mungkin artikel ini adalah artikel yang perlu kita renungkan bersama, yaitu tentang "TSUNAMI" AEC yang akan melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia.
serangan AEC perlu kita antisipasi agar Indonesia tidak sampai kolaps, bahkan jangan sampai terjadi KUDETA seperti Thailand. Karena dampak AEC sanggup memporakporandakan perekonomian Indonesia.
Inilah “Tsunami” yang dapat memporak-porandakan perekonomian Indonesia 2015
Inilah “Tsunami” yang dapat memporak-porandakan perekonomian Indonesia 2015
Tulisan ini adalah opini saya untuk mengingatkan masyarakat agar segera melakukan antisipasi menghadapi tahun 2015. Artikel ini bukan untuk menakuti ataupun menghasut, namun agar kita dapat berbenah dan melakukan peningkatan kualitas. Selamat membaca…!!!
Tahun 2015 Indonesia akan menghadapi AFTA dan AEC. Saya telah membahas tentang “Kiamat” yang mungkin dapat ditimbulkan oleh berlakunya AFTA atas Indonesia di tahun 2015. Kini saya akan menceritakan pandangan saya atas berlakunya AEC (ASEAN Economic Community) yang akan dimulai di tahun 2015.
Secara sederhana mendefinisikan AEC atau yang dalam bahasa Indonesia disebut MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) adalah sebuah kesepakatan negara-negara ASEAN tentang kerjasama di bidang tenaga kerja, dimana semua masyarakat di negara ASEAN dapat bekerja lintas negara se-ASEAN dengan mudah tanpa membutuhkan surat ijin atau visa kerja. Setiap masyarakat ASEAN berhak untuk melamar pekerjaan di negara kawasan ASEAN dengan syarat yang sama. Contoh: Warga negara Vietnam melamar pekerjaan menjadi pegawai supermarket di Indonesia dengan syarat yang sama dengan pelamar dari Indonesia.
Apa keuntungannya?
Masyarakat Indonesia yang bermimpi ingin bekerja di luar negeri seperti Malaysia dan Singapura tentu mimpinya akan menjadi kenyataan. Tapi apakah benar akan semudah itu?
Coba kita lakukan analisa menggunakan logika akal sehat, selama ini mana yang lebih banyak, Indonesia mengirim tenaga kerja atau tenaga profesional? Jika ada warga negara asing yang tinggal di Indonesia, pekerjaan apakah yang paling banyak mereka dapatkan di negara ini?
Apa kerugiannya?
Menurut Saya kerjasama AEC ini akan lebih banyak merugikan Indonesia dibandingkan keuntungannya. Sebagai negara dengan luas wilayah yang demikian banyak dan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, maka Indonesia sebenarnya memiliki banyak sekali potensi yang “tertidur” dan belum dikelola dengan efektif, efisien dan maksimal.
Potensi yang “tertidur” tersebut tidak dapat menyediakan lapangan pekerjaan yang cukup bagi masyarakat Indonesia sendiri. Kurangnya daya juang, pendidikan (knowledge) dan kreativitas membuat rakyat kita lebih banyak menjual SDA basic yang belum dikelola lebih lanjut. Masuknya warga negara Asing yang ber-mindset entrepreneurial ke Indonesia akan membuat kekayaan alam kita dikelola oleh mereka. Memang hal itu otomatis akan membuat banyak lapangan kerja baru yang bermunculan, tapi yang ironi bangsa kita bekerja pada mereka. Bukankah itu artinya kita menjadi tamu di rumah sendiri?
Rasa nasionalisme rakyat kita yang rendah juga dapat menjadi problem tersendiri di tahun 2015. Secara logika sederhana, jika ada 2 pelamar di perusahaan Anda, yang satu warga negara Singapura dan satunya adalah warga negara kita sendiri, manakah yang Anda lebih utamakan? manakah yang akan menempati posisi lebih tinggi? Diseminar-seminar yang saya bawakan, kebanyakan peserta seminar saya akan menjawab bahwa orang asing yang akan diutamakan. Hal ini disebabkan ada sebuah perasaan bangga dapat mempekerjakan orang asing tersebut. Hal ini tidak akan anda temukan pada warga negara maju, mereka akan lebih mengutamakan pekerjaan yang baik untuk saudara se-negara-nya dan memberikan pekerjaan “berbahaya” atau beresiko tinggi kepada warga negara asing.
Problem selanjutnya yang akan mendera negara ini pada AEC juga disebabkan karena kurangnya kualitas dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Problem yang paling terlihat jelas adalah dari faktor bahasa, pengetahuan dan teknologi.
Mayoritas penduduk Indonesia yang hampir berjumlah 250 juta ini memiliki kendala di bahasa asing seperti Bahasa Inggris dan Mandarin. Padahal ketika kita bicara tentang AEC maka mau tidak mau bahasa akan menjadi sebuah “kebutuhan” mendasar untuk berada di posisi penting sebuah perusahaan dan sayangnya mayoritas rakyat kita belum siap untuk hal itu.
Dari sisi pengetahuan dan teknologi, tidak semua rakyat Indonesia “melek” teknologi, bahkan di beberapa daerah pedalaman Indonesia masih ada masyarakat yang buta huruf. Lalu bagaimanakah nasib bangsa ini menghadapi AEC?
Sebagian orang yang berpikir optimis berpendapat bahwa tidak mungkin warga negara asing suka bekerja di Indonesia karena pendapatan di Indonesia lebih kecil di banding di negaranya. Pernyataan ini ada benarnya namun banyak salahnya. Pendapatan di sebuah negara biasanya akan menyesuaikan dengan kebutuhan mendasar di negara tersebut. Contoh sederhananya: Ketika saya ke Melbourne untuk seminar, saya membaca sebuah tulisan bahwa parkir di sana harganya bisa 10 AUD/jam. Jika kurs 1 AUD = Rp 10.000, maka biaya parkir disana adalah Rp 100.000/jam. Sehingga wajar jika gaji mereka disana tinggi karena kebutuhan hidup disana juga mahal.
Dengan kondisi tanpa AEC saja jumlah angka pengangguran di Indonesia masih tinggi, bagaimanakah setelah AEC? Apakah Indonesia akan menjadi tamu di rumahnya sendiri? Ingatlah bahaya ketika tingkat pengangguran di sebuah negara meningkat, maka tingkat kriminalitas akan meningkat.
Kita perlu bertindak lebih cepat untuk membantu Indonesia dan jangan menunggu pemerintah. Partai politik masih bingung mengatur koalisi untuk Pilpres Juli ini. Presiden terpilih juga baru akan dilantik 20 Oktober 2014. Mampukah presiden baru segera membuat kebijakan dalam waktu 2 bulan tersisa menjelang 2015 untuk mengantisipasi AFTA dan AEC? Saya meragukan hal itu.
Media di Indonesia belum banyak mengungkapkan bahaya AFTA dan AEC karena dianggap belum menjadi magnet utama bagi masyarakat. Berita pemilu jauh lebih menarik tanpa kita sadari bahaya setelah pemilu. Sebenarnya problem ini bisa teratasi dengan baik jika kita mampu mengembangkan nasionalisme kita, meningkatkan kemampuan kita dan rakyat Indonesia dapat kompak bersatu mempromosikan hal-hal yang bisa mendatangkan keuntungan bagi Indonesia pada saat berlakunya AFTA dan AEC seperti industri Pariwisata (Dapat membaca artikel saya berjudul “Bersiaplah hadapi “Kiamat. Tahun 2015 dapat menjadi awal permulaan “kiamat” bagi Indonesia, mari kita antisipasi!”).
Sebagai bentuk kepedulian kami, kami membuat sebuah program GRAB MONEY yang bisa diakses di
www.go-indonesia.info, program ini mengajak semua lapisan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dan berkontribusi dengan cara menceritakan objek wisata mana yang pernah dikunjungi, apa yang menarik disana dll. Kontribusi yang baik akan kami beri kompensasi Rp 50.000/kontribusi. Ikuti terus GRAB MONEY yang akan berganti-ganti. GRAB MONEY yang lalu adalah program upload foto kami beli Rp 50.000/foto.
AFTA dan AEC akan menjadi “tsunami” bagi negara-negara ASEAN yang tidak siap. Ketika “tsunami” memporak-porandakan ekonomi ASEAN yang tidak siap, akan timbul 2 kemungkinan, yaitu yang siap akan bertahan bahkan berkembang dengan memanfaatkan peluang dan yang tidak siap akan ter-hanyut mencari nafkah di negara orang.
Saya akan segera menuliskan artikel selanjutnya terkait AFTA dan AEC yaitu profesi apakah yang relatif “aman” dan bisnis apakah yang “prospek” di masa-masa AFTA dan AEC. Artikel akan saya upload di
www.go-indonesia.info terima kasih.
Salam,
Eric Yosua
Bagaimana pendapat Agan? saya jadi ingat komentar Pak Ruhut Sitompul di acara ILC TV One yang mengingatkan kita agar siapapun partai pemenang pemilu harus benar-benar siap mengemban tugas dengan baik, jangan sampai terjadi JAS MERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah), dalam hal ini kaitannya adalah presiden ke 3-5 Indonesia tidak menuntaskan periodenya (5 tahun)
ya kita doakan saja agar Indonesia makmur dan sejahtera.