- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
[belajar investigasi] Industri Baja Indonesia Di Ambang Kehancuran


TS
200176
[belajar investigasi] Industri Baja Indonesia Di Ambang Kehancuran
Quote:
Rugi bersih Krakatau Steel capai USD 46,4 juta
PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sepanjang tiga bulan pertama tahun ini mencatat rugi bersih sebesar USD46,43 juta, merosot tajam jika dibanding kuartal I/2013, yang masih mencatat laba USD9,10 juta.
Laporan keuangan perseroan di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa rugi tersebut akibatnya menurunnya pendapatan bersih dan meningkatnya rugi selisih kurs.
Pada kuartal I/2014, pendapatan bersih perusahaan tercatat sebesar USD459,49 juta, turun 25,4 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu senilai USD615,97 juta.
Turunnya pendapatan sejalan dengan berkurangnya beban pokok pendapatan menjadi USD448,94 juta dari USD564,03 juta. Beban penjualan juga turun menjadi USD9,11 juta dari USD14,16 juta, beban umum dan administrasi berkurang menjadi USD20,77 juta dari USD25,84 juta serta beban lain-lain menjadi USD217 ribu dari USD638 ribu.
Kendati demikian, perseroan mencatat kenaikan pada penjualan limbah produksi menjadi USD4,91 juta dari USD3 juta dan pendapatan lain-lain menjadi USD5,14 juta dari USD1,29 juta.
Namun, produsen baja plat merah tersebut mencatat rugi dari entitas asosiasi sebesar USD20,91, meningkat 1.215 persen dibanding akhir Maret 2013 senilai USD1,59 juta, rugi selisih kurs menjadi USD14,36 juta dibanding periode yang sama tahun lalu membukukan laba USD8,51 juta serta beban keuangan yang bertambah menjadi USD11,2 juta dari USD9,67 juta.
Sementara itu, rugi periode berjalan tercatat sebesar USD49,67 juta, sedangkan kuartal I/2013 masih mencatat laba senilai USD8,3 juta. Adapun, rugi bersih saham dasar dan dilusian pada tiga bulan pertama tahun ini mencapai USD0,0029 dibanding periode yang sama tahun lalu laba saham dasar dan silusian senilai USD0,0006 per lembar.
Total aset perusahaan akhir bulan lalu sebesar USD2,33 miliar, dengan utang sebesar USD1,35 miliar. Total aset tersebut menurun dibanding akhir tahun lalu sebesar Rp2,38 miliar. Namun utang meningkat, di mana utang persreoan akhir Desember 2013 senilai USD1,33 miliar.
sumber
PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) sepanjang tiga bulan pertama tahun ini mencatat rugi bersih sebesar USD46,43 juta, merosot tajam jika dibanding kuartal I/2013, yang masih mencatat laba USD9,10 juta.
Laporan keuangan perseroan di keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan bahwa rugi tersebut akibatnya menurunnya pendapatan bersih dan meningkatnya rugi selisih kurs.
Pada kuartal I/2014, pendapatan bersih perusahaan tercatat sebesar USD459,49 juta, turun 25,4 persen dibanding kuartal yang sama tahun lalu senilai USD615,97 juta.
Turunnya pendapatan sejalan dengan berkurangnya beban pokok pendapatan menjadi USD448,94 juta dari USD564,03 juta. Beban penjualan juga turun menjadi USD9,11 juta dari USD14,16 juta, beban umum dan administrasi berkurang menjadi USD20,77 juta dari USD25,84 juta serta beban lain-lain menjadi USD217 ribu dari USD638 ribu.
Kendati demikian, perseroan mencatat kenaikan pada penjualan limbah produksi menjadi USD4,91 juta dari USD3 juta dan pendapatan lain-lain menjadi USD5,14 juta dari USD1,29 juta.
Namun, produsen baja plat merah tersebut mencatat rugi dari entitas asosiasi sebesar USD20,91, meningkat 1.215 persen dibanding akhir Maret 2013 senilai USD1,59 juta, rugi selisih kurs menjadi USD14,36 juta dibanding periode yang sama tahun lalu membukukan laba USD8,51 juta serta beban keuangan yang bertambah menjadi USD11,2 juta dari USD9,67 juta.
Sementara itu, rugi periode berjalan tercatat sebesar USD49,67 juta, sedangkan kuartal I/2013 masih mencatat laba senilai USD8,3 juta. Adapun, rugi bersih saham dasar dan dilusian pada tiga bulan pertama tahun ini mencapai USD0,0029 dibanding periode yang sama tahun lalu laba saham dasar dan silusian senilai USD0,0006 per lembar.
Total aset perusahaan akhir bulan lalu sebesar USD2,33 miliar, dengan utang sebesar USD1,35 miliar. Total aset tersebut menurun dibanding akhir tahun lalu sebesar Rp2,38 miliar. Namun utang meningkat, di mana utang persreoan akhir Desember 2013 senilai USD1,33 miliar.
sumber
Quote:
Produsen Baja Nasional Dikepung Impor Dari Cina
Industri baja nasional mengeluhkan membanjirnya baja impor asal Cina di pasar domestik dengan harga lebih murah sebesar 3% - 5% dari harga baja lokal. Hal ini jelas mematikan perusahaan baja nasional.
Demikian dikatakan Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi, Djamaluddin Tanoto, di Jakarta, Kamis (14/2).
Menurut Djamaluddin, murahnya harga baja tersebut lantaran produsen baja asal Cina melakukan praktik bisnis tidak terpuji, dengan mengakali aturan bea masuk impor yang ditetapkan pemerintah untuk baja komersial.
Modusnya, kata dia, baja asal Cina pada dokumen laporannya diklaim telah mengandung boron yakni bahan campuran baja untuk meningkatkan kekuatan baja berketebalan tipis. Padahal, setelah dicek ke laboratorium di Bandung, kandungan boronnya sangat kecil, hanya 0,008% saja. Sehingga, bisa dibilang tak ada bedanya dengan baja pada umumnya.
Menurut Djamaluddin, ketiga perusahaan baja nasional tersebut akan melaporkan praktik bisnis tak terpuji yang dilakukan produsen baja asal Cina itu ke Kementrian Perindustrian.
Djamaluddin mengatakan, hal itu mereka lakukan untuk menghindari bea masuk baja impor sebesar 5% yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Selain itu, pemerintah Cina juga memberikan pengembalian pajak ekspor sebesar 9% kepada eksportir baja Cina yang menambahkan kandungan boron di bajanya. Dengan keringanan pajak sebesar 14% tersebut sudah mampu menutupi biaya produksi baja yang dijual ke Indonesia.
Hal yang sama Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk., Gunato Gunawan mengatakan, derasnya baja impor asal Tiongkok tersebut makin memberatkan produsen baja lokal. Sebab, pada bulan ini, industri baja nasional terpaksa melakukan kenaikan harga produk baja berkisar 13%-15% dari harga lama. Selain Gunawan Dianjaya Steel, kenaikan harga produk baja juga akan dilakukan PT Krakatau Steel (persero) Tbk dan PT Gunung Raja Paksi.
Gunato memaparkan, kenaikan harga jual tersebut tidak bisa dihindari, dikarenakan berbagai bahan baku baja seperti scrap (besi bekas), iron ore pellet (bijih besi), dan slab (baja setengah jadi) yang sebagian besar masih diimpor, sejak awal 2013, mengalami kenaikan harga secara signifikan.
Gunato menegaskan, kenaikan harga jual produk baja bukan untuk mencari untung besar, melainkan agar produsen baja domestik tetap dapat berproduksi. Sebagai contoh, harga scrap baja (besi bekas) sejak Januari 2013 telah mencapai US$ 430 per ton, meningkat 13% jika dibanding harga pada Oktober 2012 sebesar US$ 380 per ton.
Begitupula harga bijih besi impor, khususnya yang berasal dari India telah naik 30% dari US$115 per ton menjadi US$150 per ton untuk periode yang sama. Selain kedua bahan baku baja tersebut, kenaikan harga juga berlaku pada baja setengah jadi (slab) impor. Sejak awal tahun ini, harga slab telah mencapai US$540 per ton naik 15% dari US$470 per ton pada Oktober 2012.
“Kenaikan harga ini bukan bertujuan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Kami berkomitmen tidak membebankan 100% kenaikan biaya bahan baku tersebut kepada pengguna. Sebagian dari kenaikan biaya tersebut kami serap. Kami juga melakukan berbagai upaya peningkatan efisiensi pada proses produksi, agar harga jual produk baja tidak naik signifikan,” tegas Gunato.
Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Tbk., Yerry menegaskan, kenaikan harga produk baja terpaksa dilakukan untuk menghindari kerugian. Sebab, kenaikan harga bahan baku baja yang signifikan, telah membuat tingkat profitabilitas industri baja domestik menurun drastis ke tingkat yang memprihatinkan.
Ia mengatakan, Industri baja di Indonesia adalah yang terakhir melakukan kenaikan harga. Produsen baja di regional seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam bahkan telah menaikkan harga jual produk baja mereka sejak Januari 2013.
“Hal itu karena, kenaikan harga bahan baku baja juga dialami industri baja di tiga negara tersebut,” jelas Yerry.
Yerry menambahkan, kenaikan harga bahan baku baja yang signifikan sejak awal 2013, telah membuat tingkat profitabilitas industri baja domestik menurun drastis ke tingkat yang memprihatinkan. Sehingga, kenaikkan harga jual produk baja tidak bisa dihindari dan terpaksa dilakukan agar industri baja nasional tidak merugi.
Terkait derasnya baja impor asal Cina yang masuk ke pasar domestik dengan menyiasati aturan yang berlaku, dalam waktu dekat, PT KS beserta kedua perusahaan baja nasional tersebut akan melaporkan praktik bisnis tak terpuji itu ke Kementrian Perindustrian.
sumber
Industri baja nasional mengeluhkan membanjirnya baja impor asal Cina di pasar domestik dengan harga lebih murah sebesar 3% - 5% dari harga baja lokal. Hal ini jelas mematikan perusahaan baja nasional.
Demikian dikatakan Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi, Djamaluddin Tanoto, di Jakarta, Kamis (14/2).
Menurut Djamaluddin, murahnya harga baja tersebut lantaran produsen baja asal Cina melakukan praktik bisnis tidak terpuji, dengan mengakali aturan bea masuk impor yang ditetapkan pemerintah untuk baja komersial.
Modusnya, kata dia, baja asal Cina pada dokumen laporannya diklaim telah mengandung boron yakni bahan campuran baja untuk meningkatkan kekuatan baja berketebalan tipis. Padahal, setelah dicek ke laboratorium di Bandung, kandungan boronnya sangat kecil, hanya 0,008% saja. Sehingga, bisa dibilang tak ada bedanya dengan baja pada umumnya.
Menurut Djamaluddin, ketiga perusahaan baja nasional tersebut akan melaporkan praktik bisnis tak terpuji yang dilakukan produsen baja asal Cina itu ke Kementrian Perindustrian.
Djamaluddin mengatakan, hal itu mereka lakukan untuk menghindari bea masuk baja impor sebesar 5% yang ditetapkan pemerintah Indonesia. Selain itu, pemerintah Cina juga memberikan pengembalian pajak ekspor sebesar 9% kepada eksportir baja Cina yang menambahkan kandungan boron di bajanya. Dengan keringanan pajak sebesar 14% tersebut sudah mampu menutupi biaya produksi baja yang dijual ke Indonesia.
Hal yang sama Direktur PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk., Gunato Gunawan mengatakan, derasnya baja impor asal Tiongkok tersebut makin memberatkan produsen baja lokal. Sebab, pada bulan ini, industri baja nasional terpaksa melakukan kenaikan harga produk baja berkisar 13%-15% dari harga lama. Selain Gunawan Dianjaya Steel, kenaikan harga produk baja juga akan dilakukan PT Krakatau Steel (persero) Tbk dan PT Gunung Raja Paksi.
Gunato memaparkan, kenaikan harga jual tersebut tidak bisa dihindari, dikarenakan berbagai bahan baku baja seperti scrap (besi bekas), iron ore pellet (bijih besi), dan slab (baja setengah jadi) yang sebagian besar masih diimpor, sejak awal 2013, mengalami kenaikan harga secara signifikan.
Gunato menegaskan, kenaikan harga jual produk baja bukan untuk mencari untung besar, melainkan agar produsen baja domestik tetap dapat berproduksi. Sebagai contoh, harga scrap baja (besi bekas) sejak Januari 2013 telah mencapai US$ 430 per ton, meningkat 13% jika dibanding harga pada Oktober 2012 sebesar US$ 380 per ton.
Begitupula harga bijih besi impor, khususnya yang berasal dari India telah naik 30% dari US$115 per ton menjadi US$150 per ton untuk periode yang sama. Selain kedua bahan baku baja tersebut, kenaikan harga juga berlaku pada baja setengah jadi (slab) impor. Sejak awal tahun ini, harga slab telah mencapai US$540 per ton naik 15% dari US$470 per ton pada Oktober 2012.
“Kenaikan harga ini bukan bertujuan untuk mendapat keuntungan sebanyak-banyaknya. Kami berkomitmen tidak membebankan 100% kenaikan biaya bahan baku tersebut kepada pengguna. Sebagian dari kenaikan biaya tersebut kami serap. Kami juga melakukan berbagai upaya peningkatan efisiensi pada proses produksi, agar harga jual produk baja tidak naik signifikan,” tegas Gunato.
Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel Tbk., Yerry menegaskan, kenaikan harga produk baja terpaksa dilakukan untuk menghindari kerugian. Sebab, kenaikan harga bahan baku baja yang signifikan, telah membuat tingkat profitabilitas industri baja domestik menurun drastis ke tingkat yang memprihatinkan.
Ia mengatakan, Industri baja di Indonesia adalah yang terakhir melakukan kenaikan harga. Produsen baja di regional seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam bahkan telah menaikkan harga jual produk baja mereka sejak Januari 2013.
“Hal itu karena, kenaikan harga bahan baku baja juga dialami industri baja di tiga negara tersebut,” jelas Yerry.
Yerry menambahkan, kenaikan harga bahan baku baja yang signifikan sejak awal 2013, telah membuat tingkat profitabilitas industri baja domestik menurun drastis ke tingkat yang memprihatinkan. Sehingga, kenaikkan harga jual produk baja tidak bisa dihindari dan terpaksa dilakukan agar industri baja nasional tidak merugi.
Terkait derasnya baja impor asal Cina yang masuk ke pasar domestik dengan menyiasati aturan yang berlaku, dalam waktu dekat, PT KS beserta kedua perusahaan baja nasional tersebut akan melaporkan praktik bisnis tak terpuji itu ke Kementrian Perindustrian.
sumber
Quote:
IISIA: Impor Baja Boron Gerus Pasar Baja Nasional
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) meminta pemerintah mengendalikan impor baja boron. Pasalnya, melonjaknya impor baja paduan yang biasanya digunakan dalam proyek infrastruktur tersebut membuat pasar baja nasional semakin tergerus.
“Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal dan mengakibatkan turunnya permintaan baja dari dalam negeri,” ujar Basso Datu Makahanap, Komite Standardisasi dan Sertifikasi IISIA, dalam diskusi bertema "Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional 2014" yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (5/5/2014).
Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM). IISIA menduga, beberapa produsen baja dunia memanfaatkan aturan bebas BM baja boron untuk mengekspor produk baja jenis lain seperti baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) ke Indonesia. Impor HRC dan CRC saat ini dikenai BM 5 persen.
Modusnya, produsen, terutama yang berasal dari Tiongkok, menambahkan sedikit kandungan boron dalam HRC dan CRC. Selanjutnya, produsen bekerja sama dengan importir baja lokal untuk memanipulasi nomor HS. Dalam dokumen kepabeanan, importir menyebut baja jenis HRC dan CRC memiliki kandungan boron. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja impor tersebut sangat kecil, hanya 0,0008 persen, sehingga tidak mengubah sifat fisik maupun mekanik.
Menurut Basso, solusi permanen untuk menyelesaikan masalah serbuan baja boron impor bisa dilakukan dengan pengajuan safeguard sesuai prosedur formal organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). “Untuk melindungi produk baja boron lokal, harus memakai instrumen safeguard. Selain itu, praktik manipulasi impor harus segera diatasi,” tuturnya.
Berdasarkan hitungan IISIA, potensi kerugian negara akibat praktik penghindaran BM baja karbon dengan menggunakan HS baja paduan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Dari total 4 HS baja paduan (7225, 7227, 7228, 7229) yang mengalami lonjakan luar biasa selama empat tahun terakhir ini, ditaksir bahwa potensi kerugian negara bisa mencapai angka Rp 395 miliar per tahun. Tahun lalu, potensi kerugian negara ditaksir kurang lebih Rp 439 miliar.
Prediksi ini diperoleh dari beberapa asumsi, pertama asumsi pertumbuhan impor baja paduan dalam kondisi normal seharusnya maksimum di angka 10 persen (year on year/yoy) per tahun.
Asumsi kedua, rata-rata penghindaran BM diasumsikan 5 persen dari nilai impor. Sebagian besar HS baja paduan memiliki tarif BM 0 persen, ada sebagian yang 5 persen. Sementara tarif BM baja karbon mulai dari 5 persen, 7,5 persen, 10 persen, sampai 12,5 persen.
Sedangkan, asumsi terakhir yaitu dolar AS yang menyentuh angka Rp 11.500.
Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, mengakui saat ini impor baja boron memang mengancam industri nasional. "Padahal selama ini, industri dalam negeri mampu memproduksi baja boron dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan baja boron impor,” katanya.
sumber
Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron & Steel Industry Association/IISIA) meminta pemerintah mengendalikan impor baja boron. Pasalnya, melonjaknya impor baja paduan yang biasanya digunakan dalam proyek infrastruktur tersebut membuat pasar baja nasional semakin tergerus.
“Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal dan mengakibatkan turunnya permintaan baja dari dalam negeri,” ujar Basso Datu Makahanap, Komite Standardisasi dan Sertifikasi IISIA, dalam diskusi bertema "Prospek dan Tantangan Industri Baja Nasional 2014" yang digelar Forum Wartawan Industri (Forwin), Senin (5/5/2014).
Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM). IISIA menduga, beberapa produsen baja dunia memanfaatkan aturan bebas BM baja boron untuk mengekspor produk baja jenis lain seperti baja canai panas (hot rolled coil/HRC) dan baja canai dingin (cold rolled coil/CRC) ke Indonesia. Impor HRC dan CRC saat ini dikenai BM 5 persen.
Modusnya, produsen, terutama yang berasal dari Tiongkok, menambahkan sedikit kandungan boron dalam HRC dan CRC. Selanjutnya, produsen bekerja sama dengan importir baja lokal untuk memanipulasi nomor HS. Dalam dokumen kepabeanan, importir menyebut baja jenis HRC dan CRC memiliki kandungan boron. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja impor tersebut sangat kecil, hanya 0,0008 persen, sehingga tidak mengubah sifat fisik maupun mekanik.
Menurut Basso, solusi permanen untuk menyelesaikan masalah serbuan baja boron impor bisa dilakukan dengan pengajuan safeguard sesuai prosedur formal organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO). “Untuk melindungi produk baja boron lokal, harus memakai instrumen safeguard. Selain itu, praktik manipulasi impor harus segera diatasi,” tuturnya.
Berdasarkan hitungan IISIA, potensi kerugian negara akibat praktik penghindaran BM baja karbon dengan menggunakan HS baja paduan bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Dari total 4 HS baja paduan (7225, 7227, 7228, 7229) yang mengalami lonjakan luar biasa selama empat tahun terakhir ini, ditaksir bahwa potensi kerugian negara bisa mencapai angka Rp 395 miliar per tahun. Tahun lalu, potensi kerugian negara ditaksir kurang lebih Rp 439 miliar.
Prediksi ini diperoleh dari beberapa asumsi, pertama asumsi pertumbuhan impor baja paduan dalam kondisi normal seharusnya maksimum di angka 10 persen (year on year/yoy) per tahun.
Asumsi kedua, rata-rata penghindaran BM diasumsikan 5 persen dari nilai impor. Sebagian besar HS baja paduan memiliki tarif BM 0 persen, ada sebagian yang 5 persen. Sementara tarif BM baja karbon mulai dari 5 persen, 7,5 persen, 10 persen, sampai 12,5 persen.
Sedangkan, asumsi terakhir yaitu dolar AS yang menyentuh angka Rp 11.500.
Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, mengakui saat ini impor baja boron memang mengancam industri nasional. "Padahal selama ini, industri dalam negeri mampu memproduksi baja boron dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan baja boron impor,” katanya.
sumber
Quote:
Pemerintah Didesak Berlakukan Larangan Impor Baja Boron
Ketua Asosiasi Besi dan Baja Indonesia, Irvan Hakim menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah memberlakukan larangan impor terbatas untuk produk baja paduan yang mengandung boron (baja alloy). Sebab, banyak importir dan pemasok yang mengakali kandungan boron dalam baja agar dibebaskan dari bea masuk.
"Kami meminta pemerintah mengendalikan impor baja boron. Kehadiran baja boron mendistorsi pasar bajanasional, karena harganya lebih murah dibanding baja lokal," ujarnya di Jakarta, Sabtu (25/1).
Irvan menyebutkan, saat ini dua negara di Asean telah mengambil langkah sikap, yakni Malaysia dan Thailand, yang menetapkan untuk pembatasan impor baja boron. Namun, hal ini belum dilakukan Pemerintah Indonesia. "Seharusnya pemerintah mengendalikan impor baja boron demi meningkatkan pendapatan dari bea masuk (BM). Saat ini, impor baja boron bebas BM," jelasnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja, baja alloy dan besi yang mengandung boron dikenai bea masuk 0%.
Agar mendapatkan fasilitas tersebut, kata Irvan, banyak pemasok dan importir yang memasukkan boron ke produksi tertentu, seperti baja canai panas (Hot Rolled Coil/HRC) dan canai dingin (Cold Rolled Coil/CLC).
Irvan menjelaskan bahwa Pada 2012, sekitar 1 juta ton baja boron impor masuk Indonesia. Pabrikan baja asing diduga sengaja menambahkan kandungan boron dalam baja impor untuk mendapatkan fasilitas pembebasan BM. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja itu sangat sedikit
Selain menghilangkan potensi pemasukan negara, Irvan memandang praktek ini mengganggu persaingan. Menurut dia, lantaran bebas dari bea masuk, produk baja impor semakin dominan di pasar.
Sementara, Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan akan mengkaji regulasi baru untuk impor besi dan baja paduan. Namun, pemerintah belum bisa memastikan pengenaan larangan terbatas untuk impor komoditas tersebut. "Sedang kita teliti, kalau memang terbukti banyak terjadi penyalahgunaan, maka kebijakan itu akan diluruskan," janjinya.
Hidayat mengakui bahwa dalam waktu belakangan ini telah banyak pengaduan terhdap pelanggaran baja impor yang kemudian banyak disalahgunakan importir dengan menyebutkan dalam dokumennya bahwa besi yang mereka impor menggandung boron. "Pemerintah akan meneliti kebenaran kandungan boron dalam produk baja impor dengan menggandeng Sucofindo dan Bea Cukai," katanya.
Ia mengemukakan, pihaknya akan secepatnya meneliti dan mengkaji kembali kebijakan bea masuk terhadap HS Code besi alloy agar tidak merugikan produsen di dalam negeri.
"Pemerintah telah mengenakan kebijakan anti-dumping dan safe guard untuk melindungi industri baja nasional sebagai akibat membanjirnya baja impor, terutama asal China, serta akan meninjau kembali kebijakan impor baja," pungkasnya.
sumber
Ketua Asosiasi Besi dan Baja Indonesia, Irvan Hakim menyatakan, pihaknya mendesak pemerintah memberlakukan larangan impor terbatas untuk produk baja paduan yang mengandung boron (baja alloy). Sebab, banyak importir dan pemasok yang mengakali kandungan boron dalam baja agar dibebaskan dari bea masuk.
"Kami meminta pemerintah mengendalikan impor baja boron. Kehadiran baja boron mendistorsi pasar bajanasional, karena harganya lebih murah dibanding baja lokal," ujarnya di Jakarta, Sabtu (25/1).
Irvan menyebutkan, saat ini dua negara di Asean telah mengambil langkah sikap, yakni Malaysia dan Thailand, yang menetapkan untuk pembatasan impor baja boron. Namun, hal ini belum dilakukan Pemerintah Indonesia. "Seharusnya pemerintah mengendalikan impor baja boron demi meningkatkan pendapatan dari bea masuk (BM). Saat ini, impor baja boron bebas BM," jelasnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2012 dan Nomor 54 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja, baja alloy dan besi yang mengandung boron dikenai bea masuk 0%.
Agar mendapatkan fasilitas tersebut, kata Irvan, banyak pemasok dan importir yang memasukkan boron ke produksi tertentu, seperti baja canai panas (Hot Rolled Coil/HRC) dan canai dingin (Cold Rolled Coil/CLC).
Irvan menjelaskan bahwa Pada 2012, sekitar 1 juta ton baja boron impor masuk Indonesia. Pabrikan baja asing diduga sengaja menambahkan kandungan boron dalam baja impor untuk mendapatkan fasilitas pembebasan BM. Padahal, berdasarkan penelitian IISIA, kandungan boron dalam baja itu sangat sedikit
Selain menghilangkan potensi pemasukan negara, Irvan memandang praktek ini mengganggu persaingan. Menurut dia, lantaran bebas dari bea masuk, produk baja impor semakin dominan di pasar.
Sementara, Menteri Perindustrian, MS Hidayat mengatakan akan mengkaji regulasi baru untuk impor besi dan baja paduan. Namun, pemerintah belum bisa memastikan pengenaan larangan terbatas untuk impor komoditas tersebut. "Sedang kita teliti, kalau memang terbukti banyak terjadi penyalahgunaan, maka kebijakan itu akan diluruskan," janjinya.
Hidayat mengakui bahwa dalam waktu belakangan ini telah banyak pengaduan terhdap pelanggaran baja impor yang kemudian banyak disalahgunakan importir dengan menyebutkan dalam dokumennya bahwa besi yang mereka impor menggandung boron. "Pemerintah akan meneliti kebenaran kandungan boron dalam produk baja impor dengan menggandeng Sucofindo dan Bea Cukai," katanya.
Ia mengemukakan, pihaknya akan secepatnya meneliti dan mengkaji kembali kebijakan bea masuk terhadap HS Code besi alloy agar tidak merugikan produsen di dalam negeri.
"Pemerintah telah mengenakan kebijakan anti-dumping dan safe guard untuk melindungi industri baja nasional sebagai akibat membanjirnya baja impor, terutama asal China, serta akan meninjau kembali kebijakan impor baja," pungkasnya.
sumber
Quote:
Kemenperin: Impor Baja Boron Rugikan Industri Baja Nasional
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai impor baja boron atau baja paduan bagi proyek infrastruktur sangat merugikan industri baja nasional.
“Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM) dan hal tersebut mengancam industri nasional. Selama ini, industri dalam negeri mampu memproduksi baja boron dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan baja boron impor,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kemenperin, Harjanto, pada acara diskusi peluang dan tantangan industri baja nasional di Jakarta, Senin (5/5).
Industri baja, menurut Harjanto, merupakan salah satu industri strategis dan memiliki peran penting dalam memasok bahan baku di sektor kontruksi, perpipaan, mesin dan peralatan pertahanan maupun otomotif.
“Dalam rangka meningkatkan investasi di dalam negeri, kami akan memberikan insentif tax holiday khusus untuk industri di sektor prioritas seperti industri pellet dan sponge iron,” paparnya.
Sedangkan Komite Standarisasi dan Sertifikasi Indonesia Iron and Steel Industry (IISIA), Basso Datu Makahanap, mengatakan pemerintah harus mengendalikan impor baja boron karena kehadirannya membuat pasar baja nasional semakin menurun.
“Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal dan mengakibatkan turunnya permintaan baja dari dalam negeri,” ujarnya.
Basso menambahkan, solusi permanen untuk menyelesaikan masalah serbuan baja boron impor bisa dilakukan dengan pengajuan safeguard sesuai prosedur formal organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
“Untuk melindungi produk baja boron lokal, harus memakain instrumen safeguard. Selain itu, praktik manipulasi impor harus segera diatasi,” tuturnya.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai impor baja boron atau baja paduan bagi proyek infrastruktur sangat merugikan industri baja nasional.
“Saat ini, impor baja boron bebas bea masuk (BM) dan hal tersebut mengancam industri nasional. Selama ini, industri dalam negeri mampu memproduksi baja boron dengan kualitas yang lebih baik dibandingkan baja boron impor,” kata Direktur Jenderal (Dirjen) Basis Industri Manufaktur Kemenperin, Harjanto, pada acara diskusi peluang dan tantangan industri baja nasional di Jakarta, Senin (5/5).
Industri baja, menurut Harjanto, merupakan salah satu industri strategis dan memiliki peran penting dalam memasok bahan baku di sektor kontruksi, perpipaan, mesin dan peralatan pertahanan maupun otomotif.
“Dalam rangka meningkatkan investasi di dalam negeri, kami akan memberikan insentif tax holiday khusus untuk industri di sektor prioritas seperti industri pellet dan sponge iron,” paparnya.
Sedangkan Komite Standarisasi dan Sertifikasi Indonesia Iron and Steel Industry (IISIA), Basso Datu Makahanap, mengatakan pemerintah harus mengendalikan impor baja boron karena kehadirannya membuat pasar baja nasional semakin menurun.
“Banjir baja boron membuat industri baja lokal kesulitan menentukan harga jual. Harga baja boron lebih murah dibanding baja lokal dan mengakibatkan turunnya permintaan baja dari dalam negeri,” ujarnya.
Basso menambahkan, solusi permanen untuk menyelesaikan masalah serbuan baja boron impor bisa dilakukan dengan pengajuan safeguard sesuai prosedur formal organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
“Untuk melindungi produk baja boron lokal, harus memakain instrumen safeguard. Selain itu, praktik manipulasi impor harus segera diatasi,” tuturnya.
Quote:
Tarif Listrik Naik, Harga Baja Lokal Makin Mahal daripada Barang Impor
-Industri besi dan baja lokal terpukul akibat kenaikan tarif listrik industri per 1 Mei 2014 lalu. Kenaikan ini mempengaruhi biaya produksi pengolahan baja nasional hingga daya saing dengan produk impor.
Juru Bicara PT Gunung Garuda Ketut Setiawan mengatakan saat ini saja sebelum ada kenaikan tarif listrik, harga produk baja impor seperti baja paduan (alloy steel) antaralain untuk bahan pembuatan velg, dari Tiongkok jauh lebih murah daripada produk sejenis buatan lokal.
"Produk impor di pasaran lebih murah 15% karena biaya masuk nol, seperti baja paduan (alloy steel) kalau kita US$ 600-700 per ton, kalau dia lebih murah 15%," katanya di acara diskusi tentang Tantangan Industri Baja di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (5/5/2014).
Ia mengatakan selain bea masuk yang sudah nol, industri baja di Tiongkok sudah sangat efisien, dengan kapasitas produksi mencapai 700 juta ton per tahun.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan, komponen biaya energi atau listrik mengambil peran 30% dari total biaya produksi di sektor industri baja.
"Di industri baja penggunaan listrik 20-30%, bisa dibayangkan komposisi energi listrik besar, kenaikan listrik 64% sangat mempengaruhi biaya produksi," kata Harjanto.
Dikatakan Harjanto, dengan kenaikan tarif listrik ini akan menurunkan daya saing dan berakibat banjirnya produk-produk impor. "Akan membuat Industri dalam negeri condong tidak hanya baja, tekstil akan menggunakan produk impor yang lebih murah," katanya.
Harjanto mengatakan, dengan kenaikan tarif listrik tersebut, biaya produksi besi dan baja di dalam negeri akan naik sekitar 15%. "Saya ada hitung-hitungannya. Kira-kira 15%-an kalau 30% cost structure besi baja itu sampai 30%," katanya.
Untuk meringankan beban para pelaku usaha yang terbebani dengan kenaikan listrik tersebut. Harjanto mengatakan, pemerintah menyiapkan beberapa relaksasi kebijakan untuk beberapa industri.
"Apa yang bisa kita bantu, skenarionya paling tidak kita memberikan sedikit relaksasi. Misalnya semen, bebaskan bea masuk untuk mengimpor generator mesin," jelasnya.
sumber
-Industri besi dan baja lokal terpukul akibat kenaikan tarif listrik industri per 1 Mei 2014 lalu. Kenaikan ini mempengaruhi biaya produksi pengolahan baja nasional hingga daya saing dengan produk impor.
Juru Bicara PT Gunung Garuda Ketut Setiawan mengatakan saat ini saja sebelum ada kenaikan tarif listrik, harga produk baja impor seperti baja paduan (alloy steel) antaralain untuk bahan pembuatan velg, dari Tiongkok jauh lebih murah daripada produk sejenis buatan lokal.
"Produk impor di pasaran lebih murah 15% karena biaya masuk nol, seperti baja paduan (alloy steel) kalau kita US$ 600-700 per ton, kalau dia lebih murah 15%," katanya di acara diskusi tentang Tantangan Industri Baja di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (5/5/2014).
Ia mengatakan selain bea masuk yang sudah nol, industri baja di Tiongkok sudah sangat efisien, dengan kapasitas produksi mencapai 700 juta ton per tahun.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, Harjanto mengatakan, komponen biaya energi atau listrik mengambil peran 30% dari total biaya produksi di sektor industri baja.
"Di industri baja penggunaan listrik 20-30%, bisa dibayangkan komposisi energi listrik besar, kenaikan listrik 64% sangat mempengaruhi biaya produksi," kata Harjanto.
Dikatakan Harjanto, dengan kenaikan tarif listrik ini akan menurunkan daya saing dan berakibat banjirnya produk-produk impor. "Akan membuat Industri dalam negeri condong tidak hanya baja, tekstil akan menggunakan produk impor yang lebih murah," katanya.
Harjanto mengatakan, dengan kenaikan tarif listrik tersebut, biaya produksi besi dan baja di dalam negeri akan naik sekitar 15%. "Saya ada hitung-hitungannya. Kira-kira 15%-an kalau 30% cost structure besi baja itu sampai 30%," katanya.
Untuk meringankan beban para pelaku usaha yang terbebani dengan kenaikan listrik tersebut. Harjanto mengatakan, pemerintah menyiapkan beberapa relaksasi kebijakan untuk beberapa industri.
"Apa yang bisa kita bantu, skenarionya paling tidak kita memberikan sedikit relaksasi. Misalnya semen, bebaskan bea masuk untuk mengimpor generator mesin," jelasnya.
sumber
Quote:
MS Hidayat: Bijih Besi Habis 9 Tahun Lagi
Menteri Perindustrian MS Hidayat prihatin dengan masih tingginya impor bahan baku baja. Sebaliknya, cadangan terbukti bahan baku baja nasional justru diekspor seluruhnya. “Cadangan terbukti Iron Ore sekitar 115 juta ton sepenuhnya diekspor secara besar-besaran. Jika dibiarkan 9 tahun cadangan bijih besi akan habis. Kondisi ini tidak mendorong tumbuhnya industri besi baja dalam negeri,” ujar Hidayat di kantornya, Jl Gatot Subroto, Rabu (13/6/2012). Hidayat menambahkan, potensi kapasitas industri besi baja saat ini mencapai 19 juta ton/tahun. Itu berarti membutuhkan 46 juta ton Iron ore untuk mendapatkan peningkatan nilai tambah sebesar US$ 15 miliar/tahun yang bila dijual dalam bentuk iron ore hanya menghasillkan US$ 2,3 miliar/tahun. “Nilai tambah yang didapat sebesar US$ 12,7 miliar atau setara dengan Rp 114,4 triliun setiap tahunnya,” tandasnya. -
sumber
Menteri Perindustrian MS Hidayat prihatin dengan masih tingginya impor bahan baku baja. Sebaliknya, cadangan terbukti bahan baku baja nasional justru diekspor seluruhnya. “Cadangan terbukti Iron Ore sekitar 115 juta ton sepenuhnya diekspor secara besar-besaran. Jika dibiarkan 9 tahun cadangan bijih besi akan habis. Kondisi ini tidak mendorong tumbuhnya industri besi baja dalam negeri,” ujar Hidayat di kantornya, Jl Gatot Subroto, Rabu (13/6/2012). Hidayat menambahkan, potensi kapasitas industri besi baja saat ini mencapai 19 juta ton/tahun. Itu berarti membutuhkan 46 juta ton Iron ore untuk mendapatkan peningkatan nilai tambah sebesar US$ 15 miliar/tahun yang bila dijual dalam bentuk iron ore hanya menghasillkan US$ 2,3 miliar/tahun. “Nilai tambah yang didapat sebesar US$ 12,7 miliar atau setara dengan Rp 114,4 triliun setiap tahunnya,” tandasnya. -
sumber
Komen :
Satu bukti lagi bahwa sekelas menteri pun tidak berdaya menghadapi permainan para oknum yang meloloskan baja impor tanpa pajak sehingga merugikan industri baja dalam negeri.
Kekacauan management Indonesia yang mengekspor bijih besi skala besar sementara justru industri baja nasional mengimpor bijih besi dari luar (mirip kasus minyak bumi indonesia)
SAVE INDONESIA
Diubah oleh 200176 05-05-2014 20:29
0
13.1K
Kutip
94
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan