Kaskus

Entertainment

vanlusterAvatar border
TS
vanluster
Penjelasan Isro Mi'roj dan 7 lapis langit
Penjelasan Isro Mi'roj dan 7 lapis langit

Latar Belakang saya Menulis Traed ini

Spoiler for Latar Belakang:


Pembuktian ilmu pengetahuan < sains > mengenai 7 lapis langit


Satu fakta tentang alam semesta sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an adalah bahwa langit terdiri atas tujuh lapis.


"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan- Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (Al Qur'an, 2:29)

"Kemudian Dia menuju langit, dan langit itu masih merupakan asap. Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya." (Al Qur'an, 41:11-12)

Kata "langit", yang kerap kali muncul di banyak ayat dalam Al Qur’an, digunakan untuk mengacu pada "langit" bumi dan juga keseluruhan alam semesta.

Perjalan Luar Biasa Nabi Muhammad SAW Menembus 7 Lapis Langit

Banyak di antara kita yang memiliki persepsi berbeda tentang langit. Ada yang berpendapat bahwa langit adalah sebuah 'atap' alias bidang pembatas ruang angkasa. Artinya, mereka mengira bahwa ruang di atas kita ada pembatasnya, semacam atap. Kelompok pertama ini, biasanya adalah mereka yang awam tentang ilmu Astronomi. Atau para orang tua yang tidak terlalu mengikuti film-film fiksi ilmiah tentang kehidupan angkasa luar yang banyak digemari anak-anak muda dan dewasa ini.

ada bagian-bagian mustahil yang sulit dijelaskan secara logis, baik dari sisi sunatullah maupun science. Salah satunya, adalah yang terkait dengan waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak Bumi menuju langit ke tujuh tersebut.
Maksudnya, Kita sudah mengetahui bahwa langit adalah ruang tak berhingga yang memuat triliunan benda-benda langit, seperti matahari, bulan, bintang, galaksi, dan lain-lain, termasuk Bumi. Dan kita juga tahu bahwa ruang langit terhampar dalam jarak yang luar biasa jauhnya. Diperkirakan diameter alam semesta ini sekitar 30 miliar tahun cahaya. Artinya, cahaya saja membutuhkan waktu 30 miliar tahun untuk menempuh jarak tersebut. Dan itu pun, menurut Al Qur'an baru langit yang pertama.

Maka, logikanya, Rasulullah saw tidak mungkin bisa menempuh jarak yang demikian jauh itu hanya dalam waktu semalam atau bahkan setengah malam. Cahaya saja, yang memiliki kecepatan tertinggi di alam semesta, membutuhkan waktu 30 miliar tahun. Apalagi manusia. Bahkan, meskipun badan Rasulullah saw telah diubah menjadi cahaya oleh malaikat Jibril, tetap tidak bisa dijelaskan bagaimana cara beliau menempuh jarak tersebut. Sekali lagi, cahaya membutuhkan waktu bermiliar-miliar tahun. Sedang Nabi hanya punya waktu setengah malam saja!

Karena itu, saya mencoba memahami dari sudut pandang yang berbeda. Bahwa Nabi tidak mengarungi angkasa raya tersebut, melainkan bergerak lintas dimensi. Apakah maksudnya?

Maksudnya, langit mungkin tidak berbentuk atap yang dapat dilihat,tetapi merupakan dimensi yang saling berdekatan. Yang paling rendah adalah langit pertama yang berdimensi 3 dan yang paling tinggi adalah langit ke tujuh berdimensi 9.

Maka, perjalanan Rasulullah saw pada saat mi'raj itu adalah sebuah perjalanan berpindah dimensi. Beliau bergerak dari dimensi 3 di langit pertama, menuju ke dimensi 4 di langit kedua, naik lagi ke dimensi 5 di langit ke tiga, diteruskan ke dimensi 6 di langit ke empat, berlanjut ke dimensi 7 di langit ke lima, menembus dimensi 8 di langit ke enam, dan akhirnya berhenti di ruang berdimensi 9 di langit ke tujuh.

Waktu itu Rasulullah saw sampai di suatu tempat ‘tertinggi’ di alam semesta yang disebut sebagai Sidratul Muntaha. Itulah puncak perjalanan beliau menembus dimensi langit.

Bagaimana menggambarkan perjalanan dimensional secara sederhana? Analogi 'makhluk bayang-bayang' mungkin bisa membantu kefahaman kita.

Anggaplah anda sedang berada di dalam ruangan yang cukup luas, yang memiliki batas tembok di sebelah kanan, kiri, muka, belakang, atas dan bawah. Selain anda, di ruangan itu hadir juga sebuah makhluk 'bayang-bayang'. Tentu saja, makhluk bayang-bayang itu tidak berada di dalam ruangan, melainkan berada di permukaan salah satu tembok. Katakanlah, di permukaan tembok di depan anda.

Nah, seperti telah saya jelaskan di depan bahwa Dunia manusia dan Dunia bayangan adalah Dunia yang berbeda dimensi, tetapi berdekatan. Dunia bayangan memiliki dimensi 2, sedangkan Dunia manusia memiliki dimensi 3.

Artinya, meskipun berdekatan, Anda dan bayang-bayang itu tidak hidup di dalam Dunia yang sama. Anda leluasa bergerak di dalam ruang: maju ke depan, mundur, ke kanan, ke kiri, ke atas dan ke bawah. Sedangkan 'bayangan' di depan anda tersebut hanya bisa bergerak di permukaan tembok saja. Ke kiri, ke kanan, ke atas dan ke bawah. Dia tidak bisa bergerak ke depan (ke arah anda) sehingga terlepas dari tembok. Ataupun, ke arah belakangnya, karena memang dia tidak punya ruang lagi di belakangnya. Jadi, tidak mungkin sosok bayangan bergerak 'lepas' dari permukaan tembok, yang menjadi Dunianya.

Keadaan yang saya ceritakan itu bisa digunakan untuk menggambarkan situasi Rasulullah saw, yang badannya 'terikat' di langit pertama. Dan kemudian beliau akan melakukan perjalanan menuju langit kedua, langit ketiga dan seterusnya sampai ke langit yang ke tujuh, yang meningkat dimensinya.

Ini sama dengan sebuah perjalanan makhluk bayang-bayang yang ingin 'lepas' dari permukaan tembok menuju ke dalam ruang yang dihuni oleh manusia. Ibaratnya, jika Dunia bayang-bayang adalah langit pertama, maka Dunia manusia adalah langit ke dua. Ibaratnya juga, makhluk yang hidup di permukaan tembok itu adalah manusia, maka makhluk yang hidup di dalam ruang adalah jin. Jadi, sebenarnya Rasulullah saw bergerak melintasi Dunia jin yang berdimensi 4, pada saat mi'raj.

Dalam kondisi biasa, tidak mungkin sebuah bayangan bisa lepas dari permukaan tembok. Lantas, bagaimana caranya agar bayangan bisa lepas dari permukaan tembok? Caranya : ‘bayangan’ tersebut harus dibantu oleh makhluk yang hidup di Dunia ruang (dimensi yang lebih tinggi).

Begini, seandainya anda yang yang berada di dalam ruang itu, maka tempelkanlah punggung anda ke tembok tempat bayangan berada. Dan kemudian katakan kepada bayang itu :"hei bayangan, menempellah ke punggungku". Maka, ketika bayangan itu sudah menempel ke punggung, anda lantas bergerak melepaskan diri dari permukaan tembok dan menuju ke tengah ruangan.

Pada saat itu, bayangan sudah terlepas dari permukaan tembok dan beralih ke punggung anda. Maka, bayangan itu telah bersama-sama anda berada di tengah ruangan. Sang bayangan telah terlepas dari Dunianya, dan kini sedang berada di Dunia berdimensi lebih tinggi.

Seandainya bayangan itu adalah manusia, maka pada saat itu sang manusia telah terlepas dari Dunianya di langit pertama. Ia telah berada di langit kedua, yaitu di dalam Dunia Jin.

Begitulah kira-kira, proses terlepasnya badan Rasulullah saw dari langit pertama menuju langit kedua. Beliau bisa melakukan perjalanan lintas dimensi itu, karena dibantu Jibril yang memang ditugasi oleh Allah mendampingi Rasulullah saw menuju langit ke tujuh.

Kondisi ini sekali lagi menguatkan informasi sebelumnya bahwa perjalanan itu memang bukan atas kemauan dan kemampuan Rasulullah saw sendiri, melainkan atas kehendak Allah semata. Beliau memang sengaja diperjalankan, sejak dari Mekkah Palestina dan kemudian menuju Sidratul Muntaha.

Ada 2 hal yang ingin saya jelaskan mengiringi perpindahan badan Rasulullah saw dari langit pertama ke langit ke dua ini. Yang Pertama, jarak antara langit pertama dan langit kedua. Dan yang berikutnya, adalah keluasan sudut pandang antara langit pertama dan langit kedua.


1. Jarak antar Langit.

Saya perlu menegaskan hal ini, karena di sini ada pemahaman yang radikal berbeda antara kefahaman kita selama ini dengan kefahaman yang saya jelaskan lewat teori dimensi.

Selama ini, kita berpendapat bahwa perjalanan Rasulullah saw menuju langit ke tujuh adalah perjalanan menempuh jarak yang sangat jauh. Sehingga, konsekuensinya membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan tidak mungkin.

Dengan teori dimensi ini, Rasulullah saw tidak perlu menempuh jarak yang jauh untuk sampai di langit ke dua. 'Bergeser' 1 cm saja pun, Rasulullah saw sudah bisa bergerak menembus batas langit tersebut. Karena memang, langit kedua itu tidak berada jauh dari langit pertama. Keduanya terletak secara berdampingan.

Persis seperti antara 'permukaan tembok' dengan 'ruang' di dekatnya. Berapa jauhkah jarak antara sebuah permukaan tembok dengan ruang yang ada di sebelahnya? Hampir tidak ada jaraknya. Begitu sebuah 'bayangan' bisa terlepas dari permukaan tembok maka ia sesungguhnya telah masuk ke dalam ruangan. Ia telah berpindah dari langit pertama ke langit ke dua.

Demikian pula Rasulullah saw. Ketika itu beliau memulai perjalanan Mi'raj dari masjid al Aqsha. Maka, ketika beliau bersama Jibril terlepas dari 'pijakannya' di langit pertama itu, mereka sesungguhnya telah 'terlepas' dari langit Dunia. Dan seketika itu pula telah berada di langit ke dua.

Jadi, langit kedua itu tidak jauh-jauh dari Rasulullah saw. Bahkan sebenarnya tidak berjarak sama sekali. Cuma berbeda dimensi. Maka, ketika itu sebenarnya Rasulullah saw tidak berada jauh dari masjid al Aqsha, Palestina. Mereka masih di sekitar-sekitar situ juga. Tetapi badan kasarnya telah 'hilang' dari langit pertama, berpindah ke langit kedua.

Sehingga, kalau seandainya waktu itu ada yang mengikuti proses perjalanan mi'raj tersebut, orang itu akan celingukan, karena tiba-tiba badan Nabi lenyap dari pandangannya. Meskipun, Rasulullah saw masih berada di sekitar situ juga. Orang tersebut tidak bisa melihat Nabi, sebaliknya Nabi bisa melihat orang tersebut.


2. Sudut Pandang Berbeda.

Selain soal jarak, perubahan sudut pandang yang terjadi juga sangat radikal. Penglihatan yang 'tertangkap mata' pada saat kita berada di langit pertama sangatlah berbeda dengan yang terlihat di langit kedua.

Coba bayangkan, ada 2 makhluk 'bayang-bayang' si A dan si B sedang bercakap-cakap di sebuah permukaan tembok. Bisakah anda membayangkan, bagaimana bentuk si A dilihat oleh si B ?

Tentu saja, si A akan dilihat oleh si B sebagai sebuah garis lurus yang tidak punya ketebalan. Demikian pula si B akan dipersepsi oleh si A sebagai sebuah garis belaka. Kenapa demikian? Karena, kedua makhluk 'bayangan' itu memang sedang 'berhadap-hadapan' dengan cara 'berdampingan' pada salah satu sisinya. Tidak kelihatan sisi yang lainnya. Untuk jelasnya coba amati gambar berikut ini.


Si A melihat si B (atau sebaliknya) dari sudut pandang yang
berbeda dengan si manusia melihat kedua bayang-bayang itu.
Bagi manusia, kedua bayang-bayang itu tampak sebagai bulatan.
Akan tetapi, bagi bayangan, lawan bicaranya akan tampak
sebagai sebuah garis saja, karena mereka melihat temannya
itu dari samping. Pada sisi yang lain, si A juga tidak bisa melihat si C karena terhalang oleh si B.

Maka, itulah yang dialami oleh Rasulullah saw ketika berada di langit kedua. Pada saat beliau masih berada di langit pertama, persepsi beliau tentang langit pertama (beserta segala isinya) adalah sebagaimana yang kita rasakan kini. Bahwa tubuh manusia adalah berbentuk volume begini, bahwa bentuk matahari dan berbagai planet adalah bulat-bulat seperti bola, bahwa air laut dan samudera adalah demikian adanya.

Namun, begitu sampai di langit kedua, beliau terperanjat karena 'melihat' pemandangan yang sangat berbeda. Bumi yang tadinya berbentuk bulat kini tidak bulat lagi. Demikian pula matahari, planet, bintang, manusia, binatang, pepohonan, dan berbagai makhluk lainnya. Tiba-tiba beliau mendapati alam semesta ini bentuknya berbeda dari yang selama ini beliau persepsi.

Kenapa bisa begitu? Jawabnya : karena beliau melihatnya 'dari sudut pandang yang berbeda. Persis seperti sebuah 'bayangan' yang dilihat dari permukaan tembok oleh kawannya, dibandingkan dengan dilihat dari tengah ruangan oleh manusia. Coba lihat kembali gambar di atas.

Ketika 'bayangan' dilihat oleh sesama bayangan, maka yang kelihatan adalah salah satu sisi dari bayangan itu, sehingga tampak bagaikan sepotong garis belaka. Akan tetapi ketika dilihat oleh manusia dari tengah ruangan, maka bayangan terlihat bukan sebagai garis lagi, melainkan sebagai lingkaran (untuk gambar tersebut).

Demikian juga Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau 'melihat' alam semesta ini tidak seperti biasanya lagi. Seluruhnya berubah. Tidak lagi berdimensi 3, melainkan berdimensi 4. Bagaimanakah gambaran bentuknya. Kita tidak akan pernah bisa membayangkan, selama kita masih tinggal di langit pertama ini. Kita baru faham dan bisa membayangkan ketika kita berada di langit kedua, dan kemudian 'melihat' ke arah langit pertama, seperti gambar di atas.

Bahkan yang menarik, bukan hanya bentuk alam semesta yang terlihat berbeda. Melainkan, jarak jangkau pandangan Rasulullah saw juga menjadi semakin jauh. Kalau tadinya, ketika di langit pertama, Rasulullah saw hanya bisa melihat pemandangan di sekitarnya saja, maka pada saat berada di langit kedua, tiba-tiba beliau bisa melihat benda-benda yang sangat jauh dari kota Palestina. Bahkan, mungkin bisa melihat ke berbagai benua di muka Bumi. Dan, juga benda-benda di segala penjuru langit, dalam sekali pandang. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Coba cermati kembali gambar di atas. Ketika berada di Dunia 'permukaan tembok', si A tidak bisa melihat si C, karena pandangannya terhalang oleh si B. Apalagi melihat benda-benda di baliknya si C, dan seterusnya. Yang bisa dilihat oleh si A hanyalah benda-benda yang persis berada disekitarnya saja. Yang lebih jauh tidak kelihatan.

Akan tetapi, bagi orang yang berada di tengah ruangan dia bukan hanya bisa melihat si A atau si B, sekaligus dia bisa melihat si C atau benda-benda lain di permukaan tembok tersebut. Mulai dari ujung paling kiri sampai ujung yang paling kanan. Mulai dari yang paling atas sampai yang paling bawah.

Pokoknya, seluruh benda yang terhampar di permukaan tembok itu akan bisa dilihat secara keseluruhan dalam sekali melihat. Itulah yang dialami Rasulullah saw ketika memandang langit pertama dari langit kedua. Rasulullah saw bisa melihat pemandangan di seluruh langit pertama dalam sekali pandang dari langit kedua. Tentu saja beliau sangat takjub.

Tidak hanya berhenti di langit kedua, Rasulullah saw melanjutkan perjalanannya menuju tingkatan langit yang lebih tinggi. Meskipun beliau sebenarnya belum menjelajah alam dimensi 4 itu. Beliau tidak melakukan penjelajahan di sana, karena tujuan beliau memang bukan di langit kedua. Beliau hanya melintas saja, menuju langit ke tujuh. Ke arah manakah Rasulullah saw melintas melanjutkan perjalanannya? Ke arah langit ke tiga. Dimanakah langit ketiga? Ternyata juga tidak jauh dari posisi Nabi berada.

Posisi langit ketiga berada satu dimensi lebih tinggi dibandingkan langit kedua. (Dalam seluruh pembahasan langit bertingkat tujuh ini, saya mengasumsikan bahwa setiap bertambah tinggi langitnya, maka dimensinya bertambah satu. Pada kenyataannya Allah bisa menambahkan berapa pun yang DIA kehendaki untuk pertambahan dimensi langit itu. Yang saya kemukakan ini adalah gambaran yang paling sederhana.)

Maka, untuk menggambarkannya, caranya sama dengan ketika menggambarkan berpindahnya Rasulullah saw dari langit pertama menuju langit kedua. Dalam hal ini, kita juga membuat perumpamaan alias analogi Dunia bayang-bayang.

Bayangkanlah kini Rasulullah saw sedang berada di langit kedua yang berdimensi 4. Untuk memperoleh gambaran pergerakan Nabi dari langit ke dua menuju langit ketiga, umpamakan badan Nabi bagaikan sosok bayang-bayang yang berada di permukaan tembok. Lantas, beliau ingin 'lepas' dari permukaan tembok itu menuju ruangan yang ada di dekatnya.

Maka mekanismenya menjadi sama persis dengan ketika Rasulullah saw bergerak dari langit pertama pindah menuju langit ke dua. Beliau tidak bisa berpindah sendiri dari langit kedua menuju ke langit ke tiga, melainkan dibawa oleh Jibril, yang memang merupakan makhluk dari langit ke tujuh.

Sebagaimana saya katakan di bagian depan, bahwa perpindahan makhluk dimensi 3 ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi hanya bisa terjadi jika dibantu oleh makhluk yang berasal dari dimensi yang lebih tinggi. Dalam hal ini, Jibril ditugasi oleh Allah untuk mendampingi Rasulullah saw bergerak menuju langit ke tujuh.

Maka, perjalanan ke langit-langit berikutnya memang menggunakan mekanisme yang tidak jauh berbeda dengan mekanisme sebelumnya. Cuma, pemandangan yang dilihat oleh Rasulullah saw semakin lama semakin menakjubkan.

Bayangkan saja, ketika di langit kedua Rasulullah saw sudah demikian takjub karena bisa melihat seluruh penjuru langit pertama hanya dalam sekali pandang. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang di langit kedua memang jauh lebih lebar dibandingkan dengan langit pertama.

Nah, pada saat berada di langit ke tiga beliau lebih takjub lagi, karena sudut pandangnya menjadi semakin lebar. Pada waktu itu beliau tiba-tiba bisa 'melihat' langit kedua di segala penjurunya. Persis seperti ketika berada di langit kedua bisa melihat seluruh penjuru langit pertama.
Hanya saja, penglihatan Rasulullah saw di langit ketiga ini bukan sebuah penglihatan yang 'murni' dihasilkan oleh 'mata kepala'. Kenapa demikian? Karena, mata kepala manusia, secara fisik tidak mungkin lagi bisa memahami benda-benda yang berdimensi lebih tinggi dari 3.

Apa yang kita pahami lewat mata adalah sebuah proses proyeksi lensa mata terhadap benda 3 dimensi yang tergambar di 'layar mata' yang disebut sebagai retina. Retina ini ada di bagian belakang bola mata kita, yang kemudian berfungsi mengubah gambar proyeksi itu menjadi pulsa-pulsa listrik yang diteruskan ke pusat penglihatan di otak.

Nah, desain mata dan retina kita itu dikhususkan untuk benda-benda berdimensi 3 atau lebih rendah. Untuk melihat benda-benda yang lebih tinggi dimensinya, tidak berguna lagi. Indera yang bisa kita gunakan untuk melihat benda-benda berdimensi yang lebih tinggi di langit ke dua sampai ke tujuh adalah hati.
. Bahwa hati adalah indera ke enam yang bekerja berdasar getaran universal. Maka dengan hati yang terlatih dan lembut, kita bisa 'melihat' sekaligus mendengar dan merasakan kehadiran sesuatu benda. Getaran itulah yang dikirim ke otak untuk diterjemahkan sebagai ...
Lanjutkan Membaca [/QUOTE]


Penjelasan Ilmiah Mengenai Langit :
[QUOTE]
1. Teori string melibatkan dimensi extra.

Seperti yang kita kenali bersama bahwa kita hidup di alam dengan 3 dimensi-ruang yaitu panjang, lebar, dan tinggi ditambah 1 dimensi waktu menjadikan total = 4 dimensi ruang-waktu. Namun string harus bergerak di lebih dari 3 dimensi ruang itu. String harus bergerak di 9 dimensi ruang. Sehingga menurut teori string, alam yang kita tempati ini sebenarnya memiliki 10 dimensi ruang waktu.

Lalu dimana ke-enam dimensi ruang lainnya? Mengapa kita tidak bisa melihat atau merasakannya? baca selengkapnya :
Lanjutkan Membaca
0
4.7K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan