Disclaimer:
Tulisan ini berdasarkan fakta pengalaman pribadi, tujuan utamanya adalah agar tidak ada orang lain yang mengulangi kesalahan yang sama.
untuk kaskus: momod saya tidak ada niat promosi, tapi jika terkesan seperti itu mohon dihapus saja thread ini.
Sudah 1 tahun belakangan saya bergelut di bidang bisnis import dari China, karena memang harga yang murah dan pasar yang sangat menjanjikan di Indonesia. Dalam import barang ini saya punya idealisme pribadi untuk tidak melakukan import barang yang sudah ada produsen lokalnya, contoh: sepatu, baju, dlsb.
Dalam melakukan import barang dari China terdapat banyak pilihan PJT (Penyedia Jasa Titipan), sebut saja DHL, Fedex, UPS, EMS, dlsb.
Saya memiliki pengalaman sangat pahit ketika menggunakan DHL untuk mengirimkan barang dagangan saya (replika CCTV / dummy CCTV) ke Indonesia.
Spoiler for Kronologi::
Kronologi ini saya susun pasca kejadian, dengan merangkum seluruh informasi yang saya dapat.
Awal Oktober – 18 Oktober 2013 saya melakukan pemesanan replika CCTV / dummy CCTV ke kolega saya di China sebanyak 100 buah, seharga kurang dari $750 total sudah termasuk ongkir yang dibayarkan ke DHL di China. *harga saya samarkan, karena nanti ketahuan modal dong
19 Oktober 2013 Ternyata invoice yang dimiliki oleh DHL tidak ada keterangan Dummy-nya, setelah dikonfirmasi ke China, mereka tidak tahu menahu mengapa hal ini bisa terjadi. Perkiraan saya ini adalah kesalahan dari input orang yang di China.
22-23 Oktober 2013
Paket sudah sampai di CGK (Bandara Soetta), paket kiriman saya memasuki jalur merah. Jalur merah adalah kode untuk melakukan pemeriksaan fisik kepada suatu barang. Sesuai peraturan, DHL sebagai PJT semestinya menemani pejabat cukai untuk melakukan pemeriksaan fisik.
24-28 Oktober 2013
Hasil pemeriksaan fisik menetapkan bahwa paket tersebut merupakan 100pcs CCTV REAL, bukan CCTV replika / dummy.
29-30 Oktober 2013
Bea cukai menetapkan FOB sebesar $4150, jauh dari harga sebenarnya si barang. Sesuai kebijakan internal DHL, bahwa DHL akan menanggung terlebih dahulu pajak jika nilai FOB dibawah $5000.
Pajak yang dibayarkan adalah sekitar 17 juta rupiah, GILA !
Perlu diingat, di mata bea cukai sang penerima barang adalah DHL bukan saya. Ketika pajak sudah dibayarkan, maka secara tidak langsung penerima barang menyetujui penetapan nilai pajak yang sudah dilakukan oleh cukai. Nilai pajak menjadi mutlak tidak dapat diprotes!
Urusan antara DHL dengan Cukai sudah lah beres ketika pajak dibayarkan,
30 oktober 2013 – sekarang (2014-03-01) Barang tidak saya tebus dikarenakan pajak yang terlalu mahal, tidak akan tertutupi oleh harga jual yang saya pasang. Kejadian ini sungguh menghancurkan keuangan saya, bisnis kecil ini terpaksa terseok-seok dalam permsalahan modal. Apalah daya saya pribadi melawan perusahaan besar seperti DHL.
Saya sudah melakukan komunikasi dengan DHL dan Bea Cukai sampai bolak balik, yang pada intinya adalah malah saya yang disalahkan. Saya “tertelan” oleh keburukan sistem dan kebijakan yang tidak pro UMKM.
Spoiler for Analisis::
terdapat beberapa kesalahan yang terjadi di kasus saya ini, kesalahan tersebut adalah:
Perbedaan keterangan barang invoice yang saya miliki dan yang DHL miliki, ini sepertinya menjadi dasar penentuan nilai FOB, terkait pada poin 2.
Barang saya sudah dilakukan pemeriksaan fisik, lalu mengapa masih saja menganggap bahwa ini adalah CCTV REAL?semestinya jika barang saya ini sudah dibongkar, dapat ketahuan bahwa ini adalah bukan CCTV REAL, karena tidak ada fitur kamera nya !! Kecurigaan saya tertuju kepada bahwa barang ini tidak dilakukan pemeriksaan fisik !! padahal sesuai peraturan, pemeriksaan fisik wajib dilakukan dengan membongkar barang, dan didampingi oleh PJT.
Kebijakan internal DHL yang akan menanggung langsung pajak jika nilai dibawah $5000 adalah kebijakan yang SANGAT BURUK bagi penggiat usaha kecil seperti saya. Ini adalah error dari kebijakan yang dibuat oleh DHL sendiri, tapi pihak DHL tidak mau menanggung resiko jika kasus seperti yang saya alami ini terjadi. tetap saja saya ditagih pajak yang besarnya 17 juta rupiah! malah cenderung saya yang dipojokkan disini.
Spoiler for Epilog::
Buat para penggiat usaha, menggunakan DHL adalah sangat tidak disarankan. Sekarang saya menggunakan EMS (PT. POS) dalam melakukan pengiriman barang masuk ke Indonesia, dan tidak ada masalah sama sekali, karena kita dapat tatap muka langsung dengan pejabat bea cukai ketika penentuan nilai pajak barang.
sudah banyak kasus orang kecewa berat kepada DHL, berikut adalah beberapa artikel mereka:
Original Posted By miliklinggar►sekedar share aja gan pengalaman saya, saya pake dhl, tnt ma fedex untuk pengirman barang dr luar negri. semua PJT kayanya sama aja dalam menerapkan sistem clearence yang membadakan biaya admin/bank/handling fee krnn pbedaan regulasi dr tiap perusahaan. menurut saya penentuan besarnya pajak ga bs dilihat dr invoice semua barang masuk pasti kena cek fisik (kalo dulu setau saya random) nah kemungkinan disini cek fisik cuman sebatas bentuk fisiknya aja.
pengalaman terakhir ini 01/04/2014 saya belanja $50 tapi kena pajak 1.030.000 dengan FOB $254, sampai sekarang proses penyelesaian ini masih jalan. saya minta kejelasan BC cengkareng ttg sistem clearence mereka jelasin klo barang saya kena revalue, tapi mereka udah kasih tau pihak DHL dan DHL menyetujui nilai tsb. padahal kalo revalue tidak sesuai dengan nilai barang yg sebenarnya kita bisa ajukan keberatan dgn kirimkan dokumen tambahan, tapi krn regulasi dhl ga notice cust (under $5000) kita kan ga tau klo barang kena revalue, yang terakkhir kita bisa ajukan keberatan pas pajak blm dbayarkan pihak DHL 1x24 jam setelah clearence kelar.
kalo mereka ngomong soal regulasi yg ga notice cust under $5000 coba agan pake regulasi ini
Pasal 23 ayat (1) PMK Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman
Penjelasan pasal tersebut
Adapun jika nilai barang melebihi USD 50, maka atas kelebihannya dikenakan Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor. Batasan nilai barang sebesar USD 50 tersebut merupakan FOB (Free On Board), dan harus dilampiri dengan bukti-bukti pembayaran yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar, yakni bukti bayar/transfer (bukan hanya sebatas invoice). Bukti-bukti tersebut diserahkan kepada pihak Perusahaan Jasa Titipan yang dalam hal ini perusahaan ekspedisi sebagai pengirim barang(DHL,FedEx,TNT,UPS dll) atau Pos Indonesia (termasuk EMS dan USPS)untuk dilampiri pada saat pemeriksaan dokumen pabean yang dalam hal ini biasa disebut Pencacahan Pembeaan Kiriman Pos(PPKP) atau Pemberitahuan Impor Barang Khusus (PIBK) dan atas PPKP atau PIBK tersebut dilakukan pembayaran malalui Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi yang ditunjuk (bukan atas nama pribadi) dan atas pembayaran Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (BM dan PDRI) akan mendapat bukti pembayaran berupa Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak (SSPCP) dari Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi tersebut.