Ketika rakyat cuma bisa
pasrah menerima para pemimpin
didroping dari atas. ketika
masyarakat dipaksa memilih
pemimpin seperti memilih kucing
dari dalam karung. Ketika uang
menjadi penentu takdir seseorang
menjadi pemenang atau pecundang.
Kini masyarakat semakin cerdas
karena pendidikan dan interaksi
mereka yang intens dengan dunia
luar, sebagai konsekuensi logis dari
kecerdasan-kecerdasan itu, money
politics yang selama ini diartikan
money buy voters, cuma mampu
menjejal mulut dan perut, sementara
premis baru money politics adalah
yang mereka artikan sebagai money
move politics , karena uang akan
berperan menggerakkan seluruh
instrumen kampanye modern:
menyewa jasa konsultan kampanye
profesional (bukan tim sukses kasak-
kusuk), membiayai tim riset untuk
penjajakan potensi, konvensi, koalisi
dan pemenangan, membiayai
penampilan di TV, koran dan
majalah, memasang iklan, membuat
buku dan seterusnya. Peran uang
tidak pada mulut dan perut tetapi
pada hati dan pikiran, pada spirit
voters education.
Pemilihan
yang bebas dan pemberian suara
yang rahasia juga perlambang
demokrasi. Tetapi demokrasi tidaklah
'bersemayam' dalam pemilu-pemilu.
Jika demokrasi –sebagaimana
dipahami di negeri maju—harus
punya 'rumah' maka rumahnya
adalah “masyarakat madani” (civil
society) .
Ada dua syarat menurut Gramsci
bagi terbentuknya suatu masyarakat
madani (civil society) : Pertama,
tergantung pada tersedia atau
tidaknya sebuah “ruang” atau
“pentas” bagi pertarungan berbagai
ide, gagasan atau ideologi. Oleh sebab
itu, masalah demokrasi dan
masyarakat madani (civil society)
tidak bisa dipisahkan dari
pembicaraan tentang “komunikasi
politik”. Kedua, lenyapnya
feodalisme sebagai ideologi tunggal.
Sebaliknya, feodalisme akan terkikis
dengan sendirinya bila daya kritis
dan kreatif masyarakat dibuka.
Untuk membuka semuanya ini, perlu
diciptakan suatu “medan komunikasi
terbuka” termasuk komunikasi
politik.
Dalam konteks inilah maka
pentingnya suatu pendidikan politik
bagi pemilih (voters education) agar
pemilih atau masyarakat memiliki
suatu kesadaran yang penuh dan utuh
atas haknya untuk memberikan
suara secara bermakna dan bebas
dari paksaan. Kecerdasan
masyarakat semacam ini akan
menghindarkan suatu fenomena
golongan putih (golput) atau tidak
menyalurkan haknya melalui
pemberian suara yang bermakna
dalam setiap pemilu.
Kita berkepentingan membangun
demokrasi yang bermartabat dengan
masyarakat atau pemilih yang cerdas
sehingga akan memunculkan para
pemimpin Indonesia masa depan
(The Indonesian Next Emerging
Leaders) sebagai pemimpin yang
berkualitas, sehingga bangsa menjadi
berkelas melalui proses
kepemimpinan (leadership) yang
memupuk tradisi penyelesaian
masalah lewat kekuatan wacana
(discursive handling of confliks),
pelaziman penyelesaian masalah
lewat urun rembuk (sharing) , tawar-
menawar (bargaining) dan
kemenangan bersama (win-win
solution), penguatan ketaatan pada
aturan main, kerelaan menerima
situasi menang dan kalah secara
bersahaja dan kejujuran melakukan
pertanggungjawaban publik, serta
pengasahan ketajaman daya baca
(egulfing the power of analysis) dan
daya jawab terhadap situasi krisis
(the power of responsivenness) yang
berorientasi pada penyelesaian
masalah (the problem solving
oriented), bukan memperumit
persoalan, disertai kebenaran
gagasan dan kecakapan adaptif
terhadap perkembangan yang terus
berubah.
Hal inilah yang kita harapkan menjadi
berkah dari demokrasi: Pemilih Cerdas,
Pemimpin Berkualitas, Bangsa
Berkelas. (Wahyu Triono KS).
hmm..
secara umum yow bisa dititipin amanah rakyat buat indonesia lebih baik 5 taon kedepan..klo nulisnya detail2 takut dibilang arogan tar...
n saat ini masih netral..krena saya belum tuntas untuk poin2 ini :
1. Melihat track record capres yg ada..
2. Menelaah visimisi n rencana kerjanya
3. Mengevaluasi
4. n the last Menentukan pilihan...