- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
TAHUN 2020: Kesempatan Indonesia Agar Dapat Menjadi Negara Maju.


TS
SuperLamhot
TAHUN 2020: Kesempatan Indonesia Agar Dapat Menjadi Negara Maju.
ane mau berbagi informasi mengenai Window of opportunity.
Window of Opportunity akan Indonesia dapatkan pada tahun 2020.
Pada tahun itulah kesempatan bagi Indonesia agar dapat "take off" menjadi negara maju.
Window of Opportunity akan Indonesia dapatkan pada tahun 2020.
Pada tahun itulah kesempatan bagi Indonesia agar dapat "take off" menjadi negara maju.
Spoiler for Window of Opportunity: Peluang, Tantangan, dan Bagaimana Memanfaatkannya:
Bertepatan dengan bulan Mei yang merupakan Bulan Sensus Penduduk Indonesia, topik mengenai window of opportunity mulai hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Window of opportunity adalah keadaan dimana tingkat dependency ratio berada pada titik terendahnya, sedangkan dependency ratio adalah rasio perbandingan antara jumlah penduduk usia tidak produktif (0-15 tahun dan 65+ tahun) dengan jumlah penduduk usia produktif (16-64 tahun). Jadi, dalam keadaan window of opportunity, beban tanggungan penduduk usia produktif terhadap penduduk usia tidak produktif berada pada jumlah terkecilnya.
Window of opportunity akan didapatkan Indonesia pada tahun 2020-2030 dengan asumsi TFR (Total Fertility Rate - rata-rata jumlah anak dari setiap wanita selama hidupnya) Indonesia mencapai 2.01 hingga 1.8 per wanita pada tahun 2020 dan dependency ratio sebesar 44%.1 window of opportunity tersebut? Lalu sebenarnya apa peluang dan tantangan yang Indonesia dapatkan dengan
Dalam window of opportunity, Indonesia akan memiliki jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Penyebabnya adalah angka kematian yang rendah dan angka kelahiran yang baru mengalami penurunan dari angka yang tinggi. Selain itu, ibu rumah tangga, yang sebelumnya tidak masuk ke dalam angkatan kerja, bisa masuk ke dalam angkatan kerja karena jumah anak yang menurun. Dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi dan dependency ratio yang ada pada titik terendah, kesejahteraan masyarakat Indonesia bisa meningkat.
Output Indonesia juga bisa meningkat karena adanya jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Oleh karena itu, window of opportunity merupakan sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Window of opportunity memberikan jumlah tanggungan terkecil bagi setiap penduduk usia produktif. Selain itu, jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga pun berkurang. Dengan begitu, jumlah tabungan masyarakat akan bertambah. Jumlah tabungan yang bertambah bisa digunakan sebagai tambahan investasi sehingga akumulasi modal akan lebih cepat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.
Untuk mendapatkan berbagai peluang window of opportunity di atas, Indonesia menghadapi bermacam tantangan. Tantangan dimulai dari kesadaran masyarakat yang rendah terhadap KB (Keluarga Berencana). Dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai KB termasuk alat kontrasepsi, angka kelahiran sulit untuk diturunkan sehingga dependency ratio pun tidak akan berada pada titik terendahnya.
Sektor pendidikan juga merupakan tantangan yang harus dibenahi oleh Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan, belum meratanya fasilitas pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru adalah sebagian masalah pendidikan yang dimiliki Indonesia dan harus bisa segera diatasi untuk mewujudkan window of opportunity. Pendidikan pun tidak hanya difokuskan yang bersifat formal, tetapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan begitu, daya saing tenaga kerja Indonesia yang rendah pun juga bisa ditingkatkan.
Selain sektor pendidikan, tantangan berikutnya adalah sektor kesehatan. Indonesia harus memperbaiki pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga angka kematian rendah dan tenaga kerja bisa lebih produktif dalam bekerja. Lebih lanjut lagi, buruknya sarana infrastruktur dan buruknya sistem birokrasi di Indonesia juga menjadi tantangan dalam mewujudkan window of opportunity.
Selain berbagai tantangan dalam mewujudkannya, Indonesia juga akan mendapatkan tantangan apabila window of opportunity tersebut bisa terwujud. Indonesia harus mengakomodasi tingginya jumlah tenaga kerja yang ada dengan jumlah lapangan kerja yang memadai. Apabila hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Indonesia, pengangguran akan meningkat. Ditambah lagi dengan pemberlakuan free movement of labor ACFTA tahun 2015, tenaga kerja Indonesia setidaknya harus menyamai kapabilitas dan skill dari tenaga kerja asing lainnya. Jika tenaga kerja Indonesia tidak bisa kompetitif, pengangguran Indonesia pun akan semakin bertambah. Angka pengangguran yang tinggi akan berdampak bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial, seperti angka kriminalitas yang tinggi.
Window of opportunity hanya datang satu kali pada setiap negara. Oleh karena itu, hal tersebut harus bisa dimanfaatkan baik oleh Indonesia. Berbagai usaha bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada, diantaranya dengan menggalakkan kembali program KB (Keluarga Berencana) kepada setiap keluarga. Dengan otonomi daerah yang ada seperti sekarang, program KB menjadi kurang digalakkan oleh setiap pimpinan daerah. Bertepatan dengan sensus penduduk pada Bulan Mei ini, pemerintah sebenarnya bisa juga menyelipkan program sosialisasi program KB pada setiap keluarga yang didatangi.
Membangun industri yang padat karya juga bisa dilakukan sebagai usaha mamanfaatkan window of opportunity. Contohnya adalah industri kreatif, pariwisata, agrikultur, dan manufaktur. Selain itu, perlunya perbaikan (reformasi) dalam sistem birokrasi Indonesia sehingga izin pendirian usaha tidak lagi dipersulit. Perbaikan sarana infrastruktur juga salah satu hal yang harus dilakukan untuk mendukung dam mempermudah kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, perlu adanya optimalisasi tenaga kerja yang memiliki jiwa wirausaha dengan tidak dipersulitnya proses pemberian modal usaha. Dengan begitu, mereka bisa menciptakan usaha yang menyerap tenaga kerja.
Sektor-sektor lain yang harus dibenahi oleh Indonesia adalah kesehatan dan pendidikan. Pendirian Posyandu untuk menekan angka kematian bayi, pendirian Puskesmas untuk pemerataan pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan kepada masyarakat, dan pengaplikasian teknologi dalam bidang kesehatan adalah beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan datangnya window of opportunity. Dalam sektor pendidikan, perbaikan diperlukan baik dari sisi biaya, kualitas, dan pemerataan. Pembenahan dalam sektor pendidikan akan mendorong daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi lebih kompetitif.
Perlu ditekankan bahwa window of opportunity hanya akan datang sekali dan tidak akan terulang pada setiap negara.Kisah sukses telah ditorehkan China dalam memanfaatkan window of opportunity-nya dimana China menjadi salah satu negara berpengaruh terhadap dunia. Dengan berbagai peluang besar yang bisa didapatkan, Indonesia harus bisa menghadapi tantangan-tantangan window of opportunity melalui bermacam usaha di atas. Teramat disayangkan apabila kesempatan emas ini tidak diacuhkan oleh Indonesia.
(Tulisan ini merupakan output Monthly Economic Discussion (MEcD) Kanopi FEUI yang disusun oleh Biro Internal Kanopi FEUI 2010)
Window of opportunity akan didapatkan Indonesia pada tahun 2020-2030 dengan asumsi TFR (Total Fertility Rate - rata-rata jumlah anak dari setiap wanita selama hidupnya) Indonesia mencapai 2.01 hingga 1.8 per wanita pada tahun 2020 dan dependency ratio sebesar 44%.1 window of opportunity tersebut? Lalu sebenarnya apa peluang dan tantangan yang Indonesia dapatkan dengan
Dalam window of opportunity, Indonesia akan memiliki jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Penyebabnya adalah angka kematian yang rendah dan angka kelahiran yang baru mengalami penurunan dari angka yang tinggi. Selain itu, ibu rumah tangga, yang sebelumnya tidak masuk ke dalam angkatan kerja, bisa masuk ke dalam angkatan kerja karena jumah anak yang menurun. Dengan jumlah tenaga kerja yang tinggi dan dependency ratio yang ada pada titik terendah, kesejahteraan masyarakat Indonesia bisa meningkat.
Output Indonesia juga bisa meningkat karena adanya jumlah tenaga kerja produktif yang tinggi. Oleh karena itu, window of opportunity merupakan sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Window of opportunity memberikan jumlah tanggungan terkecil bagi setiap penduduk usia produktif. Selain itu, jumlah anak yang dimiliki setiap keluarga pun berkurang. Dengan begitu, jumlah tabungan masyarakat akan bertambah. Jumlah tabungan yang bertambah bisa digunakan sebagai tambahan investasi sehingga akumulasi modal akan lebih cepat dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.
Untuk mendapatkan berbagai peluang window of opportunity di atas, Indonesia menghadapi bermacam tantangan. Tantangan dimulai dari kesadaran masyarakat yang rendah terhadap KB (Keluarga Berencana). Dengan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat mengenai KB termasuk alat kontrasepsi, angka kelahiran sulit untuk diturunkan sehingga dependency ratio pun tidak akan berada pada titik terendahnya.
Sektor pendidikan juga merupakan tantangan yang harus dibenahi oleh Indonesia. Mahalnya biaya pendidikan, belum meratanya fasilitas pendidikan, dan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru adalah sebagian masalah pendidikan yang dimiliki Indonesia dan harus bisa segera diatasi untuk mewujudkan window of opportunity. Pendidikan pun tidak hanya difokuskan yang bersifat formal, tetapi juga yang bersifat kejuruan. Dengan begitu, daya saing tenaga kerja Indonesia yang rendah pun juga bisa ditingkatkan.
Selain sektor pendidikan, tantangan berikutnya adalah sektor kesehatan. Indonesia harus memperbaiki pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga angka kematian rendah dan tenaga kerja bisa lebih produktif dalam bekerja. Lebih lanjut lagi, buruknya sarana infrastruktur dan buruknya sistem birokrasi di Indonesia juga menjadi tantangan dalam mewujudkan window of opportunity.
Selain berbagai tantangan dalam mewujudkannya, Indonesia juga akan mendapatkan tantangan apabila window of opportunity tersebut bisa terwujud. Indonesia harus mengakomodasi tingginya jumlah tenaga kerja yang ada dengan jumlah lapangan kerja yang memadai. Apabila hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh Indonesia, pengangguran akan meningkat. Ditambah lagi dengan pemberlakuan free movement of labor ACFTA tahun 2015, tenaga kerja Indonesia setidaknya harus menyamai kapabilitas dan skill dari tenaga kerja asing lainnya. Jika tenaga kerja Indonesia tidak bisa kompetitif, pengangguran Indonesia pun akan semakin bertambah. Angka pengangguran yang tinggi akan berdampak bukan hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga dalam bidang sosial, seperti angka kriminalitas yang tinggi.
Window of opportunity hanya datang satu kali pada setiap negara. Oleh karena itu, hal tersebut harus bisa dimanfaatkan baik oleh Indonesia. Berbagai usaha bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada, diantaranya dengan menggalakkan kembali program KB (Keluarga Berencana) kepada setiap keluarga. Dengan otonomi daerah yang ada seperti sekarang, program KB menjadi kurang digalakkan oleh setiap pimpinan daerah. Bertepatan dengan sensus penduduk pada Bulan Mei ini, pemerintah sebenarnya bisa juga menyelipkan program sosialisasi program KB pada setiap keluarga yang didatangi.
Membangun industri yang padat karya juga bisa dilakukan sebagai usaha mamanfaatkan window of opportunity. Contohnya adalah industri kreatif, pariwisata, agrikultur, dan manufaktur. Selain itu, perlunya perbaikan (reformasi) dalam sistem birokrasi Indonesia sehingga izin pendirian usaha tidak lagi dipersulit. Perbaikan sarana infrastruktur juga salah satu hal yang harus dilakukan untuk mendukung dam mempermudah kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu, perlu adanya optimalisasi tenaga kerja yang memiliki jiwa wirausaha dengan tidak dipersulitnya proses pemberian modal usaha. Dengan begitu, mereka bisa menciptakan usaha yang menyerap tenaga kerja.
Sektor-sektor lain yang harus dibenahi oleh Indonesia adalah kesehatan dan pendidikan. Pendirian Posyandu untuk menekan angka kematian bayi, pendirian Puskesmas untuk pemerataan pelayanan kesehatan, asuransi kesehatan kepada masyarakat, dan pengaplikasian teknologi dalam bidang kesehatan adalah beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk memanfaatkan datangnya window of opportunity. Dalam sektor pendidikan, perbaikan diperlukan baik dari sisi biaya, kualitas, dan pemerataan. Pembenahan dalam sektor pendidikan akan mendorong daya saing tenaga kerja Indonesia menjadi lebih kompetitif.
Perlu ditekankan bahwa window of opportunity hanya akan datang sekali dan tidak akan terulang pada setiap negara.Kisah sukses telah ditorehkan China dalam memanfaatkan window of opportunity-nya dimana China menjadi salah satu negara berpengaruh terhadap dunia. Dengan berbagai peluang besar yang bisa didapatkan, Indonesia harus bisa menghadapi tantangan-tantangan window of opportunity melalui bermacam usaha di atas. Teramat disayangkan apabila kesempatan emas ini tidak diacuhkan oleh Indonesia.
(Tulisan ini merupakan output Monthly Economic Discussion (MEcD) Kanopi FEUI yang disusun oleh Biro Internal Kanopi FEUI 2010)
Spoiler for BONUS DEMOGRAFI:
Indonesia saat ini memiliki penduduk yang besar, sekitar 251 juta jiwa. Persentase penduduk usia produktif (penduduk usia 15-64 tahun) sekitar 44,98 persen. Proporsi penduduk usia produktif akan terus meningkat sampai sekitar tahun 2025. Secara demografis, besarnya proporsi penduduk usia produktif tersebut merupakan potensi bagi pembangunan. Karenanya dikatakan Indonesia sedang menikmati bonus demografi sampai dengan sekitar tahun 2025.
Bonus demografi adalah bonus atau peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kita menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak era Orde Baru hingga sekarang.
Keberhasilan program seperti KB selama berpuluh tahun sebelumnya telah mampu menggeser penduduk berusia di bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang awalnya besar di bagian bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih tua (produktif 15-64 tahun). Struktur piramida yang “menggembung di tengah” semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban ketergantungan atau dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia produktif kepada penduduk usia anak-anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih ringan.
Namun bonus demografi tidak serta merta menjadi sumberdaya pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan. Beberapa persyaratan harus terpenuhi yaitu: penduduk harus berkualitas, terserap dalam pasar kerja, meningkatnya tabungan di tingkat rumahtangga serta meningkatnya perempuan yang masuk dalam pasar kerja.Keempat persyaratan tersebut menjadi perhatian pemerintah. Skala prioritas RPJM ke 2010-2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.
Dari sisi kualitas penduduk usia produktif, masih terdapat tantangan tersendiri. Sesuai data UNDP (2011), rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 5,8 tahun, yang berarti rata-rata penduduk Indonesia tidak sampai menyelesaikan jenjang pendidikan SD. Dapat dipahami apabila proporsi angkatan kerja di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan SD. Padahal mulai tahun 2015 telah disepakati dibentuk zona AFTA dimana tenaga kerja dari manapun dapat masuk dan bersaing di Indonesia dari segi kompetensi profesional. Hal ini jelas menuntut daya kompetensi yang tinggi dari penduduk usia produktif kita. Situasi global seperti ini harus diperhatikan secara serius, karena bagaimanapun ke depan interaksi antar negara dalam konteks sosial dan ekonomi akan semakin erat.
Agar bonus demografi dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya hingga mencapai puncaknya window of opportunity secara optimal, seluruh kebijakan pembangunan nasional hendaknya dapat bersinergi dan diarahkan secara konstruktif, antara lain dari sisi pengendalian kelahiran, program KB perlu digiatkan agar angka kelahiran total (TFR) makin menurun, sehingga memberi kesempatan perempuan bekerja atau masuk pasar kerja. Dari sisi pendidikan, dikondisikan gerakan wajib belajar 12 tahun bagi penduduk, dari sisi ketenagakerjaan, perlu dicanangkan kebijakan pembangunan sektor riel dan upaya penyediaan lapangan kerja yang memadai. Demikian pula dengan kebijakan yang lain, perlu diselaraskan dengan memperhatikan dinamika kependudukan, sosial, ekonomi, agar pemanfaatan bonus demografi dapat semakin optimal
Bonus demografi adalah bonus atau peluang yang dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kita menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak era Orde Baru hingga sekarang.
Keberhasilan program seperti KB selama berpuluh tahun sebelumnya telah mampu menggeser penduduk berusia di bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang awalnya besar di bagian bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih tua (produktif 15-64 tahun). Struktur piramida yang “menggembung di tengah” semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban ketergantungan atau dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia produktif kepada penduduk usia anak-anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih ringan.
Namun bonus demografi tidak serta merta menjadi sumberdaya pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan. Beberapa persyaratan harus terpenuhi yaitu: penduduk harus berkualitas, terserap dalam pasar kerja, meningkatnya tabungan di tingkat rumahtangga serta meningkatnya perempuan yang masuk dalam pasar kerja.Keempat persyaratan tersebut menjadi perhatian pemerintah. Skala prioritas RPJM ke 2010-2014) ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia disegala bidang dengan menekankan pada upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan iptek serta penguatan daya saing perekonomian.
Dari sisi kualitas penduduk usia produktif, masih terdapat tantangan tersendiri. Sesuai data UNDP (2011), rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya 5,8 tahun, yang berarti rata-rata penduduk Indonesia tidak sampai menyelesaikan jenjang pendidikan SD. Dapat dipahami apabila proporsi angkatan kerja di Indonesia saat ini didominasi oleh lulusan SD. Padahal mulai tahun 2015 telah disepakati dibentuk zona AFTA dimana tenaga kerja dari manapun dapat masuk dan bersaing di Indonesia dari segi kompetensi profesional. Hal ini jelas menuntut daya kompetensi yang tinggi dari penduduk usia produktif kita. Situasi global seperti ini harus diperhatikan secara serius, karena bagaimanapun ke depan interaksi antar negara dalam konteks sosial dan ekonomi akan semakin erat.
Agar bonus demografi dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya hingga mencapai puncaknya window of opportunity secara optimal, seluruh kebijakan pembangunan nasional hendaknya dapat bersinergi dan diarahkan secara konstruktif, antara lain dari sisi pengendalian kelahiran, program KB perlu digiatkan agar angka kelahiran total (TFR) makin menurun, sehingga memberi kesempatan perempuan bekerja atau masuk pasar kerja. Dari sisi pendidikan, dikondisikan gerakan wajib belajar 12 tahun bagi penduduk, dari sisi ketenagakerjaan, perlu dicanangkan kebijakan pembangunan sektor riel dan upaya penyediaan lapangan kerja yang memadai. Demikian pula dengan kebijakan yang lain, perlu diselaraskan dengan memperhatikan dinamika kependudukan, sosial, ekonomi, agar pemanfaatan bonus demografi dapat semakin optimal
Spoiler for EMPAT KRITIK "BONUS DEMOGRAFI":
Akhir-akhir ini makin banyak orang bertanya ke kami, mengenai “Bonus Demografi” (Demographic Bonus) dan “Jendela Peluang Demografi” (Demographic Window of Opportunity). Ada yang membedakan dua istilah ini. Ada pula yang menyamakan. Dalam tulisan ini, kami menganggap dua istilah ini mengacu pada konsep yang sama.
Istilah “bonus demografi” ini sering digunakan di Indonesia, dan di banyak negara lain. Demografer yang membawa pemikiran ini biasanya berasal dari Amerika Serikat (walau tidak semuanya), termasuk dari Population Council, di New York. Demografer dari Eropa biasanya kurang berminat pada konsep dan analisis Bonus Demografi.
Berikut ini empat kritik kami pada “Bonus Demografi”: kelemaham dalam konsep, ketidak-jelasan kriteria indikator bonus demografi, kerancuan arti produktif dan tidak produkif, dan tak adanya relevansi dalam pembuatan kebijakan.
Kritik Pertama: Kelemahan Asumsi Dalam Konsep.
Konsep ini bermula dari pemikiran ekonom mengenai angka ketergantungan (dependency ratio), yang diukur dari jumlah penduduk tidak produktif dibagi dengan jumlah penduduk produktif. Semakin tinggi angka ini, semakin besar beban yang harus ditanggung oleh penduduk produktif. Semakin tinggi beban yang harus ditanggung, semakin kecil tabungan yang dapat dihasilkan oleh penduduk produktif. Semakin kecil tabungan, semakin rendah investasi yang dapat dilakukan di masyarakat. Semakin kecil investasi, semakin lambat pertumbuhan ekonomi.
Bonus demografi dikatakan terjadi ketika angka ketergantungan ini rendah. Artinya, tabungan diharapkan akan besar, dan investasi akan tinggi.
Asumsi bahwa semakin besar beban tanggungan, semakin kecil tabungan, tampaknya tak ada masalah. Tetapi benarkah asumsi bahwa tanpa tabungan tak akan ada investasi? Sesungguhnya, investasi tidak hanya berdasar tabungan, tetapi juga dapat dilakukan dengan meminjam dari bank. Investasi juga dapat dilakukan oleh pelaku dari negara lain, yang lazim disebut dengan penanaman modal asing atau FDI (foreign direct investment).
Dengan demikian, tidak benar bahwa tabungan yang kecil otomatis berarti investasi yang kecil. Asumsi bahwa angka ketergantungan yang tinggi otomatis berarti investasi yang kecil juga perlu dikaji-ulang. Artinya, tanpa bonus demografi pun kita dapat melakukan investasi. Kita dapat melakukan kebijakan moneter dan mendatangkan FDI.
Kritik Kedua: Ketidak-Jelasan dalam Indikator. Kapan Suatu Angka Ketergantungan Dikatakan Rendah?
Angka ketergantungan dapat dibagi atas tiga macam: angka ketergantungan muda, angka ketergantungan tua, and angka ketergantungan total. Angka ketergantungan muda diakibatkan oleh penduduk tidak produktif yang berusia muda, di bawah 15 tahun, dihitung sebagai jumlah penduduk di bawah 15 tahun dibagi dengan jumlah penduduk 15-64 tahun. Angka ketergantungan tua diakibatkan oleh penduduk tidak produktif yang berusia tua, di atas 65 tahun, dihitung sebagai jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk usia 15-64. Angka ketergantungan total merupakan penjumlahan angka ketergantungan muda dan tua.
Ketika angka kelahiran turun, persentase penduduk di bawah 15 tahun berkurang. Maka, angka ketergantungan muda berkurang. Pada mulanya, turunnya persentase penduduk muda masih lebih cepat dari naiknya persentase penduduk tua. Maka, turunnya angka ketergantungan muda lebih cepat daripada naiknya angka ketergantungan tua. Akibatnya, angka ketergantungan total menurun.
Angka ketergantungan total ini akan terus menurun sehingga mencapai angka yang rendah. Namun, berapa yang disebut “rendah”?
Ada yang mengatakan bahwa “rendah” adalah suatu interval, selama angka ketergantungan di bawah 0,5. Jadi, yang penting di bawah 0,5. Interval ini dimulai ketika angka ketergantungan turun menjadi di bawah 0,5 dan berakhir ketika angka ini naik lagi melebihi 0,5. Tetapi mengapa 0,5? Tak ada alasan yang kuat. Dapat saja orang mengatakan 0,6 atau 0,4 atau lainnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa “rendah” terjadi ketika angka ketergantungan mencapai titik yang terendah, bukan suatu interval. Oleh sebab itu, dengan pengukuran ini, bonus demografi terjadi dalam waktu yang lebih pendek daripada dengan pendekatan pertama.
Ketidak-jelasan dalam penentuan “rendah” memang membuat banyak orang bingung. Yang mana yang benar?
Sampai sekarang memang tidak ada konsensus mengenai yang mana yang benar.
Kritik Ketiga: Siapa Yang Disebut Produktif Dan Tidak Produktif?
Ketika konsep bonus demografi semula digunakan, penduduk yang tidak produktif adalah penduduk tua (di atas 65 tahun) dan penduduk muda (di bawah 15 tahun). Kelompok muda dianggap sudah mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, sedang kelompok tua dianggap masih mengkonsumsi tetapi sudah tidak berproduksi.
Namun, untuk negara berkembang seperti Indonesia, yang disebut penduduk tua (lansia) adalah penduduk 60 tahun ke atas. Jadi, pengukurannya pun harus diganti dengan penduduk 60 tahun ke atas, bukan 65 tahun ke atas. Tetapi, benarkah semua penduduk di atas 60 tahun atau pun 65 tahun tidak produktif, dan menjadi beban masyarakat? Kalau kita lihat di sekeliling kita, banyak sekali penduduk usia di atas 60 tahun bahwa 65 tahun yang masih aktif dan banyak memberikan sumbangan ke masyarakat dan keluarga.
Di pihak lain, benarkah penduduk muda yang menjadi tanggungan hanya di bawah 15 tahun. Dengan adanya wajib belajar 12 tahun, yang namanya ketergantungan muda perlu diperluas hingga di bawah 18 tahun. Selanjutnya, kini makin banyak orangtua yang ingin anaknya menyelesaikan S-1. Artinya, ketergantungan muda perlu diperpanjang lagi hingga di bawah 25 tahun.
Selanjutnya, benarkah semua penduduk yang dikatakan produktif benar benar produktif. Bagaimana mereka yang tidak dapat berpartisipasi di pasar kerja, mereka yang penghasilannya rendah dan pas-pasan, dan mereka yang sakit sakitan?
Singkatnya, pengukuran produktif dan tidak produktif masih amat tidak jelas. Akibatnya, pengukuran angka ketergantungan juga tidak jelas. Selanjutnya, pengukuran bonus demografi juga dapat bersimpang-siur.
Kritik Keempat, Apa Implikasi Kebijakan Bonus Demografi?
Sering kita dengar, bahwa kita harus memanfaatkan peluang adanya bonus demografi. Kita harus meningkatkan investasi, kita tingkatkan pendidikan, kita tingkatkan kesehatan. Pertanyaannya, kalau tak ada bonus demografi, apakah kita tidak mendorong,nvestasi, memajukan pendidikan, dan meningkatkan kesehatan?
Dengan kata lain, ada atau tidak ada bonus demografi, implikasi kebijakan akan sama: terus melakukan investasi, meningkatkan produktivitas, memajukan pendidikan, dan meningkatkan kesehatan.
Penutup
Sesungguhnya konsep “Bonus Demografi” merupakan konsep yang menarik yang menggambarkan pergesaran penduduk dari suatu proses yang disebut Transisi Demografi Pertama ke suatu proses lain yang disebut Transisi Demografi Kedua.
Diskusi mengenai Transisi Demografi Pertama dan Transisi Demografi Kedua dapat dilihat di Three Demographic Transitions
Singapura, 13 Oktober 2013
Istilah “bonus demografi” ini sering digunakan di Indonesia, dan di banyak negara lain. Demografer yang membawa pemikiran ini biasanya berasal dari Amerika Serikat (walau tidak semuanya), termasuk dari Population Council, di New York. Demografer dari Eropa biasanya kurang berminat pada konsep dan analisis Bonus Demografi.
Berikut ini empat kritik kami pada “Bonus Demografi”: kelemaham dalam konsep, ketidak-jelasan kriteria indikator bonus demografi, kerancuan arti produktif dan tidak produkif, dan tak adanya relevansi dalam pembuatan kebijakan.
Kritik Pertama: Kelemahan Asumsi Dalam Konsep.
Konsep ini bermula dari pemikiran ekonom mengenai angka ketergantungan (dependency ratio), yang diukur dari jumlah penduduk tidak produktif dibagi dengan jumlah penduduk produktif. Semakin tinggi angka ini, semakin besar beban yang harus ditanggung oleh penduduk produktif. Semakin tinggi beban yang harus ditanggung, semakin kecil tabungan yang dapat dihasilkan oleh penduduk produktif. Semakin kecil tabungan, semakin rendah investasi yang dapat dilakukan di masyarakat. Semakin kecil investasi, semakin lambat pertumbuhan ekonomi.
Bonus demografi dikatakan terjadi ketika angka ketergantungan ini rendah. Artinya, tabungan diharapkan akan besar, dan investasi akan tinggi.
Asumsi bahwa semakin besar beban tanggungan, semakin kecil tabungan, tampaknya tak ada masalah. Tetapi benarkah asumsi bahwa tanpa tabungan tak akan ada investasi? Sesungguhnya, investasi tidak hanya berdasar tabungan, tetapi juga dapat dilakukan dengan meminjam dari bank. Investasi juga dapat dilakukan oleh pelaku dari negara lain, yang lazim disebut dengan penanaman modal asing atau FDI (foreign direct investment).
Dengan demikian, tidak benar bahwa tabungan yang kecil otomatis berarti investasi yang kecil. Asumsi bahwa angka ketergantungan yang tinggi otomatis berarti investasi yang kecil juga perlu dikaji-ulang. Artinya, tanpa bonus demografi pun kita dapat melakukan investasi. Kita dapat melakukan kebijakan moneter dan mendatangkan FDI.
Kritik Kedua: Ketidak-Jelasan dalam Indikator. Kapan Suatu Angka Ketergantungan Dikatakan Rendah?
Angka ketergantungan dapat dibagi atas tiga macam: angka ketergantungan muda, angka ketergantungan tua, and angka ketergantungan total. Angka ketergantungan muda diakibatkan oleh penduduk tidak produktif yang berusia muda, di bawah 15 tahun, dihitung sebagai jumlah penduduk di bawah 15 tahun dibagi dengan jumlah penduduk 15-64 tahun. Angka ketergantungan tua diakibatkan oleh penduduk tidak produktif yang berusia tua, di atas 65 tahun, dihitung sebagai jumlah penduduk usia 65 tahun ke atas dibagi dengan jumlah penduduk usia 15-64. Angka ketergantungan total merupakan penjumlahan angka ketergantungan muda dan tua.
Ketika angka kelahiran turun, persentase penduduk di bawah 15 tahun berkurang. Maka, angka ketergantungan muda berkurang. Pada mulanya, turunnya persentase penduduk muda masih lebih cepat dari naiknya persentase penduduk tua. Maka, turunnya angka ketergantungan muda lebih cepat daripada naiknya angka ketergantungan tua. Akibatnya, angka ketergantungan total menurun.
Angka ketergantungan total ini akan terus menurun sehingga mencapai angka yang rendah. Namun, berapa yang disebut “rendah”?
Ada yang mengatakan bahwa “rendah” adalah suatu interval, selama angka ketergantungan di bawah 0,5. Jadi, yang penting di bawah 0,5. Interval ini dimulai ketika angka ketergantungan turun menjadi di bawah 0,5 dan berakhir ketika angka ini naik lagi melebihi 0,5. Tetapi mengapa 0,5? Tak ada alasan yang kuat. Dapat saja orang mengatakan 0,6 atau 0,4 atau lainnya.
Ada pula yang berpendapat bahwa “rendah” terjadi ketika angka ketergantungan mencapai titik yang terendah, bukan suatu interval. Oleh sebab itu, dengan pengukuran ini, bonus demografi terjadi dalam waktu yang lebih pendek daripada dengan pendekatan pertama.
Ketidak-jelasan dalam penentuan “rendah” memang membuat banyak orang bingung. Yang mana yang benar?
Sampai sekarang memang tidak ada konsensus mengenai yang mana yang benar.
Kritik Ketiga: Siapa Yang Disebut Produktif Dan Tidak Produktif?
Ketika konsep bonus demografi semula digunakan, penduduk yang tidak produktif adalah penduduk tua (di atas 65 tahun) dan penduduk muda (di bawah 15 tahun). Kelompok muda dianggap sudah mengkonsumsi tetapi belum berproduksi, sedang kelompok tua dianggap masih mengkonsumsi tetapi sudah tidak berproduksi.
Namun, untuk negara berkembang seperti Indonesia, yang disebut penduduk tua (lansia) adalah penduduk 60 tahun ke atas. Jadi, pengukurannya pun harus diganti dengan penduduk 60 tahun ke atas, bukan 65 tahun ke atas. Tetapi, benarkah semua penduduk di atas 60 tahun atau pun 65 tahun tidak produktif, dan menjadi beban masyarakat? Kalau kita lihat di sekeliling kita, banyak sekali penduduk usia di atas 60 tahun bahwa 65 tahun yang masih aktif dan banyak memberikan sumbangan ke masyarakat dan keluarga.
Di pihak lain, benarkah penduduk muda yang menjadi tanggungan hanya di bawah 15 tahun. Dengan adanya wajib belajar 12 tahun, yang namanya ketergantungan muda perlu diperluas hingga di bawah 18 tahun. Selanjutnya, kini makin banyak orangtua yang ingin anaknya menyelesaikan S-1. Artinya, ketergantungan muda perlu diperpanjang lagi hingga di bawah 25 tahun.
Selanjutnya, benarkah semua penduduk yang dikatakan produktif benar benar produktif. Bagaimana mereka yang tidak dapat berpartisipasi di pasar kerja, mereka yang penghasilannya rendah dan pas-pasan, dan mereka yang sakit sakitan?
Singkatnya, pengukuran produktif dan tidak produktif masih amat tidak jelas. Akibatnya, pengukuran angka ketergantungan juga tidak jelas. Selanjutnya, pengukuran bonus demografi juga dapat bersimpang-siur.
Kritik Keempat, Apa Implikasi Kebijakan Bonus Demografi?
Sering kita dengar, bahwa kita harus memanfaatkan peluang adanya bonus demografi. Kita harus meningkatkan investasi, kita tingkatkan pendidikan, kita tingkatkan kesehatan. Pertanyaannya, kalau tak ada bonus demografi, apakah kita tidak mendorong,nvestasi, memajukan pendidikan, dan meningkatkan kesehatan?
Dengan kata lain, ada atau tidak ada bonus demografi, implikasi kebijakan akan sama: terus melakukan investasi, meningkatkan produktivitas, memajukan pendidikan, dan meningkatkan kesehatan.
Penutup
Sesungguhnya konsep “Bonus Demografi” merupakan konsep yang menarik yang menggambarkan pergesaran penduduk dari suatu proses yang disebut Transisi Demografi Pertama ke suatu proses lain yang disebut Transisi Demografi Kedua.
Diskusi mengenai Transisi Demografi Pertama dan Transisi Demografi Kedua dapat dilihat di Three Demographic Transitions
Singapura, 13 Oktober 2013
Window of Opportunity hanya akan datang sekali dan tidak akan terulang pada setiap negara.
Jadi, kita harus bisa memanfaatkannya, gan.


Sumber 1
Sumber 2
Sumber 3
WEBSITE TENTANG WINDOW OF OPPORTUNITY INDONESIA
Diubah oleh SuperLamhot 06-05-2014 21:55
0
3.6K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan