Kaskus

Entertainment

rezaldiraAvatar border
TS
rezaldira
Menyikapi Kegagalan Ujian Akhir Nasional
Pentingkah Ujian Nasional Itu?
Selain membuahkan kegembiraan yang luar biasa, UN (Ujian Nasional atau Ujian
Negara) itu setiap tahunnya juga menyisakan kesedihan. Sebetulnya, sejauhmanakah UN itu penting? UN memang tidak menjadi syarat untuk
masuk surga atau masuk ke masyarakat (berhasil berperan di masyarakat), tetapi kalau melihat di lapangannya, UN itu tetap
dianggap penting. Alasannya banyak dan sebagian besarnya berbau kepentingan negara, lingkungan, atau orang dewasa.

Misal, hasil ujian itu akan dijadikan landasan oleh negara untuk menentukan
perlakuannya kepada kita sebagai individu. Ini misalnya saja seluruh instansi pemerintah mensyaratkan lulus ujian nasional dalam rekrutmen pegawai.
Hampir semua perguruan tinggi negeri mensyaratkan nilai kelulusan ujian nasional, bukan semata hanya lulus.

Hasil UN itu juga seringkali dijadikan alat untuk memberikan label kualitas
kecerdasan pelajar. Pelajar yang nilai UN-nya tinggi akan diberi label punya kecerdasan bagus, anak pinter, dll. Sebaliknya, pelajar yang nilai UN-nya rendah, akan mudah dianggap sebagai anak yang bodoh atau terbelakang. "Wah, ndak bisa dong, kecerdasan
manusia itu 'kan banyak?" Memang ini salah kaprah tetapi itulah yang sering
dipahami oleh sebagian besar kita.

Dalam prakteknya itu juga, hasil UN itu pun penting bagi lembaga sekolah yang
bersangkutan. Ini kaitannya dengan kepentingan usaha pendidikan. Dulu, di daerah-daerah, tingkat keberhasilan
lembaga sekolah dalam meluluskan siswa-siswinya di UN akan menjadi senjata
pemasaran sekolah itu ke masyarakat sekitar untuk menjaring siswa. Kalau
sekolah itu tingkat kelulusannya jeblok di
UN, akibatnya akan kesulitan mencari siswa.

Di tahun 1995-an, saya kebetulan termasuk salah seorang guru yang diajak
membicarakan kelulusan UN siswa-siswa SLTA, di Jakarta Selatan. Kalau tidak salah
ingat, dari 40 peserta ujian itu, kira-kira hanya sekitar 17 orang yang lulus dalam
arti lulus yang benar-benar lulus, menurut standar ideal UN. Bayangkan kalau yang
lulus hanya sekitar 47% dari peserta ujian, apa nggak bangkrut sekolah itu? Wali
murid pasti akan memilih sekolah yang punya tingkat kecanggihan tinggi dalam
meluluskan anak didiknya. Karena itu, tak jarang ada kepala sekolah atau guru yang tersandung masalah hukum akibat membocorkan soal ujian karena tidak
tahan melawan hawa nafsu dan godaan setan.

Itulah beberapa sisi yang bisa
menjelaskan kenapa setiap tahunnya UN itu selalu membuahkan kesedihan dan
kegembiraan, baik bagi siswa, orangtua, dan sekolah. Khusus kita sebagai orangtua, bagaimana jika misalnya anak kita termasuk yang bersedih gara-gara
nilainya anjlok? Masihkah ada terobosan positif yang bisa kita arahkan ke anak?

Ujian Nasional & kapasitas personal
Terlepas dari alasan-alasan di atas, kita perlu menciptakan pemahaman bahwa UN itu hanyalah satu dari serangkaian kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh negara untuk mengetahui indeks prestasi
siswa dalam bidang studi tertentu. Belum ada ujian nasional yang menguji
kemampuan anak dalam seluruh mata pelajaran, lebih-lebih menguji seluruh
kapasitas yang dimiliki anak.

Bukan hanya UN yang punya kapasitas terbatas. Hingga kini belum ada satu pun
sekolah yang mampu mengembangkan kapasitas anak secara keseluruhan
sebagai individu dengan berbagai keunikannya. Peranan sekolah adalah
mengembangkan sebagian dari kapasitas anak dan itu disesuaikan dengan sistem
mereka. Bahwa ada sekolah yang mampu mengembangkan sebagian kecil atau ada yang sudah mampu mengembangkan
sebagian besar, ini kembali tergantung dari bobot kualitas sekolahnya. Semakin
bagus sekolah itu berarti semakin besar porsi pengembangan yang sanggup diambil.

Dengan fakta semacam itu berarti kalau anak kita punya minat dan kecakapan
yang bagus di bidang-bidang tertentu di luar materi ujian UN, apa kira-kira yang
terjadi? Nilai UN-nya kemungkinan akan jelek. Begitu juga kalau misalnya anak kita belum / tidak bisa beradaptasi dengan sistem belajar yang dianut oleh
sekolahnya. Bisa-bisa kecerdasannya tidak muncul. Ini pula yang menimpa Edison
waktu masih kecil. Dia belajar
eksperimentasi kimia dikereta saat jualan. Mungkin saat itu tidak ada sekolah yang mengajarkan bereksperimentasi kimia untuk anak-anak yang seusia dia.

Hal lain yang perlu dipahami juga bahwa baik UN atau sekolah, keduanya hanya
mampu mengembangkan dan menguji beberapa kemampuan yang sifatnya di
permukaan dan mudah diubah (easy to change). Contoh kemampuan ini adalah penguasaan pengetahuan, informasi, atau
keahlian kerja. Ada memang sekolah tertentu yang sudah mampu mengembangkan kemampuan yang sifatnya inti dan sulit diubah (in-born trait), misalnya saja sifat dasar, karakter mental
dan moral, atau kepribadian inti. Tetapi itu jumlahnya tidak banyak dan lagi-lagi
itu tidak masuk dalam materi UN.

Kalau bicara praktek hidup, baik kemampuan yang sifatnya di permukaan
dan kemampuan yang sifatnya di inti kepribadian, keduanya saling mendukung.
Baik kemampuan kerja (job skill, academic skill) dan kemampuan mental
(mental skill), keduanya saling mendukung. Bahkan menurut beberapa bukti yang mudah kita saksikan, pada fase tertentu, kemampuan mental yang tidak banyak disentuh dalam UN secara langsung itu justru lebih sering berperan
dominan dalam menentukan kemajuan seseorang di praktek hidup.

Untuk masuk pegawai negeri di bidang pendidikan memang seringkali disyaratkan harus lulus dari sekolah / jurusan pendidikan dengan tingkat kelulusan tertentu. Tetapi, untuk menjadi pergawai negeri pendidikan yang bagus,
ijasah saja atau akumulasi nilai akademik saja tidak cukup. Dibutuhkan kemampuan mental yang bagus. Kemampuan
akademik itu kerapkali hanya sebagai pembuka jalan, sedangkan kemampuan
mental itu akan sebagai penentu kemajuan.

Faktor psikologis
Hal lain lagi yang perlu dipahami juga bahwa hasil UN si anak itu juga terkait
dengan dinamika jiwanya. Anak yang sedang dilanda problem emosi yang cukup berat, bisa jadi mempengaruhi kemampuan belajar dan prestasinya. Saya pribadi punya observasi terhadap beberapa kawan saya sewaktu sekolah di
SLTA. Ada beberapa anak tertentu yang prestasi akademiknya bagus pada kelas satu sampai pertengahan kelas dua.
Setelah itu prestasinya melorot terus. Ini tidak berarti si anak kehilangan
kecerdasan, tetapi lebih karena terhambat oleh persoalan mental atau jiwa.

Depresi pada anak remaja umumnya terjadi karena kemampuan mereka dalam
menangani masalah hidup yang masih kurang/ belum terlatih. Masalah itu
biasanya adalah pergaulan dengan sejawatnya, persoalan cinta, persoalan
rumah tangga orangtuanya, persoalan dengan guru atau lingkungan sekolahnya,
persoalan dengan disiplin sekolah, persoalan dengan seniornya dalam organisasi sekolah, dan lain-lain.

Nah, dengan sekian persepektif yang bisa kita kembangkan seperti di atas, berarti kita punya landasan untuk mempertebal keyakinan bahwa anak yang nilainya jatuh pada UN tahun ini belum saatnya dihakimi
sebagai anak yang terbelakang atau anak
yang bodoh atau anak yang kapasitasnya rendah. Perspektif dan keyakinan
demikian sangat dibutuhkan apabila ada niatan (inisiatif dan komitmen) dari kita untuk mengajak anak menjalankan agenda pengembangan ke tingkat yang lebih bagus. Tapi bila niatan itu tidak ada, itu namanya menghibur diri atau
mempolitisasi kelemahan. Biasanya ini malah membahayakan.

oke sekian dulu, jangan lupa cendol dan ratenya ya agan agan emoticon-Ngakak (S) emoticon-Blue Guy Cendol (S)
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
3K
49
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan