- Beranda
- Komunitas
- Pilih Capres & Caleg
Kamar 619, Yang Seharusnya Diberitakan


TS
zahramoel
Kamar 619, Yang Seharusnya Diberitakan
Kamar 619, Yang Seharusnya Diberitakan

“September '77/ Port Elizabeth weather fine/ It was business as usual/ In Police Room 619/ Oh Biko/ Biko because Biko/ Oh Biko/ Biko because Biko/ Yihla Moja/ Yihla Moja/ The man is dead/ The man is dead...”
12 September 1997, Stephen Bantu Biko, pendiri Black Consciousness Movement ini wafat di dalam ruang tahanan. Lelaki baik ini mati disiksa di Kamar 619. Peter Gabriel, mengabadikan nestapa ini dalam lagu protes: Biko. Musisi rock Inggris ini memuja aktivis anti-apartheid ini. Lagu ini ditulis untuk orang hebat, ungkap Gabriel. Mendiang Nelson Mandela pun demikian. “They had to kill him to prolong the life of apartheid.”
Kematian lelaki kelahiran 18 Desember 1946 ini, di kamar sel tahanan, adalah nestapa sekaligus tenaga. Duka yang menyalakan harapan. Kematian Biko menandai sendyakala rasisme di Afrika Selatan. Apartheid tersudut dalam kelamnya kaum pemuja warna kulit. “The most potent weapon of the oppressor is the mind of the oppressed.” Kalimat Biko ini adalah tenaga yang menyalakan harapan. Ia menolak kekerasan. Ia membangkitkan kesadaran kaumnya. Kesadaran untuk bangkit dan bersaksi.
Pada lirik lagu Gabriel, Biko adalah ingatan. Sebuah perjuangan melawan lupa. Bahwa, seorang muda dibunuh demi ambisi atas penaklukan. Biko adalah riwayat di mana kekuasaan yang tamak akan membakar apa saja. Kamu, kalian, kata Gabriel, dapat meniup lilin. Tapi, kamu, kalian, tak a lanjut link sumber ajaklik

“September '77/ Port Elizabeth weather fine/ It was business as usual/ In Police Room 619/ Oh Biko/ Biko because Biko/ Oh Biko/ Biko because Biko/ Yihla Moja/ Yihla Moja/ The man is dead/ The man is dead...”
12 September 1997, Stephen Bantu Biko, pendiri Black Consciousness Movement ini wafat di dalam ruang tahanan. Lelaki baik ini mati disiksa di Kamar 619. Peter Gabriel, mengabadikan nestapa ini dalam lagu protes: Biko. Musisi rock Inggris ini memuja aktivis anti-apartheid ini. Lagu ini ditulis untuk orang hebat, ungkap Gabriel. Mendiang Nelson Mandela pun demikian. “They had to kill him to prolong the life of apartheid.”
Kematian lelaki kelahiran 18 Desember 1946 ini, di kamar sel tahanan, adalah nestapa sekaligus tenaga. Duka yang menyalakan harapan. Kematian Biko menandai sendyakala rasisme di Afrika Selatan. Apartheid tersudut dalam kelamnya kaum pemuja warna kulit. “The most potent weapon of the oppressor is the mind of the oppressed.” Kalimat Biko ini adalah tenaga yang menyalakan harapan. Ia menolak kekerasan. Ia membangkitkan kesadaran kaumnya. Kesadaran untuk bangkit dan bersaksi.
Pada lirik lagu Gabriel, Biko adalah ingatan. Sebuah perjuangan melawan lupa. Bahwa, seorang muda dibunuh demi ambisi atas penaklukan. Biko adalah riwayat di mana kekuasaan yang tamak akan membakar apa saja. Kamu, kalian, kata Gabriel, dapat meniup lilin. Tapi, kamu, kalian, tak a lanjut link sumber ajaklik


anasabila memberi reputasi
1
770
2
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan