- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Memaknai Pidato Kikuk ala Jokowi


TS
jalatos
Memaknai Pidato Kikuk ala Jokowi
gan, ane mau share article yg ane baca di kompasiana
menurut ane artikel ini dapat menjelaskan makna pidato Jokowi
menurut ane artikel ini dapat menjelaskan makna pidato Jokowi
Quote:
Sejujurnya, sulit bagi saya untuk memungkiri bahwa saat periode PilPres adalah masa yang amat sukar lepas dari keberpihakan.
Netralitas adalah antitesa yang hendak dibangun dari ketidakmampuan untuk memiliki keberpihakan, dan itu sesungguhnya akan melukai hati nurani kita secara pribadi.
Saluran politik dan demokrasi memberikan pilihan alternatif dalam menunjukkan sikap, tendensi, kecenderungan bahkan keberpihakan secara politik.
Tulisan kali ini tergerak ketika sudah begitu banyak analisa yang mencoba menggiring opini untuk mengambil posisi berjarak dari Capres Jokowi.
Keberpihakan adalah sebuah pilihan bebas yang mandiri, disertai rasa tanggung jawab. Bagi saya rekam jejak adalah hal penting dari kebutuhan akan figur pemimpin bangsa.
Track record menjadi tolak ukur awal bagi kepentingan penilaian serta menakar kualitas Capres ke Depan, dan atas semua dasar pertimbangan pilihan itu maka dilabuhkan tambatan kepada Jokowi.
Begitu deras reproduksi dan repetisi ide diberbagai media tentang perubahan sikap, bahkan perilaku Jokowi pada kurun waktu terakhir.
Tegang, itu pasti dialami, dan menurut saya pribadi hal itu teramat wajar bahkan lumrah ketika harus dihadapkan pada begitu banyak harapan dan aspirasi yang digantungkan pada pundak Anda.
Tapi dari situ pula saya paham, bahwa Jokowi memang bukan macan podium layaknya Sukarno yang menggelora, bahkan disatu sisi Jokowi terbilang irit kata dan tidak berlama-lama.
Para pakar komunikasi politik mencoba mengurai tafsir atas sikap berpidato Jokowi, dari hal mendasar yang kemudian disebut tidak memiliki bobot atas titik tekan makna dalam pesan berpidato, hingga sampai pada persoalan kemampuan penguasaan panggung.
Bagi saya, terlalu berlebihan dan nampak a-historis, karena memang Jokowi pada dasarnya tidak terlalu menyukai acara seremonial yang formal, bahkan dari sejak awal kemunculan diranah media, pidatonya selalu singkat dan pendek.
Bila demikian, apakah durasi pidato yang kilat itu menunjukkan rendahnya kualitas makna penyampaiannya? Rasanya juga tidak, karena banyak substansi riil yang harus diperhatikan.
Pada saat pengambilan nomor urut, pokok esensialnya terletak pada harapan akan terciptanya keseimbangan dan harmonisasi dari sistem perpolitikan nasional diasosiasikan dengan nomor urut 2 yang merupakan bilangan genap untuk saling menggenapi.
Ketika berpidato saat sosialisasi pemilu damai, komunikasi intinya adalah pesta demokrasi pada PilPres harus dilewati dengan kegembiraan penuh keriangan dan bebas ketakutan, karena memang hal itu adalah pondasi dasar dari kehidupan damai yang merdeka.
Bagi saya secara pribadi, sulit untuk tidak berpihak, meski harus diakui tim pemenangan Jokowi pun harus melakukan konsolidasi dalam perencanaan strategi kampanye.
Namun sikap yang apa adanya itu, memang trademark yang sulit dipisahkan dari kepribadian Jokowi. Maklum saja, tim pemenangannya secara independen dibentuk secara sukarela, bukan tim sukses bertitel pakar komunikasi politik lulusan luar negeri, banyak diantaranya malah terbilang kelompok marjinal.
Jadi kalau Jokowi agak kikuk dan kaku, sempat bahkan terbata dalam mengurai gagasan yang hendak disampaikan pada pidatonya, memang gaya pidatonya tidak ubah mirip Pak RT di Kampung yang bernama Indonesia.
Karena Jokowi adalah kita, yang bukan trah biru berdarah ningrat secara politik, serta memulai semua tahapan yang dilewatinya, dari titik terbawah hingga kini hadir dihadapan khalayak ramai.
Satu yang pasti Jokowi membawa kehendak perubahan, semangat muda yang tidak tercemar dari beban dan tanggung jawab masa lalu, maka oleh karenanya masa depan kita secara berbangsa akan disematkan.
Pastikan pilihan Anda dibilik suara. Salam Damai -Peace *sambil angkat dua jari.
**Penulis lepas tidak dibayar oleh pihak manapun, merupakan opini pribadi
Sumber
Netralitas adalah antitesa yang hendak dibangun dari ketidakmampuan untuk memiliki keberpihakan, dan itu sesungguhnya akan melukai hati nurani kita secara pribadi.
Saluran politik dan demokrasi memberikan pilihan alternatif dalam menunjukkan sikap, tendensi, kecenderungan bahkan keberpihakan secara politik.
Tulisan kali ini tergerak ketika sudah begitu banyak analisa yang mencoba menggiring opini untuk mengambil posisi berjarak dari Capres Jokowi.
Keberpihakan adalah sebuah pilihan bebas yang mandiri, disertai rasa tanggung jawab. Bagi saya rekam jejak adalah hal penting dari kebutuhan akan figur pemimpin bangsa.
Track record menjadi tolak ukur awal bagi kepentingan penilaian serta menakar kualitas Capres ke Depan, dan atas semua dasar pertimbangan pilihan itu maka dilabuhkan tambatan kepada Jokowi.
Begitu deras reproduksi dan repetisi ide diberbagai media tentang perubahan sikap, bahkan perilaku Jokowi pada kurun waktu terakhir.
Tegang, itu pasti dialami, dan menurut saya pribadi hal itu teramat wajar bahkan lumrah ketika harus dihadapkan pada begitu banyak harapan dan aspirasi yang digantungkan pada pundak Anda.
Tapi dari situ pula saya paham, bahwa Jokowi memang bukan macan podium layaknya Sukarno yang menggelora, bahkan disatu sisi Jokowi terbilang irit kata dan tidak berlama-lama.
Para pakar komunikasi politik mencoba mengurai tafsir atas sikap berpidato Jokowi, dari hal mendasar yang kemudian disebut tidak memiliki bobot atas titik tekan makna dalam pesan berpidato, hingga sampai pada persoalan kemampuan penguasaan panggung.
Bagi saya, terlalu berlebihan dan nampak a-historis, karena memang Jokowi pada dasarnya tidak terlalu menyukai acara seremonial yang formal, bahkan dari sejak awal kemunculan diranah media, pidatonya selalu singkat dan pendek.
Bila demikian, apakah durasi pidato yang kilat itu menunjukkan rendahnya kualitas makna penyampaiannya? Rasanya juga tidak, karena banyak substansi riil yang harus diperhatikan.
Pada saat pengambilan nomor urut, pokok esensialnya terletak pada harapan akan terciptanya keseimbangan dan harmonisasi dari sistem perpolitikan nasional diasosiasikan dengan nomor urut 2 yang merupakan bilangan genap untuk saling menggenapi.
Ketika berpidato saat sosialisasi pemilu damai, komunikasi intinya adalah pesta demokrasi pada PilPres harus dilewati dengan kegembiraan penuh keriangan dan bebas ketakutan, karena memang hal itu adalah pondasi dasar dari kehidupan damai yang merdeka.
Bagi saya secara pribadi, sulit untuk tidak berpihak, meski harus diakui tim pemenangan Jokowi pun harus melakukan konsolidasi dalam perencanaan strategi kampanye.
Namun sikap yang apa adanya itu, memang trademark yang sulit dipisahkan dari kepribadian Jokowi. Maklum saja, tim pemenangannya secara independen dibentuk secara sukarela, bukan tim sukses bertitel pakar komunikasi politik lulusan luar negeri, banyak diantaranya malah terbilang kelompok marjinal.
Jadi kalau Jokowi agak kikuk dan kaku, sempat bahkan terbata dalam mengurai gagasan yang hendak disampaikan pada pidatonya, memang gaya pidatonya tidak ubah mirip Pak RT di Kampung yang bernama Indonesia.
Karena Jokowi adalah kita, yang bukan trah biru berdarah ningrat secara politik, serta memulai semua tahapan yang dilewatinya, dari titik terbawah hingga kini hadir dihadapan khalayak ramai.
Satu yang pasti Jokowi membawa kehendak perubahan, semangat muda yang tidak tercemar dari beban dan tanggung jawab masa lalu, maka oleh karenanya masa depan kita secara berbangsa akan disematkan.
Pastikan pilihan Anda dibilik suara. Salam Damai -Peace *sambil angkat dua jari.
**Penulis lepas tidak dibayar oleh pihak manapun, merupakan opini pribadi
Sumber
0
5.6K
Kutip
59
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan