- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara


TS
astri.cha
Dilematika UNAS: Saat Nilai Salah Berbicara

Sebelumnya ane mohon maaf kalo ane repost
Quote:
Habis baca Salah satu Note dari Pelajar SMA, ane rasanya sedih dan ngenes sendiri.. Kalimat - kalimatnya begitu ngena di hati..
Jadi ane berpikir, info kaya gini Oke banget buat di share
Jadi ane berpikir, info kaya gini Oke banget buat di share

Sebuah surat terbuka, untuk Bapak Menteri Pendidikan yg terhormat, di tempat.
16. Mencontek adalah sebuah perbuatan…
a. terpaksa
b. terpuji
c. tercela
d. terbiasa
Ardi berhenti di soal nomor enam belas itu, salah satu soal ulangan Budi Pekerti semasa dia kelas 2 SD dulu. Ia tertegun, dan hatinya berdenyut perih saat dilihatnya sebuah coretan menyilang pilihan jawaban C. Coretan tebal, panjang, ciri khas si Ardi kecil yg menjawab nomor itu tanpa ragu, melainkan dgn penuh keyakinan…
Handphonenya berdering pelan, sebuah SMS masuk. Ardi membukanya, dan ia menghela nafas dalam-dalam begitu membaca isinya.
Jadi gimana Di, ikutan pakai ‘itu’ nggak?
Barangkali bukan kebetulan Ardi menemukan soal-soal ulangan SD-nya saat ia mau mencari buku-buku lamanya, barangkali bukan kebetulan Ardi membaca soal nomor enam belas dan jawaban polosnya itu, sebab denyut perih di hatinya baru mereda setelah ia mengirim sebaris kalimat yakin…
Nggak, Jo, aku mau jujur aja.
Sebuah balasan pahit mampir selang beberapa detik setelahnya,
Ah, cemen kamu.
Tapi tdk, Ardi tak goyah. Ia mengulum senyum dan batinnya berbisik pelan, salah, Jo.
Jujur itu keren.

Spoiler for PROLOG :
UNAS. Sebuah jadwal tahunan yg diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengevaluasi hasil belajar siswa selama tahun-tahun sebelumnya. UNAS sudah sejak lama ada, meliputi berbagai tingkat pendidikan, mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Sudah sejak lama pula UNAS menuai pro dan kontra, yg mana rupanya kontra itu belakangan ini berhasil ‘memaksa’ pemerintah untuk menghapuskan UNAS di tingkatan SD. Sedang untuk tingkat SMP dan SMA, kemungkinan itu masih harus menunggu.
Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tdknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yg mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yg melempar tanya:
Tiap kali UNAS akan digelar, seluruh elemen masyarakat ikut tertarik ke dalam pusaran perbincangannya. Perdebatan tentang perlu-tdknya diadakan UNAS tak pernah absen dari obrolan ringan di warung kopi, dan acara-acara yg mengklaim ingin memotivasi para peserta UNAS pun bermunculan di berbagai channel televisi. Di sela-sela program motivasi itu, jikalau ada sesi tanya-jawab, hampir bisa dipastikan akan ada seorang partisipan yg melempar tanya:
“Bagaimana dgn kecurangan UNAS?”
Quote:
Ah, ya, UNAS memang belum pernah lepas dari ketdkjujuran.
Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dgn kecurangan. Sebab jika tdk, pertanyaan itu tdk akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yg punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yg menyedihkan? Yg paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran adalah kunci kesuksesan’ itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketdkjujuran yg simpang-siur di berbagai media.
UNAS dgn segala problematika dan dilematika yg dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan saygnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dgn bahagia bahwa ‘UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan’, dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yg dialami oleh generasi muda Indonesia.
Tetapi sekarang, sebagai pelajar yg baru saja menjalani UNAS… dgn berat hati saya mengaku bahwa saya tdk bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yg baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yg saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yg ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tdk perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yg menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi 3 poin penting
Sekarang, jangan marah jika saya bilang bahwa UNAS identik dgn kecurangan. Sebab jika tdk, pertanyaan itu tdk akan terlalu sering terdengar. Tapi nyatanya, semakin lama pertanyaan itu semakin berdengung di tiap sudut daerah yg punya lembaga pendidikan; dan tahukah apa yg menyedihkan? Yg paling menyedihkan adalah saat lembaga-lembaga pendidikan itu, tempat kita belajar mengeja kalimat ‘kejujuran adalah kunci kesuksesan’ itu, hanya mampu tersenyum tipis dan menahan kata di depan berita-berita ketdkjujuran yg simpang-siur di berbagai media.
UNAS dgn segala problematika dan dilematika yg dibawanya memang tak pernah habis untuk dikupas, dan saygnya ia tak pernah bosan pula menemui jalan buntu. Dari tahun ke tahun selalu ada laporan tentang kecurangan, tetapi ironisnya setiap tahun itu pula pemerintah tetap tersenyum dan mengabarkan dgn bahagia bahwa ‘UNAS tahun ini mengalami peningkatan, kelulusan tahun ini mengalami kenaikan, rata-rata tahun ini mengalami kemajuan’, dan hal-hal indah lainnya. Dulu, saat saya belum menginjak kelas tiga, saya berpikir bahwa grafik itu benar adanya dan saya pun terkagum-kagum oleh peningkatan pendidikan yg dialami oleh generasi muda Indonesia.
Tetapi sekarang, sebagai pelajar yg baru saja menjalani UNAS… dgn berat hati saya mengaku bahwa saya tdk bisa lagi percaya pada dongeng-dongeng itu. Sebagai pelajar yg baru saja menjalani UNAS, saya justru punya banyak pertanyaan yg saya pendam dalam hati saya. Banyak beban pikiran yg ingin saya utarakan kepada Bapak Menteri Pendidikan. Tapi tenang saja, Bapak tdk perlu menjadi pembaca pikiran untuk tahu semua itu, karena saya akan menceritakannya sedikit demi sedikit di sini. Dari berbagai kekalutan dan tanda tanya yg menyesaki otak sempit saya, saya merumuskannya menjadi 3 poin penting
Pertama, tentang kesamarataan bobot pertanyaan-pertanyaan UNAS, yg tahun ini Alhamdulillah ada 20 paket.
Quote:
Bapak Menteri Pendidikan yg terhormat… pernah tdk terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Bahasa Indonesia bisa membuat 20 soal yg berbeda, dgn tingkat kesulitan yg sama, untuk satu SKL saja? Pernah tdk terpikir oleh Bapak bagaimana caranya seorang guru Biologi membuat 20 soal yg berbeda, dgn taraf kesulitan yg sama, hanya untuk satu indikator ‘menjelaskan fungsi organel sel pada tumbuhan dan hewan’?
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tdk mau akan ada satu tipe soal yg memuat pertanyaan dgn bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tdk adil untuk siswa yg kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dgn soal susah sedemikian itu. Sebab orang tdk akan pernah peduli apakah soal yg saya terima lebih susah dari si A atau tdk. Manusia itu makhluk yg seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tdk akan pernah bertanya, ‘tipe soalmu ada berapa nomor yg susah?’ melainkan akan langsung bertanya, ‘nilai UNASmu berapa?’.
Bapak Menteri Pendidikan yg terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tdk akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk menetapkan sebuah garis yg akan jadi acuan bersama, ‘kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketdkmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketdkmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Menurut otak sempit saya, sejujurnya, itu mustahil. Mau tdk mau akan ada satu tipe soal yg memuat pertanyaan dgn bobot lebih susah dari tipe lain. Hal ini jelas tdk adil untuk siswa yg kebetulan apes, kebetulan mendapatkan tipe dgn soal susah sedemikian itu. Sebab orang tdk akan pernah peduli apakah soal yg saya terima lebih susah dari si A atau tdk. Manusia itu makhluk yg seringkali terpaku pada niai akhir, Pak. Orang tdk akan pernah bertanya, ‘tipe soalmu ada berapa nomor yg susah?’ melainkan akan langsung bertanya, ‘nilai UNASmu berapa?’.
Bapak Menteri Pendidikan yg terhormat, di sini Bapak akan beralasan, barangkali, bahwa jika siswa sudah belajar, maka sesusah apapun soalnya tdk akan bermasalah. Tapi coba ingat kembali, Pak, apa sih tujuan diadakannya Ujian Nasional itu? Membuat sebuah standard untuk mengevaluasi siswa Indonesia, ‘kan? Untuk menetapkan sebuah garis yg akan jadi acuan bersama, ‘kan? Sekarang, bagaimana bisa UNAS dijadikan patokan nasional saat antar paket saja ada ketdkmerataan bobot soal? Ini belum tentang ketdkmerataan pendidikan antar daerah, lho, Pak.
Kedua, tentang pertanyaan-pertanyaan UNAS tahun ini, yg, menurut saya, menyimpang dari SKL.
Quote:
Bapak Menteri Pendidikan yg terhormat, saya tahu Bapak sudah mengklarifikasinya di twitter, bahwa soal tahun ini bobot kesulitannya di naikkan sedikit (saya tertawa miris di bagian kata ‘sedikit’ ini). Tapi, aduh, jujur saya bingung juga Pak bagaimana menanggapinya. Pertama, bobot soal kami dinaikkan hanya sampai standard Internasional. Kedua, konfirmasi itu Bapak sampaikan setelah UNAS selesai. Saya jadi paham kenapa di sekolah saya disiapkan tabung oksigen selama pelaksanaan UNAS. Mungkin sekolah khawatir kami pingsan saking bahagianya menemui soal-soal itu, ‘kan?
Bapak, saya tdk mengerti, benar-benar tdk mengerti… apa yg ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, ‘tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yg baru’. Tapi, Pak, sekali ini saja… sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dgn santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dgn kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dgn dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dgn dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dgn dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tdk ada yg salah dgn soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tdk, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yg tdk saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dgn dua soal itu selama sepuluh menit. Ya… beliau bilang ada yg salah dgn kedua soal itu. Tetapi yg ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yg guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?
Tdk diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak bahwa nanti yg akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yg jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dgn fasilitas pengajaran yg layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dgn berita, ‘Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan’. Kemudian Bapak akan merasa tdk percaya dgn semua yg sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tdk percaya kenapa ada yg bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tdk sedikit teman-teman saya yg menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak ‘UNAS menyenangkan’ itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas
Bapak, saya tdk mengerti, benar-benar tdk mengerti… apa yg ada di pikiran Bapak-Bapak semua saat membuat, menyusun, dan mencetak soal-soal itu? Bapak mengatakan di twitter Bapak, ‘tiap tahun selalu ada keluhan siswa karena soal yg baru’. Tapi, Pak, sekali ini saja… sekali ini saja saya mohon, Bapak duduk dgn santai, kumpulkan contoh soal UNAS tahun dua ribu sebelas, dua ribu dua belas, dua ribu tiga belas, dan dua ribu empat belas. Dgn kepala dingin coba Bapak bandingkan, perbedaan tingkat kesulitan dua ribu sebelas dgn dua ribu dua belas seperti apa. Perbedaan bobot dua ribu dua belas dgn dua ribu tiga belas seperti apa. Dan pada akhirnya, coba perhatikan dan kaji baik-baik, perbedaan tipe dan taraf kerumitan soal dua ribu tiga belas dgn dua ribu empat belas itu seperti apa.
Kalau Bapak masih merasa tdk ada yg salah dgn soal-soal itu, saya ceritai sesuatu deh Pak. Bapak tahu tdk, saat hari kedua UNAS, saya sempat mengingat-ingat dua soal Matematika yg tdk saya bisa. Saya ingat-ingat sampai ke pilihan jawabannya sekalipun. Kemudian, setelah UNAS selesai, saya pergi menghadap ke guru Matematika saya untuk menanyakan dua soal itu. Saya tuliskan ke selembar kertas, saya serahkan ke beliau dan saya tunggu. Lalu, hasilnya? Guru Matematika saya menggelengkan kepalanya setelah berkutat dgn dua soal itu selama sepuluh menit. Ya… beliau bilang ada yg salah dgn kedua soal itu. Tetapi yg ada di kepala saya hanya pertanyaan-pertanyaan heran
Bagaimana bisa Bapak menyuruh saya menjawab sesuatu yg guru saya saja belum tentu bisa menjawabnya?
Tdk diuji dulukah kevalidan soal-soal UNAS itu?
Bapak ujikan ke siapa soal-soal itu? Para dosen perguruan tinggi? Mahasiswa-mahasiswa semester enam?
Lupakah Bapak bahwa nanti yg akan menghadapi soal-soal itu adalah kami, para pelajar kelas tiga SMA dari seluruh Indonesia?
Haruskah saya ingatkan lagi kepada Bapak bahwa di Indonesia ini masih ada banyak sekolah-sekolah yg jangankan mencicipi soal berstandard Internasional, dilengkapi dgn fasilitas pengajaran yg layak saja sudah sujud syukur?
Etiskah menuntut sebelum memberi?
Etiskah memberi kami soal berstandard Internasional di saat Bapak belum mampu memastikan bahwa seluruh Indonesia ini siap untuk soal setingkat itu?
Pada bagian ini, Bapak mungkin akan teringat dgn berita, ‘Pelajar Mengatakan bahwa UNAS Menyenangkan’. Kemudian Bapak akan merasa tdk percaya dgn semua yg sudah saya katakan. Kalau sudah begitu, itu hak Bapak. Saya sendiri juga tdk percaya kenapa ada yg bisa mengatakan bahwa UNAS kemarin menyenangkan. Awalnya saya malah mengira bahwa itu sarkasme, sebab sejujurnya, tdk sedikit teman-teman saya yg menangis sesudah mengerjakan Biologi. Mereka menangis lagi setelah Matematika dan Kimia. Lalu airmata mereka juga masih keluar seusai mengerjakan Fisika. Sekarang, di mana letak ‘UNAS menyenangkan’ itu? Bagi saya, hanya ada dua jawabannya; antara narasumber berita itu memang sangat pintar, atau dia menempuh jalan pintas
Jalan pintas itu adalah hal ketiga yg menganggu pikiran saya selama UNAS ini. Sebuah bentuk kecurangan yg tdk pernah saya pahami mengapa bisa terjadi, yaitu joki
Quote:
Mengapa saya tdk paham joki itu bisa terjadi? Sebab, setiap tahun pemerintah selalu gembar-gembor bahwa “Soal UNAS aman! Tdk akan bocor! Pasti terjamin steril dan bersih!”, tetapi ketika hari H pelaksanaan… voila! Ada saja joki yg jawabannya tembus. Jika bocor itu paling-paling hanya lima puluh persen benar, ini ada joki yg bisa sampai sembilan puluh persen akurat. Sembilan puluh persen! Astaghfirullah hal adzim, itu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir. Kemudian ajaibnya pula, yg sudah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal ini sepanjang yg saya lihat baru satu: menambah tipe soal! Kalau sewaktu saya SD dulu tipe UNAS hanya satu, sewaktu SMP beranak-pinak menjadi lima. Puncaknya sewaktu SMA ini, berkembang-biak menjadi 20 paket soal. Pemerintah agaknya menganggap bahwa banyaknya paket soal akan membuat jawaban joki meleset dan UNAS dapat berjalan mulus, murni, bersih, sebersih pakaian yg dicuci pakai detergen mahal.
Nyatanya tdk.
Sekalipun dgn 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yg mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tdk sampai di sana, jawaban yg mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yg saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tdk ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri yg terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yg mengandalkan dukun dan mana jawaban yg didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tdk akan menetesi lantai rumah jika tdk ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri yg terhormat… tiga hal yg saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yg sedemikian inilah yg memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tdk… saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yg tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yg diajarkan oleh para guru, dan berdoa dgn khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yg tdk berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yg belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yg disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tdk lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka… berharap Tuhan membantu.
Saya tdk bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yg terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yg keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yg tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yg Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yg menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yg benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yg kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih ‘ah, ini bukan bidang saya’, lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak !
Tentu saja Bapak tdk sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tdk akan sampai terpikir untuk membuat 20 paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tdk akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tdk akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya… mungkin Bapak bahkan tdk akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
Nyatanya tdk.
Sekalipun dgn 20 paket soal, joki-joki itu rupanya masih bisa memprediksi soal sekaligus jawabannya. Peningkatan jumlah paket itu hanya membuat tarif mereka makin naik. Setahu saya, mereka bahkan bisa menyertakan kalimat pertama untuk empat nomor tententu di tiap paket agar para siswa bisa mencari yg mana paket mereka. Lho, kok bisa? Ya entah. Tdk sampai di sana, jawaban yg mereka berikan pun bisa tembus sampai di atas sembilan puluh persen. Lho, kok bisa? Ya sekali lagi, entah. Seperti yg saya bilang, kalau sudah sampai sembilan puluh persen akurat begitu bukan bocor lagi namanya, melainkan banjir bandang. Saat joki sudah bisa menyertakan soal, bukan hanya jawaban, maka adalah sebuah misteri Ilahi jika pemerintah masih sanggup bersumpah tdk ada main-main dari pihak dalam.
Bapak Menteri yg terhormat, saya memang hanya pelajar biasa. Tapi saya juga bisa membedakan mana jawaban yg mengandalkan dukun dan mana jawaban yg didapat karena sempat melihat soal. Apa salah kalau akhirnya saya mempertanyakan kredibilitas tim penyusun dan pencetak soal? Sebab jujur saja, air hujan tdk akan menetesi lantai rumah jika tdk ada kebocoran di atapnya.
Bapak Menteri yg terhormat… tiga hal yg saya paparkan di atas sudah sejak lama menggumpal di hati dan pikiran saya, menggedor-gedor batas kemampuan saya, menekan keyakinan dan iman saya.
Pernah terpikirkah oleh Bapak, bahwa tingkat soal yg sedemikian inilah yg memacu kami, para pelajar, untuk berbuat curang? Jika tdk… saya beritahu satu hal, Pak. Ada beberapa teman saya yg tadinya bertekad untuk jujur. Mereka belajar mati-matian, memfokuskan diri pada materi yg diajarkan oleh para guru, dan berdoa dgn khusyuk. Tetapi setelah melihat soal yg tdk berperikesiswaan itu, tekad mereka luruh. Saat dihadapkan pada soal yg belum pernah mereka lihat sebelumnya itu, mereka runtuh. Mereka menangis, Pak. Apa kesalahan mereka sehingga mereka pantas untuk dibuat menangis bahkan setelah mereka berusaha keras? Beberapa dari mereka terpaksa mengintip jawaban yg disebar teman-teman, karena dihantui oleh perasaan takut tdk lulus. Beberapa lainnya hanya bisa bertahan dalam diam, menggenggam semangat mereka untuk jujur, berdoa di antara airmata mereka… berharap Tuhan membantu.
Saya tdk bisa sepenuhnya menyalahkan teman-teman yg terpaksa curang setelah mereka belajar tetapi soal yg keluar seperti itu. Kami mengemban harapan dan angan yg tak sedikit di pundak kami, Pak. Harapan guru. Harapan sekolah. Harapan orangtua. Semakin jujur kami, semakin berat beban itu. Sebelum sampai di gerbang UNAS, kami telah melewati ulangan sekolah, ulangan praktek, dan berbagai ulangan lainnya. Tenaga, biaya, dan pikiran kami sudah banyak terkuras. Tetapi saat kami menggenggam harapan dan doa, apa yg Bapak hadapkan pada kami? Soal-soal yg menurut para penyusunnya sendiri memuat soal OSN. Yg benar saja, Pak. Saya tantang Bapak untuk duduk dan mengerjakan soal Matematika yg kami dapat di UNAS kemarin selama dua jam tanpa melihat buku maupun internet. Jika Bapak bisa menjawab benar lima puluh persen saja, Bapak saya akui pantas menjadi Menteri. Kalau Bapak berdalih ‘ah, ini bukan bidang saya’, lantas Bapak anggap kami ini apa? Apa Bapak kira kami semua ini anak OSN? Apa Bapak kira kami semua pintar di Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris sekaligus? Teganya Bapak menyuruh kami untuk lulus di semua bidang itu? Sudah sepercaya itukah Bapak pada kecerdasan kami?
Tidak !
Tentu saja Bapak tdk sepercaya itu pada kami. Sebab jika Bapak percaya, Bapak tdk akan sampai terpikir untuk membuat 20 paket soal, padahal lima paket saja belum tentu bobot soal kelima paket itu seratus persen sama. Jika Bapak percaya, Bapak tdk akan sengaja meletakkan persentase UNAS di atas persentase nilai sekolah untuk nilai akhir kami, padahal belum tentu kemurnian nilai UNAS itu di atas kemurnian nilai sekolah. Jika Bapak percaya, Bapak tdk akan merasa perlu untuk melakukan sidak. Jika Bapak percaya… mungkin Bapak bahkan tdk akan merasa perlu untuk mengadakan UNAS.
Quote:
Anda akan mengatakan kalimat klise itu, Pak, bahwa nilai itu tdk penting, yg penting itu kejujuran.
Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dgn kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yg hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yg menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yg selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tdk langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yg membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yg berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yg di luar kemampuan kami, soal yg luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tdk hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yg sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tdk berperikesiswaan itu dalam UNAS, yg notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yg sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yg masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tdk tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yg baik, apa yg Bapak lakukan dgn UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yg buruk. Tingkat kesulitan yg belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yg tdk pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yg belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dgn sekolah lain yg kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tdk dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tdk ada yg salah dgn UNAS? Ada yg salah, Pak. Ada lubang yg menganga sangat besar tdk hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yg salah? Barangkali sekolah yg salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yg tak benar. Barangkali kami yg salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yg salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tdk salah jugakah pemerintah? Tdk salah jugakah tim penyusun UNAS? Tdk salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yg berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tdk ada?
Mungkin Bapak tdk akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, “Kita lihat saja hasilnya nanti.”
Kemudian sebulan lagi ketika hasil yg keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yg saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yg lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yg saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yg Bapak lihat itu adalah hasil kerja para ‘ghost writer UNAS’. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yg mengerjakan dgn jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dgn UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yg sudah siap, bukan kami.
Dari anakmu yg meredam sakit,
Pelajar yg baru saja mengikuti UNAS.
Tapi tahukah, bahwa kebijakan Bapak sangat kontradiktif dgn kata-kata Bapak itu? Bapak memasukkan nilai UNAS sebagai pertimbangan SNMPTN Undangan. Bapak meletakkan bobot UNAS (yg hanya berlangsung tiga hari tanpa jaminan bahwa siswa yg menjalani berada dalam kondisi optimalnya) di atas bobot nilai sekolah (yg selama tiga tahun sudah susah payah kami perjuangkan) dalam rumus nilai akhir kami. Bapak secara tdk langsung menekankan bahwa UNAS itu penting, dan itulah kenyataannya, Pak. Itulah kenyataan yg membuat kami, para pelajar, goyah. Takut. Tertekan. Tahukah Bapak bahwa kepercayaan diri siswa mudah hancur? Pertahanan kami semakin remuk ketika kami dihadapkan oleh soal yg berada di luar pengalaman kami. Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelumnya? Bahwa soal yg di luar kemampuan kami, soal yg luput Bapak sosialisasikan kepada kami meskipun persiapan UNAS tdk hanya satu-dua minggu dan Bapak sebetulnya punya banyak kesempatan jika saja Bapak mau, sesungguhnya bisa membuat kami mengalami mental breakdown yg sangat kuat? Pernahkah Bapak pikirkan ini sebelum memutuskan untuk mengeluarkan soal-soal tdk berperikesiswaan itu dalam UNAS, yg notabene adalah penentu kelulusan kami?
Pada akhirnya, Pak, izinkan saya untuk mengatakan, bahwa apa yg sudah Bapak lakukan sejauh ini tentang UNAS justru hanya membuat kecurangan semakin merebak. Bapak dan orang-orang dewasa lainnya sering mengatakan bahwa kami adalah remaja yg masih labil. Masih dalam proses pencarian jati diri. Sering bertingkah tdk tahu diri, melanggar norma, dan berbuat onar. Tapi tahukah, ketika seharusnya Bapak selaku orangtua kami memberikan kami petunjuk ke jalan yg baik, apa yg Bapak lakukan dgn UNAS selama tiga hari ini justru mengarahkan kami kepada jati diri yg buruk. Tingkat kesulitan yg belum pernah disosialisasikan ke siswa, joki yg tdk pernah diusut sampai tuntas letak kebocorannya, paket soal yg belum jelas kesamarataan bobotnya, semua itu justru mengarahkan kami, para siswa, untuk mengambil jalan pintas. Sekolah pun ditekan oleh target lulus seratus persen, sehingga mereka diam menghadapi fenomena itu alih-alih menentang keras. Para pendidik terdiam ketika seharusnya mereka berteriak lantang menentang dusta. Kalau perlu, sekalian jalin kesepakatan dgn sekolah lain yg kebetulan menjadi pengawas, agar anak didiknya tdk dipersulit.
Sampai sini, masih beranikah Bapak katakan bahwa tdk ada yg salah dgn UNAS? Ada yg salah, Pak. Ada lubang yg menganga sangat besar tdk hanya pada UNAS tetapi juga pada sistem pendidikan di negeri ini. Siapa yg salah? Barangkali sekolah yg salah, karena telah membiarkan kami untuk menyeberang di jalur yg tak benar. Barangkali kami yg salah, karena kami terlalu pengecut untuk mempertahankan kejujuran. Barangkali joki-joki itu yg salah, karena mereka menjual kecurangan dan melecehkan ilmu untuk mendapat uang.
Tapi tdk salah jugakah pemerintah? Tdk salah jugakah tim penyusun UNAS? Tdk salah jugakah tim pencetak UNAS? Ingat Pak, kejahatan terjadi karena ada kesempatan. Bukankah sudah menjadi tugas Bapak selaku yg berwenang untuk memastikan bahwa kesempatan untuk berlaku curang itu tdk ada?
Mungkin Bapak tdk akan percaya pada saya, dan Bapak akan berkata, “Kita lihat saja hasilnya nanti.”
Kemudian sebulan lagi ketika hasil yg keluar membahagiakan, ketika angka delapan dan sembilan bertebaran di mana-mana, Bapak akan melupakan semua protes yg saya sampaikan. Bapak akan menganggap ini semua angin lalu. Bapak akan berpesta di atas grafik indah itu, menggelar ucapan selamat kepada mereka yg lulus, kepada tim UNAS, kepada diri Bapak sendiri, dan Bapak akan lupa. Bapak yg saya yakin sudah berkali-kali mendengar pepatah ‘don’t judge a book by its cover’, akan lupa untuk melihat ke balik kover indah itu. Bapak akan melupakan kemungkinan bahwa yg Bapak lihat itu adalah hasil kerja para ‘ghost writer UNAS’. Bapak akan lupa untuk bertanya kepada diri Bapak, berapa persen dari grafik itu yg mengerjakan dgn jujur? Kemudian Bapak akan memutuskan bahwa Indonesia sudah siap dgn UNAS berstandard Internasional, padahal kenyataannya belum. Joki-jokinyalah yg sudah siap, bukan kami.
Dari anakmu yg meredam sakit,
Pelajar yg baru saja mengikuti UNAS.
Nurmillaty Abadiah
Sumber: Note FB yg dilaporkan ke akun twitter @AyoTolakUN
Diubah oleh astri.cha 20-05-2014 14:56
0
4K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan