gajoestamboenanAvatar border
TS
gajoestamboenan
Pantaskah Prabowo Jadi Presiden RI Selanjutnya ???
Prabowo adalah sosok kontroversial. Ratingnya tinggi dalam jajak pendapat tentang siapa presiden Indonesia periode mendatang. Bahkan tertinggi jauh melewati pesaingnya, sebelum akhirnya Joko Widodo menyalib dengan sangat telak. Sementara nama terakhir ini meski digadang-gadang oleh masyarakat, sampai kini belum resmi dicalonkan oleh partinya. Tarik ulur berbagai kepentingan dalam internal partainya bisa saja membuat Jokowi tak dicapreskan. Lho, siapa tahu ? Maka tak dapat ditolak pasti Prabowo yang akan menyodokkan kemenangan.

Padahal Prabowo mempunyai masa lalu yang belum tuntas dia selesaikan, yaitu penculikan para aktivis pada tahun 1998. Sebenarnya sebelum kasus tersebut, Prabowo sudah mempunyai benih-benih keanehan serupa. Modus “penculikan” dan “kudeta” nyaris dia terapkan kepada atasannya ketika dia masih seorang kapten. Dia gagal sebagai seorang desainer tetapi cukup suskes untuk menghambat karir orang lain karena ia masih menantu Soehato Yang Mahakuasa waktu itu.

Posting ini merupakan ringkasan buku Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit PARA KOMANDO. Ini bukan ringkasan seluruh buku itu. Saya hanya menukil bagian tertentu yang menceritakan hubungan Sintong Panjaitan dan Prabowo.

Apakah lantas peristiwa dalam buku itu menjadi subjektif. Ya tentu, lha memang ditulis dari sudut pandang Sintong, yang mengalami masa-masa kelabu dalam relasi dengan Prabowo. Kalau ada yang tidak setuju ya buat saja buku. Atau beri saya tautan dalam komentar Anda, sehingga orang lain mendapat bacaan yang berimbang.

Saya cuma ingin menjawab rasa penasaran para pembaca blog saya. Setiap kali saya membuka dashboard, pencairan dengan keyword Prabowo nangkring di angka tertinggi. Macam-macamlah. Ada mencari kaitan Prawobo dengan Timor Leste, Prabowo dengan penculikan aktivis, dlsb., sampai juga pencarian kenapa Prabowo tetap menjomblo. Yang terakhir ini – EGP – emang gue pikirin. Emang peran ibu negara penting apa ?

Saya positif thinking. Semakin banyak orang mencari tahu sosok Prabowo semakin orang tahu latar belakangnya sebelum akhirnya mengambil keputusan. Keputusannya bisa apapun: memilih atau tidak memilih. Yang penting tidak memilih kucing dalam karung. Setiap keputusan orang harus tahu konsekuensinya. Dan saya ingin bangsa ini, terutama generasi mudanya semakin cerdas dan bernalar.

Karena tulisan saya akan agak panjang maka saya bagi dua. Bagian pertama meringkaskan kisaran peristiwa pada Mei 1998 terutama relasi Prabowo dengan Habibi dan Sintong serta modus penculikan dan kudeta yang digunakan Prabowo di lingkungan ABRI. Bagian kedua nanti secara khusus saya ringkaskan tentang penculikan aktivis pada Mei 1998. ***~~~



Judul Buku : Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
Penulis: Hendro Subroto dengan pengantar Prof. Taufik Abdullah
Penerbit : Kompas, Jakarta, April 2009
Tebal : 552 hlm + xxx

PRABOWO DALAM PUSARAN PENCULIKAN DAN KUDETA


1. Prabowo dan Badai Mei

Mei 1998 adalah bulan yang seharusnya tak boleh hilang dari ingatan Indonesia. Menjelang dan setelah Soeharto terjungkal dari kekuasaan dikatator militeristiknya, kekacauan besar terus melanda Jakarta. Empat mahasiswa Trisakti ditembak pada 12 Mei. Dan sesudahnya eskalasi kekacauan terus membesar. Di berbagai tempat terjadi penjarahan, pemerkosaan dan pembakaran. Sutiyoso, waktu itu Gubernur DKI, mengumumkan bahwa sedikitnya 4.939 bangunan rusak dibakar dan 500 orang tewas. Kerugian material dan immaterial yang sugguh tak terperi.

Situasi Jakarta tak terkendali. Habibi sebagai wakil presiden tak berani mengambil keputusan untuk mengambil alih kendali sementara Priseden dan rombongannya sedang melawat ke Mesir. Pada saat genting itu hampir semua jenderal yang seharusnya bertanggung jawab mengamankan jakarta tak ada di tempat. Sebagian besar mereka pergi ke Malang menghadiri serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Rekasi Cepat (PRRC) dari Divisi 1 kepada Divisi II Kostrad. Aneh bahwa mereka semua tidak mengetahui bakal ada keusuhan besar.

Pada 21 Mei Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan dan menyerahkan kepada B.J. Habibi. Sintong Panjaitan yang semula merupakan penasihat wapres bidang hankam kemudian naik pangkat menjadi penasihat presiden bidang hankam.

Keesokan harinya Kivlan Zein dan Muchhdi PR diminta oleh Parnglima Kostrad Letjend Prabowo Subianto untuk menyampaikan surat yang ditandatangani oleh Jenderal A.H. Nasution kepada presiden. Keduanya diterima oelh Sintong. Surat itu berisi saran agar Subagyo HS diangkat menjadi Panglima ABRI dan, Wiranto sebagai menteri Hankam dan Prabowo sebagai KSAD.

Ternyata kemudian dalam bukunya Kivlan Zein mnegakui bahwa Jenderal A.H. Nasution hanya menadatangani saja. Surat ditulis tangan oleh Kiivlan Zein sendiri karena Jenderal Nasution sedang sakit. Jadi tanggal 22 Mei pagi itu, Prabowo meminta Kivlan dan Muchdi PR untuk menemui Jenderal Nasution dan membuat surat kepada presiden. Habibi diketahui sangat menghormati Nasution.

Pagi itu pula. Wiranto melaporkan kepada presiden bahwa ada pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta ke Jakarta di luar sepengatahuannya. Konsentrasi pasukan juga ada di Patra Jasa, Kuningan, di sekitar kediaman Habibi. Habibi menganggap Wiranto jujur. Maka ia memerintahkan jabatan panglima Kostrad yang dipegang Prabowo harus diserahterimakan pada hari itu juga. Padahal Prabowo baru memegang jabatannya itu selama 63 hari.

Mengetahui dirinya diganti, Prabowo mendatangi istana pada pukul 15.00 dengan membawa 12 pengawal. Setelah menanyakan keberadaan presiden, Prabowo langsung menuju lantai dasar seterusnya naik lift ke lantai 4. Ia masih bersenjata lengkap. Tak seorang pun petugas menahannya. Mestinya semua orang yang akan bertemu presiden disterilkan dulu di lantai dasar. Sintong kemudian meminta seorang pengawal presiden untuk mendekati Prabowo dan memintanya menanggalkan senjatanya. Untungnya Prabowo bersedia. Ia membuka kopel tempat menambatkan pistol, magasin peluru, pisau rimba dan peralatan lain.

Prabowo diterima oleh Habibi. Saat ini ia minta kepada presiden untuk dihubungkan dengan Panglima ABRI. Saat itu seorang ajudan segera akan menghubungi Wiranto, tetapi Sintong beranggapan hal ini tidak etis. Maka ia melarang ajudan melakukannya.

Kedatangan Prabowo ke istana pada kukul 15.00 itu aneh, sebab mestinya ia harus melakukan serah terima jabatan. Kata Sintong kepada KSAD, Jenderal Subagyo HS, “Kalau KSAD tidak melakukan penggantian Prabowo sesuai perintah, maka kalian jadi satu paket.” Maksudnya KSAD juga akan diganti. Maka, saat itu juga KSAD mencari Prabowo. Sore itu dengan sikap hormat Prabowo menghadap KSAD dengan sikap hormat meski tetap dengan senjata di pinggangnya.

Tidak lama kemudian, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo, minta mengahadap presiden. Atas saran Sintong, sebaiknya presiden menolak bertemu langsung dan berbicara hanya lewat telepon saja. Presiden menerima saran itu. Apa isi pembicaraan mereka berdua, pasti orang banyak akan paham.

Sehubungan dengan penggantian Prabowo ini, Sintong Panjaitan menolak tegas tuduhan bahwa ia adalah otak di belakangnya. Ia mengatakan bahwa ia hanya mendukung segala sesuatu yang diputuskan oleh presiden sesuai kapasitasnya sebagai penasihat bidang hankam.

2. Prabowo dan kudeta L.B. Murdani

Kalau Prabowo terlibat dalam kasus penculikan aktivis pada 1998, sebenarnya benih karakter tersebut sudah tumbuh jauh sebelum masa itu. Tahun 1983 Luhut Panjaitan, waktu itu berpangkat mayor dan Prabowo, kapten waktu itu, merupakan dua orang yang menduduki jabatan komandan dan wakil komandan Detasemen 81/ Antiteror. Satuan elit ini selalu mendapat pasokan informasi intelijen oleh staf Intelijen Hankam. Karena kedua badan ini saling erat terkait, maka Luhut hampir mengetahui semua gerak-gerik L.B. Murdani sebagai Asintel Hankam.

Pada bulan Maret 1983, menjelang SU MPRR, Luhut dikejutkan oleh laporan anak buahnya bahwa Den 81/Antiteror sedang dalam status siaga atas perintah Kapten Prabowo Subianto. Mereka berencana untuk “mengambil” jenderal L.B. Murdani dan beberapa nama lagi termasuk : Letjen Sudharmono, Marsdya Ginanjar Kartasasmita, dan Letjen Mordiono. Kepala Kasi2/Ops bahkan menerangkan bahwa mereka telah membuat rencana untuk mengamankan Presiden Soeharto ke markas Den81/Antiteror di Cijantung.

Luhut merasa aneh, bahwa ada permasalahan besar seperti itu, tetapi ia sebagai komandan tidak tahu apa-apa. Ia memerintahkan anak buahnya kembali “siaga ke dalam”. Senjata dan radio para anggota dikumpulkan di dalam kemar kerjanya. Ia tidur di kantor malam. Itu.

Prabowo ia panggil. Kepadanya Prabowo menjelaskan bahwa L.B. Murdani akan melakukan kudeta. Seluruh ruangan Den 81/Antiteror telah disadap. Bahkan L.B. Murdani telah memasukkan senjata ke Indonesia. Tentu saja Luhut tidak percaya. Tapi ia ingat betul satu kalimat Prabowo saat itu, “ Bang, nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan seorang mayor .”

Luhut melaporakan masalah “kudeta” kepada Sintong Panjaitan, Komandan Grup 3/ Sandiyudha. Oleh Sintong, Luhut disarankan untuk melapor kepada Brigjen Jasmin, Danjen Kopassandha. Berdua, Sintong dan Prabowo menhadap Pak Jasmin. Pak Jasmin tidak percaya laporan Prabowo, sehingga Prabowo marah-marah. Kemudian sekali lagi Pak Jasmin memanggil Luhut masuk ke ruangannya, sendirian tidak bersama Prabowo. “Ada apa dengan Prabowo ? Tampaknya ia stress berat. Tahan pasukanmu. Jangan ada yang bergerak !” demikian Brigjen Jasmin.

Susudah kembali ke markas di Cijantung, Luhut menegur Prabowo dan menekankan kedudukan dirinya sebagai komandan dan Prabowo sebagai wakil komandan. Ia menghadap Prof. Sumitro, ayah Prabowo, untuk memberi tahu bahwa Prabowo diberi cuti dua minggu. Alasannya Prabowo stress karena terjadi situasi di Cijantung yang “kurang pas”. Prof. Sumitro bisa memahami.

Sintong mengetahui peristiwa ini lebih detil ketika beberapa waktu sesudahnya bertemu Brigjen Jasmin di Kariango, Makasar. Brigjen Jasmin bercerita bahwa Prabowo mengatakan kepadanya bahwa L.B. Murdani akan melakukan kudeta. Karena itu Prabowo akan melakukan gerakan pasukan untuk menangkap L.B. Murdani dan beberapa perwira lainnya.

Karena Brigjen Jasmin tidak percaya, Prabowo menuduh Brigjen Jasmin tidak setia kepada negara dan bangsa. Itu dikatakan sambil menuding-nudingkan telunjuknya ke wajah Brigjen Jasmin. “Bahkan Luhut yang menurunkan tangan Prabowo, “ tambah Brigjen Jasmin. Lebih parah lagi Prabowo mengintai rumah Brigjen Jasmin sampai melompati pagar rumahnya.

Kebenaran cerita Brigjen Jasmin ini dibenarkan oleh Marsdya Teddy Rusdi, pejabat Assiten Perencanaan Umum Panglima Tinggi ABRI. Teddy Rusdi telah mendampingi L.B. Murdani selama 20 tahun sejak lulus dari Seskoal. Teddy mengatakan rumahnya juga diintai oleh Prabowo sebab Prabowo menyangka di rumah Teddy sedang dilakukan persiapan kudeta oleh L.B. Murdani.

Kata Sintong dalam bukunya, adalah benar bahwa L.B. Murdani memasukkan senjata ke Indonesia tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan kudeta. Senjata itu antara lain buatan Israel dan Perancis yang dibeli dari Taiwan untuk dijual kepada Pakistan dan nantinya akan disalurkan untuk pejuang Mujahidin di Afganistan. Operasi intelijen oleh L.B. Murdani digunakan untuk mencari dana dan peran Indonesia bagi perjuangan di Asia.

Menurut Sintong Panjaitan, tuduhan kudeta ini sama sekali tidak berdasar. Tuduhan dilontarkan oleh seorang kapten yang “sakit” dan tidak punya perangkat untuk menyelidiki kebenaran. Mestinya terhadap Prabowo diambil tindakan. Namun kenyataannya ABRI tidak berani mengambil tindakan karena segan terhadap Soeharto yang mungkin saja akan membela menantunya.


Tentu saja segala peristiwa yang menyangkut dirinya itu diketahui oleh L.B. Murdani sendiri, meski peristiwa itu tidak diperpanjang. Tetapi peristiwa itu merupakan titik awal di mana hubungan L.B. Murdani dan Prabowo tidak pernah lagi menjadi baik. Bahkan beberapa saat kemudian hubungan Luhut Panjaitan dan Prabowo juga ikut memburuk terutama karena kasus pembangunan jaringan intelijen di Den 81 / Antiteror. Luhut juga dilaporkan kepada Suharto: sekali lagi ….. akan melakukan kudeta kepada Soeharto!

Perkembangan selanjutnya di lingkungan ABRI dikenal adanya “debennysasi”, orang-orang yang dekat dengan L.B. Murdani dibersihkan dari peran-peran strategis. Luhut yang mencapai pangkat jenderal bintang tiga pun tidak pernah menduduki jabatan pangdam bahkan kasdam pun tidak pernah.

Sintong Panjaitan juga merasakan hal yang serupa. Ia mencermati dan menyimpulkan bahwa pada waktu itu setidaknya ada tiga kelompok dalam ABRI. Pertama adalah kelompok yang dekat dengan Soeharto, kedua adalah kelompok yang biasa saja dan ketiga adalah kelompok yang dekat dengan L.B. Murdani. Yang terakhir ini adalah kelompok yang kurang dipercaya oleh Soeharto. Apabila kelompok pertama membuat kesalahan mereka selalu dilindungi, kalau kelompok kedua fifty-fifty, kalau kelompok ketiga tiada maaf bagimu. Sintong sendiri menilai kedekatan dirinya dengan semua atasannya termasuk L.B. Murdani sebagai sikap prajurit yang profesional. Ia juga dekat dengan Try Sutrisno, Edy Sudrajat dll.

3. Prabowo dan penculikan aktivis pada 1998.

Kalau dalam peristiwa 1983, Prabowo gagal menculik Jenderal Benny Murdani dkk dengan tuduhan makar, maka berlainan halnya pada tahun 1998. Seperti sudah diketahui pada tahun itu Prabowo diadili oleh Dewan Kehormatan Perwira (DKP) untuk mempertanggungjawabkan kasus penculikan aktivis. Hasilnya anggota tim Mawar dinyatakan bersalah dan dihukum. Panglima ABRI atas rekomendasi DKP memberhentikan Prabowo dari dinas militer.

Peristiwa ini bermula dari perintah lisan Prawobo sebagai Komandan Kopassus kepada mayor Bambang Kristiyono untuk mengumpulkan data tentang kelompok / aktivis garis keras. Tahun 1997 akan diselenggarakan Pemilu dan Sidang Umum MPR pada tahun berikutnya. Prabowo memandanh bahwa keberadaan kelompok garis keras ini berpotensi menggagalkan dua agenda penting tersebut.

Berdasar perintah Prabowo, Bambang Kristiyono segera membentuk Tim Mawar yang beranggotakan 10 orang perwira dan bintara dari Detasemen 81 /Antiteror. Tugas mereka mencari dan mengungkap segala ancaman stabilitas. Tim Mawar bergerak secara rahasia atau biasa disebut undercover.

Peristiwa ledakan di rusun tanah Tinggi mendorong Bambang Kristiyono untuk meningkatkan kerja timnya. Salah satu caranya dengan melakukan penangkapan terhadap mereka. Tugas dilaksanakan dalam suasana tertib sipil. Yang perlu diperhatikan dalam ketentuan ini adalah bahwa mereka yang ditangkap adalah laki-laki belum berkeluarga, belum dikenal masyarakat tetapi punya intensitas kegiatan yang menonjol.

Setelah seorang bawahan melaksanakan tugas, baik atas perintah atasan maupun inisiatif sendiri, ia harus minta izin atau melaporkannya kepada pimpinan. Sehubungan dengan adanya operasi ini mestinya Prabowo segera melaporkannya kepada panglima ABRI. Setelah tugas dilaporkan berarti pimpinanlah yang mengambil alhih tanggung jawab.

Menurut Sintong, Prabowo secara organisasi tidak memiliki wewenang operasional. Tetapi secara moral ia merasa harus melakukannya dengan pertimbangan “keselamatan negara dan bangsa”. Dalam ABRI memang bisa terjadi tindakan spontan jika ada ancaman nyata. Tetapi pelaksanaannya harus sesuai dengan prosedur militer. Sedangkan Prabowo dalam kasus penculikan ternyata tidak melaporkan sama sekali tindakannya tersebut kepada KSAD Jenderal Wiranto maupun panglima ABRI Jenderal Faisal Tanjung. Hal ini diakui sendiri oleh Prabowo dalam sidang DKP.


Sidang Mahkamah Militer sendiri akhirnya memutuskan menghukum sebelas anggota Tim Mawar yang sepuluh orang di antaranya adalah anggota Den 81 / Antiteror. Mereka adalah : Bambang Kristiyono, F.S. Multhazar, Sulistyo Budi, Yulius Servanus, Untung Budiharto, Dadang Hendrayudha, Djaka Budi Utama, Fauka Noor Farid; tiga orang bintara : Sunaryo, Sigit Sugiyanto dan Sukardi.

Letjen Prabowo dipersalahkan karena tidak mengetahui kegiatan bawahan dalam wewenang komandonya. Selanjutnya sidang DKP merekomendasikan sanksi administratif untuk Prabowo. Berdasar rekomendasi ini Prabowo diberhentikan dari dinas militer.

Selama sidang Mahkamah Militer yang mengadili anggota Tim Mawar dan banyak opini berkembang di masyarakat bahwa persidangan tersebut hanyalah sandiwara saja. Rekayasa untuk melindungi dalang yang sebenarnya yaitu Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto, terasa kentara. Selama persidangan itu tak seorang pun anggota Tim Mawar yang mengaku mendapat perintah dari Prabowo. Mereka hanya mengaku mendapat perintah dari Mayor Bambang Kristiyono. Akibatnya secara hukum pidana hanya yang disebut terakhir ini yang dapat dimintai pertanggungjawaban
.

Dalam menanggapi kasus itu Sintong berpendapat bahwa pengakuan dan penolakan saksi dalam persidangan belum dapat digunakan sebagai alat bukti hukum. Walaupun seluruh anggota Tim Mawar mengaku mendapat perintah dari Mayor Bamabang Kristiyono, seharusnya oditur militer menelusuri asal perintah yang sebenarnya. Dalam hal tersebut, Prabowo jelas bertanggungjawab terhadap segala sepak terjang Tim Mawar, tetapi hukuman terhadapnya terasa melukai rasa keadilan masyarakat.

Sintong, yang lama berada di korps baret merah menangis mendengar keputusan ini. Ia merasa telah banyak andil mendidik kesatuan pasukan pilihan ini dari segi operasi dan latihan, termasuk kepada Prabowo sendiri, luhut Panjaitan, Hendropriyono, Muchdi Pr, dll. Ia tahu pasukan ini merupakan andalan di Kopassus dan anggotanya dipilih dari pasukan infantri terbaik.

Ternyata dalam melakukan tugasnya mereka harus masuk penjara dan dipecat. Padahal Secara taktis dan teknis mereka tidak salah menjalankan tugasnya. mereka hanya menjalankan perintah dan melindungi atasan. Inilah salah satu sejarah pahit dalam sejarah ABRI menurut Sintong Panjaitan
Diubah oleh gajoestamboenan 29-05-2014 23:57
0
13.2K
113
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan