Siang mimin, momon......
Maaf kalo tulisan y berantakan, coz ane pake hape kecil layar y, klo pake layar tancep itu kegedean...
Tragedi mei 1998 menjadi momok yg menakutkan bagi bangsa kita, hari yang mencekam nan menakutkan banyak korban yang berjatuhan begitu mahalnya harga reformasi kala itu sehingga harus di bayar dengan nyawa.
Prabowo Subianto (kita sebut saja sebagai PS) lahir di Jakarta 17 Oktober 1951. Beliau sadalah mantan Danjen Kopasus, Pengusaha sukses, Politisi dan calon presiden 2014. PS adalah putera dari begawan ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo. Beliau juga cucu dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo yang merupakan anggota BPUPKI dan juga merupakan pendiri Bank Nasional Indonesia (BNI). Dari silsilahnya, tampak bahwa PS memiliki “darah biru” elit pemimpin Indonesia, bahkan jauh sebelum republik ini lahir. PS menikahi Titiek, puteri Presiden Soeharto. Keputusan yang tampak prospektif saat itu, namun menjadi blunder dalam hidupnya di kemudian hari. Dengan latar belakang keluarga intelektual, PS mewarisi kecerdasan ayahnya. Beliau dikenal sangat cerdas di sekolah maupun di AKABRI. Beliau adalah alumnus AKABRI (1974), namun tidak banyak yang tahu bahwa selulus SMA, PS juga diterima di Harvard University.
Karirnya di bidang militer terbilang sangat cemerlang dan membanggakan. Karir militer PS termasuk yang tercepat dalam sejarah ABRI. PS bahkan sempat disebut sebagai “The Brightest Star”. Dan dialah jenderal termuda yang meraih 3 bintang pada usia 46 tahun. Sebagai sesama orang militer, PS bisa dianggap sebagai “antitesa” dari SBY. Mungkin karena karir beliau yang banyak diisi dengan penugasan di satuan tempur. Meski sama-sama merupakan “The Rising Star” di tubuh ABRI saat itu, SBY lebih dikenal sebagai perwira intelektualnya ABRI. Berbeda dengan SBY yang cenderung analitis dan berhati-hati dalam mengambil keputusan, sebagai perwira lapangan, PS cenderung cepat “Take action”. Saat keputusan sudah dibuat, PS akan menjalankannya dengan penuh “determinasi”. Beliau siap menanggung segala konsekuensinya.
Salah satu contohnya adalah perihal peristiwa penculikan aktivis yang telah mencoreng nama baik & menjadi penyebab kehancuran karir militernya. DKP (Dewan Kehormatan Perwira) yang menyelidiki kasus ini tidak pernah mengungkapkan hasil pemeriksaannya kepada publik. Tidak juga kepada PS yang notabene menjadi tertuduhnya. Tampaknya Wiranto sengaja mengambil manfaat agar “prasangka publik” menghukum PS lebih berat daripada dosanya. Meski PS bersikeras mengatakan tak pernah perintahkan, namun beliau mengambil alih tanggung jawab anak buahnya. "Saya ambil alih tanggung jawabnya", begitu kata beliau saat itu. Sikap yang harus dibayar mahal dengan hancurnya karir militer yang gilang gemilang, namun juga menunjukkan kualitas kepemimpinan PS.
Jika PS benar bersalah, mengapa korban-korban penculikan seperti Pius L. Lanang & Desmond J. Mahesa justru menjadi pengurus Partai Gerindra?
Meski begitu, kualitas kepemimpinan PS justru sudah teruji di saat-saat paling kritis yang pernah dialami negeri ini. Bagi mereka yang lelah dengan kepemimpinan yang lemah, lama mengambil keputusan, dan selalu terkesan ragu-ragu, tampaknya PS adalah jawabannya. Bagi mereka yang muak dengan pemimpin yang sibuk selamatkan diri sendiri saat ada masalah, maka PS adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Dibanding memilih mengorbankan anak buahnya, PS memilih untuk ambil alih tanggung jawab & menanggung sendiri resikonya.
Seorang kapten kapal yang baik bukanlah yang pertama selamatkan diri saat kapal tenggelam, tapi justru yang terakhir. Sayang, karir militer PS yang gilang gemilang itu berakhir dengan cara yang kurang mengenakkan. Bahkan bisa dikatakan memilukan. PS bisa dikatakan pihak yang dikalahkan dalam proses perebutan kekuasaan dan pengaruh di tubuh militer pada masa-masa kritis tahun 1998.
Berbicara tentang PS, kita tidak bisa lepas dari peristiwa kelam Mei 1998 yang mencoreng nama bangsa Indonesia selamanya itu. Dan sebagai pihak yang kalah, PS menjadi “kambing hitam” dari semua kejadian tersebut. Ini tentu saja berpotensi menjadi pengganjal pencapresannya. Stigma sebagai “penjahat kemanusiaan” pasti akan dimanfaatkan sebagai senjata lawan-lawan politiknya untuk menjatuhkan PS. Jika memang benar PS adalah tokoh yang bertanggung jawab terhadap peristiwa itu, maka dia sudah menerima segala hukumannya. Bayangkanlah perasaan PS yang karir gemilangnya di dunia militer yang begiitu dicintainya itu harus berhenti dengan sejuta rasa malu dan aib.