed to reveal a few if forced to."
Pada September 1998, Marzuki Darusman, yang kemudian menjabat ketua TGPF dan kemudian menjadi Jaksa Agung, mengungkapkan kepada para wartawan. “Saya rasa terdapat banyak lagi hal lain, selain Prabowo. Saya mengatakan bahwa dia hanya penjaga dari rahasia-rahasia tersebut. Dan dia mungkin dapat dipengaruhi untuk mengungkapkan sedikit jika terpaksa.”
Sumber Asiaweek
Dimuat dalam rubrik Wawancara Khas Majalah PANJI No. 28/III, 27 Oktober 1999
Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?
Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali. Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis.
Saya pribadi tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan teknis di lapangan.
Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998.
Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.
Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?
Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi, termasuk Kodam dilibatkan.
Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus “diamankan” dalam konteks SU MPR?
Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.
Dari siapa Anda terima daftar itu?
Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP ada rekamannya.
Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden saat itu, Soeharto?
Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya. Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.
Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?
Tentu saya tanya.
Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?
Ha… ha… ha… Pertanyaan bagus, tapi sulit dijawab.
Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?
Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.
Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?
Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang ada di situ.
Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi.
Yang tiga, Pius Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan. Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka.
Semua mencari mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari ditanya. Sudah dapat belum si ini… begitu. Kejar-kejaran semua.
Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh, kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala. Mereka ini namanya mau mencari prestasi.
Tapi saya puji waktu mereka dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.
Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto? Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal Feisal Tanjung menerima daftar serupa?
Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu.
Seingat saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi pengetahuan umum.
Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit. Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni ABRI, khususnya TNI.
Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?
Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada beliau.
Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena itu menyarankan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya.
Ironis, bukan? Oleh masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya. Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.
Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?
Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing. Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik saat itu menghendaki demikian.
Saya juga kemukakan ini sehari setelah Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998—Red.). Apalagi Pak Harto di Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser.
Mungkin ada yang tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ masalahnya.
Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan aktivis?
Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil. Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya.
Mereka merakit 40 bom. Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat. Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi.
Bom yang meledak di rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom.
Jadi kita ini mencegah peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal.
Kita harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi masyarakat yang terancam peledakan itu.
Soal tiga orang, memang kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain.
Tapi dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup semua. Saya mau bertemu mereka.
Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?
Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan. Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati.
Saya nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah.
Saya katakan kepada mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti. Saya diadili juga siap.
Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan nggak untuk ditangkap? Tidak ada.
Tapi saya ambil alih tanggung jawab.
Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah. Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena saya komandan mereka.
Cek saja rekamannya di DKP.
Tapi bahwa mungkin mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.
Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?
Bisa saja. Saya tidak tahu.
Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan. Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?
Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu, dibuat begini, begitu. Ah…, saya merasa dikecewakan oleh Pak Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi yudha, begini, begitu.
Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa, situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.
Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?
Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen—Red.) kan ketemu saya juga.
Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?
Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil, ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi.
Dulu Jenderal Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R. Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah.
Lihat Prancis, itu kan negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Tapi, dia ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya. Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.
Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?
Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal, untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru membahayakan hak asasi manusia orang lain.
Tidak bisa dong. Kalau you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan bikin aksi teror.
Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka.
Anda dengar ancaman bom tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan.
Tidak bisa demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi, lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk perang psikologi massa.
Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak bersalah?
Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga. Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul.
Hashim bilang, “Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu benar.” Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan Hitler kepada rakyat Jerman.
Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin mempermalukan Pak Harto?
Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI, khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima. Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia.
Apa pun yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya.
Dikutip Dari
-------------------------------------------------------------------------------------
Di sejumlah kesempatan wawancara, Pius justru membela Prabowo. Dia menilai, Prabowo tidak bersalah dalam penculikan tersebut.
Pius malah menyalahkan Soeharto seorang. Sebab Prabowo sebagai anak buah dan prajurit, harus menjalankan perintah dari seorang pimpinan. Pembelaan ini dilakukan Pius kepada Prabowo setelah dirinya bertemu langsung tatap muka dengan Prabowo. Di sana, Prabowo menceritakan kisah penculikan tersebut.
Sumber yg ini
------------------------------------------------------------------------------
In September 1998, Marzuki Darusman, then TGPF chair and today attorney-general, mused to reporters: "I think there's more to it than just Prabowo. I say he's a keeper of secrets. And he might be predisposed to reveal a few if forced to."
Pada September 1998, Marzuki Darusman, yang kemudian menjabat ketua TGPF dan kemudian menjadi Jaksa Agung, mengungkapkan kepada para wartawan. “Saya rasa terdapat banyak lagi hal lain, selain Prabowo. Saya mengatakan bahwa dia hanya penjaga dari rahasia-rahasia tersebut. Dan dia mungkin dapat dipengaruhi untuk mengungkapkan sedikit jika terpaksa.”
Sumber Asiaweek
Diubah oleh bathur 08-06-2014 17:58
0
6.3K
53
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan