

TS
trafalgal92
sumber blogspot
DI sela-sela kegaduhan dan pro-kontra
calon presiden, bangsa ini tengah
mengalihkan sedikit perhatian ke
Situbondo. Di ujung timur Jawa Timur
inilah TNI sedang mengonsentrasikan
kekuatannya menjalani Latihan Gabungan
(Latgab) 2014.
Latgab yang digelar di akhir fase Minimum
Essential Force (MEF) I sekaligus
pemerintahan SBY patut menjadi
perhatian. Bukan sekadar untuk mengukur
sejauh mana belanja militer mampu
memenuhi kebutuhan mengamankan NKRI,
tapi juga mengukur apakah perkembangan
kekuatan alat utama sistem senjata
(alutsista) sudah cukup membuat TNI
percaya diri untuk mengubah doktrin dari
defensif aktif dengan titik fokus pada
skenario perang berlarut menjadi defensif-
ofensif dengan konsentrasi pada
containment dan penghancuran kekuatan
lawan sebelum memasuki teritorial darat
NKRI.
Sejauh ini susah dipahami bahwa TNI
sudah mempunyai kemampuan melakukan
tindakan ofensif. Hal ini karena persepsi
tentang kekuatan tulang punggung
pertahanan Indonesia tersebut belum
beranjak dari era Orde Baru hingga era
reformasi di mana TNI begitu nelangsa
akibat embargo militer, terutama dari
Amerika Serikat yang merupakan pemasok
utama alutsista sejak dimulainya era
pemerintahan Soeharto.
Sebaliknya, tidak banyak yang sadar
melonjaknya perekonomian, hubungan baik
dengan Rusia; bargaining position yang
kuat di mata Amerika Serikat, China, dan
Inggris; kerja sama erat antara Indonesia
dan Jerman, Prancis, Korea Selatan; serta
simbiosis mutualisme dengan negara
sahabat seperti Brunei Darussalam telah
menjadi daya dongkrak kekuatan alutsista
TNI.
Pun konflik di Laut China Selatan serta
gesekan dengan Australia dan Malaysia
telah menjadi trigger perubahan yang bisa
disebut revolusi alutsista. Dengan posisi di
atas angin tersebut, tentu tidaklah sulit
bagi TNI memiliki bukan hanya kapal
selam U-209 yang selama ini dikenal
sebagai Cakra-Nanggala, tapi juga kapal
selam U-206, U-212, U-214, Kilo tipe 636
dan 877 K4b, Amur, bahkan Typhoon.
Juga bukan perkara sulit bagi TNI untuk
mendatangkan Slava Class (heavy cruiser ),
Sovremenny Class (destroyer), Talwar
Class (frigate ), Stereguschyy Class
( corvette ), dan lainnya. Untuk matra udara,
bukan mustahil TNI memiliki pesawat
tempur sekelas Su-34 Fullback, Su-35SI
Super Flanker, Dassault Rafale, dan
Eurofighter Tornado, bahkan Tu-160
Blackjak. Pun tidak mengada-ada jika TNI
memiliki S-300PMU2 / SA-20 Gargoyle
atau HQ-16 SAM Systems sebagai payung
udara.
Siapa pun sulit membayangkan kekuatan
Indonesia tinggal selangkah melampaui
kekuatan di era 1960-an. Apalagi bagi
mereka yang mendewakan ”penampakan”.
Padahal, domain militer lebih banyak
misterinya. Tapi kalau jeli, pesannya
sudah disampaikan Moeldoko tentang
Sukhoi terbang di atas air dan alutsista
yang semakin padat pada 2016.
Atau lebih jauh seperti disampaikan
Menhan Poernomo Yusgiantoro bahwa
militer Indonesia pada 2014 akan menjadi
terkuat di kawasan dan pernyataan SBY –
yang sebenarnya didapuk TNI sebagai
panglima besar atas jasanya untuk TNI–
tentang kesiapan Indonesia berperang.
Tapi pihak skeptis sekaligus pesimis, tentu
harus bertanya apakah Indonesia
selamanya aman-aman saja, apakah tidak
punya potential adversaries , apakah tidak
pernah menjadi sasaran assymetric
warfare dan proxy warfare .
Dengan posisi geopolitik yang demikian
strategis, apakah Indonesia tidak layak
menjadi primary target. Jika begitu
adanya, apakah Indonesia tidak layak
membangun deterrent effect. Dengan
potensi yang datang dari delapan penjuru
angin, tentu Indonesia harus membentuk
komando gabungan wilayah pertahanan
(kogabwilhan) dan itu harus dilengkapi
beragam alutsista, termasuk produk dalam
negeri.
Berdasarkan pemaham atas ancaman
inilah kita berharap latgab menjadi ajang
deklarasi dan uji coba perubahan doktrin
militer. Tentu Indonesia
mempertimbangkan keseimbangan
kawasan hingga tidak perlu vulgar. Tapi
paling tidak bisa memberi pesan: Jalmo
moro, jalmo mati; dhemit moro, dhemit
mati; dewa moro, dewa keplayu; dhemit
ora ndulit, setan ora doyan.”(nfl)
★ Sindo
calon presiden, bangsa ini tengah
mengalihkan sedikit perhatian ke
Situbondo. Di ujung timur Jawa Timur
inilah TNI sedang mengonsentrasikan
kekuatannya menjalani Latihan Gabungan
(Latgab) 2014.
Latgab yang digelar di akhir fase Minimum
Essential Force (MEF) I sekaligus
pemerintahan SBY patut menjadi
perhatian. Bukan sekadar untuk mengukur
sejauh mana belanja militer mampu
memenuhi kebutuhan mengamankan NKRI,
tapi juga mengukur apakah perkembangan
kekuatan alat utama sistem senjata
(alutsista) sudah cukup membuat TNI
percaya diri untuk mengubah doktrin dari
defensif aktif dengan titik fokus pada
skenario perang berlarut menjadi defensif-
ofensif dengan konsentrasi pada
containment dan penghancuran kekuatan
lawan sebelum memasuki teritorial darat
NKRI.
Sejauh ini susah dipahami bahwa TNI
sudah mempunyai kemampuan melakukan
tindakan ofensif. Hal ini karena persepsi
tentang kekuatan tulang punggung
pertahanan Indonesia tersebut belum
beranjak dari era Orde Baru hingga era
reformasi di mana TNI begitu nelangsa
akibat embargo militer, terutama dari
Amerika Serikat yang merupakan pemasok
utama alutsista sejak dimulainya era
pemerintahan Soeharto.
Sebaliknya, tidak banyak yang sadar
melonjaknya perekonomian, hubungan baik
dengan Rusia; bargaining position yang
kuat di mata Amerika Serikat, China, dan
Inggris; kerja sama erat antara Indonesia
dan Jerman, Prancis, Korea Selatan; serta
simbiosis mutualisme dengan negara
sahabat seperti Brunei Darussalam telah
menjadi daya dongkrak kekuatan alutsista
TNI.
Pun konflik di Laut China Selatan serta
gesekan dengan Australia dan Malaysia
telah menjadi trigger perubahan yang bisa
disebut revolusi alutsista. Dengan posisi di
atas angin tersebut, tentu tidaklah sulit
bagi TNI memiliki bukan hanya kapal
selam U-209 yang selama ini dikenal
sebagai Cakra-Nanggala, tapi juga kapal
selam U-206, U-212, U-214, Kilo tipe 636
dan 877 K4b, Amur, bahkan Typhoon.
Juga bukan perkara sulit bagi TNI untuk
mendatangkan Slava Class (heavy cruiser ),
Sovremenny Class (destroyer), Talwar
Class (frigate ), Stereguschyy Class
( corvette ), dan lainnya. Untuk matra udara,
bukan mustahil TNI memiliki pesawat
tempur sekelas Su-34 Fullback, Su-35SI
Super Flanker, Dassault Rafale, dan
Eurofighter Tornado, bahkan Tu-160
Blackjak. Pun tidak mengada-ada jika TNI
memiliki S-300PMU2 / SA-20 Gargoyle
atau HQ-16 SAM Systems sebagai payung
udara.
Siapa pun sulit membayangkan kekuatan
Indonesia tinggal selangkah melampaui
kekuatan di era 1960-an. Apalagi bagi
mereka yang mendewakan ”penampakan”.
Padahal, domain militer lebih banyak
misterinya. Tapi kalau jeli, pesannya
sudah disampaikan Moeldoko tentang
Sukhoi terbang di atas air dan alutsista
yang semakin padat pada 2016.
Atau lebih jauh seperti disampaikan
Menhan Poernomo Yusgiantoro bahwa
militer Indonesia pada 2014 akan menjadi
terkuat di kawasan dan pernyataan SBY –
yang sebenarnya didapuk TNI sebagai
panglima besar atas jasanya untuk TNI–
tentang kesiapan Indonesia berperang.
Tapi pihak skeptis sekaligus pesimis, tentu
harus bertanya apakah Indonesia
selamanya aman-aman saja, apakah tidak
punya potential adversaries , apakah tidak
pernah menjadi sasaran assymetric
warfare dan proxy warfare .
Dengan posisi geopolitik yang demikian
strategis, apakah Indonesia tidak layak
menjadi primary target. Jika begitu
adanya, apakah Indonesia tidak layak
membangun deterrent effect. Dengan
potensi yang datang dari delapan penjuru
angin, tentu Indonesia harus membentuk
komando gabungan wilayah pertahanan
(kogabwilhan) dan itu harus dilengkapi
beragam alutsista, termasuk produk dalam
negeri.
Berdasarkan pemaham atas ancaman
inilah kita berharap latgab menjadi ajang
deklarasi dan uji coba perubahan doktrin
militer. Tentu Indonesia
mempertimbangkan keseimbangan
kawasan hingga tidak perlu vulgar. Tapi
paling tidak bisa memberi pesan: Jalmo
moro, jalmo mati; dhemit moro, dhemit
mati; dewa moro, dewa keplayu; dhemit
ora ndulit, setan ora doyan.”(nfl)
★ Sindo
0
3.1K
18
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan