Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ruly2404Avatar border
TS
ruly2404
Ketika anak tidak mendengarkan kata2 ibunya
Bunda Shalihah,

“Bagaimana sih caranya membuat anakku itu mau mendengarkan kata-kata ibunya sendiri? Pamorku kalah dengan gurunya di sekolah,
padahal kan aku juga guru loh.”
Seorang teman pernah curhat pada saya tentang hal di atas. Sebagai seorang ibu, dia merasa anaknya tidak begitu mempedulikan omongannya.
Apapun itu, selalu dibandingkan dengan kata-kata gurunya di sekolah.
Bila ada ketidaksesuaian, maka kata-kata gurunya selalu yang utama yang akan dia dengar dan turuti. Begitupun bila yang dikatakan ibunya dengan guru di sekolah sama, maka ia tetap
menganggap bahwa gurunya pintar karena ibunya pun bisa memunyai pendapat sama seperti siguru.

Sikap ini walhasil sedikit mengkhawatirkan. Ibu sebagai pendidik pertama dan utama kehilangan pamornya di hadapan anak. Ada yang salah pada interaksi anak dan ibu di sini. Orang pertama yang dipercaya anak, seharusnya adalah ibu.
Guru, meskipun merupakan pengganti orang tua di sekolah, tetap saja orang lain dan sosok kesekian yang ditemui anak dalam kehidupannya.

Katakanlah pada usia 5 tahun, si anak mulai masuk TK dan mengenal sosok guru. Lalu, usia 0-5 tahun sebelumnya, siapa yang menjadi panutan bagi si anak tersebut? Usut punya usut, ternyata hanya berselang sekitar dua bulan saja dari kelahirannya, si anak
diserahkan pada neneknya karena ibunya harus mengajar. Untuk menyewa baby sitter juga tak
mampu. Melepaskan kariernya sebagai guru juga sayang karena sudah susah payah ia kuliah demi profesi ini. Walhasil, solusinya ya berjauhan beda
kota dengan si anak. Di usia dua tahun, si nenek meninggal dunia. Hal ini membuat si cucu limbung.

Pola asuh nenek dan ibu kandung yang tak sama, membuatnya harus beradaptasi dari awal lagi. Adaptasi ini tak sepenuhnya berhasil ketika di
usia 5 tahun ia masih melakukan pembangkangan dan tak mau mendengar kata ibunya. Merunut ke
belakang, si nenek seringkali membela si cucu ketika ibunya melakukan pola asuh menurut caranya. Si cucu akan berlari ke nenek dan mendapat perlindungan penuh, bahkan menyaksikan ibunya dimarahi oleh si nenek karena memarahi dirinya. Kondisi ini sedikit banyak memperngaruhi psikis si anak untuk
berani tidak hormat pada ibu kandungnya sendiri.
Si ibu kandung ternyata juga kurang memahami pola asuh yang baik pada si anak. Ia dengan mudah mencubit anaknya dengan keras sehingga
si anak pun menangis dengan kencang tak peduli itu di depan orang banyak. Membentak dan memberi label ‘nakal’ pada anak semakin memperburuk keadaan. Menurutnya, itu adalah
proses pendisiplinan yang perlu diterapkan pada sianak. Bila tidak begitu, maka si anak akan makin nakal.

Bunda shalihah, ilustrasi di atas sungguh tak ideal. Tapi bukan tak mungkin ada di antara kita yang pernah mengalami hal tersebut, bukan?
Jangan biarkan kondisi ini berlarut-larut. Selama anak masih dalam tahapan usia pertumbuhan, bunda harus segera mau berbenah. Yang utama dulu harus ada adalah introspeksi. Sianak adalah tanggung jawab orang tua yaitu ibu dan bapaknya, bukan kakek dan neneknya. Ketika seseorang sudah berani menikah, itu artinya ia harus berani pula menerima kondisi yang
menyertai yaitu anak dan segala kerepotannya. Tidak bijak menyerahkan pengasuhan dan
pendidikan anak pada nenek dan kakeknya. Memang sih, ada kalanya nenek dan kakek ini yang meminta sendiri agar si cucu tinggal bersama mereka. Di sini, ketegasan bunda
sebagai ibunya dan suami sebagai ayah si anak sangat diperlukan. Harus ada prioritas dalam hidup, begitu juga dalam berumahtangga.

Percayalah, hasil dari bunda bekerja di luarrumah tak sepadan dengan ongkos untuk ‘mereparasi’ anak yang salah asuh. Bijaklah dalam bersikap dan mengambil keputusan.
0
1.2K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan